yang ada di Cepu. Setelah mengetahui dengan jelas permasalahan yang ada, barulah Sugondo bertindak. Hanya memerlukan waktu beberapa bulan, Sugondo berhasil menyelesaikan
permasalahan yang ada di Cepu dan Taman Siswa Cabang Cepu kembali maju ditangannya. Permasalahan yang ada di Cepu adalah batu lonjakan pertama bagi kepemimpinan Sugondo.
Ki Hajar Dewantara sendiri menilai Sugondo telah berhasil dengan baik menyelesaikan permasalahan yang ada. Sugondo bertugas di Cepu hanya selama tujuh bulan saja.
3.2 Mengemban Tugas di Kutaraja
Seperti yang kita ketahui, Aceh merupakan daerah yang kental dengan suasana Islaminya, begitu pula dengan pendidikan yang diajarkan kepada rakyatnya. Adapun
pendidikan yang diterima Rakyat Aceh adalah pendidikan tradisional agama dan Al-Quran yang diterima mereka dari para ulama. Pada pendapat Belanda, semua pendidikan dan
pelajaran tradisional yang diberikan kaum ulama kepada anak-anak Aceh hanya menanamkan “rasa benci dan kutukkan terhadap kafir” dan sanggup “terus-menerus menyalahkan isi Al-
Quran”.
32
Sehingga sampai tahun 1938, telah berdiri sekolah-sekolah seperti Holland Inlandse School HIS yang berjumlah delapan sekolah dan memiliki 1500 murid. Tidak hanya itu
pada tahun 1930 juga telah berdiri sekolah menengah pertama MULO di daerah Kutaraja. Bagi rakyat biasa, sejak tahun 1907 telah berdiri Sekolah Desa untuk tiga tahun yang
bertujuan untuk mengajarkan rakyat baca tulis dan huruf latin. Walaupun begitu sekolah Oleh karena itu, pemerintah kolonial merasa dibutuhkannya suatu pendidikan
khusus yang menggantikan sistem pendidikan tradisional kaum ulama tersebut. Kebijakan untuk mengganti sistem pendidikan tradisional ini bukan karena pemerintah kolonial
membutuhkan tenaga terpelajar untuk duduk di kantor-kantor pemerintah tetapi karena adanya keinginan untuk menertibkan rakyat Aceh dan melakukan “pasifikasi” wilayah Aceh.
32
Anthony Reid, op.cit., hal.52
Universitas Sumatera Utara
buatan Belanda ini tetap mendapat hambatan berarti dari rakyat karena mereka beranggapan sekolah-sekolah ini akan mengajarkan mereka menjadi kafir, tetapi sampai tahun 1919
jumlah murid VolksSchool ini telah berjumlah kurang lebih 15.000, walaupun terjadi pemaksaan kepada rakyat untuk mengikuti pelajaran. Apabila anak-anak tidak mau
bersekolah maka orang tua mereka harus menerima hukuman dengan bekerja paksa melakukan perawatan jalan-jalan.
Pada tahun-tahun permulaan dapat dirasakan bagaimana sekolah rakyat tersebut mendapat hambatan tetapi pada tahun 1935 jumlah murid VolksSchool meningkat hingga
33.000 murid bahkan lebih besar daripada jumlah murid di pulau Jawa. Kegairahan bersekolah ini dapat ditandai dengan banyaknya berdirinya sekolah-sekolah tiga tahun ini
disekitar kota-kota dan di pinggir-pinggir jalan raya luar kota.
33
33
Anthony reid, loc.cit., hal 52-53
Tetapi sekolah-sekolah dasar rakyat tersebut belumlah memberi kepuasan bagi rakyat Aceh. Untuk menambah kebutuhan
ini, pihak gubernemen menambah sekolah pendidikan dua tahun yang dikenal dengan nama Sekolah Melayu Lima Tahun bagi anak-anak Aceh yang berasal dari keluarga yang berada.
Pemerintah gubernemen tetap saja tidak memberi kesempatan bagi anak-anak biasa Aceh untuk memperoleh pendidikan Eropa. Harapan anak-anak Aceh untuk memperoleh
pendidikan tersebut justru mereka dapatkan dari sekolah-sekolah partikelir yang berdiri di Aceh. Dua organisasi partikelir pendidikan terbesar di Indonesia pada saat itu adalah
Muhammadiyah dan Taman Siswa yang membuka cabangnya di Aceh. Pada tahun 1932, Perguruan Taman Siswa melebarkan sayapnya dengan membangun
cabang di Kutaraja, Banda Aceh. Maka dibentuklah panitia pendiri Taman Siswa yang terdiri dari pemuka masyarakat setempat beserta hulubalang yang memiliki wawasan luas. Adapun
panitia tersebut terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
• Mr. Teuku Muhammad Arif yang dikenal juga sebagai Pahlawan Nasional • T.M Usman yang merupakan ayah dari penyanyi Hj. Ivo Nilakresna
• T. Hasan Dik • T. Hasan Mesjid Raya
• T. Johan • Cut Hasan
Panitia tersebutlah yang mendirikan cabang Taman Siswa Kutaraja yang terdiri dari: Taman Indria, Taman Muda, dan Taman Dewasa. Adapun tujuan utama perguruan ini adalah
untuk mendidik putra-putri tanah air untuk hidup merdeka lahir batin.
34
R.A Sumarni yang kelak menjadi R.A Sumarni Sugondo Kartoprojo lahir di Magelang, Jawa Timur pada 9 Maret 1912. Sumarni menamatkan pendidikannya di HIS,
MULO dan kemudian melanjutkan di Taman Guru Dewasa Yogyakarta. Pada usianya yang ke 18 tahun, Sumarni menamatkan pendidikannya di Taman Guru, kemudian ia menjadi
Ketika perguruan telah dibangun, muncullah masalah baru yaitu kekurangan tenaga guru Taman Siswa,
sehingga Majelis Luhur Taman Siswa mengirimkan tiga orang guru. Seperti yang diketahui, Aceh merupakan daerah dengan basis Islam yang fanatik. Oleh karena itu, Ki Hajar
Dewantara benar-benar memilih guru yang terbaik untuk menjadi pemimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut, dan pilihan jatuh kepada Ki Sugondo Kartoprojo. Sugondo yang
sebelumnya bertugas di Taman Siswa Cabang Cepu dipanggil pulang dan ditugaskan ke Kutaraja. Dalam memimpin cabang Taman Siswa hendaknya memenuhi sebuah syarat yaitu
telah berumah tangga. Oleh karena itu sebelum berangkat ke Kutaraja, Sugondo terlebih dahulu berumah tangga. Sugondo sendiri ternyata telah memiliki tambatan hati yang telah
dikenal beliau semenjak sekolah di Taman Guru yaitu R.A Sumarni.
34
Ki Suparman, Berjuang Tanpa Pamrih,Tidak ada kota penerbit:Pusara Edisi Juli, 1996, hal.30
Universitas Sumatera Utara
pamong di Taman Muda Yogyakarta. Setelah setahun menjadi pamong di Taman Muda kemudian Sumarni menjadi pamong di Taman Antara Yogyakarta hingga tahun 1932.
Pertengahan tahun, Sumarni dan Sugondo melangsungkan pernikahan mereka. Sugondo melangsungkan pernikahannya pada 23 Juni 1932. Lima hari setelah
pernikahannya, Sugondo beserta istri berangkat melaksanakan tugas ke Kutaraja ditemani Bapak Suwandi dan Bapak Sutikno Padmosoemarto. Bapak Sutikno Padmo soemarto inilah
ketika pembentukkan propinsi Sumatera yang mewakili rakyat Aceh di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera.
35
Pada tanggal 7 Juli 1932, Ki Sugondo Kartoprojo beserta rombongan tiba di Banda Aceh.
Ketiga sekawan inilah yang berangkat dari Yogyakarta untuk merantau dan membangun Taman Siswa di Aceh.
36
Dalam mengelola Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut, Sugondo dan istri dibantu oleh putra-putra Aceh. Salah satunya adalah Bapak Semaun Gaharu. Beban yang dipikul
Sugondo dan istri cukup berat terutama dalam menjalankan Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut, Sugondo dan istri beserta Bapak Suwandi da Bapak Sutikno hanya dibantu oleh tiga
orang guru yang harus mengelola pendidikan Taman Indria Taman Kanak-kanak, Taman Muda SD dan Taman Dewasa SMP. Selain beban berat memimpin sekolah yang harus
dipikul Sugondo dan istri, beliau pun harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan Mereka disambut oleh panitia dengan suka cita. Sugondo dan istri menghabiskan
bulan madunya dengan membangun Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut. Seperti yang diketahui, Taman Siswa Cabang Kutaraja cukup diawasi oleh pemerintah kolonial, hal ini
dikarenakan menganggap Sugondo dengan Taman Siswanya sangat berbahaya bagi politik kolonial terutama karena Taman Siswa memegang peranan dalam menyebarluaskan cita-cita
pendidikan bangsa.
35
Pemerintah Propinsi Tingkat 1, op.cit., hal. 426
36
Ki Drs H. Asuhaimi S, op.cit.,hal.8
Universitas Sumatera Utara
dan masyarakat Aceh yang tentunya berbeda jauh dengan lingkungan dan masyarakat Jawa. Pembukaan Taman Siswa dilaksanakan pada 11 Juli 1932.
Ketika memimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut, Sugondo selalu menerapkan rasa nasionalisme ke murid-muridnya. Hal ini terbukti bagaimana Sugondo
dengan berani menyanyikan lagu Indonesia Raya disetiap kesempatan yang ada. Sudah menjadi kewajiban Sugondo dan istri untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya.
Pertama kalinya masyarakat Aceh mengenal lagu Indonesia Raya, juga lagu “Merah Putih” yang membangkitkan rasa perjuangan, turut diajarkan oleh Ibu Sugondo yang luwes tetapi
juga cukup gigih dalam menyebarluaskan lagu tersebut.
37
Rasa nasionalisme yang dimiliki Sugondo juga terbukti dari peristiwa tanggal 31 Agustus, yang waktu itu merupakan hari besar Kerajaan Belanda. Sugondo pada saat itu
dengan berani tidak menutup Taman Siswa dan tetap menyuruh murid-muridnya belajar seperti biasanya. Tentu saja perbuatan Sugondo tersebut membuat Pemerintah Belanda marah
besar, karena Sugondo menolak merayakan hari besar mereka. Walaupun demikian pemerintah Belanda sendiri tidak berani menutup Taman Siswa, tetapi sebagian besar
muridnya yang tergolong anak militer Belanda ditarik, mereka tidak disekolahkan lagi di Taman Siswa.
Padahal hampir sebagian besar murid-murid Taman Siswa merupakan anak-anak militer Belanda. Sumarni sendiri ketika itu
menjabat sebagai ketua perguruan Taman Muda atau setingkat SD dari kelas I sampai VII.
38
Pemerintah Belanda menyadari bahwa Taman Siswa mengajarkan faham keras dalam menentang penjajahan. Pemerintah Belanda mengeluarkan bukti-bukti bahwa Taman Siswa
berusaha mempengaruhi pemikiran murid-murid dengan mendengarkan lagu “Indonesia Raya’ dan “Merah Putih”. Akibat bukti-bukti yang dikeluarkan tersebut, jumlah murid
37
Ki Suparman, op.cit,.hal.30
38
Ki Suparman, loc.cit.,hal.30
Universitas Sumatera Utara
Taman Siswa Cabang Kutaraja semakin berkurang. Hal ini dikarenakan Pemerintah Belanda memutuskan mengeluarkan siswa-siswa mereka dari sekolah Taman Siswa tersebut. Namun
demikian, Sugondo berhasil memimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut dengan baik. Kurang lebih dua tahun Sugondo memimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja, dan Sugondo
berhasil melahirkan kader-kader perjuang bangsa. Sebut saja Brigjen Purnawiran Samaun Gaharu, Bapak Usman Abdillah yang merupakan salah satu dosen Universitas Padjajaran,
Bapak Suwandi yang merupakan eks anggota DPRD Daerah Istimewa Aceh, Said Abu Bakar yang merupakan saudagar ternama, serta murid-murid lainnya yang tak dapat disebutkan
namanya. Tidak hanya itu prestasi yang Sugondo capai karena selain menjadi Ketua Perguruan Taman Siswa Kutaraja, Sugondo juga menjadi Pembimbing Taman Siswa Seluruh
Aceh.
3.3 Membangun Dunia Pendidikan di Medan