Tahap Orientasi Dosis Madu Kelengkeng
                                                                                Pada fase efektor, pemberian antigen kedua  atau  induksi kedua akan menghasilkan respon sekunder  yang akan mengaktifkan sel-sel memori pada
respon imun primer sebelumnya sehingga menghasilkan  respon imun yang lebih cepat  dan lebih spesifik.  Induksi  antigen II diberikan pada hari ke-8 secara
subkutan di kaki kiri tikus dengan tujuan mempercepat respon DTH pada lokasi pengukuran bengkak telapak  kaki tikus dan hari ke-8 dianggap tepat untuk
diinduksi antigen kedua, karena pada fase efekctor, sel Th1 melepas berbagai sitokin  dan  sel-sel imun yang berperan dalam respon DTH dikerahkan menuju
lokasi yang telah diinduksi. Sebelum disuntik antigen II, kaki kiri tikus diukur dengan jangka sorong
digital  sebagai data pre-DTH. setelah disuntik antigen II dan gejalanya baru tampak sesudah 24 jam, maka diukur lagi sebagai data post-DTH. Tujuan adanya
data  pre-DTH adalah berguna sebagai kontrol seberapa besar pembentukan sel memori dalam pengenalan antigen I dan dibandingkan dengan data post-DTH
setelah penyuntikan antigen II yang dapat menimbulkan respon imun lebih cepat dengan membuat bengkak di telapak  kaki kiri tikus yang pada penelitian ini
merupakan  gambaran klinis dari inflamasi yang diukur akibat sel memori sebelumnya yang menjadi aktif. Selisih antara data  pre  dan  post  ini lah yang
digunakan dalam pengukuran respon DTH yang nantinya akan menunjukkan seberapa besar respon DTH yang terjadi.  Bila  ada antigen  agen infeksi  yang
masuk, maka akan melakukan invasi disertai proses inflamasi pada tempat infeksi Basuki, 2005.  Reaksi inflamasi termasuk dalam karakteristik reaksi DTH.
Semakin bengkak kaki tikus, semakin meningkat respon DTH yang terjadi dan
respon  DTH dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengukur terjadinya respon imun seluler.
Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov  data aktivitas selisih peningkatan bengkak kaki kiri tikus  sebagai respon DTH menunjukkan bahwa
data terdistribusi normal dengan nilai signifikan p= 0,58 p0,05 dan dilanjutkan dengan hasil Levene test menunjukkan varian data yang homogen dengan nilai
p= 0,25 p0,05 Lampiran 8.
Tabel I. Rata-rata±SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak  Kaki sebagai Respon DTH pada Tahap Orientasi
Kelompok N
Rata-rata ± SD p
Kontrol negatif 3
0,84±0,63 Perlakuan I
3 0,84±0,84
0,35
BTB
Perlakuan II 3
1,52±0,52 Perlakuan III
3 1,06±0,55
Ket. Kontrol negatif  : tanpa perlakuan Perlakuan I
: madu kelengkeng dosis 0,60 mL200 g BB Perlakuan II
: madu kelengkeng dosis 1,20 mL200 g BB Perlaukan III
: madu kelengkeng dosis 2,30 mL 200 g BB BTB  : berbeda tidak bermakna
Gambar 3. Grafik Rata-rata±SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak Kaki sebagai Respon DTH pada Tahap Orientasi
Ket. Kontrol negatif  : tanpa perlakuan Perlakuan I
: madu kelengkeng dosis 0,60 mL200 g BB Perlakuan II
: madu kelengkeng dosis 1,20 mL200 g BB Perlaukan III
: madu kelengkeng dosis 2,30 mL 200 g BB
Hasil pengujian statisik menggunakan one way  ANOVA Tabel 1 menunjukkan  perbedaan  tidak  bermakna p=0,35 p0,05 antara kelompok
perlakuan madu kelengkeng dengan kelompok kontrol negatif. Dilihat pada tabel I dan gambar 3, dosis pemberian madu kelengkeng  1,20 mL200  g BB
menunjukkan peningkatan, yang berarti  pada pemberian madu kelengkeng dosis tersebut sudah  bisa meningkatkan  respon DTH walaupun  pada kelompok
perlakuan I madu kelengkeng dosis 0,60 mL200 g BB dan perlakuan III madu kelengkeng dosis 2,30 mL 200 g BB menunjukkan penurunan nilai rata-rata
dibandingkan kelompok kontrol negatif, namun hasil dari tahap orientasi ini bisa mendasari untuk dilakukan ke tahap percobaan.
0.5 1
1.5 2
2.5
Kontrol Negatif Perlakuan I
Perlakuan II Perlakuan III
Ra ta
-ra ta
± SD
Kelompok
Pertimbangan tetap melanjutkan ke tahap percobaan dengan
mempertahankan dosis pemberian madu kelengkeng  yang sudah diteliti di tahap orientasi dikarenakan beberapa hal, yaitu 1 pemberian madu kelengkeng dosis III
2,30 mL 200 gBB menunjukkan penurunan nilai rata-rata Tabel I yang berarti terjadi penurunan respon DTH dan apabila dosis pemberian madu kelengkeng
ditingkatkan  dimungkinkan  akan semakin menurunkan respon DTH, selain itu bila dinaikkan dosisnya satu  kali lagi menjadi 4,60 mL200 g BB maka akan
mencapai volume maksimum pemberian oral pada tikus, yaitu 5,00 mL  dan membuat larutan madu kelengkeng akan semakin susah dikeluarkan melalui squit
serta  ditakutkan bisa memicu terjadinya stres dan kematian di hewan uji; 2 pemberian madu kelengkeng dosis I 0,60 mL200  g  BB menunjukkan nilai rata-
rata  yang sama dengan nilai rata-rata  kontrol negatif  Tabel I  yang berarti pada dosis I belum bisa memicu terjadinya  peningkatan  respon DTH yang signifikan
dan  apabila dosis diturunkan, dikhawatirkan  akan semakin tidak menunjukkan hasil peningkatan respon DTH.
                