24
7 huruf c, d, e UUPK. Pada saat ini, konsumen mendapatkan kecocokan pilihan barang danatau jasa dengan persyaratan pembelian serta harga yang
dibayarnya. Yang menentukan dalam tahap ini adalah syarat-syarat perjanjian peralihan pemilikan barang danatau pemanfaatan jasa tersebut, penyerahan
danatau cara pembayaran atau pelunasan. Perilaku usaha sangat menentukan, seperti penentuan harga produk
konsumen, penentuan persyaratan perolehan atau pembatalan perolehannya, kalusula-klausula, khususnya klausula baku yang mengikuti transaksi dan
persyaratan-persyaratan jaminan, keistimewaan atau kemanjuran yang dikemukakan dalam transaksi barang danatau jasa.
Umumnya, pada saat ini apabila perikatan terjadi secara tunai, maka tidak atau kurang bermasalah. Akan tetapi, pada perikatan dengan cara
pembayaran atau pelunasan berjangka antara lain penjualan beli sewa, kredit perbankan, kredit pemilikan rumah, dan sebagainya, sering menimbulkan
masalah. Tidak jarang kita temui orang-orang yang menandatangani suatu konsep perjanjian tanpa terlebih dahulu membaca dengan teliti syarat-syarat
yang terdapat dalam perjanjian itu. Dengan berlakunya UUPK, semua klausula baku yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, menjadi batal demi hukum. 3.
Tahap Purna Transaksi Tahap ini dapat juga disebut tahap purna jual yaitu tahapan setelah transaksi
terjadi. Pada tahap ini, tahapan pemakaian, penggunaan danatau pemanfaatan barang danatau jasa yang telah beralih pemilikannya atau pemanfaatannya
25
dari pelaku usaha kepada konsumen. Setelah transaksi terjadi pelaku usaha wajib memberi kompensasiganti rugi atau penggantian pemakaian,
penggunaanm danatau
pemanfaatan barang
danatau jasa
yang diperdagangkan pada konsumen yang dirugikan. Juga apabila barang danatau
jasa tersebut tidak sesuai dengam perjanjian sehingga berakibat menimbulkan kerugian kesehatan tubuh, keamanan jiwa danatau harta bendanya. Pada
tahap ini, apabila informasi baik lisan maupun tertulis dari barang dan atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha sesuai dengan pengalaman konsumen
dalam pemakaian, penggunaan dana danatau pemanfaatan produk konsumen tersebut, maka konsumen akan puas. Tetapi apabila sebaliknya terjadi, artinya
informasi produk konsumen yang diperoleh oleh konsumen tidak sesuai dalam kenyataan pemakaian, pemggunaan danatau pemanfaatannya oleh
konsumen, maka tentulah akan timbul masalah antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan yang akan menimbulkan sengketa konsumen.
8
G. Sanksi-Sanksi
Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, maka kita harus berbicara soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak sebagai
akibat dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha dari pemakaian, penggunaan, danatau pemanfaatan oleh konsumen atas barang danatau jasa yang
dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.
9
8
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2007, hlm. 44.
9
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, cet. 3, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 59.
26
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar kaidah
hukum dipatuhi adalah dengan mencantumkan sanksi-sanskinya. Ketentuan mengenai sanksi diatur dalam UUPK di dalam Bab XIII yang dimulai dari Pasal
60 sampai dengan Pasal 63. UUPK membedakan antara sanksi administratif
dengan sanksi pidana sebagai berikut :
1. Sanksi Administratif
Sanksi administratif diatur dalam Pasal 60. Sanksi ini merupakan hak khusus yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Perlindungan Konsumen BPSK atas tugas dan wewenang yang diberikan untuk menyelesaikan
segketa konsumen di luar pengadilan. Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK berdasarkan Pasal
60 UUPK adalah berupa penetapan ganti rugi setinggi-tingginya Rp 200.000.000,- dua ratus juta rupiah terhadap pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadapdalam rangka tidak dilaksanakannya : a.
Pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepda konsumen, dalam bentuk pengambilan uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis,
maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;
b. Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan
oleh pelaku usaha periklanan;
27
c. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual,
baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya; juga berlaku
terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang danatau jasa. 2.
Sanksi Pidana Pokok Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan
oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam
UUPK diatur dalam Pasal 62, undang-undang ini juga mengatur bahwa ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dapat diberlakukam
dalam upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen. 3.
Sanksi Pidana Tambahan Undang-undamg Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok. Hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam Pasal 63 UUPK. Sanksi-
sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan berupa: a.
Perampasan barang tertentu; b.
Pengumuman keputusan hakim; c.
Pembayaran ganti rugi; d.
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajibam penarikan barang dari peredaran;
f. Pencabutan izin usaha.