Dasar-Dasar Penetapan Fatwa Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional

penting menyangkut masalah hukum islam yang diminta oleh pihak pribadi atau lembaga atau kelompok masyarakat. Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan antara fatwa dengan ijtihad. Ijtihad menurut Al-Amidi dan An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Sedangkan ifta’ hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad. 19 Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu permasalahan yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini halal atau haram, disertai dalil- dalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan.

2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa

Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur tertentu yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetapan fatwa. Penetapan fatwa yang tidak mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu bentuk tahakkum membuat-buat hukum dan menyalahi esensi fatwa yang merupakan 19 Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.http:www.microfincenter.comwebindex.php. hukum syara’ terhadap suatu masalah, yang harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil keagamaan adillah syar’iyyah. Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara’ yang dapat dijadikan dasar penetapan fatwa dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa. Para ulama juga telah menjelaskan apa saja dalil-dalil hukum yang disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa adilliah al-ahkam al-muttafaq ‘alaihi , yaitu meliputi : a. Al-Quran Para ulama menjelaskan bahwa kata “Al-qur’an” secara etimologi berasal dari bahasa Arab ءﺮ - ءﺮﻘ - ءﺮ yang mempunyai arti “bacaan”. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Qiyamah ayat 17-18. 20 .. ﺔ݊ﺎﻴﻘﻟا : ٧ - ٨ Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”. QS. Al-Qiyamah 75:17- 18. Para ulama juga menyimpulkan ciri-ciri Al-qur’an sebagai berikut : 21 1. Al-qur’an merupakan lafadz 2. Al-qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. 20 KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008. h.59. 21 Ibid., h.60. 3 Al-qur’an dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir diturunkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. 4. Membaca setiap kata dalam Al-qur’an mendapat pahala, baik bacaan itu berasal dari hafalan maupun dibaca langsung dari mushaf Al- qur’an. 5. Al-qur’an itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan suarat An-Nass. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Quran, disusun sesuai dengn petunjuk Allah melalui malaikat Jibril Nabi Muhammad saw., tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Para ulama sepakat bahwa Al-qur’an merupakan sumber utama hukum islam yang diturunkan Allah, dimana seorang mujtahid harus mendahulukan nash-nash Al-qur’an sebagai dasar penetapan sebelum mempergunakan sumber hukum lainnya. Begitu juga dalam penetapan fatwa, Al-qur’an merupakan dasar pertimbangan pertama sebelum beralih pada yang lainnya. Apabila hukum permasalahan yang dicari tidak ditemukan dalam Al-qur’an, maka barulah mujtahid tersebut menggunakan dalil yang lainnya. b. As-Sunnah Pengertian As-Sunnah dari sisi bahasa adalah “jalan yang biasa di lalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Hal ini bias kita lihat dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi : ﺪ ْ ﺔ ْ أ ْ نْﻮ ْ ﺔ ْ ﺎ ﺪ ﺮ ْ ْ ﺪ ﺎ ﺮ ْﺧأ يﺰ ْا ﻰ ْا ْ ﺪ لﺎ أ ْ ﺮ ﺮ ْ رﺬْ ْا و ْ ا ﻰ ا لﻮ ر ﺪْ ﺎ آ ... ْ ﺔ مﺎ ْ ﺈْا ﻓ ﻓ ْ و ءْ ْ هرﻮ أ ْ ﻘْ ْنأ ﺮْ ْ ﺪْ ﺎﻬ ْ ﺮْ أو ﺎهﺮْ أ ﻓ ﺔ ﺪْ ْ ﺎﻬ ْ رْزوو ﺎهرْزو ْ نﺎآ ﺔﺌ ﺔ مﺎ ْ ﺈْا ْ هرازْوأ ْ ﻘْ ْنأ ﺮْ ْ ءْ . بﺎ ﻜ ا ﻓ ا اور ا ا 22 Sedangkan secara terminology, As-Sunnah bisa dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut disiplin ilmu hadis, pengertian Sunnah sama dengan pengertian Hadist, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan dan ketetapannya atau sifatnya sebagai manusia, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah di angkat menjadi rasul”. Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ushul fiqh adalah : “segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”. 23 Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ilmu fiqh, disampingnya pengertian yang dikemukan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”. Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah di kalangan ahli ushul fiqh, disebabkan perbedaaan sudut pandang masing-masing terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh memandang bahwa Sunnah tersebut merupakan salah satu sumber atau dalil hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu hukum taklifi. 22 Kitab Shahih Al-Muslim. Dalam Maktabah Syamilah. Juz :5, h.198. 23 Ibid., h.76. Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw dalam tiga bentuk fi’liyyah, qauliyyah dan taqririyyah merupakan sumber asli dari hukum-hukum syara’ dan menempati posisi yang kedua setelah Al-qur’an. Sehingga dalam penetapan fatwa, As-Sunnah menjadi rujukan kedua setelah Al-qur’an. Ada beberapa alasan yang dikemukan oleh para ulama untuk mendukung penyataan di atas, di antaranya adalah sebagai berikut : 24 1. Surat Ali Imran ayat 31. ⌦ ⌧ . ناﺮﻤﻌﻟا : Artinya : “Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . QS. Al-Imran: 31. 2. Surat Al-Ahzab 33 ayat 21 ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ . بﺰ܊ﻻا : Artinya : “Sesungguhnya Telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah .QS. Al-Ahzab ayat 21. QS. Al-Ahzab 33 ayat 21. 3. Surat Al-Hasyr 59 ayat 7. ﺮﺸ܋ﻟا : ٧ 24 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008. h.87. Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.QS. Al-Hasyr 59 ayat 7. 4. Surat An-Nisa’ 4 ayat 59. ⌧ ⌧ . ءﺎﺴﻨﻟا : ۵٩ Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”.QS. An-Nisa’ 4 ayat 59. 5. Hadist ﺎ ﺪ ﺪ ﺰ ْ نورﺎه لﺎ ﺎ ﺮ ْﺧأ ﺰ ﺮ ْ ﺪْ ْ ﺮ ا ْ أ فْﻮ ﺮ ْا ماﺪْﻘ ْا ْ يﺪْ بﺮآ يﺪْﻜْا لﺎ . لﺎ لﻮ ر ا ﻰ ا ْ و ﺎ أ إ وأ بﺎ ﻜْا ْ و ﺎ أ إ وأ نﺁْﺮﻘْا ْ و ﺎ ﻚ ﻮ ر ْ ﺎ ﺎ ْ ﻰ ﻜ رأ لﻮﻘ ْ ﻜْ نﺁْﺮﻘْﺎ ﺎ ﻓ ْ ْﺪ و ﻓ ْ لﺎ ﻮ ﺄﻓ ﺎ و ْ ْﺪ و ﻓ ْ ﺮ ما ﻮ ﺮ ﻓ ﺎ أ ﺎ ْ ﻜ ْ رﺎ ْا ْهﺄْا ﺎ و آ يذ بﺎ ْ عﺎ ا ﺎ أ ﺎ و ﺔﻄﻘ ْ لﺎ ﺪهﺎ ﺎ إ ْنأ ْ ْ ﺎﻬْ ﺎﻬ ﺎ ْ و لﺰ مْﻮﻘ ْ ﻬْ ﻓ ْنأ ْ هوﺮْﻘ ْنﺈﻓ ْ ْ هوﺮْﻘ ْ ﻬ ﻓ ْنأ ْ هﻮ ﻘْ ْ ْ هاﺮ 25 Yang dimaksud dengan perkataan “dan semisalnya” dalam hadist di atas, menurut jumhur ulama adalah Sunnah Rasulullah saw. c. Ijma’ 25 Kitab Musnad Ahmad. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 35. h.37. Pengertian Ijma’ menurut bahasa etimilogi adalah “kesepakatan” atau “konsensus”. Selain itu mengandung arti “ketetapan hati untuk melakukan sesuatu”. Sedangkan secara terminology, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh para ulama. Imam Ghazali mendefinisikan ijma’ dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama”. Rumusan ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad saw., yaitu umat Islam, tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat Islam, termasuk orang awam. 26 Rumusan menurut al-Amidi mengikuti pandangan Imam As-Syafi’I yang meyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Selanjutnya al-Amadi merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-‘aqdi dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwakasus”. Rumusan tersebut menunjukkkan bahwa tidak semua orang bias melakukan ijma’, melainkan orang-orang tertentu yang disebut dengan ahl al-hall wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab langsung terhadap umat. Maka orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma’. 27 26 KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008. h.92. 27 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008. h.93. Sedangkan jumhur ulama merumuskan bahwa ijma’ adalah “kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’”. Dari beberapa rumusan diatas bahwa ijma’ hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Jumhur ulama perlu menyatakan “setelah wafatnya Rasulullah saw”. sebab selama Rasulullah masih hidup seluruh permasalahan yang timbul langsung dapat ditanyakan kepada beliau, sehingga tidak diperlukan ijma’. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat menjadi dalil hukum hujjah selagi memenuhi rukun-rukun ijma’. Dalam kondisi terseut ijma’ menjadi hujjah yang qath’i pasti, wajib diamalkan dan tidak boleh diingkar, sehingga jika ada orang yang mengingkarinya maka dianggap kafir. Dengan begitu ijma’ juga dapat dijadikan sebagai dasar penetapan fatwa. Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ tidak boleh lagi menjadi permasalah oleh umat generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I dan menempati urutan yang ketiga sebagai dalil syara’ setelah Al-qur’an dan As-Sunnah. d. Qiyas Pengertian qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian qiyas secara terminology terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung arti yang sama. 28 Menurut mayoritas ulama Syafiiyyah : ﻜ ﺎ ﻬ ﺎ ﺮ ﺎ ﺎ ﻬ وا ﺎ ﻬ ﻜ ا تﺎ ا ﻰﻓ مﻮ ﻰ مﻮ ﺮ ﺔ وا 29 “Membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat”. Menurut Wahbah al-Zuhaili merumuskan qiyas dengan: ﻓ ﺎ ﻬآ اﺮ ﻻ ﻜ ﻰ صﻮ ﺮ ﺎ ﻰ ﺮﺸ ا ﻜ ﻰ صﻮ ﺮ ﺮ ا قﺎ ا ﻜ ا ﺔ 30 “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebutkan kasatuan ‘illat hukum antara keduanya”. Dari beberapa rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal, tetapi hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum yang telah ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. 28 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008. h.105. 29 Al-Ghazali, Al-Mustassyfa fi ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al kutub al-Ilmiyah, jilid II, h.54. 30 Wahbah al-Zuhaili. Al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah 1991, jilid I. h.601. Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum meminum bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman tersebut mengandung zat yang memabukkan, seperti yang ada pada zat yang ada pada khomer mengandung zat yang memabukkan. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi illatnya, sebab illatnya bir dan wisky sama seperti ‘illatnya khomer. Dengan demikian mujtahid tersebut telah menemukan bahwa hukum bir dan wisky sama dengan hukum khomer yaitu haram. 31 Para ulama berbeda pendapat tentang apakah qiyas dapat dijadikan dasar hukum. Tetapi jumhur ulama ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’.

3. Sifat Fatwa