Perlindungan Hukum Bagi KonsumenTerhadap Obat Tradisional Impor (Studi Kasus Shen Long Gingseng Powder)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP OBAT TRADISIONAL IMPOR

(Studi Kasus Shen Long Gingseng Powder)

SKRIPSI

Diajukan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Disusun Oleh:

Nur Fika NIM: 1110048000019

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memenuhi gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 April 2014


(5)

v ABSTRAK

NUR FIKA. 1110048000019. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP LABEL KEMASAN OBAT TRADISIONAL IMPOR. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini membahas mengenai perlindungan konsumen terhadap label kemasan obat tradisional impor, khususnya obat tradisional Shen Long Gingseng Powder. Pada label kemasan obat Shen Long Gingseng Powder tidak mencantumkan bahasa Indonesia pada informasi obat dan aturan pakai. Serta setelah dilakukan pengecekan ulang di web BPOM ternyata nomor registrasi yang tertera pada kemasan obat tersebut adalah fiktif. Ini sangat jelas bahwa pelaku usaha ataupun produsen telah melakukan pelanggaran yang sangat membahayakan konsumen. Padahal di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data data sekunder. Dimana yang dikaji adalah aturan-aturan yang tertulis dalam undang-undang, norma, ataupun kaidah lainnya.

Adapun hasil penulisan ini yaitu obat tradisional impor yang beredar di Indonesia harus mencantumkan Bahasa Indonesia di samping bahasa aslinya pada label kemasannya dan informasi produk merupakan hak dari konsumen yang harus disediakan oleh pelaku usaha atau produsen.

Kata kunci : perlindungan hukum; konsumen; obat tradisional; impor. Dosen Pembimbing : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H.


(6)

vi

Alhamdulillahirabbil‟aalamin, penulis menyampaikan segala puji dan syukur

kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Penulis menghaturkan shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi dan Rasul kita Muhammmad SAW, kepada segenap keluarganya, sahabat serta umatnya sepanjang zaman, yang Insya Allah kita ada di dalamnya.

Dengan rahmat dan petunjuk penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT. Atas segala karunia sehingga penulis bersyukur, dengan limpahan dan kasih sayang-Nya,

mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAPOBAT TRADISIONAL IMPOR (Studi Kasus Shen Long Gingseng Powder)”, sebagai salah satu syarat yang diwajibkan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Universitas UIN Syarif Hidyatullah Jakarta. Proses perjalanan yang panjang untuk menyelesaikan skripsi ini tidaklah mudah terdapat banyak hambatan dan rintangan yang penulis temui dan alami. Berkat ridha-Nya serta doa, kesungguhan hati dan kerja keras, akhirnya penulis sampai titik proses akhir penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari betapa sederhana karya tulis ini dan jauh dari sempurna. Namun juga penulis tidak menutup mata akan peran berbagai pihak yang telah


(7)

vii

banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan kata terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., MH., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Bapak Abu Thamri, S.H, M.Hum selaku sekretaris Program Studi Ilmu hukum yang telah membantu penulis hingga usai.

3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., MH., selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bimbingannya serta petunjuk dan arahan yang bermanfaat kepada penulis sampai skripsi ini selesai.

4. Dr.Sherley, M.Si. selaku Direktur Obat Asli Indonesia dan Ibu Tiodora Sirait selaku kasubag penyuluhan hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan yang telah memberikan informasi dan pelayanan kepada penulis terkait dengan penyelesaian penulisan skripsi ini.

5. Pimpinan dan Staf Perpustakan FSH, Perpustakaan Utama, Perpustakaan UI, Perpustakaan BPOM yang telah memberikan fasilitas peminjaman buku yng dibutuhkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua orang tua penulis Bapak H.Djadjang Syarif Hidayat,SP.d dan Ibu Hj. Saryanah, SP.d, yang selalu memberikan motivasi dan doa kepada penulis. Makasi yaah buat mamah dan ayah, I love you forever.


(8)

viii

menjadi moodboster onty.

8. Wardah Festi Utami selaku responden penulis yang telah meluangkan waktu untuk dapat diwawancarai oleh penulis.

9. Qomarudin, Ibu Ida, Mas Hamdi, Mas Faqih, Pak Zafrullah dan Mba Dwi yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis dan memberikan pendapat kepada penulis.

10.Untuk teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan motivasi dan saran kepada penulis Zia, Zikri, Atik, Norma, Liza, Apri, Defi, Andi, Ninis, Ajeng, Setyo dan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.

11.Untuk teman-teman KKN Lingkar Respect Beni, Arvi, Eel, Dwi dan yang lainnya yang telah mensupport penulis.

12.Untuk sahabat yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah penulis yaitu Oktaria Safitri. Makasi ya Okce atas kritikan dan sarannya.

13.Untuk teman-teman FKMB yaitu Bang Ridwan Darmnsyah, Bang Enji, Iqbal, Bang Aim, Helmi dan abang mpok lainnya yang sangat membantu penulis yang telah memberikan link ke BPOM. I love you guys.

14.Untuk teman-teman SD yaitu Wahyu, Ibnu, Dhani, Mas Bewok dan yang lainnya yang masih selalu mendukung penulis dan menghibur penulis ketika timbul rasa


(9)

ix

bosan dan malas.

Ahkirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih membutuhkan banyak masukan, kritik dan saran lebih lanjut. Dan dengan segala kerendahan hati penulis menyajikan skripsi ini, dengan harapan semoga dapat berguna bagi penulis dan para pembaca.

Jakarta, April 2014


(10)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 3

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D.Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 5

E. Kerangka Konseptual ... 6

F. Metode Penelitian ... 7

G.Sistematika Penulisan ... 10

BAB II HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 12

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 13

C. Pihak-Pihak dalam Hukum Perlindungan Konsumen ... 16

D. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 19

E. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 21

F. Tahap-Tahap Transaksi ... 22


(11)

x

BAB III PROFIL OBAT SHEN LONG GINGSENG POWDER OLEH BPOM

A.Obat Tradisional Impor

1. Pengertian Obat Tradisional ... 28 2. Peran Label dalam Obat Tradisional Impor ... 29 B. Obat Shen Long Gingseng Powder

1. Sejarah Obat Shen Long Gingseng Powder ... 31 2. Khasiat Obat Shen Long Gingseng Powder ... 33 C. Badan Pengawas Obat dan Makanan

1. Pengertian dan Latar Belakang BPOM ... 34 2. Fungsi dan Wewenang Badan POM ... 35 3. Kode Bahan Pengawas Obat dan Makanan ... 36

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

TERHADAP OBAT TRADISIONAL IMPOR SHEN LONG GINGSENG POWDER

A. Mekanisme Pemberian Informasi Obat Tradisional Impor .... 38 B. Perlindungan Konsumen Terhadap Label Obat Tradisional

Impor Shen Long Gingseng Powder ... 45

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 53 B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 007 Tahun 2012, obat tradisional dapat didefinisikan dengan bahan atau ramuan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral sedian galenik atau bahan campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai norma yang berlaku di masyarakat.

Dengan adanya pasar bebas dan persaingan global saat ini, banyak obat tradisional impor yang beredar di Indonesia yang tidak mencantumkan Bahasa Indonesia pada label kemasannya. Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan/atau jasa yang berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dan dengan harga yang wajar.

Kurang tersedianya informasi tentang obat tradisional impor, dalam hal ini adalah informasi produk dalam Bahasa Indonesia merupakan salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen. Informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuaan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan. Disini konsumen dijadikan objektifitas bisnis dari pelaku usaha melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, penerapan


(13)

perjanjian-perjanjian standar yang dapat merugikan konsumen, bahkan dalam hal yang ekstrim konsumen dijadikan sasaran penipuan oleh pelaku usaha.1 Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak dan kewajibannya.2 Kedudukan konsumen pada umumnya masih sangat lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar, karena itu sangatlah dibutuhkan adanya undang-undang yang melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.3

Di tahun 2009, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metrojaya menyita lebih dari 100 paket obat tradisional atau jamu impor yang keseluruhannya tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).4 Setiap obat tradisional impor harus mempunyai label dan sudah terdaftar di BPOM. Tujuannya agar konsumen tidak ragu dalam memilih suatu obat tradisional impor serta tidak mengancam kesehatan konsumen.

Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur mengenai keharusan pelaku usaha dan distributor untuk mencantumkan informasi yang benar tentang produk yang akan beredar di pasaran. Pada Pasal 8 Ayat (1) huruf (i) dan huruf (j) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang larangan-larangan bagi pelaku usaha. Akan tetapi kedua aturan ini pada kenyataannya

1

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, cet. 1, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 15.

2

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,

(Jakarta : Panta Rei, 2005), hlm. 14. 3

Abdul Halim Barakatullah, Hukum Perlindungan Konsumen : Kajin Teoritis dan Perkembangan Pemikiran (Bandung : Nusa Media, 2008), hlm. 19.

4

Waspadai Jamu China Berbahaya, http://m. log. viva. co. id/news/read/751589-waspadai-_jamu_china_berbahaya, diakses pada tanggal 25 Oktober 2013.


(14)

tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Masih banyak obat-obat tradisional impor yang sama sekali tidak mencantumkan Bahasa Indonesia pada label kemasannya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tersebut dan berusaha untuk dapat mengembangkan solusi atas permasalahan di atas dalam skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP OBAT TRADISIONAL IMPOR (Studi Kasus Shen Long Gingseng Powder)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat permasalahan mengenai perlindungan konsumen obat tradisional impor sangat luas maka penulis membatasi penelitian hanya membahas tentang perlindungan hukum bagi konsumen atas informasi pada label kemasan obat tradisional impor Shen Long Gingseng Powder.

2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang penulis ajukan dalam tulisan ini adalah :

a. Bagaimana mekanisme pemberian informasi khususnya pada obat tradisional impor?

b. Bagaimana perlindungan konsumen terhadap label obat tradisional impor


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah memahami pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini telah cukup lama di Indonesia, tetapi masih saja kepentingan konsumen banyak dirugikan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk lebih memahami hak dan kewajiban yang dimiliki konsumen dan juga pelaku usaha.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai pemberian informasi khususnya pada obat tradisional.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap label kemasan obat tradisional impor Shen Long Gingseng Powder.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, yaitu bagi :

a. Teoritis

Sebagai penambahan wawasan tentang produk obat tradisional impor yang menggunkan label berbahasa Indonesia dan telah lulus uji dari BPOM.

b. Praktis

Sebagai bahan pertimbangan BPOM dalam pemberian label obat-obatan tradisional impor di Indonesia.


(16)

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis melakukan kajian pustaka dan menemukan hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan erat dengan topik yang akan diteliti oleh penulis, diantaranya :

1. “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN OBAT ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN OLEH IKLAN OBAT YANG MENYESATKAN : SUATU TINJAUAN BERDASARKAN HUKUM PERDATA” oleh Rosma Handayani, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1993. Dalam skripsi tersebut membahas mengenai iklan suatu produk obat dan ditinjau dari aspek hukum perdatanya. Jelas beda dengan apa yang diteliti oleh penulis yaitu dalam penelitian penulis lebih mendekati obat tradisional impor yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia. 2. “PEREDARAN PRODUK PERMEN IMPOR DITINJAU DARI UNDANG

-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS PEREDARAN PRODUK PERMEN WHITE RABBIT”, oleh Ken Prasadtyo, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2009. Skripsi tersebut membahas mengenai perlindungan konsumen dalam bidang produk pangan, khususnya produk permen impor. Sedangkan penulis meneliti tentang obat tradisional impor yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada kemasannya. Jelas titik fokus yang ditelitinya berbeda.


(17)

E. Kerangka Konseptual

Untuk lebih memahami isi daripada penelitian ini, maka akan diuraikan beberapa istilah yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini agar tidak terjadinya interpretasi, sebagai berikut :

1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

3. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak aupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

5. Impor adalah kegiatan memasukan barang ke dalam pabean.

6. Label adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambaran, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan menempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.


(18)

7. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Pada bagian ini penulis akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal yang terkait dengan metode penelitian dari skripsi ini, yaitu :

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.5 Dimana yang dikaji adalah aturan-aturan yang tertulis dalam undang-undang, norma, ataupun kaidah lainnya.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah pada penlitian ini yang menggunakan metode normatif yaitu tentu saja pendekatan perundang-undangan (statute approach),

karena dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa regulasi perundang-undangan sebagai pendekatannya6 seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Kepala Badan POM No. 00.05.41.1384 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Fitofarmaka, dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

5

Widya Nukilan, Metode Penelitian Hukum, cet. I (Jakarta : Tim Pengajar, 2005),hlm. 9. 6


(19)

Selain itu digunakan juga pendekatan studi kasus yang dalam penelitian penulis menggunakan studi kasus obat Shen Long Gingseng Powder. Setelah itu penulis anlisis dengan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungn Konsumen dan Peraturan Kepala Badan POM No. 00.05.41.1384 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Fitofarmaka.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang berisi ketentuan hukum mengikat dan tertulis. Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer berupa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 Tentang Label Iklan dan Pangan, Peraturan Badan POM No. 27 Tahun 2013 Tentang Pengawasan Obat dan Makanan Kedalam Wilayah Indonesia, Peraturan Kepala Badan POM No. 00.05.41.1384 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Fitofarmaka, serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan obyek penelitian.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu terutama berupa buku-buku teks bacaan yang terkait mengenai prinsip dasar dan ilmu hukum. Sumber hukum


(20)

sekunder yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah buku hukum yang terkait dengan perlindungan konsumen dan obat tradisional.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Disini penulis melakukan wawancara dengan Direktur Obat Asli Indonesia yaitu Ibu Dr. Sherley, M.Si., Apt, Ibu Tiodora Sirait selaku Kasubag Penyuluhan Hukum dan Ibu Wardah Festi Utami selaku konsumen obat Shen Long Gingseng Powder. 4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang telah terkumpul tersebut baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier diklasifikasikan sesuai dengan masalah hukum yang dibahas. Setelah itu bahan hukum tersebut diuraikan dan diteliti secara sistematis. Dan pengolahan data dapat dilakukan dengan cara deduktif yakni menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada. Sehingga pertanyaan atas masalah dapat teruraikan dan terjawab.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunkan teknik pengumpulan data secara

library research (studi kepustakaan). Baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara komprehensif.


(21)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun perinciannya sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan. Pada bab ini memuat latar belakang masalah,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (Review) studi terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Kerangka Teori. Pada bab ini akan membahas mengenai Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, pihak-pihak dalam hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, tahap-tahap transaksi dan sanksi-sanksi.

BAB III : Profil Obat Shen Long Gingseng Powder Oleh Badan POM. Pada bab ini akan membahas mengenai pengertian obat tradisional impor, peran label dalam obat tradisional impor, sejarah obat shen long gingseng powder, khasiat dari obat shen long gingseng powder, pengertian dan latar belakang BPOM, fungsi dan wewenang BPOM, dan kode bahan pengawas obat dan makanan.

BAB IV : Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Label Kemasan Obat Tradisional Impor Shen Long Gingseng Powder. Bab ini akan membahas mengenai mekanisme pemberian informasi obat


(22)

tradisional impor, dan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap label obat tradisional impor Shen Long Gingseng Powder.


(23)

12 BAB II

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Pada intiya hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan.1 Baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen ternyata belum dibakukan menjadi satu pengertian yang resmi, baik dalam perundang-undangan maupun kurikulum akademis.

Menurut Az. Nasution hukum konsumen adalah sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah uang mengatur hubungan dan masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat.2 Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya dengan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/ atau jasa) antara penyedia dan penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat.3

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum konsumen adalah

1

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 20-21.

2

Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 22.

3

Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 22.


(24)

keseluruhan asas-asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.

Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum tersebut bermasalah dalam kehidupan bermasyarakat dan berada dalam kedudukan yang tidak seimbang. Pada umumnya, kedudukan konsumen lebih lemah daripada kedudukan pelaku usaha.

Pada dasarnya, hukum perlindungan konsumen merupakan usaha untuk mewujudkan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan kepada sejumlah asas yang telah diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat lima asas perlindungan konsumen yang diatur dalam Pasal 2. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :

1. Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.


(25)

2. Asas keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberi kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya;

3. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberi keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual ;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

Apabila memperhatikan substansi dari Pasal 2 dan penjelasannya tentang asas-asas perlindungan konsumen terlihat jelas bahwa rumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia.


(26)

Selain kelima asas tersebut di atas, UUPK juga merumuskan tujuan perlindungan konsumen, yang dirumuskan pada Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat 6 (enam) tujuan dilakukannya perlindungan konsumen, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa:

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Membutuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.


(27)

C. Pihak-Pihak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen 1. Konsumen

Kata konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yakni consumer, atau dalam bahasa Belanda, konsument. Konsumen secara harfiah adalah orang yang melakukan, membelanjakan, atau menggunakan pemakai atau pembutuh.4 Jika didasakan pada obyek barang dan/atau jasa, maka terdapat tiga pengertian konsumen, yaitu konsumen dalam arti umum, konsumen antara, dan konsumen akhir. Konsumen dalam arti umum adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu. Sedangkan konsumen antara adalah pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk memproduksi barang dan/atau jasa lain; atau mendapatkan barang dan/atau jasa itu dengan tujuan dijual kembali. Mereka yang disebut konsumen antara ini tidak lain adalah pengusaha, baik pengusaha perorangan ataupun pengusaha swasta ataupun pengusaha publik antara lain terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang digunakan konsumen akhir (produsen), atau penyedia atau penjual produk akhir (supllier, distributor, atau pedagang). Dan konsumen akhir adalah pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, keluarga atau rumah tangganya. Mereka pada dasarnya adalah orang alami (natuurlijk person) dan menggunakan produk konsumen tidak untuk diperdagangkan dan/atau tujuan komersial.

4

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), hlm. 4 dan 8.


(28)

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (2) mendefinisikan konsumen sebaagai berikut :

"Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan". Definisi dari UUPK itu sendiri sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end user/pengguna terakhir, tanpa si konsumen harus merupakan pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut.

Istilah pemakai, pengguna dan/ atau pemanfaat juga mempunyai pengaturan penggunaannya masing-masing, yakni sebagai berikut :5

a. Istilah pemakai digunakan untuk pemakaian produk konsumen yang mengandung elektronik/listrik, misalnya lemari, meja tulis, dan lain sebagainya.

b. Istilah pengguna digunakan untuk pemakai produk konsumen yang mengandung elektronik, misalnya setrika listrik, dan lain sebagainya; c. Istilah pemanfaat digunakan untuk pemakai produk konsumen yang berupa

jasa-jasa, misalnya transportasi, posdan telekomunikasi, dan perbankan.

2. Pelaku Usaha

Pelaku usaha merupakan istilah yuridis dari produsen. Istilah produsen bersal dari bahasa Belanda yakni producent, dari bahasa Inggris producer

5

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 13.


(29)

yang artinya adalah penghasil. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan pelaku usaha dapat dilihat pada Pasal 1 angka (3) UUPK yaitu :

"Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi".

Selanjutnya, dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian tersebut di atas adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

Kemudian, menurut Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), pelaku usaha tersebut terbagi ke dalam tiga kelompok besar pelaku usaha ekonomi, yakni sebagai berikut :6

a. Pihak investor, yakni penyedia dana untuk digunakan oleh pelaku usaha atau konsumen seperti bank, lembaga keuangan non-bank, dan para penyedia dana lainnya;

b. Pihak produsen, yakni pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang dan/atau jasa-jasa yang lain seperti penyelenggara jasa kesehatan, pabrik sandang, pengembang perumahan, dan sebagainya; c. Pihak distributor, yakni pelaku usaha yang mengedarkan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat seperti warung, toko, kedai, supermarket, pedagang kaki lima, dan lain-lain.

6

Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 18


(30)

D. Hak dan Kewajiban Konsumen

Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. UUPK merumuskan sejumlah hak-hak konsumen dalam Pasal 4. Menurut Pasal 4 UUPK, ada sembilan hak konsumen antara lain sebagai berikut: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau pengantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;


(31)

Esensi dari hak untuk mendapatkan atau memperoleh keamanan adalah bahwa setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Keterangan informasi sangat penting karena konsumen dapat mengetahui bagaimana kondisi barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsinya. Selanjutnya esensi dari hak untuk memilih adalah bahwa setiap konsumen berhak memilih suatu produk yang mungkin dapat merugikan hak-haknya.

Selain hak-hak yang disebutkan di atas, konsumen juga memiliki kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 5 UUPK, yakni sebagai berikut: 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi badan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hal tersebut di atas dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh hasil yang maksimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya. Pentingnya kewajiban ini, karena pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi hilangnya tanggung jawab pelaku usaha apabila


(32)

konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.

E. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Menurut UUPK, Pasal 6, ada lima hak dari pelaku usaha, empat diantaranya merupakan hak yang secara eksplisit diatur dalam UUPK dan satu hak lainnya diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selain hak-hak yang disebutkan di atas, pelaku usaha juga memiliki kewajiban-kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 7 UUPK, yakni sebagai berikut :


(33)

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

F. Tahap-Tahap Transaksi

Perpindahan barang dan/atau jasa dari pelaku usaha kepada konsumen disebut dengan transaksi. Transaksi antara pelaku usaha dan konsumen dapat dilakukan diberbagai tempat. Sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, transaksi konsumen dapat dilakukan tanpa perlu bertemu langsung antara kedua belah pihak. Suatu kegiatan yang dapat dikategorikan dengan kegiatan transaksi konsumen dapat dibagi dalam beberapa tahapan.


(34)

Sebagian besar predikat konsumen diperoleh sebagai konsekuensi mengkonsumsi barang dan/atau jasa melalui suatu transaksi konsumen. Transaksi konsumen adalah peralihan barang dan/atau jasa, termasuk di dalamnya peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.7 Dalam praktik sehari-hari terjadi beberapa tahapan transaksi konsumen. Tahap-tahap tersebut adalah :

1. Tahap Pra Transaksi

Pada tahap ini, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman, pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi. Konsumen masih mencari tahu dimana kebutuhannya harus didapatkan, harga dan/atau syarat-syarat yang ia mampu memenuhinya, serta berbagai fasilitas atau kondisi yang ia inginkan. Dengan kata lain, yang terpenting bagi konsumen saat ini adalah mendapatkan informasi atau keterangan yang benar, jelas dan jujur dari pelaku usaha yang beritikad baik dan bertanggung jawab mengenai produk dan/atau jasa tersebut.

2. Tahap Transaksi

Yaitu tahap terjadinya proses peralihan pemilikan barang dan/atau jasa pemanfaatan jasa tertentu dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada tahap ini, pelaku usaha wajib memperlakukan konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu barang dan/atau jasa sesuai standar yang berlaku, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji dan mencoba barang/jasa tertentu dan memberi jaminan dan/atau garansi atas barang (Pasal

7

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, cet. 3, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2096), hlm. 19.


(35)

7 huruf c, d, e UUPK). Pada saat ini, konsumen mendapatkan kecocokan pilihan barang dan/atau jasa dengan persyaratan pembelian serta harga yang dibayarnya. Yang menentukan dalam tahap ini adalah syarat-syarat perjanjian peralihan pemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa tersebut, penyerahan dan/atau cara pembayaran atau pelunasan.

Perilaku usaha sangat menentukan, seperti penentuan harga produk konsumen, penentuan persyaratan perolehan atau pembatalan perolehannya, kalusula-klausula, khususnya klausula baku yang mengikuti transaksi dan persyaratan-persyaratan jaminan, keistimewaan atau kemanjuran yang dikemukakan dalam transaksi barang dan/atau jasa.

Umumnya, pada saat ini apabila perikatan terjadi secara tunai, maka tidak atau kurang bermasalah. Akan tetapi, pada perikatan dengan cara pembayaran atau pelunasan berjangka (antara lain penjualan beli sewa, kredit perbankan, kredit pemilikan rumah, dan sebagainya), sering menimbulkan masalah. Tidak jarang kita temui orang-orang yang menandatangani suatu konsep perjanjian tanpa terlebih dahulu membaca dengan teliti syarat-syarat yang terdapat dalam perjanjian itu. Dengan berlakunya UUPK, semua klausula baku yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menjadi batal demi hukum.

3. Tahap Purna Transaksi

Tahap ini dapat juga disebut tahap purna jual yaitu tahapan setelah transaksi terjadi. Pada tahap ini, tahapan pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang telah beralih pemilikannya atau pemanfaatannya


(36)

dari pelaku usaha kepada konsumen. Setelah transaksi terjadi pelaku usaha wajib memberi kompensasi/ganti rugi atau penggantian pemakaian, penggunaanm dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan pada konsumen yang dirugikan. Juga apabila barang dan/atau jasa tersebut tidak sesuai dengam perjanjian sehingga berakibat menimbulkan kerugian kesehatan tubuh, keamanan jiwa dan/atau harta bendanya. Pada tahap ini, apabila informasi (baik lisan maupun tertulis) dari barang dan atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha sesuai dengan pengalaman konsumen dalam pemakaian, penggunaan dana dan/atau pemanfaatan produk konsumen tersebut, maka konsumen akan puas. Tetapi apabila sebaliknya terjadi, artinya informasi produk konsumen yang diperoleh oleh konsumen tidak sesuai dalam kenyataan pemakaian, pemggunaan dan/atau pemanfaatannya oleh konsumen, maka tentulah akan timbul masalah antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan yang akan menimbulkan sengketa konsumen.8

G. Sanksi-Sanksi

Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, maka kita harus berbicara soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha) dari pemakaian, penggunaan, dan/atau pemanfaatan oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.9

8

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 44.

9

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, cet. 3, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 59.


(37)

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar kaidah hukum dipatuhi adalah dengan mencantumkan sanksi-sanskinya. Ketentuan mengenai sanksi diatur dalam UUPK di dalam Bab XIII yang dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. UUPK membedakan antara sanksi administratif dengan sanksi pidana sebagai berikut :

1. Sanksi Administratif

Sanksi administratif diatur dalam Pasal 60. Sanksi ini merupakan "hak khusus" yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Perlindungan Konsumen (BPSK) atas tugas dan wewenang yang diberikan untuk menyelesaikan segketa konsumen di luar pengadilan.

Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK berdasarkan Pasal

60 UUPK adalah berupa penetapan ganti rugi setinggi-tingginya Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) terhadap pelaku usaha yang

melakukan pelanggaran terhadap/dalam rangka tidak dilaksanakannya :

a. Pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepda konsumen, dalam bentuk pengambilan uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;

b. Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;


(38)

c. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya; juga berlaku terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa. 2. Sanksi Pidana Pokok

Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam UUPK diatur dalam Pasal 62, undang-undang ini juga mengatur bahwa ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diberlakukam dalam upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen.

3. Sanksi Pidana Tambahan

Undang-undamg Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok. Hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam Pasal 63 UUPK. Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan berupa:

a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. Kewajibam penarikan barang dari peredaran; f. Pencabutan izin usaha.


(39)

28 BAB III

OBAT TRADISIONAL SHEN LONG GINGSENG POWDER OLEH BPOM

A.Obat Tradisional Impor

1. Pengertian Obat Tradisional Impor

Obat tradisional adalah ramuan bahan alami yang belum dimurnikan, berasal dari tumbuhan, hewan dan mineral, yang digunakan untuk pengobatan pada pelayanan kesehatan tradisional, misalnya jamu adalah yang merupakan kesehatan tradisional ramuan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Obat tradisional sudah sejak lama digunakan secara luas di Indonesia. Dalam perkembangan pelayanan kesehatan formal, peran obat tradisional sebagai yang belum pernah dinilai secara ilmiah baik mengenai efektivitas maupun keamanannya.1

Obat tradisional oleh Menteri Kesehatan diklasifikasikan sebagai jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu ialah obat tardisioanl yang didasarkan pada pendekatan warisan turun temurun atau pendekatan empirik. Sedangkan obat herbal terstandar adalah obat tradisional yang didasarkan pada pendekatan ilmiah melalui uji pra-klinik. Selain itu, fitofarmaka merupakan obat tradisional yang didasarkan pada pendekatan ilmiah yang

1

Midian Sirait, Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Perlindungan dan Pengawasan Terhadap Pemakaian Obat Tradisional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995) hlm. 20


(40)

telah diuji melalui uji pra-klinik dan uji klinik.2 Sedangkan obat tradisional impor yaitu jamu atau herbal yang yang dibuat dibuat dan didatangkan dari luar negeri.

Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum, dan dapat ditempelkan pada permukaan kulit tetapi tidak tersedia dalam bentuk suntikan atau aerosol. Dalam bentuk tersebut obat tradisional dapat berbentuk bubuk yang menyerupai obat modern, seperti kapsul, dan tablet. Ketersediaan obat tradisonal dalam berbagai bentuk ini perlu dibina dan perlu diawasi oleh pemerintah supaya tidak terjadi pencemaran dengan bakteri atau bahan alami lainnya. Disamping itu perlu diwaspadai pencampuran obat tradisional dengan bahan kimia sintesa.3

2. Peran Label dalam Obat Tradisional Impor

Upaya melindungi diri bagi konsumen akan lebih maksimal apabila sebelum melakukan suatu transaksi, konsumen telah mengetahui seluk beluk barang yang akan dibelinya. Pengetahuan mengenai seluk beluk barang sudah tentu tidak akan didapatkan begitu saja oleh konsumen, tapi berdasarkan informasi yang diberikan oleh pelaku usaha atau sumber lainnya.

2

Departemen Kesehatan, Kebijakan Obat Tradisional, (Jakarta : Departemen Kesehatan, 2007),hlm. 11.

3

Midian Sirait, Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Perlindungan danPengawasan Terhadap Pemakaian Obat Tradisional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995) hlm. 22.


(41)

Label merupakan informasi yang bersifat wajib.4 Label merupakan media bagi konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai barang yang akan dikonsumsinya. Informasi yang diberikan pelaku usaha dalam suatu label harus dapat menjelaskan segala sesuatu yang relevan bagi kepentingan konsumen terhadap suatu barang, kegunaan dan penggunaan suatu barang, kelebihan dan kekurangannya, atau keuntungan dan kerugian bagi konsumen harus dapat ditangkap oleh konsumen setelah membaca label tersebut. Oleh karena itu label harus jelas dan dimengerti oleh konsumen.

Tujuan mencantumkan label bagi konsumen merupakan sarana untuk mewujudkan hak-hak konsumen, khususnya hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk memilih.5 Label sebagai informasi bagi konsumen harus benar, jelas dan jujur. Secara umum, konsumen tidak mengetahui dan tidak mengerti metode penyiapan, proses produksi, pengawetan dan pengemasan produk-produk yang dikonsumsinya. Di dalam beberapa peraturan perundang-undangan disebut dengan berbagai istilah antara lain penandaan, label atau etiket.

Di dalam Pasal 30 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.

4

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 59.

5

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm. 152.


(42)

Apabila seorang pemakai atau konsumen membeli barang, ia menginginkan hal sebagai berikut:6

a. Keyakinan bahwa barang tidak berbahaya bagi keselamatan dan kesehatannya;

b. Banyak sumbernya sehingga akan lebih bebas memilih;

c. Informasi yang jelas dan dapat dipercaya untuk dapat menilainya dan membandingkannya sehingga dapat disesuaikan dengan keperluannya; d. Kepastian bahwa barang akan cocok, tepat ukurannya, dan dapat

digunakan bersama barang yang telah dipunyainya;

e. Mengetahui bagaimanan menggunakan dan memeliharanya;

f. Jaminan bahwa barang yang dapat digunakan dan berfungsi dalam waktu yang wajar.

Label penting diketahui sebagai informasi yang sesungguhnya, terutama mengenai substansi dan standar pemakaian yang dilabelkan. Akan tetapi dalam praktiknya, standar pelabelan seringkali dilanggar pelaku usaha, akibatnya banyak konsumen yang menjadi korban.

B. Obat Shen Long Gingseng Powder 1. Sejarah Shen Long Gingseng Powder

Shen Long Gingseng Powder merupakan obat tradisional yang berasal dari Malaysia. Obat tersebut familiar dengan sebutan Dragon Gingseng. Shen Long Gingseng Powder atau Dragon Gingseng merupakan salah satu produk

6

Grandi, Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Sudut Pengaturan Standarisasi Hasil Produk Industri, (Departemen Kehakiman RI : BPHN, 1980), hlm. 81-82.


(43)

dari PT Dragon Gingseng adalah gingseng yang dihaluskan menjadi bubuk dengan teknologi nano dengan konsentrat yang tinggi yaitu empat (4) kali sehingga bubuk gingseng cepat diserap tubuh dan cepat memberikan khasiat.

Bahan baku yang digunakan untuk memproses bubuk Dragon Gingseng diambil dari gingseng yang telah berusia enam tahun. Proses penghalusan menjadi bubuk menggunakan suhu rendah di bawah 28 derajat celcius sehingga unsur atau kandungan asli gingseng tidak berkurang dan tidak berakibat panas dalam pada konsumen. Penghalusan produk menjadi ekstrak (sari) menggunakan metode analisa bahan terkini untuk menjadikannya paling manjur.

Dragon gingseng dibiakkan di daerah pertumbuhan gingseng terbaik yaitu di daerah otonom Korea Utara pada wilayah pegunungan yang ketinggiannya melebihi 2.000 kaki di atas permukaan laut.7 Dari segi kelembaban, suhu selama musim panas sekitar 16 derajat celcius, sewaktu musim dingin sekitar -6 derajat Celsius.

Peredaran udara yang baik dan air yang cukup merupakan kondisi dasar pertumbuhan gingseng. Yang paling baik membesarkan gingseng pda lahan pohon pinus merah berusia 30 tahun ke atas menggunakan pupuk organik. Hanya lahan subur seperti itu yang akan menumbuhkan gingseng berkualitas tinggi.

7

http://suplemenmurahasli.blogspot.com/2012/04/shen-long-serbuk-gingseng-powder.html. Diakses pada tanggal 28 Maret 2014.


(44)

2. Khasiat Obat Shen Long Gingseng Powder

Kandungan yang terdapat dalam obat Shen Long Gingseng Powder atau drgon gingseng yaitu gingseng. Manfaat dari gingseng itu tersendiri yaitu menjaga kesehatan, menambah umur dan terutama agar organ tubuh manusia selalu dalam kondisi yang baik. Gingseng tidak hanya untuk penyakit tertentu saja banyak manfaatnya untuk menjaga kesehatan dan sudah dibuktikan oleh beberapa ahli kesehatan dan dari berbagai negara bahwa gingseng sangat berkhasiat terhadap penyakit modern.

Berikut ini merupakan khasiat dari gingseng yaitu :

a. Meningkatkan antibody dengan begitu kita tidak akan mudah flu dan batuk;

b. Menjaga lima organ tubuh penting seperti ginjal, jangtung paru-paru, limpa dan lever;

c. Mencegah percepatan menoupause;

d. Mencegah osteoporosis, rematik, Parkinson dan lain-lain.

Khasiat dari Dragon Gingseng tersebut yaitu untuk berbagai macam penyakit yaitu :

a. Mengatur dan menormalkan fungsi-fungsi lima organ pertama yaitu : jantung, liver, empedu, paru-paru, dan ginjal;

b. Penurunan kesehatan dan kurang stamina; c. Lemah seusai operasi;


(45)

d. Perut lemah dan kembung; e. Penyakit jantung;

f. Kurang energi; g. Kurang darah; h. Kehamilan;

i. Pasien kencing manis; j. Penderita kanker; k. Penderita ginjal; dan l. Penderita stroke.

C.Badan Pengawas Obat dan Makanan

1. Pengertian dan Latar Belakang Badan Pengawas Obat dan Makanan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupkan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), yaitu sesuai dengn keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 merupakan lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden serta bertanggungjawab langsung kepada presiden.

Latar belakang terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah dengan melihat kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi. Dengan kemajuan teknologi tersebut produk-produk lokal maupun impor dapat tersebar secara luas dan menjangkau seluruh strata masyarakat.


(46)

Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang aktif dan efesien yang mampu mendekteksi mencegah dan mengawasi produk-produk dengan tujuan untuk melindungi keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dalam memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.8

2. Fungsi dan Wewenang Badan POM

Menurut Pasal 3 Keputusan Kepala BPOM No. 002001/SK/KBPOM fungsi dri BPOM yaitu :

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan;

b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengwasan obat dan makanan; c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM;

d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan;

e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BPOM mempunyai kewenangan yaitu :

8


(47)

a. Penyusunan secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan;

b. Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk mendukung pembangunan secara makro;

c. Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan;

d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat adiktif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedomanpengawasan peredaran obat dan makanan;

e. Pemberian ijin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi;

f. Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan, dan pengwasan tanaman obat.

3. Kode Badan Pengawas Obat dan Makanan

Definisi kode dalam kamus besar Bahasa Indonesia yaitu tanda (kata-kata, tulisan) yang telah disepakati untuk maksud tertentu, sedangkan BPOM sendiri sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 merupkan lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah yang berfungsi mengawasi kondisi setiap produk obat, makanan dan minuman yang beredar di Indonesia.

Produk obat tradisional yang sudah terdaftar di BPOM dapat dilihat pada kode registrasi yang tercantum pada kemasan/label yang terdiri dari kode POM kode huruf 2 (dua) digit dan dikuti 9 (Sembilan) digit, yaitu :


(48)

a. TR merupakan kode untuk obat tradisional yang dibuat di Indonesia atau merupakan merek nasional atau dalam negeri;

b. TL merupakan kode untuk obat tradisional asing yang diproduksi oleh suatu Industri Obat Tradisional atas persetujuan dari perusahaan yang bersangkutan dengan memakai merk dan nama dagang perusahaan tersebut;


(49)

38 BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

TERHADAP OBAT TRADISIONAL SHEN LONG GINGSENG POWDER

A. Mekanisme Pemberian Informasi Obat Tradisional Impor

Pada dasarnya pemberian informasi pada obat tradsional lokal maupun impor harus mempunyai izin edar. Tujuannya untuk melindungi masyrakat dari peredaran dan penggunaan obat tradisional impor yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan dan khasiat, maka dari itu perlu dilakukannya evaluasi melalui pendaftaran sebelum izin edar.

Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan POM No. Hk. 00.05.41.1384 Pasal 2 ayat (1) bahwa obat tradisional, obat herbal berstandar fitofarmaka yang dibuat atau diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar dari Kepala Badan. Untuk memperoleh izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka harus dilakukan pendaftaran. Pemberian izin edar harus dilaksanakan melalui mekanisme regristrasi sesuai dengan tata laksana yang ditetapkan.

Obat tradisional impor sebelum didaftarkan harus memenuhi kriteria agar dapat memiliki izin edar dari Badan POM. Kriteria tersebut tercantum dalam Pasal 4 yaitu :

1. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan khasiat;

2. Dilihat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisonal yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku;


(50)

3. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin pengguna obat tradisional, obat herbal dan fitofarmaka secara tepat, rasional, dan aman sesuai dengan evaluasi dalam rangka pendaftaran.

Tata cara pendaftaran untuk memperoleh izin edar obat tradisional impor : 1. Pendaftaran diajukan oleh pendaftar kepada Kepala Badan;

2. Pendaftar obat tradisional, obat herbal terstandar fitofarmaka dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu pra penilaian dan penilaian.

3. Pra penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tahap pemeriksaan kelengkapan, keabsahan dokumen dan dilakukan penentuan kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

4. Penilaian sebagaimana dimaksud pda ayat (2) merupakan proses evaluasi terhadap dokumen dan data pendukung.

Setelah data pendaftar masuk ke Kepala Badan POM, maka hasil pra penilaian diberitahukan secara tertulis kepada pendaftar dan bersifat mengikat serta diberitahukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja untuk pendaftar variasi dan 20 (dua puluh) hari kerja untuk pendaftar baru terhitung sejak tanggal diterimanya berkas pendaftaran. Data dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penilaian dalam rangka pendaftaran dijaga kerahasiannya oleh Kepala Badan.

Terhadap pendaftaran dikenakan biaya sesui dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengajuan pendaftaran dilakukan dengan menyerahkan berkas pendaftaran yang terdiri dari formulir tau disket pendaftaran yang telah


(51)

diisi, dilengkapi dengan dokumen administrasi dan dokumen pendukung. Dokumen pendukung obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka terdiri dari dokumen mutu dan teknologi, dan dokumen yang mendukung klaim indikasi sesuai jenis dan tingkat pembuktian.

Berkas pendaftaran obat tradisional impor harus dilengkapi dengan :

1. Rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus, pembungkus, strip, blister

catch cover, dan kemasan lain sesuai ketentuan pembungkus dan penandaan yang berlaku, yang merupakan rangcangan kemasan obat tradisional, obat herbal terstandar fitofarmaka yang diedarkan dan harus dilengkapi dengan rancangan warna;

2. Brosur yang mencantumkan informasi mengenai obat tradisional, obat terstandar dan fitofarmaka. Mengenai informasi yang terdapat pada brosur atau label pada obat tradisional impor tersebut harus dapat diketahui oleh konsumen atau masyarakat yaitu dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Untuk pendaftar baru, berkas yang diserahkan terdiri dari :

1. Formulir TA berisi keterangan mengenai dokumen administrasi ;

2. Formulir TB berisi dokumen yang mencangkup formula dan cara pembuatan; 3. Formulir TC berisi dokumen yang mencangkup cara pemeriksaan mutu bahan

baku dan produk jadi.

4. Formulir TD berisi dokumen yang mencangkup klaim indikasi, dosis, cara pemakaian, dan bets.


(52)

Sedangkan untuk pendaftar variasi, berkas yang diserahkan terdiri dari formulir pendaftaran, dokumen administrasi dan dokumen pendukung mengikuti ketentuan sebagai berikut :

1. Pengisian formulir pendaftaran harus menggunakan Bahasa Indonesia dan/atau Bahasa Inggris;

2. Dokumen pendaftaran dapat menggunkan Bahasa Indonesia dan/atau Bahasa Inggris;

3. Penandaan obat trdisional dalam negeri, obat herbal terstandar fitofrmaka harus menggunakan Bahasa Indonesia;

4. Penandaan obat trdisionl impor harus menggunaakan Bahasa Indonesia di samping Bahasa aslinya.

Terhadap dokumen pendaftar obat tradisional, obat herbal terstandar fitofarmaka yang telah memenuhi ketentuan dilakukan penilaian sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Untuk melakukan penilaian dibentuk Panitia Penilai Obat Tradisional (PPOT) dan Komite Nasional Penilai Obat Tradisional (KOMNAS POT). Pembentukan, tugas dan fungsi PPOT ditetapkan oleh Deputi. Sedangkan pembentukan, tugas dan fungsi KOMNAS POT ditetapkan oleh Kepala Badan.

Hasil penilaian mutu, keamanan, dan khasiat dapat berupa memenuhi syarat, belum memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat. Dalam memenuhi syarat, kepala Badan akan memberikan surat keputusan persetujuan pendaftaran sesuai lampiran 9. Sedangkan dalam hal yang belum memenuhi syarat, maka diperlukan


(53)

tambahan data yang akan diberitahukan secara tertulis dengan menggunkan format lampiran 10.

Pendaftaran yang telah menerima permintan tambahan data maka wajib : 1. Menyerahkan tambahan dan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung

mulai tanggal pemberitahuan;

2. Bila batas waktu 3 (tiga) bulan telah dilampui, berkas pendaftar dikembalikan dengan surat sesuai lampiran 11;

3. Berkas yang dikembalikan dapat diajukan kembli sebagai pendaftar baru dan dilengkapi dengan tambahan data.

Jika dalam hal ini tidak memenuhi syarat, maka Kepala Badan akan memberikan surat keputusn dengan menggunakan format penolakan pendaftaran. Terhadap keputusan belum memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat, pendaftar dapat mengajukan keberatan secara tertulis dengan mekanisme dengar pendapat kepada Kepala Badan. Pengajuan keberatan diajukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal surat keputusan.

Persetujuan pendaftaran obat tradisional obat herbal berstandar fitofarmaka baik dari dalam negeri maupun luar negeri berlaku 5 (lima) tahun selama masih memenuhi ketentuan yang berlaku dan dapat diperpanjang melalui pendaftaran ulang. Untuk melaksanakan izin edar, pendaftar wajib membuat obat tradisional, obat herbal terstandar fitofarmaka atau mengimpor obat tradisional yang telah mendapat izin edar selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah tanggal izin edar dikeluarkan, pendaftar harus menyerahkan kemasan siap edar kepada Kepala


(54)

Badan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum obat tradisional. Obat herbal terstandar dan fitofarmaka dibuat atau obat tradisional impor, pendaftar wajib melaporkan informasi kegiatan pembuatan atau impor secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Kepala Badan.

Kepala Badan dapat membatalkan izin edar obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka baik dari lokal maupun impor apabila :

1. Berdasarkan penelitian atau pemantauan setelah beredar tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 atau;

2. Penandaan informasi tidak sesuai dengan yang telah disetujui; 3. Promosi menyimpang dari ketentuan yang berlaku;

4. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau; 5. Selama 2 (dua) tahun berturut-turut obat tradisional, obat herbal terstandar

dan fitofarmaka tidak dibuat;

6. Izin industri di bidang obat tradisional, izin industri farmasi atau badan usaha dicabut atau;

7. Pemilik izin edar melakukan pelanggaran di bidang pembuatan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka atau impor obat tradisional. Obat tradisional impor yang didaftarkan dilarang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika, atau psikotropika, bahan yang dilarang, dan/atau hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, obat tradisional juga dilarang dalam bentuk sedian intravaginal, tetes mata, parenteral, dan supositoria,


(55)

kecuali digunakan untuk wasir. Obat tradisional, obat herbal tersandar fitofarmaka dalam bentuk sedian cairan obat dalam tidak boleh mengandung etil alcohol dengan kadar lebih bsar dari 1% (satu persen), kecuali dalam bentuk sediaan tingtur (larutan etanol) yang pemakaiannya dengan pengenceran.

Perbedaan izin usaha dan izin edar :

Izin Usaha Izin Edar

1. Izin untuk berdirinya perusahaan di Indonesia.

2. Izin diberikan oleh Menteri

Kesehatan, atau Kepala Kantor wilayah Departemen Kesehatan.

3. Diatur dalam Peraturan Menteri

Kesehatan No. 246 Tahun 1990 4. Memiliki syarat :

Dilakukan oleh Badan Hukum (PT atau Koperasi).

Memiliki nomor wajib pajak. Didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari lingkungan.

Mempekerjakan apoteker WNI sebagai penanggung jawab teknis Wajib mengikuti CPOTB

1.Izin untuk mengedarkan obat

tradisional di Indonsia.

2.Izin diberikan oleh Kepala Badan POM

3. Diatur dalam Peraturan Kepala Badan POM No: HK. 00.05.41. 1384.

4.Memiliki syarat :

Menggunaakan bahan berkhasiat sesuai mutu, keamanan, dan khasiat.

Dibuat sesuai CPOTB.

Penandan berisi informasi yang lengkap dan obyektif sesuai dengan hasil evaluasi.


(56)

B. Perlindungan Konsumen Terhadap Label Obat Tradisional Impor Shen Long Gingseng Powder

Secara tegas di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan; barang dan/atau jasa yang tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.1

Dalam penelitian Penulis, telah ditemukan bukti-bukti pelanggaran pada obat

Shen Long Gingseng Powder. Diantaranya yaitu tidak mencantumkan Bahasa Indonesia pada label kemasannya. Padahal dalam Pasal 8 huruf (j) Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang atau memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Informasi atas suatu produk merupakan sarana yang sangat menunjang bagi konsumen untuk mewujudkan hak-hak konsumen, khususnya hak untuk mendapatkan informasi secara baik dan benar, serta hak untuk memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini PT Dragon Gingseng selaku

1

N.H.T. Siahaan. Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,


(57)

pelaku usaha/importir obat Shen Long Gingseng Powder dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, maka dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

Tidak hanya pidana penjara dan pidana denda yang dijatuhkan untuk pelaku usaha tetapi dapat juga dikenakan hukuman tambahan sesuai dengan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu :

1. Perampasan barang tertentu

Obat tradisional dapat diambil secara paksa dari peredaran. 2. Pengumuman keputusan hakim

3. Pembayaran ganti rugi

Maksudnya ketika konsumen mengalami kerugian maka pelaku usaha atau distributor wajib menggantikan kerugian yang dialami konsumen baik materil maupun immaterial

4. Perintah penghentian kegiatan usaha tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen

Dalam hal ini Badan POM dan Menteri kesahatan dapat menghentikan kegitan usaha yang dilakukan agar tidak ada korban selanjutnya.

5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran

Obat tradisional impor yang tidak memenuhi kriteria dan membahayakan konsumen maka dilakukanlah penarikan obat tersebut dari peredaran.


(58)

6. Pencabutan izin usaha

Dalam hal ini Menteri Kesehatan dapat mencabut izin usaha obat tradisional impor yang berada di Indonesia.

Selain tidak mencantumkan Bahasa Indonesia pada label kemasannya, pelanggaran selanjutnya yang dilakukan oleh PT Dragon Gingseng yaitu melakukan tindak pidana pemalsuan nomor izin edar dari Badan POM. Penulis telah melakukan pengecekan ulang ke website Badan POM dan hasinya yaitu obat Shen Long Gingseng Powder tidak terdaftar. Kejahatan mengenai pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.2

Tindak pidana pemalsuan dalam KUHP adalah tindak pidana yang pemalsuan yang ditunjukan bagi perlindungan hukum terhadap kepercayan akan kebenaran dari keenam objek pemalsuan (keterangan palsu, mata uang, uang kerta, materai, merek dan surat). Dalam Pasal 386 Ayat (1) KUHP dapat dikatakan mengenai pemalsuan obat adalah barang siapa menjual, menawarkan, atau menyerahkan barang makanan, minuman, atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Adapun penjelasan mengenai pengaturan tindak pidana pemalsuan izin edar yang terdapat dalam dalam Pasal 197 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

2


(59)

tentang Kesehatan yaitu setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi (obat tradisional) dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 197 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang

2. Yang dengan sengaja

3. Memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 Ayat (1). Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 197 sama pada Pasal 196, yang menjadi perbedan adalah dalam Pasal 197 yang dilarang untuk diproduksi dan diedarkan adalah obat yang tidak memiliki izin edar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 106 Ayat (1) sediaan frmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

Hasil wawancara dengan ibu Wardah Festi Utami selaku konsumen obat Shen

Long Gingseng Powder, beliau mengatakan bahwa ia tidak mengetahui informasi

seperti kandungan pada obat tersebut, cara pakai obat tersebut, fungsi dari obat tersebut dan indikasi apa yang terjadi setelah pemakaian obat tersebut. Ia hanya mengetahui cara penggunan dari penjual. Ini telah menjadi bukti yang sangat kuat


(60)

bahwa pelaku usaha maupun distributor telah menciderai hak-hak konsumen. Disinilah konsumen ditempatkan pada posisi yang tidak seimbang.

Dengan adanya peraturan yang mengatur tentang konsumen dan pelaku usaha harusnya memberikan kepastian hukum, manfaat dan keamanan bagi kedua belah pihak sesuai dengan asas yang tertuang pada Pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Tetapi pada prakteknya, kemanan dan keselamatan konsumenlah yang menjadi objektivitas bisnis oleh pelaku usaha. Adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut, harusnya kecenderungan

caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju caveat venditor.3 Caveat emptor

adalah suatu kondisi dimana konsumen harus berhati-hati karena posisi pelaku usaha yang kuat, diarahkan menuju caveat venditor yaitu suatu kondisi dimana pelaku usaha harus berhati-hati karena konsumen sudah memahami mengenai perlindungan konsumen.

Melihat permasalahan di atas menurut penulis, konsumen Indonesia yang kurang kritis dan kurang memahami adanya hukum konsumen yang menjadikan konsumen tersebut tidak berhati-hati dalam memilih suatu produk. Memilih, menyisihkan atau memilih suatu produk yang baik dalam hukum Islam disebut juga dengan khiyar. Secara umum khiyar adalah menentukan yang terbaik daari dua hal atau lebih untuk dijadikan orientasi. Yang menjadikan dasar disyariatkannya hak pilih adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., bahwa Nabi SAW. bersabda :

3


(61)

اَراَتْ ََ ْوَأ اَقََّفَتَي ْمَل اَم ِراَِّخْل ِِ ِناَعَِّبْلا

“Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual-belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya dengan

akan khiyar.” (Mutafaqqun „alaih : Fathul Bari IV:326 no: 2107, Muslim III no:

1531 dan Nasa‟I VII: 248)

Dan juga berdsarkan hadis Habban bin Munqidz ra. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidakjelasan barang jualan, maka Nabi SAW memberikan kepadanya hak pilih. Nabi SAW. bersabda :

“Kalau engkau memberi sesuatu, katakanlah, „Tidak ada penipuan‟.”

Hadis tersebut di atas hendaknya dijadikan pedoman untuk konsumen dan pelaku usaha, bahwa ternyata dengan hati-hati dalam memilih suatu produk yang akan di konsumsinya akan meminimalisir kerugian yang akan diterimanya. Dan untuk pelaku usaha diwajibkan untuk berlaku jujur dalam mencantumkan informasi pada setiap produk yang akan diedarkan.

Untuk melindungi konsumen dari peredaran obat tradisionl impor, yang tidak mengindahkan hak-hak konsumen maupun membahayakan bagi diri konsumen, maka pemerintah Indonesia telah membentuk badan yang bertugas mengawasi peredaran obat dan makanan di wilayah Indonesia yaitu Badan POM. Menurut Ibu Tiodora Sirit selaku Kepala Sub Bagian Penyuluhan Hukum, Badan POM dalam melindungi masyarakat dari peredaran obat tradisional impor mempunyi 2


(62)

(dua) fungsi pengawasan yaitu pengawasan secara pre market dan post market.

Pengawasan secara pre market yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum obat tradisional impor beredar di pasaran dan mewajibkan setiap pelaku usaha untuk mendaftarkan obat tersebut ke Badan POM. Sedangkan pengawasan secara post

market yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM setelah obat

tradisional tersebut beredar di pasaran. Dalam hal ini Badan POM telah melakukan preventive maupun represif.

Selain melakukan pencegahan obat tradisional impor yang tidak memiliki izin edar oleh Badan POM, seharusnya ada upaya pelatihan atau program yang dicanangkan untuk mengasah dan menumbuhkan daya kritis masyarakat terhadap produk-produk yang beredar di sekitarnya. Upaya penumpasan agak sulit seharusnya upaya pencegahan ini yang ditekankan. Harus ada doktrinisasi yang dilakukan melalui media pula terhadap masyarakat untuk mengajak mereka menjadi konsumen yang cerdas.

Dari permasalahan obat Shen Long Gingseng Powder di atas, yang menjadi korban dari pelanggaran-pelanggaran kewajiban pelaku usaha adalah konsumen. Hak-hak konsumen yang terlanggar adalah hak atas informasi yang benar dan jelas mengenai obat Shen Long Gingseng Powder. Dengan demikian maka konsumen memiliki hak untuk mendapatkan advokasi, upaya penyelesaian sengketa dan ganti rugi.

Apabila konsumen mengalami kerugian yang mengakibatkan penurunan kesehatan maupun mengancam jiwa, sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang


(63)

Perlindungan Konsumen maka konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikaan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Konsumen dapat mengadukan hal ini ke BPSK yaitu badan yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dengan jalan konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Pada Pasal 2 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, di dalam menyelesaikan sengketa didasarkan atas pilihan dan persetujuan para pihak. BPSK dalam hal ini akan mengeluarkan suatu putusan bersifat administratif yang wajib ditaati oleh pelaku usaha dan konsumen. Tetapi apabila konsumen tidak puas dengan putusan tersebut, atau putusan tersebut tidak dijalankan oleh pelaku usaha, konsumen secara pribadi atau melalui lembaga konsumen atau secara kelompok dapat langsung menggugat produsen. Gugatan tersebutdilyangkan kepda produsen obat tradisional impor ke pengadilan umum untuk dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.


(64)

53 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan dan penlitian di lapangan, penulis menyimpulkan bahwa :

1. Informasi merupakan hak dari konsumen dan harus disediakan oleh pelaku usaha atau produsen. Hal tersebut seperti yang telah tercantum dalam Undang Perlindungan Konsumen, Undang Pangan, Undang-Undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, dan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Informasi merupakan sarana untuk menciptakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk. Dalam peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan bahwa untuk menjamin diterimanya informasi produk oleh masyarakat maka pencantuman label atas produk yang akan diedarkan di Indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia. Ketentuan yang tegas terhadap kewajiban pencantuman label dalam Bahasa Indonesia ditandai dengan adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran ketentuan tersebut. Obat tradisional impor yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia pada label kemasan obat dilarang untuk diedarkan, dimasukkan dan diperdagangkan di Indonesia. Dan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut, dapat dincam dengan hukuman pidana.


(65)

2. BPOM mepunyai peranan yang cukup besar dalam menyelenggarakan upaya perlindungan konsumen, dan salah satu peran dari BPOM adalah melakukan pengawasan secara pre market dan juga post market. Yang dimaksud dengan

pre market adalah pengawasan yang dilakukan sebelum produk obat

tradisional impor tersebut beredar yaitu dengan mewajibkan setiap obat tradisional impor yang beredar di wilayah Indonesia di daftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui Direktorat Penilain Keamanan Obat Tradisional. Salah satu syarat agar suatu obat tradisional impor dapat beredar di Indonesia adalah dengan mendaftarkan produknya tersebut kepada BPOM. Dengan didaftarkannya produk tersebut pada BPOM nantinya produk tersebut akan mendapatkan nomor pendaftaran. Dalam rangka memperoleh nomor pendaftaran tersebut, pelaku usaha harus melalui beberapa proses pemeriksaan yang salah satunya adalah pemeriksaan terhadap label produk. Selain secara

pre market BPOM juga dapat melakukan pengawasan secara post market

yaitu pengawasan yang dilakukan setelah produk beredar di pasaran yang bertujuan untuk menjaga produk-produk yang berdar di masyarakat tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Atas dasar inilah BPOM memiliki peranan yang sangat penting dalam menjamin hak konsumen atas ketersedian informasi dalam Bahasa Indonesia terhadap obat tradisional impor. Dengan adanya pemeriksaan terhadap label obat tradisional impor oleh BPOM memiliki peranan yang sangat besar untuk menentukan apakah suatu produk obat tradisional impor telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk diedarkan di Indonesia.


(66)

3. Terkait dengan pelabelan pada obat tradisional impor shen Long Gingseng

Powder, maka kewajiban untuk menyediakan informasi dalam Bahasa

Indonesia merupakan kewajiban dari PT Dragon Gingseng yang bertindak sebagai importir. Apabila melihat pada obat tradisional tersebut, maka terlihat bahwa pelaku usaha belum memenuhi persyaratan pelabelan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, khususnya dalam hal ini adalah penggunaan Bahasa Indonesia pada label kemasan obat tradisional. Pencantuman informasi pada label obat tradisional Shen Long Gingseng Powder masih dalam Bahasa asing. Pada dasarnya, apabila produk tersebut akan diedarkan di Indonesia maka label pada obat tradisional impor tersebut harus menggunakan Bahasa Indonesia disamping Bahasa aslinya. Obat Shen Long Gingseng Powder telah mendapatkan izin dari dari BPOM yang dibuktikan dengan nomor pendaftaran yang dicantumkan pada produk tersebut. Kenyataannya yang terjadi maka dapat dikatakan bahwa pengawasan BPOM terkait dengan pengawasan pre market masih sangat lemah, hal ini karena diberikannya izin pada obat tersebut untuk diedarkan di Indonesia padahal tidak memenuhi ketentuan pelabelan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. 4. Terhadap kerugian yang diakibatkan label produksi obat tradisional impor

yang tidak menggunakan Bahasa Indonsia, konsumen dapat menuntut ganti kerugian pada pelaku usaha dan/atau kepada produsen didasarkan perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan juga peraturan


(67)

perundang-undangan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa pelaku usaha yang tidak mencantumkan label dalam Bahasa Indonesia bertujuan untuk mengelabuhi konsumen dengan label yang sulit dimengerti oleh konsumen.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka akan diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat bergun bagi perkembangan hukum perlindungan konsumen untuk pengguna obat tradisional impor. Saran-saran tersebut antara lain:

1. Pelaku usaha hendaknya lebih taat hukum dalam menjalankan usahanya, khusunya dalam mengikuti standar obat tradisional yang sudah ditetapkan oleh Badan POM. Selain itu, pelaku usaha memasukkan komposisi obat ke dalam penandaan atau label di obat tradisional yang diedarkan. Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui bahan obat, kegunaan dan cara pemakaian obat tradisional yang akan dikonsumsi.

2. Masyarakat hendaknya lebih aktif lagi memberikan informasi atau aduan apabila diketahui adanya obat yang memberikan dampak negatif atau efek samping setelah penggunaannya. Sehingga Badan POM dapat langsung bertindak atas aduan masyarakat, karena banyaknya obat tradisional impor yang harus diawasi secara berkesinambungan.

3. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku hendaknya ditindaklanjuti lebih tegas lagi agar memberikan efek jera kepada pelaku usaha.


(68)

4. Perlu adanya edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat tentang obat tradisional impor yang dapat dikonsumsi secara aman yang sudah lulus uji dari Badan POM. Informasi kepada masyarakat ini dapat diberitakan melalui koran, atau media lainnya dengan menjelaskan mengenai obat tradisional dan standar bahan alami yang dapat dipaakai oleh masyarakat.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berkaitan Dengan Itikad Buruk Dari Perusahaan Asuransi Jiwa (Studi Kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 560 K/Pdt.Sus/2012)

6 139 135

Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Beredarnya Obat Tradisional Impor Yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa Indonesia Pada Kemasannya

3 94 74

Perlindungan Terhadap Pihak Kontraktor Dalam Perjanjian Pemborongan (Studi Kasus Perjanjian Antara..

1 61 5

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PENGGUNAAN OBAT TRADISIONAL BERBAHAN KIMIA OBAT

0 3 107

TINJAUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI KASUS DI POLRESTA YOGYAKARTA).

0 3 56

MODEL PERLINDUNGAN HUKUM PASAR TRADISIONAL (STUDI KONFLIK PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN Model Perlindungan Hukum Pasar Tradisional(Studi Konflik Pasar Tradisional dan Pasar Modern Di Kota Surakarta).

0 2 15

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN (Studi tentang Pembinaan dan Pengawasan Obat Tradisional Hasil Industri Kecil Obat Tradisional oleh Dinas Kesehatan dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Yogyakarta).

0 0 17

Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Masyarakat Asli Tentang Obat Di Indonesia opt

0 0 13

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MENGKONSUMSI OBAT TRADISIONAL YANG MENGANDUNG BAHAN KIMIA OBAT (BKO) DI KOTA PANGKALPINANG

0 0 16

Perlindungan hukum bagi konsumen mengkonsumsi obat tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) di Kota Pangkalpinang - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 24