Yogyakarta Pada Awal Abad Ke-20

Bab II KEHIDUPAN DAN PENDIDIKAN KI SUGONDO KARTOPROJO

2.1 Yogyakarta Pada Awal Abad Ke-20

Daerah Yogyakarta terletak di Jawa Tengah bagian selatan yang wilayahnya meliputi sekitar 3100 kilometer persegi, di mana 105 kilometer persegi daerah enclave dahulunya merupakan wilayah kesultanan Surakarta dan Mangkunegara. Secara geografis letak Yoyakarta berada sepanjang 110”24”19” sampai 110” 28”53” Bujur Timur dan 07”15’24” sampai 07” 49’ 26” Lintang Selatan. Dari 3100 kilometer persegi ini, lebih dari separuh yakni 1.784 kilometer persegi dipakai untuk usaha-usaha pertanian, dan 838 kilometer persegi digunakan untuk tempat tinggal dan pekarangan. Sisanya yang 478 kilometer persegi ditumbuhi oleh hutan-hutan atau digunakan sebagai jalan-jalan dan tempat penggembalaan atau belum dimanfaatkan sama sekali, seperti pantai-pantai serta lereng-lereng gunung yang curam. 12 Nama Yogyakarta sendiri jika kita menelusuri sejarahnya maka semula bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang memiliki status kasultanan dan dipimpin oleh Sultan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan pecahan dari kerajaan Mataram akibat adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1775. Di dalam Yogyakarta secara administratif berbatasan dengan keresidenan Kedu yang terletak di bagian barat dan setengahnya berada di bagian utara. Sedangkan di bagian timur laut dan bagian timur Yogyakarta berbatasan dengan keresidenan Surakarta yang memiliki pemerintahan sendiri pada masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Samudera Hindia membatasi pantai-pantai selatan Yogyakarta. 12 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial Di Yogyakarta, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1981, hal.1. Universitas Sumatera Utara perjanjian Giyanti disepakati bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu sebelah timur Kali Opak dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang berkedudukan di Surakarta, sedangkan di sebelah barat dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi atau dikenal dengan Sultan Hamengkubuwono I dan berkedudukan di Yogyakarta. Kekuasaan- kekuasaan tradisional sultan inilah yang dimanfaatkan Kolonial Belanda ketika menjajah Yogyakarta. Kolonial Belanda memanfaatkan sultan di bawah pengawasannya secara langsung dan memasukkan ide-ide politiknya kepada rakyat melalui sultan. Dengan cara tersebut kolonial Belanda membuat rakyat percaya bahwa sultan masih menjadi pemimpin mereka. Mereka tak banyak tahu tentang perjanjian politik itu, yang “tak lain daripada tangan besi dalam sarung tangan beludru yang secara perlahan tapi pasti menyumbat nafas kemerdekaan”. 13 Kedudukan sultan sangat penting bagi masyarakat Jawa saat itu, begitu pula dengan daerah Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta menganggap sultan memiliki kedudukan yang tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat. Adalah merupakan suatu aturan yang sudah mantap bahwa raja Jawa termasuk sultan harus merupakan keturunan langsung dari para raja yang memerintah sebelumnya, terutama putera pertama dari istri pertama. Pemerintah Belanda pun tetap mengizinkan Sultan Hamengkubuwono memakai atribut gelar kerajaannya bahkan ketika Indonesia telah merdeka, sultan yang memerintah pada saat itu tetap diakui secara resmi gelar kerajaannya. 14 Kedudukan sultan semakin kuat di masyarakat Yogyakarta karena adanya anggapan bahwa sultan dapat berkomunikasi langsung dengan penguasa lautan selatan Nyi Roro Kidul yang juga dipercayai masyarakat sebagai pelindung sultan. Masyarakat percaya bahwa Nyi Roro Kidul akan membantu sultan bila terjadi kesulitan dan akan melindungi keselamatan rakyat. Selain karena adanya anggapan bahwa sultan dapat menjadi perantara dengan Nyi 13 Ibid., hal.22 14 Ibid., hal.26 Universitas Sumatera Utara Roro Kidul, rakyat Yogyakarta sudah menjadikan segala perkataan yang keluar dari bibir sultan merupakan kata-kata sakti yang telah mendapat persetujuan dari pusaka-pusaka kerajaan yang bagi rakyat mengandung nilai magis dan selalu membantu sultan. Perintah dari sultan adalah hukum, tiap keinginannya adalah perintah bagi rakyatnya. 15 Melihat kedudukan sultan yang secara sosial dan kultural sangat penting bagi rakyat Yogyakarta, maka pemerintahan kerajaan pun bersifat otokratis. Berarti dapat dikatakan bahwa sultan adalah sumber segala kekuasaan yang ada. Belanda yang mengetahui hal Selain itu sultan juga identik dengan kepemilikan pusaka-pusaka yang ada disekitarnya. Bahkan ada suatu anggapan yang ada dibenak rakyat Yogyakarta bahwa tanpa adanya pusaka-pusaka disekitar sultan maka sultan tak dapat memperoleh kepercayaan serta kesetiaan yang tinggi dari rakyat karena sultan diangap tidak sanggup memerintah kerajaan. Adapun pusaka-pusaka yang dimaksud seperti tombak, keris, ataupun panji yang dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat membantu sultan di dalam memimpin kerajaan. Pada masyarakat Yogyakarta sendiri memiliki sistem pelapisan sosial atau stratifikasi sosial pada masyarakatnya. Apabila sultan memegang kedudukan yang tertinggi pada stratifikasi maka tepat dibawah sultan adalah kaum bangsawan. Mereka ini biasanya adalah putera-putera sultan dari istri lainnya, kerabat sultan yang biasanya menduduki jabatan pegawai tinggi pemerintahan. Setelah kaum bangsawan maka yang menempati stratifikasi sosial berikutnya adalah kaum priyayi. Kaum priyayi ini biasanya terdiri dari rakyat-rakyat biasa yang diangkat menjadi pegawai-pegawai pemerintahan. Tingkatan terakhir pada stratifikasi sosial adalah mayarakat Yogyakarta itu sendiri. Masyarakat Yogyakarta inilah yang biasanya disebut kelas orang biasa dan biasanya berprofesi sebagai petani, pedagang dan sebagainya. 15 Ibid., hal. 25 Universitas Sumatera Utara tersebut tetap membiarkan keadaan berlangsung seperti biasanya dan memberikan kekuasaan kepada Sultan untuk mengatur sembari mengawas jalannya pemerintahan baik di lingkungan kraton, perkotaan hingga pedesaan. Yogyakarta memiliki penduduk yang mayoritas adalah etnis Jawa. Layaknya etnis lain yang ada di Indonesia, suku Jawa memiliki bahasa dan kebudayaannya sendiri. Yogyakarta yang wilayahnya sebagian besar berada di sekitar Jawa Tengah tentunya menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa. Seperti yang kita ketahui Jawa Tengah adalah “Jantung” kebudayaan Jawa. Suku Jawa memiliki karakteristik kepribadian yang lemah dan lembut serta bertutur sapa yang sopan, tetapi suku Jawa juga terkenal akan sifatnya yang tertutup dan kurang mau berterus terang, hal ini dikarenakan suku Jawa senang menjaga keharmonisan dengan sesama dan tidak mau terlibat pertikaian lisan dengan sesama. Di dalam kehidupan sehari-hari, suku Jawa menggunakan bahasa Jawa di dalam percakapan sehari-hari. Yang menarik dari bahasa Jawa adalah terdapat perbedaan kaidah bahasa halus dan kasarnya atau disebut juga dengan Bahasa Ngoko dan Bahasa Krama. Penggunaan Bahasa Ngoko biasanya banyak digunakan oleh anak-anak kepada teman- temannya. Bahasa Ngoko merupakan bahasa yang memiliki tingkatan paling rendah dan dianggap kasar. Pada umumnya masyarakat Jawa yang tinggal di pedesaan banyak yang menggunakan bahasa ini. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Surakarta juga dikenal sebagai bahasa Krama Desa yang tingkatannya sama dengan Jawa Ngoko dan digunakan oleh masyarakat desa. Sedangkan bahasa Krama merupakan tingkatan bahasa yang lebih halus dan sopan. Penggunaan bahasa Krama lebih dianggap masyarakat sebagai orang yang memiliki kesopanan dan berbudi pekerti. Bahasa Krama biasanya digunakan kepada seseorang yang tidak dikenal, lebih tua atau memiliki derajat dan status sosial yang lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara Dihuni mayoritas etnis Jawa, wilayah Yogyakarta sangat kental dengan tradisinya terutama dengan adanya kraton ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Lingkungan kraton sendiri adalah tempat sultan dan keluarganya tinggal dan memerintah. Sultan adalah jantung dari kraton Yogyakarta. Sultan adalah sumber satu-satunya dari segenap kekuatan dan kekuasaan, dan dialah pemilik segala sesuatu di dalam kerajaan, dan karena itu dia diindentikkan dengan kerajaan. 16 Dinamika permukiman kota Yogyakarta sejak akhir abad ke-19 menampakkan suatu keadaan yang semakin plural karena akibat semakin banyaknya orang-rang asing yang menetap di kota Yogyakarta. Selain orang-orang Belanda yang memang telah ada semenjak abad ke 17, orang-orang Cina dan orang-orang Barat lainnya juga banyak yang menetap di kota ini. Etnis Jawa yang merupakan penduduk asli kota Yogyakarta pun telah berbaur dengan kedatangan etnis-etnis pendatang tersebut. Mereka itu adalah para pejabat pemerintah Belanda, para pengusaha perkebunan, atau pengusaha lainnya. Karena pentingnya peranan kraton Yogyakarta maka sampai sekarang daerah kraton Yogyakarta dijadikan ibukota pemerintahan atau provinsi. Kedudukan kraton yang begitu sakral bagi masyarakat Yogyakarta menjadikan kraton sebagai pusat dan pemerintahan Yogyakarta bahkan sampai sekarang ini. Konsep dan struktur kerajaan ini sudah ada semenjak masa Sultan Agung ketika memerintah Kerajaan Mataram hingga masa Kesultanan Yogyakarta. Begitu pula dengan perkembangan penduduk Yogyakarta itu sendiri. 17 16 Selo Soemadjan, op.cit., hal.28 Selain kedatangan orang- orang asing di kota Yogyakarta, kedatangan orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya juga mulai datang untuk menetap di tempat ini. Seperti yang terjadi dengan penduduk di kota-kota kolonial lainnya, warga kota Yogyakarta pun mengalami stratifikasi sosial yang dibedakan atas tiga golongan penduduk, yaitu Golongan Orang Eropa, golongan Orang Asing 17 http:hitomiee.blogspot.com201103sejarah-kerajaan-jawa.html diakses pada Minggu, 8 April 2013 Pukul 14.00 Wib. Universitas Sumatera Utara Timur dan golongan Orang Bumi Putra. Akibat adanya perjanjian Palihan Nagari tercatat penduduk Kesultanan Yogyakarta pada saat itu berkisar antara 522.300 Jiwa. 18 Apabila kita berada di sebuah pertemuan-pertemuan penting, diskusi, upacara kepahlawanan atau seminar-seminar pendidikan, kita akan melihat seorang tua yang bertubuh mungil, memakai peci hitam dan syal di leher serta tidak lupa membawa termos minum selalu hadir. Orang tua tersebut pembawaanya ramah tamah, penuh semangat, dan sangat berwibawa. Orang tua itu juga selalu duduk di barisan depan bersama orang-orang besar dan penting lainnya. Orang tua tersebut juga sangat disegani oleh para tokoh masyarakat, pemerintah, para pemuda, para pemuka adat dan agama, dan lain-lain. Apabila ada yang belum mengenal orang tua tersebut pasti bertanya-tanya siapa beliau itu? Orang tua yang kita bicarakan inilah yang bernama Ki Sugondo Kartoprojo. Sedangkan pada tahun 1930, penduduk Kesultanan Yogyakarta meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

2.2 Pendidikan Ki Sugondo Kartoprojo