Analisis penerapan fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VII/2004 tentang ta'widh pada pembiayaan murabahah di PT Bank Syariah Bukopin

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

oleh: Muis Hidayat NIM: 105046101687

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syari’ah (S.E.Sy) Oleh :

Muis Hidayat NIM: 105046101687

Di bawah bimbingan:

Pembimbing

Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. NIP : 19601171985051001

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1431 H/2010 M i


(3)

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Juni 2010, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syari’ah pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).

Jakarta, 21 Juni 2010 Dekan,

Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 19550505 198203 1 012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : D r . E u i s A m a l i a , M A . (………)

NIP. 19710701 199803 2 002

Sekretaris : H. Ah.Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. (....………) NIP. 19740725 200112 1 001

Pembimbing : Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. (...……….) NIP. 19601107198505 1 001

Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. (………)

NIP. 195703121985031 003

Penguji II : H. Ah.Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. (...……….) NIP. 19740725 200112 1 001


(4)

Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan konsep ta’widh yang telah dikeluarkan oleh DSN MUI melalui fatwa DSNMUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 dan Mengetahui penerapan dan aplikasi ta’widh pada pembiayaan murabahah dan cara penyelesaiannya di PT Bank Syariah Bukopin.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan memadukan antara penelitian lapangan (field research) yakni dengan wawancara secara langsung kepada pihak DSN-MUI dan PT Bank Syariah Bukopin yang memiliki kepentingan terhadap penulisan skripsi ini dan penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mengambil bahan-bahan pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah ta’widh.

Hasil penelitian ini Ta’widh merupakan sebagai bentuk proses ganti rugi yang telah dikeluarkan oleh salah satu pihak yang merasa kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan atas dasar kemaslahatan dan biaya – biaya ril yang dikeluarkan oleh bank syariah karena terjadinya proses perpanjangan dalam pembiayaan murabahah akibat dari penundaan pelunasan oleh nasabah debitur.

Berbeda dengan ta’zir sebagai denda yang masuk dananya ke dalam pendapatan non halal atau dana kebajikan. Sedangkan ta’widh merupakan dana ril yang telah dikeluarkan pihak bank syariah, sehingga dana ganti rugi yang didapat masuk ke dalam pendapatan bank syariah dalam perhitungannya. Hal ini dilakukan agar menjaga kinerja dan kolektibilitas bank syariah.

Kata kunci: Ta’widh, Ta’zir, kolektibilitas, ganti rugi


(5)

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 20 Juni 2010

Muis Hidayat


(6)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

kemudahan yang diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw.

Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bimbingan

dan saran dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati

penulis persembahkan untaian terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Ayah dan Ibu penulis yang telah membesarkan dan merawat sejak kecil hingga

dewasa dan memberikan kesempatan agar dapat melanjutkan kuliah hingga

lulus saat ini, jasa kalian tak akan pernah terbilang oleh kata-kata. Hadiah ini ku

persembahkan kepada orang tua yang tercinta.

2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ibu Dr. Euis Amalia, M,Ag. selaku Ketua Program Studi Perbankan Syariah

dan Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. selaku Sekretaris Program


(7)

4. Bapak Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi

yang selalu memberikan arahan, saran serta motivasi selama penulisan skripsi

ini.

5. Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengetahuan

dan bantuannya kepada penulis.

6. Bapak Kanny Hidayat dari DSN-MUI dan bapak Noor Cholis dari PT Bank

Syariah Bukopin yang telah memberikan kesempatan waktunya kepada penulis

untuk dapat diwawancarai, sehingga penulisan ini dapat selesai dengan baik.

7. Kepada teman-teman Gontor 2003 Zagreenada De Nature, dan teman – teman kelas PSD 05 (Matroji, Rizki, Beni, Irul, olied, Muhajir, Irfan, dll) semoga

sukses selalu.

8. Kepada teman – teman kantor di PP MES (Iqbal, Farizal,Dedi, Yuni n’ Janu)

yang telah memotivasi agar dapat buru-buru menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada teman – teman LDK (Reza, Iqbal, Rudi, Anwar, Fathim, Bibah, Ari,

Husnul, Rani, Rini,dll ) yang selalu menanyakan kapan nih akh? Tar kebalap dengan kami loh...syukron atas doa dan ”pecutan”semangatnya.


(8)

11. Dan kepada teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan disini, tanpa

mengurangi kontribusi kalian terhadap penulis yang begitu besar.

Semoga amal dan jasa baik yang telah diberikan kepada penulis dapat

diterima oleh Swt dengan pahala yang melimpah. Besar harapan penulis bahwa

skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi banyak pihak.

Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam peulisan skripsi ini, sehingga

penulis berharap peneliti-peneliti selanjutnya dapat melakukan perbaikan.

Penulis,

MUIS HIDAYAT


(9)

ABSTRAK ………. iii

LEMBAR PERNYATAAN ………. iv

KATA PENGANTAR ……….. v

DAFTAR ISI ……… viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….... 8

D. Kajian Pustaka ………. 9

E. Kerangka Teori dan Konsep ……… 12

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ………... 16

G. Sistematika Penulisan……….. 18

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KONSEP MURABAHAH DAN TA’WIDH A. Pengertian Murabahah 1. Definisi Murabahah ……….. 20

2. Rukun dan Syarat Murabahah ………. 19

3. Landasan Hukum Murabahah ……….. 24

4. Jenis-jenis Murabahah ………. 27


(10)

1. Definisi Ta’widh ……… 30

2. Dasar Hukum Ta’widh ………. 33

3. Ketentuan Umum dan Khusus Ta’widh ………. 35

4. Pendapat Para Ulama Mengenai Ta’widh ………. 37

C. Perbedaan antara ta’widh dan denda (ta’zir) ……….…………... 40

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PT BANK SYARIAH BUKOPIN A. Sejarah Singkat Bank Syari’ah ……….. 41

B. Falsafah, Visi dan Misi Perusahaan ………... 42

C. Struktur Organisasi ……… 43

D. Produk-Produk Bank Syari’ah ………. 44

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Konsep ta’widh pada fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004 ………...48

B. Penerapan ta’widh pada Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah ...51

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….63

B. Saran ………65

DAFTAR PUSTAKA ………. 66 LAMPIRAN


(11)

(12)

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi syariah cukup pesat dan besar, banyak bermunculan lembaga keuangan syariah yang baru menambah kemampuan ekonomi berbasis syariah menjadi pilihan utama atas permasalahan ekonomi yang dihadapi saat ini. Islam membawa suatu sistem ekonomi syariah yang diperuntukkan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan serta jauh dari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain, baik itu untuk muslim sendiri atau pun non-muslim. Kesempurnaan ajaran Islam yang membawa rahmatan lil’alamin kepada seluruh makhluk di muka bumi ini.

Khususnya perkembangan perbankan syariah saat ini cukup luar biasa, walaupun tidak mencapai target yang diinginkan. Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dengan piranti bunga dan perbankan syariah dengan piranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah1. Ini menunjukkan bahwa legalitas dan dukungan pemerintah terhadap

1

Ahmad Kamil dan M. Fuazan, “Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah”,( Jakarta: Kencana, 2007) cet. 1, h. I


(13)

perbankan syariah menjadi kekuatan tersendiri akan pertumbuhannya dari masa ke masa nantinya.

Berdasar data publikasi BI per September 2009, industri perbankan syariah mencatat aset Rp 58 triliun, meningkat 29 persen dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 45,8 triliun. Pada akhir 2008, aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp 49,5 triliun. Di sisi pembiayaan per September 2009 sebanyak Rp 44,5 triliun dan DPK Rp 45,3 triliun. Jumlah tersebut meningkat dari akhir 2008 dimana pembiayaan sebesar Rp 38,1 triliun dan DPK Rp 36,8 triliun. Sementara itu ekuivalen tingkat bagi hasil bank syariah untuk tabungan naik dari 3,02 persen di Agustus menjadi 3,06 persen pada September 2009 dan untuk deposito bagi hasil antara 6,78 persen dan 8,42 persen di kuartal III. Per September, pembiayaan dengan akad mudharabah memiliki tingkat bagi hasil 19,33 persen, musyarakah 11,04 persen dan murabahah 15,78 persen.2

Seiring dengan perkembangan sejarah kehidupan manusia, tentu akan dibarengi juga dengan perubahan aktivitas manusia yang selalu berubah-ubah. Dalam sistem ekonomi memiliki tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan. Sistem Ekonomi Islam lebih komprehensif dan utuh didasarkan pada pandangan–pandangan yang

2

http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/174/kat/17 , BI Rate Pacu Kinerja Bank Syariah


(14)

benar terhadap hakekat manusia. Sistem – sistem yang ada memiliki filosofi yang berbeda-beda tentang manusia sekalipun berasal dari yang sama yaitu materialisme3. Hal tersebut bisa terjadi karena perubahan struktur dan kondisi alam atau perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Perubahan aktivitas manusia tersebut tidak terlepas dari ancaman risiko. Segala macam risiko yang berasal dari musibah dan bencana alam merupakan qadha dan qadhar dari Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat al Luqman (31) Ayat 34 :

...

)

نﺎ

: 34 (

“… dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan esok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS. Luqman[31] : 34)

Dari ayat di atas kita dapat mengambil hikmah bahwa dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian, manusia tidak dapat mengelak dari kehendak Allah SWT, tetapi manusia wajib untuk berikhtiar untuk dapat mengatasinya.

Dalam konsep ekonomi Islam, setiap transaksi ekonomi yang membutuhkan kerjasama (mudharabah,musyarakah, dll) menggunakan sistem bagi hasil, maka

3

A. Riawan Amin, “Menata Perbankan Syariah di Indonesia”,(Jakarta;UIN Press 2001) cet. 1, h.22


(15)

ketika terjadi resiko, maka akan ada proses berbagi risiko juga. Di bidang ritel, nasabah dan bank membagi risiko dari segala investasi sesuai dengan peraturan yang telah disetujui serta membagi keuntungan yang didapat. Melihat kedigdayaan keuangan syariah tersebut, kini Inggris mulai melirik sistem keuangan syariah ini. Di negara asal ekonom besar Adam Smith ini, industri syariah telah masuk ke banyak sektor kehidupan, termasuk kredit perumahan. Para nasabah yang kebanyakan non-Muslim merasa perlu mengambil kredit mortgage-nya melalui sistem syariah. Hal ini terjadi karena mereka tertarik dengan transparansi dan stabilitas bisnis perbankan syariah setelah kehancuran bank-bank konvensional akibat krisis properti, subprime mortgage4.

Dalam bisnis pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan, tapi dalam Islam sendiri dalam prinsipnya berbagi keuntungan dan kerugian baik antara pelaku bisnis (mudhorib) atau pemilik uang (shohibul mal), sehingga tidak ada yang dizalimi satu sama lain. Bank syariah sebagai lembaga intermediary yang seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal, mengalami perkembangan pesat yang akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian yang potensial, baik yang diperkirakan maupun yang tidak dapat diperkirakan yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank.

4

Republika Newsroom, “ Ketika Barat Jatuh Cinta pada Sistem Ekonomi Syariah”, artikel diakses pada 6 November 2009 dari http://www.republika.co.id/berita/31514


(16)

Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan5. Dalam Islam kerugian yang harus dipertanggung jawabkan adalah kerugian riil, hal ini bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran6.

Menurut Imam asy-Syatibi, sesungguhnya syariah itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikan pelbagai sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Beliau melanjutkan, kemaslahatan ini dapat terealisasi apabila lima unsur pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta7, ini dikenal dengan nama Maqosidhu as Syariah.

Dengan melihat itu semua, maka diketahui bahwa dalam pemenuhan suatu kemaslahatan dalam kehidupan manusia haruslah dapat memenuhi kelima unsur pokok diatas sebagai landasan awal, apalagi dalam hal bermuamalah, khususnya dalam berekonomi. Hal ini bisa terkait dengan proses memenuhi kebutuhan hidup dalam berekonomi dengan cara proses transaksi atau jual beli dan akad – akad yang

5

Adiwarman A. karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:Rajawali press), cet.3, hal. 255

6

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, h. 828

7

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta;Pusataka Asatruss) h. 208-209. Lihat pula pada, Asy-Syatibi, al- Muwafaqat fi Ushul asy-Syariah, Kairo: mustofa Muhammad , t.th) jilid 2


(17)

telah diperjanjikan pun haruslah dipenuhi, agar tidak ada yang dirugikan oleh masing- masing pihak. Islam menggambarkan dalam al-Quran surat al-Maidah (5), ayat 1, :

)

ةﺪﺋﺎ

ا

:

1

(

“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”.

Dalam risiko yang dihadapi seperti halnya adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan syariah Islam yang sangat melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik lembaga keuangan syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam Syariah Islam adalah adanya mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar8.

Perlu dipahami bersama, ta’widh berbeda dengan ta’zir, walaupun proses yang terjadi adanya kesamaan dikarenakan kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran. Ta’zir (denda) dana yang dikumpulkan masuk kedalam dana sosial, biasanya sudah ada dalam perjanjian dan besarannya pun telah ditentukan dan bukan karena kasus force majeur, sedangkan ta’widh (ganti rugi) dananya masuk sebagai pendapatan bank dan besarannya pun ditentukan sesuai dengan kerugian rilnya serta bukan karena kehilangan kesempatan atau time value of money. Fatwa ta’widh ini telah keluar, walaupun sempat tertunda karena para ulama dan pembuat kebijakan di

8

Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, h.828


(18)

Bank Indonesia keberatan dengan klausul ta’widh. Nasabah yang mengulur-ulur pembayaran sudah bisa ditindak dengan adanya fatwa MUI no 17 tahun 2000 tentang sanksi (ta’zir).

Berdasarkan fatwa tersebut, nasabah yang lalai bisa dikenakan denda atau ta’zir. Selain itu dananya juga tidak dimasukkan pendapatan bank melainkan sebagai dana sosial, tentu hal ini berbeda dengan ta’widh seperti yang telah dikatakan sebelumnya. Dan fatwa tentang ta’zir No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentu berbeda dengan Fatwa No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh.

Hal ini dilakukan agar memberikan manfaat yang lebih luas dan pemahaman yang baik, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak bank syariah maupun nasabah. Bagi bank syariah membantu pengelolaan dan kinerja perusahaan, jika hal ini tidak dilakukan akan berdampak kepada penurunan kolektibilitas terhadap kinerja bank syariah sendiri, karena kewajiban yang belum dilunasi. Ini juga sebagai kompetitif terhadap bank konvensional yang menerapkan bunga dengan mengambil konsep kehilangan kesempatan time value of money. Ta’widh tentu berbeda yang diterapkan oleh bank syariah sebagai ganti rugi terhadap segala biaya-biaya ril yang telah dikeluarkan agar tidak kehilangan ongkos kerja dan diakui sebagai pendapatan bank syariah.

Dengan konsep ta’widh ini memberikan pembelajaran kepada nasabah pembiayaan yang nakal dan membantu bank syariah agar mendorong nasabah untuk melunasi kewajibannya tepat waktu. Bagi nasabah pun akan berpikir ulang untuk melunasi secepatnya dan sesuai dengan perjanjian.


(19)

Dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengetahui lebih jauh mengenai proses ta’widh sendiri dan aplikasinya dalam bank syariah, khusus dalam proses jual beli atau Murabahah. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis memilih judul : “ANALISIS PENERAPAN FATWA DSN-MUI NO.

43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH

DI PT BANK SYARIAH BUKOPIN”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mempermudah dalam penulisan, maka penulis memberikan batasan dalam pembahasan ini hanya berfokus pada ta’widh atau ganti rugi terhadap transaksi murabahah dalam perbankan syariah.

Agar mempermudah dalam penyusunan, maka perlu kiranya dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep ta’widh pada fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004?

2. Bagaimana penerapan ta’widh yang digunakan dalam bank syariah dan proses penyelesaiannya pada murabahah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian sudah pasti mempunyai tujuan dan manfaat. Adapun tujuan penelitian ini adalah:


(20)

2. Mengetahui penerapan dan aplikasi ta’widh dalam bank syariah dan cara penyelesaiannya pada murabahah.

Sedangkan manfaat penelitian ini terbagi empat, antara lain :

1. Bagi Peneliti : Dapat menambah wawasan dan pengetahuan akan proses ta’widh dalam bank syariah dan mengetahui pula akan perbandingan antara konsep dan aplikasi.

2. Bagi Pengusaha : Memberikan informasi penting mengenai proses ta’widh atau ganti rugi yang sesuai dengan syariah.

3. Bagi Masyarakat : Dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang proses ganti rugi pada bank syariah.

4. Dapat menjadi sumber referensi dan sarana pemikiran bagi kalangan para akademisi dalam menunjang penelitian lainnya.

D. Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini penulis mengacu pada skripsi terdahulu yang telah dilakukan yaitu :

1. Peneliti Yesi Iryanti, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FSH, perbankan syariah

Judul “Analisis Penanganan Pembiayaan Murabahah Bermasalah” (Studi Kasus Pada Bank DKI Syariah dan BPRS Wakalumi)


(21)

Metodelogi Penelitian Deskriptif kualitatif

Hasil Penelitian -faktor penyebab nasabah mengalami wanprestasi yaitu kebanyakan dari faktor eksternal karena jenis pembiayaan yang dilakukan digunakan untuk menambah modal usaha.

-Akibatnya nasabah tidak mampu mengembalikan pembiayaan tepat pada waktunya yang telah ditentukan, bank akan mengalami kerugian baik financial maupun tenaga akibat tidak dikembalikannya dana bank tersebut.

-Dalam proses penanganannya diawal memberikan surat teguran atau pemanggilan, eksekusi jaminan, jika belum berhasil dilakukan hapus buku. Dalam proses akhir ini jarang dilakukan karena hal tersebut dapat merugikan pihak bank

2 Peneliti Yetty Nur Indah Sari, Perbankan Syariah, melakukan penelitian tahun 2008

Judul “ Denda Murabahah Dalam Pandangan Sistem Ekonomi Islam” ( Studi Kasus Di Bank Syariah Mega Indonesia)


(22)

Metodelogi Penelitian Deskriptif kualitatif

Hasil Penelitian - Denda (ta’zir) diberikan akibat kelalaian nasabah, jika nasabah mampu dan tak mau membayar, biasanya ini sudah ada dalam perjanjian atau akad diawal, hal ini sebagai proses hukuman atas kelalaiannya. Penyelesaian denda murabahah dibayar pada akhir masa jangka waktu pembiayaan dan dana ini dimasukkan sebagai dana sosial atau kebajikan. 3 Peneliti Enung Nurjannah, Perbankan Syariah, melakukan

penelitian tahun 2008

Judul “Upaya Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada Pembiayaan Multiguna BTN Syariah” ( Studi Kasus pada Bank BTN Syariah Kantor Cabang Syariah Tangerang )

Metodelogi Penelitian Kualitatif deskriptif

Hasil Penelitian -Dalam upaya menyelesaikan pembiayaan multiguna (murabahah), dilakukan dari reschedulling, melalui pembinaan melalui pendekatan pada nasabah, collection, pengurangan tungakkan pokok pembiayaan, eksekusi jaminan asset atau objek


(23)

pembiayaan dalam rangka pelunasan pembiayaan, menghapus buku atau membebaskan hutang

Dari keterangan diatas dijelaskan mengenai permasalahan akan pembiyaan bermasalah dan cara proses penyelesaian, khususnya dalam pembiyaan murabahah. Terdapat pula di dalam ta’zir atau denda yang disebabkan kelalaian dalam menunda pembayaran, padahal mempunyai kemampuan untuk membayar. Akan tetapi dana dari denda tersebut masuk ke dalam dana sosial atau kebajikan.

Hal ini tentu saja berbeda dengan penulis sendiri, karena pembahasan ini akan dititik beratkan kepada proses ta’widh atau ganti rugi atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan bank. Dalam prosesnya tentu pembiayaan ini berhubungan dengan pembiayaan bermasalah atau wanprestasi yang terjadi. Dan dana yang dikumpulkan tersebut sebagai pendapatan bank syariah.

E. Kerangka Teori dan Konsep Kerangka Teori

Murabahah adalah transaksi kepercayaan, sebab pembeli telah mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang dibelinya. Oleh karena itu, ketika bank menawarkan skim pembiayaan murabahah, maka sebenarnya bank menawarkan kepercayaan dan good-will yang tinggi kepada nasabah, dan sebalknya nasabah juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada pihak bank.


(24)

Konsep amanah dan saling mempercayai inilah yang membedakan murabahah dengan pinjaman berbasis bunga tetap9.

Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakati10. Dalam jual beli ini, penjual harus memberi tahu harga pokok pembelian barang dan menentukan tingkat keuntungan tertentu sebagai tambahan dan menjelaskannya kepada pembeli. Murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, bukan hanya pinjaman semata sebagaimana dalam sistem kredit di perbankan konvensional.

Dalam praktek pembiayaan murabahah, nasabah datang mengajukan pembiayaan atas sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, pada tahap ini terjadi negosiasi dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Kemudian bank memesan barang kepada supplier sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah. Setelah barang tersebut resmi menjadi milik bank, baru kemudian terjadi kontrak jual beli antara nasabah dan pihak bank. Barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, kemudian nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.

Perbankan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir utnuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Namun, adakalanya dalam menjalankan transaksi para pihak dihadapkan sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian.

9

Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, h. 306

10

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz. II(Beirut: Dar al Fikr 1415 M/1995 H) h. 172


(25)

Risiko tersebut diantanya bisa disebabkan wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Dalam hal ini murabahah juga memiliki tingkat risiko yang sama dengan diatas11.

Hal ini tentunya sangat berbeda dengan syariah yang sangat melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik bank syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam Syariah adalah adanya mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar. Sedangkan yang dimaksud dengan ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan12.

Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas, yaitu kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut, seperti biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. 13

Besar ganti rugi (ta’widh) harus disesuaikan dengan kerugian riil (real loss), bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss). Hal ini karena obyek

11

karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 254

12

Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, h. 828

13

Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum,(Bogor:Ghalia Indonesia,2009),h.64


(26)

ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diizinkan syariat untuk dimanfaatkan)14.

Kerangka konsep :

Bank Syariah

Transaksi Murabahah

Nasabah

Proses pelunasan

Wanprestasi

Penyelesaian Masalah

Denda/Ta’widh

Analisa Kesesuaian dengan prinsip syariah terhadap proses penyelesaian

14


(27)

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Jenis Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode diskriptif , yaitu mendiskripsikan dan menganalisis temuan-temuan yang diperoleh, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat hubungan antar fenomena yang diselidiki.

- Pendekatan ? - Jenis data ?

Tehnik penulisan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penyusunan skripsi ini adalah:

1. Penelitian lapangan (field research), yaitu :

a. Studi kasus dengan menginventarisir beberapa kasus yang berkaitan dengan topik penelitian.

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara terstruktur dengan pihak yang terkait.

2. Penelitian perpustakaan (library research), yaitu dengan mengambil bahan-bahan pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah yang dibahas.

Teknik penulisan berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”, dengan beberapa pengecualian, sebagai berikut :

1. Dalam daftar kepustakaan, al-Qur’an al-Karim ditulis pada urutan pertama sebagai tanda penghormatan.


(28)

2. Kutipan ayat-ayat al-Qur’an tidak diberi footnote tetapi hanya diberi nama surat dan nomor ayat di akhir terjemahannnya, dan terjemahan dari ayat-ayat tersebut berpedoman pada “al-Qur’an dan Terjemahannya”, terbitan Departemen Agama Republik Indonesia.

3. Terjemahan dari ayat-ayat al-Qur’an berjarak satu spasi dengan di awali dan di akhiri dengan tanda kutip.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 bab, dengan perincian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN. Berisi tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,Kajian pustaka, kerangka Teori dan konsep, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KONSEP TA’WIDH DAN MURABAHAH . Definisi Murabahah, Rukun dan Syarat Murabahah, Landasan Hukum Murabahah, Jenis-jenis Murabahah, Manfaat dan Resiko Murabahah, Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah. Definisi Ta’widh, Dasar Hukum Ta’widh, Ketentuan Umum dan Khusus Ta’widh, Pendapat Para Ulama Tentang Ta’widh, Perbedaan antara ta’widh, ganti rugi dan denda (ta’zir)

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG BANK SYARIAH MANDIRI. Bab


(29)

misi Bank Syariah, struktur organisasi Bank Syariah dan produk-produk Bank Syariah.

BAB IV : HASIL PENELITIAN . Berisi tentang konsep ta’widh pada fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004, Penerapan ta’widh pada pembiayaan murabahah di bank syariah.


(30)

BAB II

Tinjauan Teoritis Mengenai Konsep Murabahah dan Ta’widh

A. Pengertian Murabahah

Salah satu skim fiqh yang paling popular digunakan perbankan syariah adalah skim jual-beli murabahah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya, seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu15.

Murabahah merupakan jenis transaksi dengan dasar kepercayaan, sebab pembeli telah mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal yang dibelinya. Oleh karena itu, ketika bank syariah menawarkan skim pembiayaan murabahah, maka sebenarnya bank syariah menawarkan kepercayaan dan good will yang tinggi kepada nasabah dan sebaliknya nasabah juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada pihak bank syariah.

1. Definisi Murabahah

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( ْﺮ ا) yang berarti keuntungan, pemasukan atau laba16. Sedangkan dalam definisi para

15

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,(Jakarta: Rajawali Press), cet. 3, h. 113

16

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,( Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak), cet. I, h. 954


(31)

Dengan melihat adanya ketentuan diatas “ keuntungan yang disepakati”, maka murabahah adalah penjual memberi tahu kepada pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut, baik sebesar satu dinar maupun satu dirham18. Misalnya, si Fulan membeli unta 30 dinar, biaya-biaya yang dikeluarkan 5 dinar, maka ketika menawarkan untanya, ia mengatakan: “ Saya menjual unta ini 50 dinar dengan mengambil keuntungan 15 dinar.”19

Dalam prakteknya pembiayaan murabahah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang dengan kewajiban mengembalikan talangan tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan pada waktu jatuh tempo. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.20

2. Rukun dan Syarat Murabahah a. Rukun :

17

Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-’Imraani, al-’Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah, (Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah, 1427H),h. 257

18

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Beirut:Daar Al fikri), h. 172

19

Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,h. 113

20

Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Ausransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20005), h. 106


(32)

1) Pihak yang berakad (aqidain) : a) Penjual

b) Pembeli

2) Objek yang diadakan (ma’qud alaih) : a) Barang yang diperjualbelikan b) Harga

3) Akad (Shighot): a) Serah (ijab)

b) Terima (qabul)

b. Syarat :

1) Syarat yang terkait dengan shighot

Ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijaba qabul sebagai berikut:

a) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal menurut jumhur ulama, dan berakal menurut ulama hanafiah.

b) Qabul sesuai dengan ijabnya.

c) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.21 2) Syarat yang berakad

Para ulama sepakat bahwa yang melakukan akad jual beli harus memenuhi syarat baligh dan berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila,

21


(33)

hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiah, hukumnya sah jika yang dilakukan membawa keuntungan bagi anak kecil tersebut, dan tidak sah jika membawa kerugian.22

3) Syarat objek yang diadakan

Para ulama membedakan al-tsaman dengan al-si’ir. Menurut mereka al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-si’ir adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen. Adapun syarat dari al-tsaman adalah harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlah dan jenisnya. Sedangkan syarat barang yang diperjual belikan, boleh diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.23

Syarat – syarat murabahah menurut Syafi’i Antonio adalah sebagai berikut :

1) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah 2) Kontrak pertama harus sah.

3) Kontrak harus bebas dari riba.

22

Nasrun, Fiqh Muamalat, h.117

23


(34)

4) Penjual harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah

pembelian dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat.

5) Penjual harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6) Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki

pilihan:

a.melanjutkan pembelian seperti apa adanya.

b.kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan. c.membatalkan kontrak24.

3. Landasan Hukum Murabahah25 (Istidlal)

a. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:

ﺎﻬ أ

ْﺬ ا

اْﻮ

اْﻮ آْﺄ

ْ ﻜ اﻮْ أ

ْ ﻜ ْ

ﺎ ْﺎ

إ

ْنأ

نْﻮﻜ

ةرﺎ

ْ

ضاﺮ

ْ ﻜْ

..

)

ا

ءﺎ

:

29 (

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”

Pada ayat di atas menjelaskan akan jual beli yang didasari suka rela dan tidak saling menzholimi satu sama lain. Khususnya pada murabahah dengan akad jual beli diharuskan adanya kejujuran dalam transaksi tersebut dan tidak ada yang

24

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet. 1, h. 102

25

Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2005),h.13


(35)

dizholimi satu sama lain, misalnya manipulasi barang, gharar, atau penipuan lainnya.

b. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:

أو

ﷲا

ْ ْا

مﺮ و

ﺎ ﺮ ا

)

ةﺮ

ا

:

275

(

"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…." Disini jelas bahwa Allah telah menghalalkan jual beli yang salah satunya adalah murabahah dan yang terpenting tidak melakukan transaksi dengan riba. Karena hal ini akan merusak akad yang telah dilakukan dan dapat merugikan yang lainnya.

c. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:

ﺎﻬ أﺎ

ْﺬ ا

اْﻮ

اْﻮﻓْوأ

دْﻮ ْﺎ

) ةﺪﺋﺎ ا : 1 (

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”

Setiap perjanjian atau akad yang telah disepakati bersama haruslah masing-masing pihak dapat memenuhi hak dan kewajibannya. Khususnya dalam transaksi murabahah harus dijelaskan masing-masing hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, jika ada hal yang dilanggar maka akan dapat merugikan yang lainnya dan ini termasuk ke dalam zhulm.

d. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:

ْنإو

نﺎآ

ةﺮْ ْوذ

ةﺮﻈ ﻓ

ﻰ إ

ةﺮ ْ

...

)

ةﺮ

ا

:

280

(


(36)

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”

Dalam setiap transaksi jual beli atau transaksi lainnya, kemungkinan besar ada hal yang tidak dapat diduga seperti terjadinya kepailitan atau bangkrut di salah satu pihak atau pun terjadinya force majure,. Apabila hal tersebut terjadi dan bukan karena kesengajaan, maka diberikan kelonggaran atau kemudahan adalah lebih baik, agar dapat menjalankan kewajibannya dalam melunasi akad yang telah disepakati.

e. Hadis Nabi saw.:

ْ

ْ أ

ﺪْ

ْيرْﺪ ْا

ر

ﷲا

نأ

لْﻮ ر

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﷲا

ْ

و

و

لﺎ

:

)

ﺎ إ

ْ ْا

ْ

ضاﺮ

(

،

)

اور

ﻬ ا

او

ﺻو

ا

نﺎ

(

Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)26.

Hadis di atas menjelaskan bahwa jual beli harus didasari atas suka sama suka. Intinya tidak adanya pemaksaan dalam setiap transaksi muamalah, khususnya pada murabahah yang didasari kejujuran dan diantara kedua belah pihak yang bertransaksi harus pula suka sama suka dengan suka rela tanpa paksaan.

f. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:

نأ

ا

ﻰ ﺻ

ﷲا

ْ

و

و

لﺎ

:

ث ﺛ

ﻬْﻓ

ﺔآﺮ ْا

:

ْ ْا

ﻰ إ

، أ

،ﺔ رﺎ ْاو

26

Muhammad Fuad Abdu al Baqi, Sunan al Hafizh Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid al Qazwiny Ibn Majah, (Lebanon: Darul Kutub al Libany, t.th) juz 2, hadist ke- 2185, h. 736-737


(37)

“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)27.

g. Kaidah fiqh:

ْﺻﻷا

ﻰﻓ

ت ﺎ ْا

ﺔ ﺎ ﻹْا

إ

ْنأ

لﺪ

ْ د

ﺎﻬ ْﺮْ

28

.

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

4. Jenis-jenis Murabahah

a) Murabahah Naqdan (tunai)

Yakni jual beli secara kontan atau tunai. Sebagai contoh, penjual A dan B sepakat jual beli kambing yang diserahkan saat itu juga dengan harga Rp. 500 ribu dibayar dibayar tunai29. Dengan penjual mendapatkan keutungan Rp 100 ribu dari harga sebenarnya sebesar 400ribu.

b) Murabahah muajjal (cicilan)

Yakni pembiyaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan bank pada waktu jatuh

27

Abdu al Baqi, Sunan Ibn Majah, hadist ke-2289, h. 768

28

A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: kencana,2007), cet.ke-2, h. 10

29


(38)

tempo. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.30

5. Manfaat dan Resiko Murabahah

Bai’ al-murabahah memberi banyak menfaat kepada bank syariah salah satunya adalah keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah31. Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan oleh nasabah adalah adanya kemudahan dalam mendapatkan barang yang diinginkan dengan sistem yang sederhana.

Diantara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut :

a. Default atau kelalaian: nasabah sengaja tidak membayar angsuran b. Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di

pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.

c. Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena pelbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena

30

Wirdyaningsih, karnaen Perwataatmadja, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,( Jakarta:Kencana, 2005), h. 106

31


(39)

nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain.

d. Dijual; karena bai’ al-murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apa pun terhadap asset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, resiko akan default akan besar. 32

6. Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah

Secara umum, aplikasi perbankan dari bai’ al-murabahah dapat digambarkan dalam skema berikut ini :

Gambar I.

32


(40)

Nasabah datang mengajukan pembiayaan atas sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, pada tahap ini terjadi negosiasi dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua pihak . Kemudian bank memesan barang kepada supplier sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah. Setelah barang tersebut resmi menjadi milik bank, baru kemudian terjadi kontrak jual beli antara nasabah dan pihak bank. Barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, kemudian nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan33.

B. Pengertian Ta’widh

1. Definisi Ta’widh (terminologis)

Kata al-Ta’widh berasal dari kata ‘Iwadha (ضﻮ ), yang artinya ganti atau konpensasi. Sedangkan al-ta’widh sendiri secara bahasa berarti mengganti (rugi) atau membayar konpensasi34. Adapun menurut istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.35

Adanya dhaman ( tanggung jawab) untuk menggantikan atas sesuatu yang merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam, “Bahaya (beban berat) dihilangkan,” (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya(beban berat) termasuk di dalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui pemberian ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gangguan yang menimpa seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut harta kekayaannya, yang

33

Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 108

34

Atabik dan Ahmad, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 1332

35


(41)

terwujud dalam bentuk terjadinya pengurangan kuantitas, kualitas ataupun manfaat.36

Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang terjadi lebih banyak menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari suatu akad atau menyangkut fisik seseorang. Sedangkan yang menyangkut moril kemungkinan sedikit sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian moril. Misalnya seseorang dokter dengan membukakan rahasia pasiennya yang diminta untuk disembunyikan sehingga menimbulkan rasa malu pada pasien tersebut.37 Dalam kasus ini tentu saja yang berhubungan dengan harta kekayaan atau sesuatu yang telah dikeluarkan.

2. Dasar Hukum Ta’widh38 (istidlal)

a. QS. Al Maidah (5):1

ﻬ أﺎ

ْﺬ ا

اْﻮ

اْﻮﻓْوأ

دْﻮ ْﺎ

) ةﺪﺋﺎ ا : 1 (

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…” b. QS. al-Baqarah (2);279-280 :

36

Jadurrabb, al-Ta’wis al-Ittifaqi ‘an ‘Adam Tanfidz al-Iltizam au at-Ta’akhkhur fih: Dirasah Muqaranah Baina al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun al-Wadhi’I, (Iskandariah : Dar al-Fikr al-Jamai’I, 2006), h. 170

37

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah,( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 335

38

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,h.820


(42)

“…kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

c.

Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:

راﺮ

و

رﺮ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”

d. Kaidah Fiqh :

ﻷا

ْﺻ

إ

ﺔ ﺎﺑﻹْا

ت ﺎ ْا

ﻰﻓ

ٌ ْ د

ﱠلﺪ

ْنأ

ﻪ ْﺮْ ﺘى

39

“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

لاﺰ

رﺮﱠﻀ ا

Bahaya (beban berat) harus dihilangkan”40 3. Ketentuan Umum dan Khusus Ta’widh

Hal ini mengingatkan secara tradisional, setiap bentuk penambahan apa pun terhadap pokok pembiayaan merupakan bentuk-bentuk riba’. Namun, PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi

39

A. Djazuli, Kaidah – kaidah Fiqh, h. 10

40


(43)

Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu berkenaan dengan pengaturan ganti kerugian (ta’widh) dalam pembiayaan dimaksud memberi kemungkinan pengenaan ganti kerugian dalam hal dan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut41.

a. Ketentuan umum42

1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas. 3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yang

dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan. 4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real

loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah). 5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang

menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.

41

Adrian Sutedi, S.H., M.H., Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2009),h. 64

42

Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,, h. 825


(44)

6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan. b. Ketentuan khusus

1. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-fursah al-dha’iah).

2. Klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad dan dipahami oleh nasabah.43

3. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.

3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.

4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara44.

4. Pendapat Para Ulama Mengenai Ta’widh (dirubah)

Dalam hal ini ada beberapa Ulama menyampaikan pernyatan mengenai ta’widh atau ganti rugi secara Islam, sebagai berikut :

43

Bank Indonesia (BI), PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,( Jakarta:BI, 2005),bab.3,pasal 19,h.22

44


(45)

a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al Mughni, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan:45

“Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”

b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili :

45

Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al Mughni Libni Qudamah, (Riyadh:Maktabah Riyadh al Haditsah), h. 503


(46)

““Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan” 46. Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa:

(a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding

(b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya denganbenda yang sama (sejenis) atau dengan uang”47.

Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya” 48.

c. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li :

“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan

46

Wahbab Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, (Damsyiq:Daar al fikr, 1998),h. 87

47

Wahbab Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, h.93

48


(47)

pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.49”

d. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh `Isham

Anas al-Zaftawi :

“ Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”

5. Perbedaan antara ta’widh, dan ta’zir

Secara umum pengertian ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan50 dengan ketentuan kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial

49

`Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah,( al Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996), h. 115.

50


(48)

loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/fursah al-dha’iah)51.

Ganti rugi dalam pandangan hukum perdata yakni menutup kerugian atas segala pengeluaran yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak dan terjadi kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur begitu pula dengan kerugian berupa kehilangan keuntungan (bunga) yang sudah dibanyangkan atau dihitung oleh kreditur.52

Sedangkan ta’zir adalah sanksi terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau tidak ada kemauan dan itikad yang baik untuk membayar hutangnya. Denda dapat berupa uang yang ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akan ditandatangani, sedangkan hasil dari denda tersebut digunakan untuk dana sosial.53

51

Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,, h. 831

52

Subekti., Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001),cet.18,h.47

53


(49)

BAB III

Tinjauan Umum Tentang PT. Bank Syariah Bukopin

A.Sejarah Singkat Bank Syariah Bukopin

Perjalanan PT Bank Syariah Bukopin dimulai dari sebuah bank umum, PT Bank Persyarikatan Indonesia (BPI), didirikan berdasarkan Akta No. 102 tertanggal 29 Juli 1990 dengan nama PT. Swansarindo Internasional yang dibuat dihadapan Dr. Wijdojo Wilami, SH., Notaris di Samarinda. Dalam perkembangannya diakuisisi oleh PT Bank Bukopin Tbk untuk dikembangkan menjadi sebuah Bank Syariah yang kini menjadi PT. Bank Syariah Bukopin.

Dalam praktiknya, Bank Syariah Bukopin mulai beroperasi dengan melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah setelah memperoleh izin operasi Syariah dari Bank Indonesia pada tanggal 27 Oktober 2008 dan pada tanggal 11 Desember 2008 telah diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia. Komitmen penuh dari PT Bank Bukopin Tbk sebagai pemegang saham mayoritas diwujudkan dengan menambah setoran modal dalam rangka untuk menjadikan PT Bank Syariah Bukopin sebagai bank syariah dengan pelayanan terbaik.

Pada semester kedua 2009, tepatnya, tanggal 10 Juli 2009 melalui Surat Persetujuan Bank Indonesia, PT Bank Bukopin Tbk telah mengalihkan Hak dan Kewajiban Usaha Syariah-nya kedalam PT Bank Syariah Bukopin. Dalam bisnisnya, PT. Bank Syariah Bukopin memposisikan sebagai bank yang fokus


(50)

pada pembiayaan, mikro, kecil, dan menegangah (UMKM) dengan segmentasi usaha pendidikan, kesehatan, konstruksi, dan perdagangan. Selain hal tersebut, PT. Bank Syariah Bukopin juga melakukan penghimpunan dana dari masyarakat (Individu-individu) dan perusahaan- perusahaan yang ada di Tanah Air.

PT. Bank Syariah Bukopin telah memiliki Kantor Pusat, 7 Kantor Cabang (KC), 4 Kantor Cabang Pembantu (KCP), dan 29 kantor Layanan Syariah (KLS) yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Dengan dukungan infrastruktur dan sumber daya insani (SDI) yang professional dan dapat diandalkan, PT Bank Syariah Bukopin selalu siap melayani kebutuhan nasabah di mana pun berada.

B.Visi, Misi dan Nilai-Nilai Perusahaan

1. Visi

“Menjadi Bank Syariah Pilihan dengan Pelayanan Terbaik” 2. Misi

• Memberikan pelayanan terbaik pada nasabah

• Membentuk sumber daya insani yang profesional dan amanah

• Memfokuskan pengembangan usaha pada sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil & Menengah)

• Meningkatkan nilai tambah kepada stakeholder 3. Nilai – Nilai Perusahaan

• Amanah


(51)

• Peduli

• Kerjasama

• Kualitas

C.Struktur Organisasi

• Komisaris Utama : Ir. Harry Harmono Busiri

• Komisaris Independen : Drs. Hajriyanto Y. Thohari, MA


(52)

• Direktur Utama : Riyanto

• Direktur Pelayanan & Consumer : Tantri Indrawati

• Direktur Bisinis : Eriandi

• Direktur Manajemen Resiko & Kepatuhan : Djoni Edward

• Ketua : Prof. DR HM Din Syamsudin, MA

• Anggota : DR H. Anwar Abbas, MA., M.Ag.

• Anggota : H. Ikhwan Abidin, MA

D.Produk- Produk Bank Syariah Bukopin

1. Pendanaan

a. Tabungan iB SiAga : Simpanan dalam mata uang rupiah yang penyetoran dan penarikannya dapat dilakukan sewaktu-waktu.

b. Tabungan iB Rencana : Jenis tabungan berjangka dengan potensi bagi hasil yang kompetitif guna memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang, sekaligus memberikan manfaat proteksi asuransi jiwa gratis.

c. Tabungan iB SiAga Bisnis : menggunakan prinsip mudharabah mutlaqah, sehingga nasabah memperoleh kepastian Bagi Hasil.

d. Tabungan iB Haji : Simpanan untuk perorangan dalam bentuk mata uang rupiah yang mempunyai rencana menunaikan ibadah Haji atau Umroh. e. Giro iB : Simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan

penarikannyadapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan Cek atau sarana perintah pembayaran lainnya atau melalui pemindahbukuan lainnya.


(53)

f. Deposito iB : Jenis simpanan dalam mata uang rupiah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara deposan dengan pihak bank.

g. TabunganKu iB : tabungan untuk perorangan dengan persyaratan mudah dan ringan yang diterbitkan secara bersama oleh bank-bank di Indonesia guna menumbuhkan budaya menabung serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Pembiayaan

a. Pembiayaan iB Jual-beli (Murabahah) : Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati

b. Pembiayaan iB Pemilikan Mobil : Fasilitas pembiayaan yang digunakan untuk pembelian Kendaraan roda empat sebagai kendaraan pribadi

c. Pembiayaan iB Pemilikan Rumah : Pembiayaan untuk pemilikan rumah tinggal, ruko, rukan, apartemen atau rumah peristirahatan (vila) baik kondisi baru maupun lama dan prioritas pembiayaan untuk kepemilikan pertama dan ditempati sendiri

d. Pembiayaan iB Bagi hasil (Musyarakah) : Kerjasama 2 pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dan atau karya/keahlian dengan kesepakatan keuntungan dan resiko menjadi tanggungan bersama sesuai kesepakatan

e. Pembiayaan iB Bagi hasil (Mudharabah) : Kerjasama antara pemilik modal dan pengelola untuk suatu usaha tertentu dengan kesepakatan bagi hasil


(54)

f. Mudharabah iB Investasi Terikat (Mudharabah Muqoyyadah) : Pembiayaan yang diinvestasikan nasabah/pemilik dana khusus untuk bisnis tertentu dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh nasabah

g. Pembiayaan iB Kepada Koperasi Karyawan/Pegawai untuk Anggota (K3A Pola Syariah) : Pembiayaan yang diberikan oleh Bank Bukopin Syariah (Bank) kepada Koperasi Karyawan (kopkar), Koperasi Pegawai, Koperasi Pegawai Negeri (KPN) atau koperasi sejenis lainnya yang diteruskan kepada anggotanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan

h. Pembiayaan iB Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA-Relending Syariah) : Pembiayaan dengan prinsip syariah dalam bentuk investasi dan modal kerja kepada koperasi primer untuk diteruskan kepada anggotanya dengan sumber dana berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang dikelola oleh PT. Permodalan Nasional Madani (PNM)

i. Pembiayaan iB Pinjaman (Qordh) : Fasilitas pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu

j. Pembiayaan iB Perjalanan Haji (Talangan haji) : Fasilitas pinjaman yang diberikan kepada penabung SiAga Haji yang sudah mencapai nilai tabungan dalam jumlah tertentu dan memenuhi persyaratan lainnya untuk mendapatkan kepastian pemberangkatan ibadah haji


(55)

k. Pembiayaan iB Jaminan Tunai : Pemberian pembiayaan dengan jaminan cash collateral yang ada di Bank Syariah Bukopin dan diblokir sampai dengan pembiayaan lunas

l. Pembiayaan iB Istishna Pararel : Pembiayaan yang digunakan untuk jual beli dimana bank (penjual) memesan barang kepada pihak lain (Produsen) untuk menyediakan barang sesuai dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang telah disepakati nasabah (pembeli) dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan

3. Jasa

a. Kartu ATM SiAga Syariah : Fasilitas layanan kepada nasabah untuk melakukan transaksi perbankan dengan perangkat mesin ATM (Automated Teller Machine) yang dimiliki atau ditunjuk oleh Bank Bukopin

b. Kartu SiAga Visa Electron Syariah : Jasa yang diberikan kepada nasabah untuk dapat melakukan transaksi belanja dan transaksi lainnya di merchant atau ATM yang berlogo VISA atau VISA Electron

c. SMS Banking Syariah Bukopin : Fasilitas layanan kepada nasabah untuk melakukan transaksi perbankan dengan berbasis teknologi seluler

d. Internet Banking Syariah Bukopin : Fasilitas layanan kepada nasabah untuk melakukan transaksi perbankan dengan menggunakan Internet


(56)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Proses terbentuk fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam. Namun, adakalanya dalam menjalankan trasaksi di lembaga keuangan syariah para pihak dihadapkan pada sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian. Risiko tersebut di antaranya bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran.

Hal ini tentunya sangat kotradiktif dengan syariah Islam yang sangat melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik Lembaga Keungan Syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam syariah Islam adalah mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar. Sedangkan dimaksud dengan ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.

DSN-MUI memperbolehkan ta’widh berdasarkan beberapa ketentuan, salah satunya karena bank dalam melayani nasabah membutuhkan biaya tambahan apabila terjadi permasalahan dalam pembiayaan atau penundaan pembiayaan, maka dikeluarkan biaya riil untuk menutupi kekurangan tersebut dengan pengenaan


(57)

ta’widh. Karena denda (ta’zir) yang selama ini diterapkan kepada nasabah yang menunda – nunda pembayarannya tidak masuk ke dalam pendapatan bank melainkan masuk ke dalam dana kebajikan.

Dalam hukum Islam, Alquran surat al Maidah ayat 1, “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” dan dalam hadis

راﺮ

و

راﺮ

Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain kaidah fiqh

لاﺰ

راﺮ

ا

“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan”, dengan demikian ini dapat meyakinkan kepada kita agar selalu bisa menjaga suatu perjanjian yang telah kita buat agar tidak saling membahayakan diri sendiri atau pun orang lain dan bahaya atau beban yang ditanggung harus dihilangkan.

Dalam prosesnya ta’widh beda dengan riba karena bukan sebagai tambahan pinjaman. Oleh karena itu, fatwa Ini dikeluarkan untuk kemaslahatan atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak bank dalam rangka melindungi haknya. Misalnya untuk kebutuhan biaya transport, biaya telepon, makan, minum, dan lain-lainya yang dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahan, sedangkan pihak peminjam atau debitur haruslah mengganti itu semuanya sesuai yang dikeluarkan berdasarkan laporan atau bukti-bukti yang ada54.

Ketentuan khusus fatwa ini dikeluarkan bahwa ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya, jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan

54


(58)

tata cara pembayarannya tergantung kesepakatann para pihak, bisarnya ganti rugi tidak boleh dicantumkan dalam akad, dan pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/IX/2004 tentang ta’widh yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI juga didasari diantaranya oleh :

- Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. Fatwa ini menyebutkan bahwa sanksi yang diterima berupa ta’zir (denda) dengan tujuan untuk mendisiplinkan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya, tetapi dana yang diterima berupa denda dimasukkan ke dalam dana kebajikan (non halal) pada laporan keuangan bank syariah.

- Fatwa DSN No. 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah. Ini merupakan pencadangan sejumlah dana oleh bank syariah berdasarkan kualitas dari pembiayaan yang telah diberikan dengan tujuan menciptakan stabilitas bisnis perbankan melalui pengelolaan aktiva produktif bank secara hati-hati (prudent).


(59)

B. Penerapan ta’widh pada Proses Pembiayaan Murabahah

1. Proses ta’widh yang berjalan di PT. Bank Syariah Bukopin

Artinya :

“ ... maka,barangsiapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu, balaslah ia, seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah : 194)

Dari penggalan ayat di atas menunjukkan bahwa seseorang harus mengganti atas kerugian yang telah dialami oleh orang lain atas dirinya dan besaran kerugian itu pun sesuai dengan kerugian yang riil. Dalam dunia perbankan proses ini dikenal dengan ta’widh yakni menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kerugian. Hal ini pula Bank Syariah Bukopin (BSB) menerapkan prinsip – prinsip syariah di atas.

Dalam praktiknya BSB selain memberikan sanksi atau denda kepada nasabah yang melakukan penundaan, padahal debitur mampu membayarnya. Hal ini dilakukan


(60)

sebagai bentuk pendisiplinan nasabah agar mendapatkan efek jera. Selain itu BSB juga memberikan ta’widh atas penundaan dan perpanjangan masa pembayaran apabila belum dilunasi ketika jatuh tempo, hal ini sebagai bentuk mekanisme perbankan untuk mewaspadai kerugian pada pihak bank.

Apabila perpanjangan pembayaran atas jatuh tempo terjadi, hal ini akan berdampak kepada penurunan kolektibilitas, sehingga pencadangan penghapusan aktiva produktif akan meningkat. Ini dapat mengurangi perhitungan keuntungan bagi lembaga keuangan syariah. Oleh karena itu bank syariah selain mengenakan sanksi atau ta’zir kepada nasabah, memberlakukan pula ta’widh atau ganti rugi atas kerugian secara riil yang dialami oleh bank syariah selama masa perpanjangan itu. Jika tidak, akan terjadi kezaliman terhadap salah satu pihak.

Dalam proses pengenaan ta’zir atau denda dana yang diterima masuk ke dalam dana kebajikan bukan pendapatan bank syariah, adapun dengan ta’widh masuk ke dalam dana pendapatan bank syariah sesuai dengan kerugian yang telah dikeluarkan. Hal inilah yang membedakan antara ta’zir dengan ta’widh, ta’zir telah ditentukan besaran presentasenya sejak awal akad dibuat sedangkan ta’widh tidak ditentukan di awal karena disesuaikan dengan besaran nominal yang telah dikeluakan oleh pihak bank syariah.


(61)

Ketentuan ta’widh yang harus diperhatikan adalah ;

a. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

b. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).

c. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss).

d. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.

e. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.

Dalam proses ta’widh ini sudah dijelaskan pada fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VII/2004 tentang ta’widh dan menjadi sumber kekuatan hukum tertentu yang ditegaskan atau dikuatkan lagi pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005


(62)

tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Dengan peraturan dan fatwa di atas menunjukkan bahwa bank khususnya Bank Syariah Bukopin diperbolehkan untuk menerapkan ta’widh terhadap nasabah yang lalai sehingga terjadi kerugian. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian secara real akibat logis dari perpanjangan pembayaran yang telah jatuh tempo, seperti biaya administrasi, biaya perpanjangan, overhead, dan biaya monitoring (penagihan, survey, pengawasan). Adapun besaranya tidak bisa ditetapkan oleh nominal tertentu, karena berdasarkan kepada besaran dana yang dikeluarkan dalam proses ini. Dana ta’widh ini diberikan diakhir masa perpanjangan ditambah dengan sisa pembayaran yang belum dilunasi.

2. Proses Perhitungan ta’widh pada Bank Syariah Bukopin

Besaran nominal dalam ta’widh tidak bisa ditentukan sejak awal akad perjanjian dilakukan, perhitungan berdasarkan nominal real yang telah dikeluarkan oleh bank syariah selama proses perpanjangan ini. Berbeda dengan denda yang dikeluarkan, sudah didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh setiap bank.

Dalam murabahah ketentuannya ada harga beli, margin, harga jual, jangka waktu. Bank Syariah Bukopin (BSB) memberikan pembiayaan murabahah berupa modal investasi sebesar 100 juta kepada nasabah dengan marginnya 10 juta sehingga yang harus dibayar oleh nasabah sebesar 110 juta dengan masa angsurannya 2 tahun. Dalam perjalanan masa pelunasan hingga tahun ke dua ternyata tidak mencapai target sesuai kesepakatan, dengan selisih kekurangan sebesar 30 juta. Setelah diproses oleh


(63)

pihak bank syariah ternyata debitur memiliki prospek atau ada upaya bisa melunasinya dan terjadi kesepakatan antara pihak BSB dengan nasabah debitur agar dapat rekstrukturisasi pembiayaan, lalu diperpanjang 6 bulan dengan sisa pembiayaan 30 juta dari total pembiayaan 110 juta. BSB menentukan perpanjangan 6 bulan ini tidak ditambah margin. Oleh karena itu dikenakanlah ta’widh atas biaya riil yang dikeluarkan oleh pihak bank syariah selama proses perpanjangan 6 bulan yang telah jatuh tempo dan bank syariah tidak boleh mengambil keuntungan atau menambahkan dari biaya riil yang telah dikeluarkan. Di dalam memperpanjang masa angsurannya ternyata BSB mengeluarkan dana berupa biaya over head, khususnya biaya perpanjangan , biaya monitoring, biaya penagihan, seluruh biaya ini dibebankan kepada nasabah.

Dengan perincian:

- Biaya administrasi (Atk, listrik, pulsa, dll) : Rp. 1.000.000, - - Biaya Monitoring (pengawasan, survey,Penagihan) : Rp. 3.000.000, - - Biaya perpanjangan (administrasi) : Rp. 500.000, -

TOTAL : Rp. 4.500.000,-

Jadi debitur mengembalikan sisa masa pembayaran ditambah dengan biaya- biaya diatas sebesar Rp. 34.500.000, - dimasa akhir perpanjangan. Dalam proses pengembalian ini, perhitungan ta’widh atau ganti rugi yang diterapkan BSB sudah sesuai dengan prosedur peraturan bank yang berlaku, biasanya harus dengan kesepakatan antara kedua belah pihak agar tidak terjadi manipulasi atau gharar. Proses ini dilakukan agar pihak bank tidak mengalami kerugian financial atas biaya


(64)

yang telah dikeluarkan dan dana ini akan masuk sebagai hak pendapatan bank syariah55.

3. Upaya Penyelesaian Proses Ganti Rugi

Bahwa dalam melaksanakan setiap transaksi dalam lembaga keuangan syariah terkadang mengalami risiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian. Dalam syariah Islam melindungi semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS, sehingga tidak boleh satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Kewajiban agar tidak saling merugikan satu sama lain ditekankan dalam Al Quran surat al Baqarah: 279-280 :

...

Artinya :

55

Wawancara pribadi dengan Bapak Noor Cholis, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Cabang, di kantor PT. Bank Syariah Bukopin, lt. 6, tanggal 20 April 2010


(65)

… Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Berdasarkan ayat di atas, bahwa salah satu pihak tidak boleh menganiaya lainnya dalam bertransaksi, apabila ini terjadi terhadap bank, maka harus mengambil tindakan-tindakan terntentu dalam menyelesaikan permasalahan dan harus tetap berpegang kepada prinsip syariah. Dalam proses penyelesaian pembiayaan bermasalah BSB melakukan berbagai cara :

a. Resktrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajiban. Proses ini dilaksanakan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil langkah-langkah agar kualitas pembiayaan setelah diresktruturisasi dalam keadaan lancar. Restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah yang memenuhi criteria : nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan/atau memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Proses ini hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet yang didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik. Restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu akad pembiayaan awal dan untuk yang kedua dan ketiga dapat dilakukan paling


(66)

cepat 6 (enam) bulan setelah restrukturisasi sebelumnya. Restrukturisasi bisa melalui:

1. Pejadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;

2. persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank;

3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi :

a) Penambahan dana fasilitas pembiayaan bank; b) Konversi akad pembiayaan;

c) Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah;

d) Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah. Ini merupakan penyertaan modal BUS atau UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam


(67)

jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku5 6.

b. Penjualan angunan dilakukan apabila usaha dalam penyehatan pembiayaan belum juga dapat memenuhi hutang yang harus dibayarkan, antara lain dengan cara:

o Debitur : debitur menjual angunannya sendiri kepada pihak lain agar menutupi pembiayaan yang belum dibayar, sesuai jumlah dan jangka waktu yang disepakati;

o Account Officer : pihak AO (bank) akan menjual barang angunan tersebut dengan nilai tertentu, apabila terjadi kelebihan dari harga jual tersebut dengan nilai hutangnya, maka dana tersebut dikembalikan kepada debitur; o Bank : Pihak bank akan membeli angunan atau mengambil alih angunan

tersebut, prosesnya hampir sama dengan AO, dimana jika terdapat kelebihan harus dikembalikan kepada debitur.

c. Cara lain dengan proses penagihan pembiayaan melalui pihak ketiga (collection agent) atau dengan eksekusi pembiayaan melalui perwasitan atau pengadilan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan Pengadilan Agama sesuai dengan kesepakatan awal akad perjanjian. Eksekusi ini merupakan proses pengembalian atau pelunasan atau penjualan jaminan pembiayaan dengan melalui musyarwarah di depan arbitrase atau pengadilan

56

Peraturan Bank Indonesia, Nomor: 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, bab 1, ketentuan Umum Pasal 1-3


(68)

untuk mendapatkan keputusan yang akan didaftarkan ke pengadilan negeri untuk dieksekusi.

4. Pengalokasian Dana Ta’widh

Dalam Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 tentang Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah bahwa dalam rangka restrukturisasi yang diberikan kepada debiutr yang tidak bisa melunasi utangnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati. Penjadwalan kembali tagihan murabahah dilakukan dengan ketentuan57 :

- tidak menambah jumlah utang yang tersisa;

- pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil; dan - perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah

pihak.

Biaya riil yang terkait dengan proses penjadwalan kembali tagihan murabahah yang dibebankan kepada debitur diakui sebagai pendapatan58. Biaya riil dalam proses penjadwalan kembali piutang murabahah adalah biaya langsung (direct cost) dari aktivitas kreditur dalam melakukan penjadwalan kembali tersebut59. Jika ada kerugian yang timbul atas restrukuturisasi piutang murabahah disajikan secara terpisah dalam laporan laba rugi.60

57

Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 : Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah, Ikatan Akuntan Indonesia, hal. 108.3-4, paragaf 13

58

Ibid., h. 108.4, paragaf 14

59

Ibid., h. 108.4, paragaf 15

60


(69)

Dalam mekanisme pengelolaan pada BSB, dana ta’widh atas proses perpanjangan masa angsuran atau masa restrukturisasi ini masuk ke dalam salah satu pendapatan administrasi pada pendapatan operasional lainnya. Hal ini sesuai dengan aturan akuntansi yang berlaku, penulisannya dalam laporan keuangan PT. Bank Syariah Bukopin :


(70)

(71)

(72)

Jika kita melihat catatan laporan keuangan BSB (Gambar 2), menurut BSB pencatatan ta’widh dimasukkan ke salah satu pendapatan administrasi, lalu dalam laporan laba rugi (Gambar 3) terlihat bahwa pendapatan administrasi (pendapatan operasional) sebagai salah satu pendapatan (beban) operasonal lainnya. Menurut BSB, hal ini sesuai dengan perlakuan akuntansi syariah mengenai laporan keuangan yang didasari oleh prinsip syariah yang berlaku khususnya pada Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh, Peraturan Bank Indonesia nomor: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan prinsip Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007 tentang Pelakasanaan Prisnip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, dan ED PSAK 108: Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah.


(1)

7

-ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai krisis nasional. Pemotongan kewajiban pembayaran ditetapkan berdasarkan kebijakan Bank.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 11 Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud ‘barang’ adalah hasil pertanian dan atau hasil tambang.

Huruf b

Yang dimaksud dengan pembayaran secara penuh pada saat Akad adalah pembayaran segera setelah Akad disepakati atau paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Akad disepakati.

Huruf c sampai dengan huruf e

Cukup Jelas

Huruf f

Jaminan pihak ketiga antara lain dalam bentuk garansi berdasarkan prinsip syariah.

Huruf g

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


(2)

8 -Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 12 Ayat (1)

Pembiayaan berdasarkan Salam paralel muncul pada saat Bank membeli barang untuk dijual kembali kepada pihak lain.

Ayat (2)

Cukup jelas Ayat (3)

Cukup jelas Ayat (4)

Cukup jelas Pasal 13

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud ‘barang’ adalah proyek infrastruktur dan atau hasil industri manufaktur.

Huruf b sampai dengan huruf d Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


(3)

9 -Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 14 Ayat (1)

Pembiayaan Istishna’ paralel muncul pada saat Bank memesan barang untuk dijual kembali kepada pihak lain.

Ayat (2) Huruf a

Nasabah adalah termasuk nasabah produsen, pemasok atau penyedia.

Huruf b sampai dengan huruf f Cukup jelas

Pasal 15 Huruf a

Yang dimaksud ‘barang’ adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewa.

Huruf b dan huruf c Cukup jelas Huruf d

Uraian biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural sesuai kesepakatan dituangkan dalam Akad


(4)

10 -Huruf e

Akad mewakilkan kepada nasabah di buatkan secara terpisah dari Akad Ijarah

Huruf f dan huruf g Cukup jelas

Pasal 16 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan IMBT adalah Ijarah dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak yang menyewakan untuk mengalihkan kepemilikan kepada penyewa.

Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 17

Cukup jelas. Pasal 18

Huruf a sampai dengan huruf d Cukup jelas

Huruf e

Kondisi “nasabah tidak mampu” adalah ketidak mampuan nasabah terhadap hal-hal di luar kemampuan nasabah karena musibah bencana alam atau krisis perekonomian nasional yang ditetapkan sebagai krisis oleh pemerintah.

Huruf f dan huruf g

Cukup jelas


(5)

11 -Huruf h

Dalam rangka kehati-hatian pemberian pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial, Bank dapat meminta agunan kepada nasabah.

Pasal 19 Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan oleh Bank dalam rangka penagihan hak Bank yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah. Huruf c sampai dengan huruf f

Cukup jelas

Pasal 20 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Badan arbitrase syariah yang digunakan adalah badan arbitrase syariah yang berdomisili paling dekat dengan kantor Bank yang bersangkutan atau yang ditunjuk sesuai kesepakatan Bank dan nasabah.

Pasal 21 Ayat (1)

Cukup jelas


(6)

12 -Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas