dipajankan kedua kalinya maka akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan Baratawidjaja dan Rengganis, 2010.
Sistem kekebalan tubuh menghadapi berbagai tantangan untuk menghasilkan tanggapan pelindung efektif terhadap infeksi patogen. Respon imun
adaptive spesifik dibagi ke dalam tiga fase yaitu pengenalan antigen, aktivasi limfosit, dan fase efektor. Pertama, sistem harus mampu merespon sejumlah kecil
antigen yang berbeda yang dapat diperkenalkan pada setiap jaringan dalam tubuh. Pengenalan antigen diikuti dengan dua respon imun spesifik yang utama yaitu
imunotas humoral dan seluler. Sel T bertanggung jawab terhadap imunitas seluler, sedangkan sel B bertanggung jawab terhadap imunitas humoral Putri, 2012.
Kedua, limfosit akan teraktivasi dan mengenali serta menanggapi antigen yang masuk. Ketiga, mekanisme efektor sistem kekebalan tubuh antibodi dan sel T
efektor akan menemukan dan menghancurkan antigen di lokasi yang jauh dari tempat infeksi awal. Sel limfosit T memiliki spesifikasi terhadap antigen. Sel ini
mengenali peptida dari protein asing yang berikatan dengan protein inang yang disebut molekul MHC kemudian diekspresikan pada permukaannya. Sel T
mengenali dan memberikan respon terhadap sel permukaan dan bukan antigen yg terlarut Abbas, Litchman, dan Pillai, 2010.
Sel T diklasifikasikan menjadi sel CD
4
dan CD
8
. CD
4
akan mengenali antigen spesifik dan berasosiasi dengan molekul MHC kelas II, CD
8
mengenali antigen yang bergabung dengan molekul MHC kelas I. Berdasarkan sitokin yang diproduksinya, sel CD
4
terbagi menjadi dua subset fungsional yaitu Th
2
yg membantu sel B dalam memproduksi antibodi
dan sel Th
1
yang berperan dalam respon inflamasi terhadap benda asing Putri,
2012. Sistem imum spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular
Baratawidjaja dan Rengganis, 2010. a.
Sistem imun spesifik humoral Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limposit B
atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang Baratawidjaja dan Rengganis, 2010.
Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi.
Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan
toksinnya Baratawidjaja dan Rengganis, 2010. b.
Sistem imun spesifik selular Pemeran utamanya adalah limfosit T atau sel T. Sel ini juga berasal dari
sel yang sama seperti sel B. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah pertahanan terhadap bakteri yang intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan.
Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD
4+
Th
1
, Th
2
, CD
8+
atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau TH
3
. Sel CD
4+
mengaktifkan sel Th
1
yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD
8+
memusnahkan sel terinfeksi Baratawidjaja dan Rengganis, 2010.
C. Hipersensitivitas Tipe Lambat
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, biasanya berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi
atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh, berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersentitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan
reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya Baratawidjaja dan Rengganis, 2010.
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gel 1963 dibagi dalam empat tipe reaksi dan hipersensitivitas tipe lambat atau Delayed-
Type HypersensitivityDTH termasuk hipersensitivitas tipe IV Baratawidjaja dan Rengganis, 2010. Reaksi tipe IV berbeda dengan ketiga reaksi lainnya karena
reaksi ini tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel dari limfosit T Kresno, 2010. Dalam mekanisme yang diaktivasi sel T, respon DTH termasuk
hipersensitivitas tipe IV A karena CD
4+
sel T merespon antigen yang masuk dengan menghasilkan sitokin yang dapat menstimulasi terjadinya inflamasi dan
mengaktifkan fagositosis, yang menyebabkan kerusakan jaringan Abbas, Litchman, dan Pillai, 2010.
Gambar 2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III, dan IV menurut Gell dan Coombs Baratawidjaja dan Rengganis, 2010
Reaksi khas DTH mempunyai dua fase yang dapat dibedakan yaitu fase sensitasi dan fase efektor. Pada fase sensitasi sel T diaktifkan oleh APC Antigen-
Presenting Cell melalui MHC-II dan membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Berbagai APC seperti sel Langerhans dan makrofag akan
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid untuk dipresentasikan ke sel T. Sel T yang aktif, umumnya CD
4+
terutama Th1. Pajanan berulang dengan antigen ini dapat menginduksi sel efektor. Pada fase efektor, sel Th
1
melepas berbagai sitokin IFN- γ dan TNF yang mengerahkan dan mengaktifkan
makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat infeksi. Fungsi dari produk-produk tersebut adalah sebagai mediator inflamasi Baratawidjaja dan Rengganis, 2010.
Reaksi DTH dapat terjadi sebagai kerusakan tambahan selama proses dari respon perlindungan sel Th
1
terhadap benda asing dapat dideteksi sekitar 18 jam setelah
injeksi antigen dan maksimal pada 24 sampai 48 jam Abbas, Lichtman, and Pillai, 2010.
D. Inflamasi
Reaksi radang atau inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap infeksi, antigen lain atau kerusakan jaringan Wahab dan Julia, 2002.
Reaksi inflamasi termasuk dalam karakteristik reaksi DTH. TNF dan IL- 1 yang merupakan sitokin dari sel Th
1
yang biasanya berperan pada peristiwa ini Murphy et aL., 2008; Abbas, Litchman, dan Pillai, 2010; Baratawidjaja dan
Rengganis, 2010. Pada inflamasi terjadi peningkatan aliran darah karena vasodilatasi di tempat terjadinya infeksi atau kerusakan jaringan sehingga
pembuluh kapiler menjadi permeabel dan membuat cairan dapat keluar dari pembuluh kapiler ke jaringan dan bergerak ke tepat sasaran akibat khemotaksis
tadi. Akibat proses di atas maka gambaran klinis dari inflamasi adalah: kemerahan rubor, panas kalor, pembengkakan tumor dan rasa sakit dolor Kresno,
2010 dan functio laesa kehilangan fungsi Pratiwi, 2011. Setelah terjadi cedera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan peningkatan volume darah di
jaringan tempat terkena sehingga menimbulkan perdarahan. Permeabilitas vaskular yang meningkat menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah yang
menimbulkan edema Baratawidjaja dan Rengganis, 2010. Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan pejamu terhadap
mikroorganisme yang masuk tubuh serta penyembuhan luka yang membutuhkan komponen selular untuk membersihkan debris lokasi cedera serta meningkatkan