Ki Sugondo Kartoprojo Sebagai Anggota PARINDRA Sumatera Timur

BAB IV KI SUGONDO KARTOPROJO SEBAGAI PEJUANG KEMERDEKAAN

4.1 Ki Sugondo Kartoprojo Sebagai Anggota PARINDRA Sumatera Timur

Setelah berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908, Jiwa Nasionalisme bangsa Indonesia semakin meresap terbukti dari banyaknya organisasi-organisasi yang berdiri setelah Budi Utomo. Namun walau kebangkitan nasionalisme itu mulai terasa di jiwa para pemuda bangsa tetapi semangat kesukuan itu belumlah pudar seutuhnya. Terbukti masih banyaknya organisasi-organisasi pemuda yang berlafazkan suku, agama ataupun etnis yang tumbuh dan berkembang di setiap daerah. Sugondo yang memang dikenal sangat aktif dan pintar di dalam berorganisasi, ketika masih duduk di bangku pelajar Taman Siswa sudah masuk dan aktif di dalam perkumpulan Jong Java Cabang Yogyakarta. Selama periode kepengurusan tahun 1926-1927, Sugondo terpilih sebagai komisaris. Selanjutnya pada periode kepengurusan tahun 1927-1928, Sugondo menjabat sebagai wakil ketua. Selain bergabung ke dalam Jong Java, Sugondo juga bergabung dengan Indonesch Nateonale Padvinders Organisatis Inpo. Pada waktu itu, sebagian anggota dari J.J.P Jong Java Padvinderiy bergabung ke dalam Inpo. Inpo mula- mula dipimpin Mr. Usman Sastroamijoyo sebagai Hopman dan Ki Sukemi sebagai Ketua Pengurus Cabang Inpo. 55 Di dalam organisasi Jong Java inilah Sugondo berkenalan dan bergaul dengan para pemuda-pemuda lainnya yang kelak menjadi orang penting. Sebut saja Yusupandi yang dalam kongres pemuda tahun 1928 menjadi wakil Jong Java, kemudian Suharto yang kelak menjadi dr. Suharto. Beliaulah yang nanti menjadi dokter pribadi Presiden Soekarno, Namun setelah Mr.Usman pindah ke Jakarta, Sugondo yang menggantikan kedudukannya sebagai Inpo. 55 Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, op.cit., hal.428 Universitas Sumatera Utara kemudian Suwito yang kelak dikenal dengan Ir. Suwito Danunegoro yang nanti menjadi salah satu orang penting di Kementerian Pekerjaan Umum. Sugondo dan mereka-mereka inilah yang nantinya juga turut aktif di dalam terlaksananya kongres pemuda tahun 1928 di Jakarta. Kongres pemuda inilah yang melahirkan Sumpah Pemuda yang menumbuhkan semangat nasionalisme para pemuda bangsa. Dengan lahirnya Sumpah Pemuda tersebut maka pada tahun 1930 seluruh organisasi pemuda di Indonesia melebur menjadi satu dengan nama Indonesia Muda. Pada organisasi ini, Sugondo hanya menjabat sebagai anggota biasa dari tahun 1930-1932. Selain bersatunya organisasi pemuda pada kongres pemuda tersebut, organisasi- organisasi kepanduan pun melaksanakan rapat besar yang melahirkan PAPI Persatuan Antara Pandu Indonesia. Semua organisasi kepanduan saat itu seperti Inpo, J.J.P, S.I Afdeling Pandvinderiy Jong Islamicten Bond Padvindersy, Hisbulwathan Padvindersy dan lain-lain sering mengadakan upacara-upacara umum bersama-sama. Pada akhir tahun 1930, J.J.P yang berganti nama menjadi Pandu Kebangsaan PK dalam suatu jambore bersama dengan Inpo kemudia membubarkan diri dan bergabung ke dalam satu organisasi kepanduan dengan nama Kepanduan Bangsa Indonesia KBI. Kelahiran KBI pada waktu itu tepat dengan meletusnya gunung Merapi, sehingga kegiatan KBI untuk pertama kali adalah menghimpun dana, pakaian, obat-obatan untuk para korban yang membutuhkannya, dan untuk penghimpunan bantuan tersebut, Sugondo diberi kehormatan sebagai pemimpin umum Yogyakarta. “Pada jambore kelahiran KBI, saya sebagai pemimpin perkemahan agak kalang kabut, karena Jambore itu maksud semula akan dilaksanakan di Kaliurang, tetapi setelah segala keperluan telah disediakan dan sebagian telah disiapkan terdengarlah letusan- letusan dan terasa adanya gempa. Gunung merapi mulai menggoyang bumi dan abupun mulai disemburkan dan terjadilah hujan abu dikelilingi merapi. Tempat jambore harus Universitas Sumatera Utara dengan secepatnya dipindahkan. Dengan dapat keizinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, jambore diadakan di daerah keliling Pesanggrahan Sri Sultan di Ambor Winangun sebagai tempat kelahiran KBI, sedang rapat-rapatnya diizinkan untuk diadakan di dalam gedung pasanggrahan. 56 Kemudian terjadi perkembangan organisasi politik yang pesat di Indonesia dan hal ini juga dirasakan di kota Medan. Kota Medan yang memiliki sifat “Nasionalisme” yang sangat tinggi menjadikannya tempat tumbuhnya banyak partai politik dan organisasi pergerakan pada saat itu. Dalam beberapa hal, pada tahun 1930-an Medan adalah kota yang paling bersifat “Indonesia” di Indonesia. Akhirnya jambore di Yogyakarta yang juga merupakan hari kelahiran KBI dan bertepatan juga dengan hari lahirnya Indonesia Muda di Surakarta, KBI Yogyakarta pun maju amat pesat dengan jumlah pandu lebih dari 1000 orang dengan empat lapangan latihan yang masing-masing dipimpin seorang kepala kelompok yaitu Sarwono, Suharjo, Sunarto dan Supono. Sugondo sendiri terpilih sebagai ketua umum dengan panggilan Pak Tor. Sesudah merasa cukup dengan organsisasi kepemudaan, Sugondo mulai turut aktif di dalam politik praktis. Sebagai batu lonjatan, Sugondo memilih bergabung di PNI Cabang Yogyakarta, tetapi Sugondo tidak lama bergabung dengan organisasi tersebut, Sugondo memutuskan untuk keluar karena dipindah tugaskan untuk memimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja. Selama di Kutaraja, Sugondo tidak bergabung dengan organisasi manapun. Sugondo memilih untuk mencurahkan seluruh pikiran, tenaga dan perhatiannya demi kemajuan dan perkembangan Taman Siswa Cabang Kutaraja. 57 56 Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, loc.cit., hal.428 57 Anthony Reid, op.cit., hal.109 Bisa dilihat bagaimana kota Medan pada saat itu memiliki perusahan penerbitan yang berbahasa Indonesia terbesar kedua setelah kota Batavia dan mampu membiayai para wartawannya pada saat itu. Terhitung banyaknya surat kabar seperti Pewarta Deli yang merupakan surat kabar yang paling berpengaruh dan dipimpin oleh Universitas Sumatera Utara Djamaluddin Adinegoro yang pada saat itu juga menjabat sebagai pekerja Gemeenteraad Dewan Kota terakhir di Medan. Selain Pewarta Deli, Kota Medan juga memiliki surat kabar Sinar Deli yang berhaluan Nasionalis-Radikal dan juga Pelita Andalas yang berhaluan propemerintah serta beberapa majalah yang berlafaskan Islam yang popular di Indonesia saat itu. Melihat pesatnya kemajuan pers saat itu membuat kaum nasionalis merasa dengan adanya partai politik dan organisasi pergerakan dapat merangsang pertumbuhan nasionalisme di jiwa rakyat semakin kuat, tetapi perbedaan kepentingan membuat gerakan-gerakan yang tumbuh pun memiliki perbedaan visi dan misi sehingga Sumatera Timur, khusunya kota Medan menjadi salah satu basis terbesar tumbuhnya partai-partai politik pada saat itu. Kegairahan Sugondo untuk kembali bergabung di dalam partai politik disalurkannya dengan menjadi anggota Partai Pendiidkan Nasional Indonesia sampai tahun 1935. Setelah Pendidikan Nasional tak dapat bergerak diakibatkan Bung Hatta dan Bung Sahrir dibuang, Sugondo memutuskan untuk bergabung di PARINDRA. Pada paruh kedua tahun 1935, terjadi perubahan politik di wilayah Asia-Pasifik hal ini dikarenakan Jepang mulai tertarik terhadap wilayah Tenggara Asia. Sebaliknya, di Indonesia, gerakan politis yang bersifat non-kooperatif terhadap Belanda yang selama ini memimpin gerakan kebangsaan dipaksa dibungkam pada saat itu. 58 Parindra merupakan gabungan dari dua organisasi politik saat itu yaitu Budi Utomo yang berdiri pada 1908 dan merupakan tonggak pergerakan nasional bangsa Indonesia serta Namun untuk menjaga “stabilitas” yang diberikan pemerintah Kolonial Belanda maka pada Desember 1935 berdirilah Partai Indonesia Raya Parindra yang berhaluan kooperatif moderat. 58 Nurhamidah, Medan Pada Masa Gemeentee,Skripsi Tidak Diterbitkan, Medan: Tidak ada Tahun Terbit Universitas Sumatera Utara Partai Bangsa Indonesia yang berdiri pada 1930. Adapun yang terpilih sebagai ketua Parindra pusat adalah Dr. Sutomo 59 Menjelang tahun 1940, terjadi perubahan sikap partai-partai politik Indonesia termasuk Parindra, di mana Partai-partai politik pada saat itu memandang perang yang terjadi dan yang menjadi wakil ketuanya adalah K.R.M.H Urjaningrat. Ketika Sugondo dipindahkan untuk menyelesaikan permasalahan di Taman Siswa Cabang Medan, Sugondo kembali lagi bergabung dalam politik praktis dan memutuskan untuk bergabung dengan Parindra. Parindra Cabang Sumatera Timur pada saat itu dipimpin oleh Moh. Husni Thamrin. Adapun tokoh-tokoh Parindra Sumatera Timur antara lain adalah Sultan Nur Alamsyah, SM Tarigan, Luat Siregar, Sugondo Kartoprojo, Dr. Pirngadi. Di dalam pergerakkanya, Parindra bersikap kooperatif. Hal ini tercermin dari sikap Parindra yang menempatkan angotanya sebagai anggota Dewan Kotapraja Medan. Selama di Parindra, Sugondo menjabat sebagai komisaris partai. Pada saat yang bersamaan, Sugondo juga memimpin Kepanduan Surya Wirawan untuk para pemuda yang berusia 18 tahun ke atas. Di samping memimpin Kepanduan Surya Wirawan, Sugondo juga turut aktif sebagai pengurus di Kepanduan Bangsa Indonesia KBI. Baik Pandu Wirawan dan KBI di dalam melakukan latihan kepemudaan selalu dilaksanakan di Gedung Taman Siswa. Dari kedua organisasi inilah lahir nama-nama seperti: Djamin Ginting, Supomo Sh, Prof Daoed Yoesoef, S Lin Irawadi dan lain-lain. Pada tahun 1935, di hadapan para pamong Taman Siswa Cabang Sipirok Tapanuli Selatan, Sugondo berbicara mengenai kemajuan Taman Siswa, namun Sugondo dituduh berbicara politik. Oleh karena itu setibanya di Medan, Sugondo dipanggil PID Politicke Inlichtingen Dienst dan diputuskan bahwa Sugondo dilarang datang lagi ke Tapanuli mulai tahun 1935. 59 Ken’Ichi Goto,Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia,Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,1998, hal.5 Universitas Sumatera Utara di Eropa dan dalam hal ini Perang Dunia II, sebagai suatu momen yang harus dimanfaatkan. Untuk itu, pergerakan nasional bangsa kita pada saat itu lebih kearah moderat kooperatif. Sehingga Gerino, Partai Serikat Islam Indonesia PSII, Partai Khatolik se-Indonesia, Parindra bergabung dan membentuk GAPI Gabungan Politik Indonesia. Di mana tujuan dari GAPI ini adalah menuntut Indonesia berparlemen yang dipilih secara demokrasi serta bertanggung jawab kepada semua rakyat Indonesia. Waktu muncul gerakan Indonesia berparlemen, Sugondo duduk sebagai Wakil Ketua II di Medan. Untuk menyikapi keinginan GAPI dengan tuntutan Indonesia Berparlemennya maka diadakanlah rapat umum di Medan yang diketuai Ilyas Sutan Pangeran dengan para pembicara yaitu: Pembicara pertama adalah Dr. Pirngadi Pembicara kedua adalah Sugondo Kartoprojo Pembicara ketiga adalah Saudara Thamrin 60 Seperti yang telah tertera pada bagian sebelumnya, bahwa di dalam perjalanannya Parindra bersikap kooperatif terhadap pemerintah Kolonial. Hal ini tercermin dari keikutertaan anggota Parindra sebagai anggota Dewan Kotapraja Gemeenteraad Medan. Pada awalnya rapat umum tersebut tidak mendapat halangan apapun tetapi ketika Thamrin hendak maju dan ingin berbicara, tiba-tiba saja rapat dibubarkan padahal Thamrin belum menyinggung apapun tentang parlemen. Pembubaran rapat umum itu menandakan ketakutan pemerintah kolonial melihat hasil yang mungkin terjadi dari rapat umum tersebut. 61 60 Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, op.cit., hal.430 61 Wawancara: Moh.TWH pada 1 Juli 2013 Universitas Sumatera Utara Seperti yang kita ketahui gemeente Medan dibentuk berdasarkan Decentralisatiewet 1903 stbl. No. 329 dan dipimpin oleh seorang Ketua Gemeenteraad. E.G.Th. Maeir yang menjabat sebagai asisten residen Deli Serdang pada waktu itu dijadikan sebagai Ketua Gemeenteraad Medan secara resmi pada 1 April 1909. Maka sejak tanggal 1 April 1909 inilah Medan resmi menjadi Gemeente sesuai menurut besluit pembentukkannya yang dikeluarkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1909, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B Van Heutz. 62

4.3 Peranan Ki Sugondo Kartoprojo Sebagai Anggota BOMPA