Penyiapan Antigen Pengaruh pemberian madu klengkeng (Nephelium longata L). terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat pada tikus putih jantan galur wistar
sel-sel memori yang terbentuk akan semakin banyak dan semakin cepat menimbulkan respon imun yang tepat.
Dalam penelitian ini, induksi SDMD 1 dilakukan sebanyak dua kali dengan tujuan menurut Hia 2007, induksi pertama akan menghasilkan respon
imun primer yang bertujuan untuk mengenalkan antigen dan mampu membentuk sel memori yang dapat hidup lama yang berfungsi untuk mengingat antigen ketika
antigen yang sama dipaparkan kedua kalinya. Induksi antigen I secara peritoneal yang diberikan pada hari ke-0 dan
menurut penelitian dilakukan Zurmiati 2008, pengenalan antigen dilakukan pada hari pertama bertujuan agar proses pengenalan antigen oleh sel T lebih cepat dan
membentuk sel memori untuk mengingat antigen yang sama ketika dipajankan untuk kedua kalinya. Diinduksi dengan metode penyuntikan secara peritoneal
dikarenakan metode ini paling sering dipakai dan rongga peritoneal yang relatif besar sehingga volume antigen yang diinjeksikan dapat lebih banyak dibanding
teknik lainnya. Jika disuntikkan secara intravena dikhawatirkan akan menyumbat pembuluh darah dan jika disuntikkan secara intramuskular dikhawatirkan dapat
menimbulkan kerusakan lokal jaringan atau otot karena otot yang relatif lebih kecil areanya. Fase ini disebut fase sensitasi, dimana sel T diaktifkan oleh APC
Antigen-Presenting Cell melalui MHC-II dan kemudian mengaktfikan CD
4+
terutama Th1. Th1 kadangkala dikenal sebagai limfosit peradangan Subowo, 2009. Membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen dan
pajanan berulang dengan antigen yang sama dapat menginduksi fase efektor.
Pada fase efektor, pemberian antigen kedua atau induksi kedua akan menghasilkan respon sekunder yang akan mengaktifkan sel-sel memori pada
respon imun primer sebelumnya sehingga menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan lebih spesifik. Induksi antigen II diberikan pada hari ke-8 secara
subkutan di kaki kiri tikus dengan tujuan mempercepat respon DTH pada lokasi pengukuran bengkak telapak kaki tikus dan hari ke-8 dianggap tepat untuk
diinduksi antigen kedua, karena pada fase efekctor, sel Th1 melepas berbagai sitokin dan sel-sel imun yang berperan dalam respon DTH dikerahkan menuju
lokasi yang telah diinduksi. Sebelum disuntik antigen II, kaki kiri tikus diukur dengan jangka sorong
digital sebagai data pre-DTH. setelah disuntik antigen II dan gejalanya baru tampak sesudah 24 jam, maka diukur lagi sebagai data post-DTH. Tujuan adanya
data pre-DTH adalah berguna sebagai kontrol seberapa besar pembentukan sel memori dalam pengenalan antigen I dan dibandingkan dengan data post-DTH
setelah penyuntikan antigen II yang dapat menimbulkan respon imun lebih cepat dengan membuat bengkak di telapak kaki kiri tikus yang pada penelitian ini
merupakan gambaran klinis dari inflamasi yang diukur akibat sel memori sebelumnya yang menjadi aktif. Selisih antara data pre dan post ini lah yang
digunakan dalam pengukuran respon DTH yang nantinya akan menunjukkan seberapa besar respon DTH yang terjadi. Bila ada antigen agen infeksi yang
masuk, maka akan melakukan invasi disertai proses inflamasi pada tempat infeksi Basuki, 2005. Reaksi inflamasi termasuk dalam karakteristik reaksi DTH.
Semakin bengkak kaki tikus, semakin meningkat respon DTH yang terjadi dan