Pembiayaan bank Muamalat Indonesia dalam sektor properti

(1)

PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT INDONESIA DALAM SEKTOR PROPERTI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syariah (S.E Sy)

Oleh:

AHDA MUTHAHHARI 106046101579

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT INDONESIA DALAM SEKTOR PROPERTI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syariah (S.E Sy) Oleh:

Ahda Muthahhari NIM. 106046101579 Di bawah bimbingan

Pembimbing

Dr. Ahmad Tholabi, MA.

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M NIP. 197608072003121001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 Jumadil Awal 1432 H 10 Mei 2011 M


(4)

(5)

ABSTRAK

Kata Kunci : Pembiayaan, Properti, Real Estate, Perumahan, Developer Properti. KPR Syariah. Hunian Syariah.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembiayaan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. dalam sektor properti. Dalam hal jenis produk, akad, strategi, sosialisasi, serta peluang dan tantangan yang dihadapi Bank Muamalat Indonesia. Perkembangan industri properti ini sangatlah pesat khususnya properti hunian (residential) disamping properti untuk usaha (komersial) seperti ruko, rukan, apartemen, hotel, gedung, shoping mall dan lain sebagainya. Alasan utama Bank Muamalat Indonesia kian bersemangat membidik pembiayaan sektor properti ini adalah karena industri properti memiliki peluang yang sangat besar serta tingginya permintaan pasar (demand). Dalam hal ini juga bank tidak hanya berperan sebagai penyalur dana (investor) properti akan tetapi juga sekaligus bisa menjadi bagian dari developer properti.

Melihat perkembangannya, Pembiayaan properti bank syariah akan lebih kompetitif karena menawarkan fitur-fitur yang berbeda, aman dan lebih menarik dari bank konvensional, salah satunya adalah tidak tergantung pada tingkat suku bunga (interest rate). Yang mana Bank Syariah menawarkan margin tetap (fix rate) sehingga jumlah angsuran dan total yang dibayarkan sudah jelas diawal kontrak/akad.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya setiap saat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT INDONESIA DALAM SEKTOR PROPERTI” sebagai bagian dari tugas akademis di Program studi Muamalat Kosentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan terbaik umat manusia hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terlukiskan, penulis ingin menuangkan dalam bentuk ucapan terimakasih kepada:

1) Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mencurahkan baktinya kepada kami selaku Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2) Dr. Euis Amalia, M.Ag., Ketua Program Studi Muamalat. Terimakasih atas bimbingan dan motivasi yang tidak pernah padam mengalir kepada penulis. Semua kesempatan dan pengalaman bersama ibu adalah motivasi terbesar penulis untuk bisa menyelesaikan skripsi ini.


(7)

3) Mu’min Rauf, M.Ag., Selaku Sekretaris Program Studi Muamalat. Terimakasih untuk semua motivasi yang telah Bapak berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4) Dr. Ahmad Tholabi, MA., pembimbing skripsi yang telah menuangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan nasehat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5) Prof. Dr. Faturrahman Djamil, MA., Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.

6) Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk memberikan ilmunya kepada penulis selama di bangku kuliah.

7) Orang tua, kakak dan adik-adik tercinta. Mereka yang selalu menginspirasi, memberikan motivasi, dan dukungan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

8) Teman-teman Perbankan Syariah A, yang selalu memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada penulis. Terimakasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini berbagi cerita, suka dan duka. Bagi penulis itulah pengalaman berharga dan tak terlupakan.

9) Bpk. Syafril beserta keluarga besar Yayasan Jihadul Mukhlishin. Terimakasih untuk semua motivasi yang telah Bapak berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(8)

10) Yang tersayang (Yelita Ersya). Sebagai kekasih, sahabat, teman yang selalu menemani disaat suka dan duka. Terimakasih atas segalanya, semoga Allah membalas dengan balasan yang berlipat ganda, Amin.

11) Teman-teman kosan (Ahmad Khobidu, Ni’amu Rabbi fie Dhuha, Aziz Arianto). Terimakasih atas kebersamaannya selama ini, sehingga menginspirasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

12) Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih banyak, Semoga Allah membalas kebaikan tersebut dengan balasan yang berlipat ganda, Amin.

Jakarta, ...Mei 2011


(9)

DAFTAR ISI

Abstraksi ... Kata Pengantar ... Daftar Isi ... BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... E. Kerangka Teori dan Konseptual ... F. Metode Penelitian ... G. Sistematika Penulisan ... BAB II : PROPERTI DAN PRINSIP DASAR OPERASIONAL BANK

SYARIAH A. Properti

1. Defenisi Properti ... 2. Defenisi Kredit Properti ... 3. Gambaran Umum Sektor Properti Pasca Krisis ... 4. Perkembangan Kredit Properti di Indonesia ... B. Pembiayaan Bank Syariah Dalam Sektor Properti

1. Produk Pembiayaan Bank Syariah Dalam Sektor Properti ... i ii v 1 7 8 9 16 26 29 30 34 35 38 38


(10)

2. Peluang Perbankan Syariah Dalam Pembiayaan Sektor Properti ... C. Prinsip Dasar Operasional Bank Syariah ... BAB III : PROFIL PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, Tbk

A. Sejarah Bank Muamalat Indonesia ... B. Visi dan Misi ... C. Jaringan ... D. Prestasi ... E. Struktur Organisasi ... F. Produk dan Jasa ... G. Bisnis Ritel Bank Muamalat Indonesia ... H. Gambaran Umum Pembiayaan Sektor Properti Bank

Muamalat Indonesia

1. Konversi Produk Pembiayaan KPR Syariah Baiti Jannati Menjadi Pembiayaan Hunian Syariah

Muamalat ... 2. Perkembangan Asset Pembiayaan Bank Muamalat

Indonesia Dalam Sektor Properti ... BAB IV : PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT INDONESIA

DALAM SEKTOR PROPERTI

A. Jenis Produk dan Akad ... 44

46

56 59 59 59 61 62 63

67

72


(11)

1. Pembiayaan ib Hunian Kongsi ... 2. Pembiayaan ib Pembelian Hunian Syariah

...

B. Strategi dan Sosialisasi Produk 1. Strategi Pengembangan Produk

...

2. Strategi Pemasaran Produk ... 3. Sosialisasi Produk

... C. Peluang dan Tantangan

1. Peluang ... 2. Tantangan ... BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

74 84

87 88 89

92 101

109 110


(12)

ABSTRAK

Kata Kunci : Pembiayaan, Properti, Real Estate, Perumahan, Developer Properti. KPR Syariah. Hunian Syariah.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembiayaan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. dalam sektor properti. Dalam hal jenis produk, akad, strategi, sosialisasi, serta peluang dan tantangan yang dihadapi Bank Muamalat Indonesia. Perkembangan industri properti ini sangatlah pesat khususnya properti hunian (residential) disamping properti untuk usaha (komersial) seperti ruko, rukan, apartemen, hotel, gedung, shoping mall dan lain sebagainya. Alasan utama Bank Muamalat Indonesia kian bersemangat membidik pembiayaan sektor properti ini adalah karena industri properti memiliki peluang yang sangat besar serta tingginya permintaan pasar (demand). Dalam hal ini juga bank tidak hanya berperan sebagai penyalur dana (investor) properti akan tetapi juga sekaligus bisa menjadi bagian dari developer properti.

Melihat perkembangannya, Pembiayaan properti bank syariah akan lebih kompetitif karena menawarkan fitur-fitur yang berbeda, aman dan lebih menarik dari bank konvensional, salah satunya adalah tidak tergantung pada tingkat suku bunga (interest rate). Yang mana Bank Syariah menawarkan margin tetap (fix rate) sehingga jumlah angsuran dan total yang dibayarkan sudah jelas diawal kontrak/akad.


(13)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Industri properti berkaitan erat dengan sektor perbankan. Hal ini dikarenakan pembiayaan sektor perbankan terhadap proyek properti jumlahnya cukup besar. Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar dana yang ada di sektor perbankan berasal dari dana pihak ketiga atau masyarakat. Biasanya dana tersebut disimpan dalam bentuk tabungan dan deposito yang bersifat jangka pendek. Hal ini bisa menimbulkan ketidaksesuaian jatuh tempo, karena kredit sektor properti umumnya berjangka panjang sedangkan sumber dananya sewaktu-waktu dapat ditarik oleh masyarakat. Ketergantungan terhadap pembiayaan dari perbankan inilah yang membuat bisnis properti di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan bank/lembaga keuangan, otoritas moneter negara (Bank Indonesia), serta lebih jauh lagi dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi negara secara keseluruhan. 1

Selain itu, perlu diketahui bahwa pengalaman di negara lain menunjukkan, terpuruknya keuangan suatu negara diawali dengan bangkrutnya bisnis properti. Sedangkan bangkrutnya bisnis properti biasanya ditandai dengan meningkatnya kredit bermasalah dan kredit macet. Oleh karena itu kestabilan ekonomi dan sistem perbankan yang sehat sangat dibutuhkan untuk menyokong pertumbuhan sektor properti.

1 Siti Murtiningsih, “Analisis Dampak Guncangan Variabel Makro Terhadap Investasi Bisnis Properti Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, 2009), h.15.


(14)

Pada tahun 2010 lalu Realisasi penyaluran kredit properti tumbuh sekitar 15,07% dibandingkan dengan penyaluran kredit pada 2009 dari Rp.217 triliun menjadi Rp.249,7 triliun. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) pertumbuhan penyaluran kredit yang signifikan tersebut didorong masih besarnya minat bank umum menyalurkan kredit properti pada kuartal IV/2010 sejalan dengan bergairahnya permintaan produk properti oleh calon debitur. Adapun, kredit properti yang dimaksud mencakup kredit yang diberikan kepada kontraktor untuk pembangunan perkantoran, perhotelan, rumah, pertokoan, serta kredit kepada perorangan untuk kepemilikan serta pemugaran rumah.

Perkembangan industri properti tersebut dipengaruhi antara lain oleh ekspektasi dan spekulasi baik dari sisi demand maupun supply. Gejolak harga dalam industri properti akan mempengaruhi kondisi ekonomi, dimana dalam kondisi terjadi penurunan harga secara tajam merupakan sinyal bahwa perekonomian akan mengalami permasalahan yang serius dan sebaliknya apabila terjadi peningkatan harga secara cepat mengindikasikan telah terjadi spekulasi yang tinggi dalam industri properti. Siklus properti ditentukan oleh hubungan dinamis antara properti komersial, kredit bank dan makro ekonomi, dimana harga properti merupakan variabel autonomous yang menimbulkan ekspansi kredit dibandingkan sebaliknya dimana kredit perbankan mempengaruhi harga properti. Demikian pula bahwa terdapat hubungan positif antara kredit riil dengan GDP riil dan harga properti riil, serta


(15)

adanya hubungan dinamis interaksi dua arah antara kredit riil dengan harga properti riil.2

Seiring dengan perkembangan ekonomi nasional, industri properti pada umumnya juga mengalami peningkatan yang searah. Meningkatnya aktivitas pada industri properti dapat dijadikan petunjuk mulai membaiknya atau bangkitnya kembali kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, kegiatan di bidang properti dapat dijadikan indikator seberapa aktifnya kegiatan ekonomi secara umum yang sedang berlangsung. Namun demikian, perkembangan industri properti perlu dicermati secara hati-hati karena dapat memberikan dampak pada dua sisi yang berbeda.

Di satu sisi, industri properti dapat menjadi pendorong bagi kegiatan ekonomi karena meningkatnya kegiatan di bidang properti akan mendorong naiknya berbagai kegiatan di sektor-sektor lain yang terkait. Dalam hal ini sektor properti memiliki efek pelipatgandaan (multiplier effect) yakni dengan mendorong serangkaian aktivitas sektor ekonomi yang lain. Seluruh kegiatan ekonomi baik dalam bidang jasa maupun barang pada dasarnya akan selalu membutuhkan produk properti sebagai salah satu faktor produksi. Sebagai contoh, kegiatan jasa perbankan yang memberikan jasa keuangan juga masih memerlukan adanya produk properti secara aktif sebagai tempat atau sarana untuk melakukan transaksi. Demikian pula, kegiatan produksi atau perdagangan maupun perkebunan/pertanian akan selalu membutuhkan produk properti sebagai sarana kegiatannya. Dengan demikian, kebutuhan akan produk properti akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi.


(16)

Namun di sisi lain, perkembangan industri properti yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian. Meningkatnya industri properti yang tidak terkendali sehingga jauh melampaui kebutuhan (over supply) dapat berdampak pada terganggunya perekonomian nasional. Gangguan tersebut khususnya bila terjadi penurunan harga di sektor properti secara drastis dengan terjadinya buble burst. Kondisi ini akan mempengaruhi kondisi keuangan perbankan melalui dua aspek yaitu terganggunya likuiditas dan nilai jaminan bank serta kinerja debitur di bidang properti. Dalam hal pangsa kredit properti perbankan cukup tinggi dipastikan akan terjadi vulnerabilitas secara langsung pada kondisi perbankan.

Terlepas dari itu, akhir-akhir ini perbankan syariah juga mulai menggiatkan pembiayaan mereka pada sektor properti yang selama ini belum digarap sepenuhnya. Hal tersebut didasarkan pada peluang dan pasar properti yang sangat besar. Saat ini produk perbankan syariah terutama dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terus meningkat. Hal tersebut terlihat dari makin luasnya layanan perbankan syariah dengan 1.624 jaringan kantor yang diwakili 11 bank umum syariah, 23 unit usaha syariah, dan 146 BPR Syariah.

Kenyataan ini juga terlihat ketika Bank Indonesia (BI) dan perbankan syariah berpartisipasi dalam “Real Estate Ekspo 2010” pada 23-31 Oktober 2010 yang lalu. Sembilan bank syariah sudah menyatakan partisipasinya dalam ajang tersebut. Yaitu, BSM, Bank Muamalat Indonesia, BRI Syariah, BTN Syariah, BNI Syariah, Permata Bank Syariah, CIMB Niaga Syariah, BII Syariah, dan Bank DKI Syariah.


(17)

Sejauh ini pangsa kredit perbankan nasional di sektor properti sudah 13,3 persen dari total kredit perbankan. Sedangkan jumlah pembiayaan perbankan syariah ke sektor properti hingga akhir September 2010 baru mencapai 1,8% dari total pembiayaan perbankan syariah sebesar Rp.61 triliun. Jadi kalau dilihat secara nasional 13,3% pembiayaan perbankan dibanding dengan pangsa pembiayaan bank syariah yang baru 1,8% ini menandakan pembiayaan syariah ke sektor properti masih tergolong sangat kecil sekali.3

Dalam hal ini, Bank Muamalat Indonesia (BMI) sendiri terlihat semakin agresif menggarap pasar ritel. Tak hanya menggarap produk penghimpunan dana, kini BMI bank pertama berbasis islam ini memprogramkan pembiayaan perumahan sekitar Rp.500 miliar. Bank Muamalat Indonesia ini resmi meluncurkan produk KPRS sejak bulan Februari 2007. Pada awal peluncuran produk KPRS, Bank Muamalat Indonesia menggunakan nama KPRS Baiti Jannati. Kemudian nama tersebut dikonversi menjadi Pembiayaan Hunian Syariah Muamalat (PHSM). KPRS Baiti Jannati merupakan pembiayaan untuk kepemilikan rumah, rukan, ruko, kios dan apartemen dengan akad transaksi Musyarakah Syirkatul Milk (kongsi kepemilikan). Tak seperti Baiti Jannati yang batas maksimum plafondnya hanya Rp.10 miliar, Pembiayaan Hunian Syariah memiliki plafond maksimal hingga Rp.25 miliar. Pembiayaan yang khusus diperuntukan bagi kalangan individu ini memiliki jangka waktu pengembalian hingga 15 tahun, terkecuali untuk kepentingan renovasi dengan

3 Detik Finance, “Pembiayaan Perbankan Syariah ke Properti Masih Minim “, artikel ini diakses pada 9 Maret 2011 dari http://detikfinance.com/read/2010/10/20/140439/1469977/5/ pembiayaan-perbankan-syariah-ke-properti-masih-minim.


(18)

plafond dibawah Rp.25 juta yang hanya 5 tahun. Produk pembiayaan ini tidak hanya comply dengan syariah, namun juga kompetitif dengan jangka waktu pengembalian yang panjang, jumlah angsuran yang tidak fluktuatif mengikuti suku bunga, serta tidak adanya penalti bagi yang melunasi lebih awal. Sampai semester I 2010, portofolio pembiayaan sektor properti yang disalurkan Bank Muamalat telah mencapai lebih dari Rp.2 triliun, atau mengalami peningkatan lebih dari 11 persen dibandingkan posisi Desember 2009.

Oleh karena itu, Bank Muamalat sendiri optimistis tahun ini akan terjadi peningkatan pembiayaan KPRS sejalan dengan pertumbuhan permintaan masyarakat akan perumahan. Hingga September 2010, penjualan PHSM cenderung meningkat. Melihat kondisi perekonomian yang semakin membaik dan fitur PHSM yang semakin menarik.

Disamping itu, Bank Indonesia juga memberikan dorongan kepada Bank-bank syariah untuk dapat membantu pembiayaan properti hingga Rp.500 miliar. Hal ini disampaikan oleh Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah dalam sambutan pembukaan pameran Real estate Indonesia (Expo) 2010. Beliau juga menjelaskan bahwa pembiayaan syariah dalam sektor properti meningkat setiap tahun, apalagi dalam pameran sebelumnya pada Mei 2010 mampu tercatat jumlah transaksi sebesar Rp.365 miliar.4

4 Kompas properti, “BI Harapkan Perbankan Syariah Bantu Pembiayaan Properti", artikel diakses pada 16 Maret 2011 dari http://properti.kompas.com/read/2010/10/25/09373488/BI.Harapkan perbankan.syariah.bantu.pembiayaan.properti.


(19)

Jika dibandingkan pembiayaan properti dari bank konvensional, pembiayaan properti perbankan syariah sebenarnya jauh lebih menarik karena menawarkan fix rate (suku bunga tetap) dengan rentang waktu angsuran hingga 15 tahun. Meski demikian, pembiayaan syariah kadang dipersepsikan sebagian kalangan lebih mahal dibandingkan dari bank konvensional. Bukan berarti perbankan konvensional memang benar-benar lebih murah. Kalau tingkat suku bunga (interest rate) naik, Bank Konvesional pasti melakukan penyesuaian. Berbeda dengan Bank Syariah, karena Bank Syariah tidak tergantung pada suku bunga.

Menurut laporan dari Bank Indonesia, perbankan syariah di Indonesia telah tumbuh dan berkembang diatas 65 % berdasarkan compounded annual growth rate (CAGR) pada 4 tahun terakhir, dan diharapkan akan menjadi sekitar 9 – 10 % dari total aset perbankan nasional pada tahun 2011 ini. Untuk pencapaian tersebut, kemungkinan besar perbankan syariah akan lebih intent untuk terus mengiatkan pembiayaan pada produk-produk ritail-nya khususnya sektor properti. Yang mana kebanyakan produk ini lebih menyentuh kalangan grass root.

Berdasarkan paparan tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat topik skripsi ini dalam penelitian yang berjudul “PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT INDONESIA DALAM SEKTOR PROPERTI”.

Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini pada produk dan akad pembiayaan sektor properti Bank Muamalat Indonesia.


(20)

2. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah tersebut, dapat dirumuskan permasalahan dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa jenis produk dan akad yang diterapkan Bank Muamalat Indonesia dalam pembiayaan sektor properti?

b. Bagaimana strategi dan sosialisasi produk yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia dalam meningkatkan pembiayaan sektor properti? c. Apa peluang dan tantangan yang dihadapi Bank Muamalat Indonesia

dalam melakukan pebiayaan sektor properti? Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara garis besar tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui secara umum tentang perkembangan perbankan syariah di Indonesia, adapun yang lebih khusus tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui jenis produk dan akad yang diterapkan Bank Muamalat Indonesia dalam pembiayaan sektor properti.

2. Untuk mengetahui strategi dan sosialisasi produk yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia dalam meningkatkan pembiayaan sektor properti.

3. Untuk mengetahui peluang dan tantangan yang dihadapi Bank Muamalat Indonesia dalam melalukan pembiayaan sektor properti.


(21)

1. Bagi Penulis adalah sebagai proses pembelajaran dalam menambah ilmu pengetahuan serta wawasan keilmuan penulis, dalam rangka mengikuti perkembangan perbankan syariah khususnya pembiayaan sektor properti. 2. Bagi Praktisi adalah sebagai bahan masukan dalam rangka peningkatan mutu

perbankan syariah sekarang dan masa yang akan datang, khususnya yang menangani pembiayaan sektor properti.

3. Bagi Masyarakat adalah sebagai bahan bacaan yang bersifat ilmiah dan kontribusi khasanah intelektual pendidikan masyarakat sekaligus sosialisasi tentang bagaimana perkembangan perbankan syariah khususnya dalam hal pembiayaan sektor properti.

Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Studi terdahulu mengenai pembiayaan sektor properti memang telah ada. Diantaranya yang membahas tentang KPR Syariah dan Perumahan, sebagai rujukan penulis yaitu:

Tabel 1.1

Review Kajian Terdahulu

Judul/penulis/tahun Preview Perbedaannya dengan

penulis Skripsi yang berjudul

“Analisa Pembiayaan Kepemilikan Rumah

- Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.

- Penulis melalukan penelitian dengan pendekatan kualitatif.


(22)

(KPR) BTN syariah (studi kasus: Bank BTN kantor cabang syariah Jakarta-Harmoni)”, yang ditulis oleh Dian Lestari (2006)

Untuk menunjang data tersebut penulis melakukan dengan pendekatan kuantatif. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dan korelasional.

- Penulis lebih menitikberatkan

penelitiannya kepada nasabah selaku penerima pembiayaan

- Penulis menyimpulkan bahwa preferensi nasabah KPR Syariah itu sangat beragam, mereka mengetahui dan memilih KPR Syariah dari teman dan kerabat. Faktor yang mendorong nasabah

Jenis laporan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu data yang penulis peroleh dari Bank Mumalat Indonesia, baik berupa data angka untuk mengetahui strategi, sosialisasi, peluang dan tantangan pembiayaan sektor properti yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia.

- Penulis lebih menitikberatkan objek penelitian kepada lembaga keuangan syariah yang bersangkutan (Bank Muamalat Indonesia) dalam melakukan pembiayaan sektor


(23)

tersebut adalah karena biaya murah, terhindar dari bunga, prosedur mudah, jangka waktu pelunasan lama, biaya tetap sampai akhir kontrak.

properti. Sedangkan penulis (Dian Lestari) lebih menitikberatkan penelitiannya kepada nasabah selaku penerima pembiayaan.

Skripsi yang berjudul

“Desain Akad

Pembiayaan Take Over KPR Syariah Di Bank Muamalat Indonesia”, yang ditulis oleh Farid Sutarsih (2008)

- Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Jenis laporan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.

- Penulis (Farid Sutarsih) lebih fokus membahas akad-akad dari produk pembiayaan sektor properti tersebut, khususnya akad-akad pada pembiayaan take over KPR Syariah.

- Penulis menyimpulkan

- Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Jenis laporan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu data yang penulis peroleh dari Bank Mumalat Indonesia, baik berupa data angka untuk mengetahui strategi, sosialisasi, peluang dan tantangan pembiayaan sektor properti yang dilakukan Bank Muamalat


(24)

bahwa akad take over

KPR Syariah

menggunakan akad qordh dan Murabahah. Sedangkan disain akad yang relevan dan sesuai syariah yang telah ditetapkan di Bank-bank Syariah negara lain adalah akad Musyarakah Mutanaqisah.

Indonesia.

- Penulis (Farid Sutarsih) juga melakukan penelitian di Bank Muamalat Indonesia. Akan tetapi, pembahasannya tentang akad pembiayaan pemindahan (take over) KPR Syariah. Sedangkan penulis lebih fokus membahas tentang bagaimana pembiayaan sektor properti yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia yang memuat strategi, peluang dan tantangan Bank Muamalat Indonesia dalam melakukan pembiayaan tersebut.


(25)

Jurnal yang berjudul “Pengembangan Model Kemitraan Dalam Pembiayaan Investasi Pembangunan Rumah Susun” yang ditulis oleh Indo Yaman Nasarudin dan Wahdi Sayuti. Jurnal ini diterbitkan oleh ETIKONOMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (vol.7, No.2, Desember 2008).

- Metode yang digunakan adalah metode survey, yakni pelaksanaan kajian

dengan cara

mengidentifikasi langsung kepada subyek penelitian (responden).

- Penulis menjelaskan tentang model-model umum yang dipakai dalam pembiayaan investasi rumah susun

- Penulis menyimpulkan bahwa model perhitungan kelayakan investasi serta kekuatan dan kelemahan masing-masing model, maka alternatif model kemitraan yang banyak dikembangkan adalah management contract.

- Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Jenis laporan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu data yang penulis peroleh dari Bank Mumalat Indonesia, baik berupa data angka untuk mengetahui strategi, sosialisasi, peluang dan tantangan pembiayaan sektor properti yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia.

- Jurnal ini menjadi rujukan bagi penulis karena memberikan informasi kepada penulis bahwa ada berbagai


(26)

dikembangkan dalam melakukan investasi properti. Akan tetapi, untuk peneletian kali ini penulis akan fokus membahas tentang bagaimana capaian dari pembiayaan sektor properti yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia yang memuat tentang strategi, peluang dan tantangan Bank Muamalat Indonesia dalam melakukan pembiayaan tersebut.

Jurnal yang berjudul “Analisis Konsep

Perumahan Dan

Komitmen Developer Terhadap Keputusan

- Metodologi yang digunakan adalah metode clustered sampling yaitu jika populasi tersebar dalam beberapa wilayah

- Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Jenis laporan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu


(27)

Pembelian”, yang ditulis oleh Cut Erika A.F dan Bachtiar Rifai. Jurnal ini diterbitkan oleh ETIKONOMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta vol.7, No.2, Desember 2008.

(cluster) yang masing-masing mempunyai ciri yang sama (mirip), akan salah satu atau beberapa wilayah dapat diambil secara acak sebagai sampel.

-Penulis menjelaskan

tentang Konsep

Perumahan Dan

Komitmen Developer Terhadap Keputusan Pembelian perumahan. Hal yang menjadi fokus

penulis adalah

menganalisa pengaruh antara variable-variable tersebut.

- Penulis menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan

data yang penulis peroleh dari Bank Mumalat Indonesia, baik berupa data angka untuk mengetahui strategi, sosialisasi, peluang dan tantangan pembiayaan sektor properti yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia.

- Jurnal ini menjadi rujukan bagi penulis karena memberikan informasi kepada penulis bahwa adanya pengaruh antara konsep perumahan dan komitmen Developer terhadap keputusan pembelian. Akan tetapi, untuk peneletian kali ini penulis akan fokus


(28)

antara variable konsep perumahan dan komitmen Developer terhadap keputusan pembelian konsumen perumahan di kawasan Ciputat Timur.

membahas tentang bagaimana capaian dari pembiayaan sektor properti yang dilakukan

Bank Muamalat

Indonesia, yang memuat tentang strategi, sosialisasi, peluang dan tantangan Bank Muamalat Indonesia dalam melakukan pembiayaan tersebut.

Kerangka Teori dan Konseptual 1. Konsep Syariah

Konsep syariah telah menyediakan berbagai akad yang berbeda untuk mencukupi kebutuhan para pemilik dan pengguna dana dalam berbagai bentuknya. Akad-akad dasar dalam konsep syariah meliputi; pembiayaan cost-plus (murabahah), profit-sharing (mudarabah), persewaan (ijarah), persekutuan (musharakah), dan penjualan dengan pesanan (bay' salam). Akad-akad tersebut merupakan blok


(29)

bangunan dasar yang dapat dikembangkan secara lebih kompleks dalam perbankan syariah. Akad-akad tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:5

a. Akad yang populer di dalam perbankan Islam adalah jual-beli mark-up atau penjualan cost-plus. Metode yang paling terkenal dalam cara pembiayaan ini adalah murabahah, salam, dan istishna. Murabahah (juga disebut bay’ mu’ajjal) merujuk pada penjualan dimana penjual membeli barang-barang yang diinginkan pembeli dan menjualnya pada harga lebih tinggi yang sudah disepakati, pembayaran ditetapkan pada waktu tertentu, baik dalam bentuk cicilan atau tunai. Penjual menanggung risiko atas barang-barang sampai penyerahan pada pembeli. Salam: merujuk pada kesepakatan penjualan dimana pembayaran dilakukan dimuka atas kewajiban untuk menyerahkan barang yang ditentukan pada tanggal tertentu yang disepakati di masa depan. Ini tidak sama dengan penjualan forward yang spekulatif karena pembayaran harus penuh, bukan sebagian. Istishna merujuk kepada kesepakatan dimana pembuat barang (kontraktor) sepakat untuk memproduksi (membangun) dan menyerahkan barang (kontruksi) dengan harga tertentu pada tanggal tertentu di masa depan. Ini, sebagaimana salam, merupakan pengecualian dari aturan umum syari’ah yang tidak membolehkan seseorang untuk menjual apa yang tidak dimiliki dan dikuasainya. Tetapi, tidak seperti salam harga tidak mesti dibayar dimuka. Harga bisa dibayar dalam bentuk cicilan sesuai dengan keinginan pihak yang bertransaksi, atau sebagian didepan dan sisanya

5


(30)

kemudian sebagaimana disepakati. Akad ini secara luas sering digunakan untuk pembiayaan jangka pendek sebagaimana transaksi tradisional untuk pembiayaan pembelian barang. Dalam akad ini investor menyediakan atau membeli barang atau komoditas yang spesifik, kemudian dilakukan kontrak yang disetujui bersama untuk terjadinya penjualan kembali kepada klien (pembeli). Margin keuntungan ditentukan atas kesepakatan bersama.

b. Akad Persewaan (ijarah). Ijarah dapat digunakan untuk pembiayaan sarana transportasi, mesin, peralatan, dan pesawat terbang. Format ijarah dengan perpindahan kepemilikan kepada penyewa dengan membayar jumlah tertentu dari sisa angsurang juga diizinkan (sewa beli).

c. Akad Profit-Sharing (mudharabah). Mudharabah merujuk pada kesepakatan antara dua atau lebih orang dimana satu atau lebih dari mereka menyediakan pembiayaan, sedangkan yang lainnya menyediakan manajemen. Tujuannya adalah untuk melakukan perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mencari keuntungan. Keuntungan bisa dibagi antara penyandang dana dan manajemen sesuai dengan proporsi yang disepakati. Tetapi, kerugian hanya ditanggung oleh penyandang dana sesuai dengan bagian mereka dari keseluruhan modal. Kerugian manajer adalah tidak mendapatkan keuntungan atas kerjanya. Akad ini merupakan bentuk mekanisme investasi di mana bank mengelola kumpulan dana (pool of funds). Modal oleh bank kemudian diinvestasikan dalam berbagai aktivitas usaha. Para nasabah deposan berbagi resiko dan laba sesuai proporsi investasi masing-masing.


(31)

d. Partisipasi modal (musyarakah). Musyarakah juga merupakan kesepakatan antara dua atau lebih orang. Tetapi, tidak seperti mudharabah, semua pihak memberikan kontribusi keuangan maupun kewirausahaan dan manajemen, mesti tidak harus sama rata. Bagian keuntungan mereka bisa sesuai dengan kesepakatan tetapi kerugian harus ditanggung sesuai dengan proporsi modal mereka. Akad ini sama dengan mekanisme usaha patungan klasik. Kedua usahawan dan investor berkontribusi modal (asset, keahlian teknis dan managerial, modal kerja, dll.) sesuai dengan kesepakatan. Dan mereka menyepakati untuk berbagi return juga resiko bisnis sesuai dengan proporsi yang telah disepakati tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan diawal, bank syariah tidak menggunakan bunga sebagai alat untuk memperoleh pendapatan maupun membebankan bunga atas penggunaan dana dan pinjaman karena bunga merupakan riba yang diharamkan.

A. Berbeda dengan bank non-syariah, bank syariah tidak membedakan secara tegas antara sektor moneter dan sektor riil sehingga dalam kegiatan usahanya dapat melakukan transaksi-transaksi sektor riil, seperti jual beli dan sewa menyewa. Bank syariah beroperasi atas dasar konsep bagi hasil. Bank syariah juga dapat menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Adapun fungsi dan peran bank syariah, antara lain sebagai:6

6 Suharto, dkk., Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 24.


(32)

1) Manajer investasi yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi

2) Investor yang menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana

3) Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran seperti bank non-syariah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip non-syariah

4) Pengemban fungsi sosial berupa pengelola dana zakat, infaq, shadaqah serta pinjaman kebajikan (qardhul hasan) sesuai ketentuan yang berlaku.

B. Sistem perbankan Islam diharapkan akan menjadi stabilisator perekonomian. Harapan ini disebabakan oleh komitmen perbankan Islam atas penghapusan pembiayaan hutang dengan mekanisme bunganya yang memberati perekonomian. Selain itu sistim ini membuat struktur kewajiban dan aset secara simetris dihubungkan melalui kesepakatan pembagian keuntungan dan tidak adanya biaya bunga yang ditetapkan. Alokasi efisiensi terjadi disebabkan alternatif investasi dengan tegas dipilih berdasarkan pada produktivitas dan tingkat ekspektasi return.

C. D.


(33)

2. Pembiayaan

Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan pinjaman berdasarkan persetujuan atau kesepakatan tertentu dan dengan akad-akad yang ditentukan antara pemilik modal dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu disertai dengan pembayaran imbalan. Sedangkan lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.

Ada tiga jenis akad yang umumnya dipakai oleh Bank Syariah dalam melakukan pembiayaan sektor properti, yaitu Akad Musyarakah Mutanaqisah, akad Murabahah dan Ijarah Muntahia bit Tamlik (IMBT).

a. Musyarakah Mutanaqishah

Musyarakah Mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang merupakan bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Musyarakah atau Syirkah adalah merupakan kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara musyarakah berasal dari kata yatanaqihu-tanaqish-tanaqihan-mutanaqshun yang berarti mengurangi secara bertahap.

Musyarakah Mutanaqishah adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. Ketentuan Didalam Musyarakah Mutanaqishah terdapat unsur kerjasama (syirkah) dan unsur sewa (ijarah). Kerjasama dilakukan dalam hal penyertaan modal atau dana dan kerjasama kepemilikan. Sewa merupakan kompensasi


(34)

yang diberikan salah satu pihak kepada pihak lain. Berkaitan dengan syirkah, keberadaan pihak yang bekerjasama dan pokok modal, sebagai obyek akad syirkah, dan shiqhat (ucapan perjanjian atau kesepakatan) merupakan ketentuan yang harus terpenuhi oleh masing-masing pihak yang berakad.

Skim Musyarakah Mutanaqishah ini cocok untuk waktu yang panjang melebihi 10 tahun pelunasan. Bagi bank, keuntungan didapat bukan dari nilai cicilan tapi nilai sewa. Dengan waktu yang panjang nilai cicilan tapi nilai sewa dengan waktu yang panjang nilai cicilan akan rendah sedangkan sewa bisa disesuaikan untuk kurun waktu tertentu.

b. Murabahah

Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.

Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam Murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.


(35)

Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan adalah sebuah istilah modern yang tidak terdapat dikalangan fuqaha terdahulu. Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik Adalah perjanjian antara Bank (Mu'ajjir) dengan Nasabah (Musta'jir) sebagai penyewa. Musta'jir/penyewa setuju akan membayar uang sewa selama masa sewa yang diperjanjikan dan bila sewa berakhir penyewa mempunyai hak opsi untuk memindahkan kepemilikan obyek sewa tersebut.

IMBT adalah akad yang belum ada pada masa Rasulullah, Akad ini pertama didapatkan pada tahun 1846 Masehi di Inggris, dan yang memulai bertransaksi dengan akad ini adalah seorang pedagang alat-alat musik di inggris, dia menyewakan alat musiknya yang diikuti dengan memberikan hak milik barang tersebut, dengan maksud adanya jaminan haknya itu. Setelah itu tersebarlah akad seperti ini dan pindah dari perindividu ke pabrik-pabrik, dan yang pertama kali menerapkannya adalah pabrik sanjar penyedia alat-alat jahit di inggris. Selanjutnya berkembang, dan tersebar akad ini dengan bentuk khusus di pabrik-pabrik besi yang membeli barang-barang yang sudah jadi, lalu menyewakannya Kemudian setelah itu tersebar akad semacam ini dan pindah ke Negara-negara dunia, hingga ke Amerika Serikat pada tahun 1953 masehi. Lalu tersebar dan pindah ke Negara Perancis pada tahun 1962 masehi.Terus tersebar dan pindah ke Negara-negara Islam dan Arab pada tahun 1397 hijriyah.


(36)

Penggunaan akad ini semakin banyak digunakan pada masa sekarang ini sebagai salah satu pilihan akad yang dapat digunakan untuk melakukan pembiayaan yang berkenaan dengan sewa yang diakhiri dengan hak kepemilikan oleh nasabah.

Bentuk-bentuk IMBT tersebut terdiri dari 2 bentuk yaitu: 1) Ijarah dengan janji akan menjual pada akhir masa sewa

Pilihan untuk menjual barang di akhir massa sewa biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir masa periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan bank. Karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang tersebut di akhir periode.

2) Ijarah dengan janji untuk memberikan hibah pada akhir masa sewa. Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.


(37)

3. Properti

Pada kondisi nyata, seringkali kita melihat di sekeliling kita bangunan-bangunan baru terus bermunculan, baik itu perumahan, apartemen, pusat perbelanjaan, ataupun proyek-proyek properti lainnya. Bisa dikatakan bisnis properti memang tidak pernah sepi. Tingkat pengembalian (Rate of Return) yang besar menjadi salah satu faktor yang menarik investor untuk memasuki bisnis ini. Apalagi harga tanah dan bangunan cenderung terus meningkat sehingga resiko menderita kerugian sangat kecil. Dilihat dari sisi permintaan, bisnis ini memiliki prospek yang menjanjikan di masa yang akan datang, apalagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebesar itu. Pembangunan proyek properti selalu diperlukan dalam berbagai kegiatan ekonomi, sehingga penawaran yang dilakukan oleh pengembang sebagian besar mampu diserap oleh pasar.

4. Kerangka Konseptual

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual

PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk

Jenis Produk & Akad Pembiayaan

Peluang

Pembiayaan Sektor Properti

Srategi dan sosialisasi Produk


(38)

Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Sesuai dengan tujuan, maka dalam penelitian kali ini penulis akan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena tertentu dengan bertumpu pada prosedur-prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku secara utuh. Sedangkan, metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriftif analisis, yaitu penulis menggambarkan permasalahan dengan didasarkan data yang ada kemudian dianalisis lebih lanjut untuk kemudian ditarik kesimpulan.

2. Jenis data

Data hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta ataupun angka. Adapun data fakta adalah berupa data yang diperoleh dari langsung dari objek penelitian yaitu dokumen ataupun laporan Bank Muamalat Indonesia tentang jenis akad, produk, strategi, sosialisasi produk, peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Bank Muamalat Indonesia dalam melakukan pembiayaan sektor properti.

3. Sumber Data

Menurut sumber datanya dalam penelitian ini, data dibedakan menjadi dua macam yakni:

a. Sumber Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yang ditiliti. Dalam hal ini yaitu Bank Muamalat Indonesia.


(39)

b. Data Sekunder

Yaitu data pendukung yang mempunyai hubungan dengan data primer. Dalam artian bahwa sumber data tersebut tidak langsung memberikan data kepada peneliti. Seperti literatur-literatur mengenai perbankan syariah dari buku, jurnal, skripsi, dan karya ilmiah lainnya yang mempunyai kaitan dengan pembiayaan sektor properti. Disamping itu Penulis juga mengakses data dari internet khususnya data dari web resmi Bank Muamalat Indonesia yaitu www.muamalatbank.com. Dari website Bank Muamalat Indonesia penulis dapat mengakses laporan tahunan Bank Muamalat berupa laporan Good Corporate Governance (GCG), Annual Report, Laporan Keuangan, dll.

c. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yakni membicarakan tentang bagaimana cara peneliti mengumpulkan data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa metode dalam mengumpulkan data, sebagai berikut:

1) Metode kepustakaan (library research), yakni mengkaji buku atau literatur yang sesuai dengan tema penelitian peneliti. 2) Metode penelitian lapangan (observation), yakni dengan cara

menyaksikan langsung objek yang ditiliti. Dalam hal ini yaitu operasional Bank Muamalat Indonesia dalam sektor properti dan meminta dokumen atau laporan-laporan yang terkait


(40)

dengan pembiayaan tersebut berupa jenis akad, produk, strategi, sosialisasi produk, peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Bank Muamalat Indonesia dalam melakukan pembiayaan sektor properti.

d. Tehnik analisis data

E. Teknik analisa data yang penulis gunakan adalah teknik analisa data yang bersifat deskriptif analisis yaitu data yang penulis peroleh dari literatur-literatur ekonomi islam khususnya perbankan syariah. Diantaranya adalah data jenis produk dan akad pembiayaan. Yang mana dari data tersebut penulis mendeskripsikan apasaja jenis produk dan akad yang diaplikasikan pada pembiayaan sektor properti. F. Selanjutnya penulis juga akan melakukan penelitian lapangan (observation), yang mana dari hasil observasi tersebut dapat dijelaskan secara terperinci dan sistematis mengenai jenis akad, produk, strategi, sosialisasi, peluang dan tantangan Bank Muamalat Indonesia (BMI) dalam upaya meningkatkan pembiayaan sektor properti. Sehingga dari data-data tersebut dapat tergambar secara utuh dan dapat dipahami secara jelas kesimpulan akhirnya. Sistematika Penulisan

G. Agar pembahasan dalam penelitian (skripsi) ini mengarah kepada maksud yang sesuai dengan judul, maka pembahasan ini penulis susun menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut:


(41)

H. BAB I : PENDAHULUAN

I. Meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.

BAB II : PROPERTI DAN PRINSIP DASAR OPERASIONAL BANK SYARIAH

Berisi tentang penjelasan teoritis mengenai properti dan prinsip dasar operasional bank syariah.

BAB III : PROFIL PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, Tbk

Bab ini berisi tentang paparan (deskripsi) sejumlah data empiris mengenai objek penelitian yang penulis teliti. Data tersebut berupa profil dan kegiatan operasional Bank Muamalat Indonesia.

BAB IV : PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT INDONESIA

Bab ini berisi tentang interpretasi penulis, dengan data-data yang berhasil dihimpun untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan berkaitan dengan jenis produk, akad pembiayaan, strategi, sosialisasi, peluang dan tantangan Bank Muamalat Indonesia dalam sektor properti.

BAB V : PENUTUP

Meliputi kesimpulan dan saran. SEKTOR PROPERTI


(42)

BAB II

PROPERTI DAN PRINSIP DASAR OPERASIONAL BANK SYARIAH A.Properti

1. Defenisi Properti

Properti is something that is owned, yaitu sesuatu yang dapat dimiliki atau apa saja yang dapat dijadikan objek kepemilikan. Sementara itu pengertian dari Real Property is the interest, benefit and rights inherent in the ownership of real estate yang berarti kepentingan, keuntungan dan hak-hak yang menyangkut Kepemilikan tanah dan bangunan beserta perbaikan yang menyatu terhadapnya.7 Properti terdiri dari :

a. Aset berwujud (Tangible Property) yang terdiri dari:

1) Real Property yang terdiri dari tanah, bangunan dan prasarana, serta pengembangan lainnya.

2) Personal Property yang terdiri dari mesin dan peralatan, kendaraan, peralatan kantor, fixtures dan furnitures serta building equipment b. Aset tak berwujud (Intangible Property) yang terdiri dari goodwill,personal

guarantee, francises, trade mark, patent, dan copy right.

c. Surat-surat berharga (Marketable Securities) yang terdiri dari saham, tabungan dan promissary notes.


(43)

Dalam perkembangannya, real properti yang dibangun dan dikembangkan di muka bumi sesuai dengan pemilik dan pelaksana pembangunannya/pengembang terbagi atas:

a. Properti Primer (Primary), yaitu properti yang dibangun dan dimiliki oleh badan institusi yang tergabung dalam Asosiasi Real Estate Indonesia (REI) sebagai developer anggota REI yang terdiri dari beberapa grup besar properti, konsorsium, dan/atau joint venture.

b. Properti Sekunder (Secondary), yaitu properti yang dibangun dan dimiliki oleh individual seperti kontraktor, investor, owner, dan user sendiri.

Bangunan dalam bisnis properti berdasarkan penggunaannya dibagi atas: a. Bangunan Komersial yang terdiri dari bangunan perkantoran, ruko, pertokoan,

serta hotel dan motel.

b. Bangunan Perumahan yang terdiri dari rumah tinggal dan kondominium/apartemen.

c. Bangunan Industri yang terdiri dari industri berat, industri ringan dan gudang, gudang dan kantor, pergudangan, dan industrial parks.

d. Bangunan Fasilitas Umum yang terdiri dari rumah sakit, perguruan tinggi, gedung-gedung pemerintah, dan SPBU/pompa bensin

e. Bangunan Hiburan yang terdiri dari bioskop, lapangan golf, museum, sarana olahraga, convention center, dll.


(44)

Untuk memudahkan pemahaman mengenai definisi dan pembagian properti maka dapat dilihat pada Gambar 2.1 yang menjelaskan mengenai konsep/hubungan antara real estate, properti riil dan properti individu.

Gambar 2.1

Konsep Real Estate, Properti Riil, dan Properti Individu

Properti menunjukkan kepada sesuatu yang biasanya dikenal sebagai entitas dalam kaitannya dengan kepemilikan seseorang atau sekelompok orang atas suatu hak eksklusif. Bentuk yang utama dari properti ini adalah termasuk real property

(tanah), kekayaan pribadi (personal property) (kepemilikan barang secara fisik lainnya), dan kekayaan intelektual. hak dari kepemilikan adalah terkait dengan properti yang menjadikan sesuatu barang menjadi "kepunyaan seseorang" baik


(45)

pribadi maupun kelompok, menjamin si pemilik atas haknya untuk melakukan segala suatu terhadap properti sesuai dengan kehendaknya, baik untuk menggunakannya ataupun tidak menggunakannya, untuk mengalihkan hak kepemilikannya. Beberapa ahli filosofi menyatakan bahwa hak atas properti timbul dari norma sosial. Beberapa lainnya mengatakan bahwa hak itu timbul dari moralitas atau hukum alamiah (natural law).

Beragam kelompok ilmu seperti hukum, ekonomi, antropologi, sosiologi

menerapkan konsep tersebut secara lebih sistematis, namun definisi yang diberikan berbeda antara satu bidang ilmu dengan yang lainnya. Dalam bidang ilmu sosial, seringkali istilah properti ini digunakan sebagai "suatu kelompok hak" dan ditekankan bahwa properti adalah bukan merupakan suatu hubungan antara manusia dan barang, namun lebih merupakan hubungan antara "penghargaan manusia atas barang". "Properti pribadi" kadang digunakan sebagai sesuatu istilah yang maknanya mirip dengan "kepemilikan individu", tetapi istilah tersebut juga dapat digunakan untuk suatu kepemilkan properti secara kolektif dalam bentuk "kepemilikan perusahaan", dan beberapa filsuf seperti Karl Marx menggunakan istilah ini untuk menjelaskan hubungan sosial antara mereka yang menjual tenaganya dan mereka yang membelinya (menggunakan tenaga tersebut). Kesemuanya ini adalah berbeda dengan properti publik, yang merupakan hak kepemilikan dari seluruh komunitas secara kolektif atau suatu negara.

Hak kepemilikan properti modern mengandung suatu hak kepemilikan dan hak penguasaan yang merupakan milik dari suatu perorangan yang sah, walaupun


(46)

apabila perorangan tersebut bukan merupakan bentuk orang yang sesungguhnya. Misalnya pada perusahaan, dimana perusahaan memiliki hak-hak setara dengan hak warga negara lainnya termasuk hak-hak konstitusi, dan oleh karena itulah maka perusahaan disebut sebagai badan hukum.

Properti biasanya digunakan dalam hubungannya dengan kesatuan hak termasuk :

a. Kontrol atas penggunaan dari properti

b. Hak atas segala keuntungan dari properti (misalnya: hak tambang, hak sewa) c. Suatu hak untuk mengalihkan atau menjual properti

d. Suatu hak untuk memiliki secara eksklusif

Sistim hukum telah berkembang sedemikian rupa untuk melindungi transaksi dan sengketa atas penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, pengalihan dan pembagian properti, dimana sistim tersebut termasuk dengan yang biasa dikenal dengan istilah

kontrak (perjanjian). Hukum positif menegaskan hak-hak tersebut dan untuk menghakimi dan melaksanakan penerapannya maka digunakan suatu sistim hukum sebagai sarananya.

2. Definisi Kredit Properti

Maraknya industri properti saat ini tidak terlepas dari dukungan pembiayaan industri perbankan dalam bentuk kredit properti. Industri properti sendiri, secara teoritis mempunyai hubungan yang erat dengan sektor perbankan melalui kredit dan Non


(47)

industri properti pada periode berikutnya karena NPL memiliki lag waktu.8 Berdasarkan definisi Bank Indonesia, kredit properti merupakan semua pembiayaan dari perbankan untuk bidang usaha yang kegiatannya berkaitan dengan pengadaan tanah, bangunan dan fasilitasnya untuk dijual atau disewakan. Kredit properti ini diberikan dalam bentuk kredit investasi, kredit modal kerja maupun kredit konsumsi. Kredit investasi dan kredit modal kerja diberikan kepada pengembang untuk proses pembangunan proyek properti, sementara kredit konsumsi diberikan kepada masyarakat sebagai konsumen dari produk-produk properti. Dilihat dari komposisinya, kredit properti terdiri dari 3 jenis kredit, yaitu kredit konstruksi, kredit real estate serta Kredit Pemilikan Rumah dan Apartemen

(KPRA). Ketiga jenis kredit tersebut berbeda peruntukan dan segmen pasarnya. Kredit konstruksi umumnya diberikan kepada para usahawan atau kontraktor untuk membangun perkantoran, mall, ruko dan pusat bisnis lainnya. Kredit real estate diberikan kepada para pengembang untuk membangun kompleks perumahan kelas atas. Sedangkan KPRA diberikan kepada perorangan yang akan membeli atau memperbaiki rumah atau apartemen.

3. Gambaran Umum Sektor Properti Pasca Krisis

Pada saat terkena badai krisis ekonomi sebelas tahun lalu, industri properti di Indonesia termasuk salah satu industri yang pertama kali terkena dampaknya. Hal tersebut bisa dikatakan terjadi karena akumulasi kesalahan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku dalam industri properti sendiri. Saat itu perbankan demikian gencar menyalurkan kredit ke sektor properti yang umumnya bersifat jangka panjang dengan


(48)

ditopang dana yang bersifat jangka pendek. Sementara pengawasan dari Bank Indonesia masih sangat lemah sehingga praktik pelanggaran legal lending limit (batas maksimum pemberian kredit atau BMPK) dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Pada saat itu, hal ini tidak menjadi masalah karena kondisi perekonomian Indonesia sedang stabil. Namun ketika krisis mata uang yang awalnya terjadi di Thailand kemudian berimbas ke Indonesia, tidak dipungkiri hal ini menjadi pemicu jatuhnya bank-bank yang berperan besar dalam pembiayaan bisnis properti. Para pengembang-pun ikut merasakan dampak dari jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Sebagian besar dari mereka berurusan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) karena tidak dapat memenuhi kewajiban mereka kepada pihak perbankan. Ketika itu banyak kalangan yang memperkirakan industri properti akan lama untuk bisa pulih kembali.

Namun, pada tahun 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai menekuni kembali bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pasca krisis. Tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi proyek properti Rp 91,01 triliun, atau meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang sebesar Rp 9,51 triliun. Jika


(49)

menyimak proyek pembangunan properti nasional sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.1, terlihat pada tahun 2003 nilai kapitalisasi proyek properti di Indonesia mencapai angka Rp 49,3 triliun kemudian tumbuh secara konsisten menjadi Rp 77,1 triliun pada tahun 2007. Berdasarkan pengamatan terhadap kinerja serta kondisi faktor-faktor pendukung industri properti, maka diperkirakan pertumbuhan bisnis properti masih prospektif di tahun-tahun kedepan. Bahkan menurut salah seorang pengamat properti di Indonesia mengatakan bahwa puncak siklus bisnis properti masih akan terjadi pada tahun 2010-2011.

Tabel 2.1


(50)

4. Perkembangan Kredit Properti di Indonesia

Realisasi penyaluran kredit properti sepanjang tahun 2010 lalu tumbuh sekitar 15,07% dibandingkan dengan penyaluran kredit pada 2009 dari Rp217 triliun menjadi Rp249,7 triliun. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) pertumbuhan penyaluran kredit yang signifikan tersebut didorong masih besarnya minat bank umum menyalurkan kredit properti pada kuartal IV/2010 sejalan dengan bergairahnya permintaan produk properti oleh calon debitur.

Adapun, kredit properti yang dimaksud mencakup kredit yang diberikan kepada kontraktor untuk pembangunan perkantoran, perhotelan, rumah, pertokoan, serta kredit kepada perorangan untuk kepemilikan serta pemugaran rumah. Penyaluran kredit properti yang terakumulasi pada kuartal IV itu tumbuh 9,87% sebesar Rp22,43 triliun dibandingkan dengan akumulasi penyaluran kredit properti hingga kuartal III/2010 (q-to-q) sebesar Rp227,27 triliun.

Menurut BI, peningkatan kredit pada kuartal IV dipacu oleh ekspansi kredit realestate sebesar 15,97% (q-to-q). Hal itu diikuti pertumbuhan kredit pemilikan rumah dan apartemen (KPR/KPA) sebesar 13,56% dengan pangsa pasar tertinggi mencapai 57,41.

B.Pembiayaan Bank Syariah Dalam Sektor Properti

1. Produk Pembiayaan Bank Syariah Dalam Sektor Properti

Kehadiran perbankan syariah di sektor pembiayaan properti dianggap masih relatif baru dan minim. Padahal perbankan syariah diperkirakan dapat menjadi opsi di sektor pembiayaan properti dengan berbagai kelebihannya.


(51)

Pembiayaan perbankan syariah di sektor pembiayaan properti terlihat dari jumlah pembiayaan yang diberikan perbankan syariah kepada sektor properti. Hingga September 2010, Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah ke sektor properti hanya mencapai Rp1,2 triliun. Jumlah tersebut hanya 1,8% dari total pembiayaan perbankan syariah yang besarnya mencapai Rp 61 triliun. Padahal pembiayaan perbankan secara umum nasional kepada sektor properti mencapai 13,3% dari keseluruhan jumlah pembiayaan perbankan. Artinya yang disalurkan perbankan syariah ke sektor properti masih kecil sekali dan ini masih bisa berkembang lagi.

Peluang perbankan syariah memberikan pembiayaan ke sektor properti masih terbuka. Masyarakat, khususnya menengah ke bawah, masih membutuhkan fasilitas pembiayaan perumahan yang aman.

Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia DKI Jakarta Setyo Maharso mengatakan bahwa kebutuhan rumah di Jakarta akan meningkat pada tahun-tahun mendatang. Ada sekitar 3 juta orang yang menjadi komuter keluar masuk Jakarta memiliki keinginan untuk memiliki tempat tinggal di Jakarta karena menghindari kemacetan. Jika 10% dari 3 juta orang tersebut bisa dimanfaatkan, perbankan syariah berpotensi besar memberikan pembiayaan ke sana. Potensi ini masih ada. Perbankan syariah bisa memanfaatkan sekitar 300 ribu komuter yang membutuhkan tempat tinggal di Jakarta.

Sementara itu bagi para pengembang, masuknya perbankan syariah dalam pemberian fasilitas pembiayaan properti disambut positif. Pembiayaan kredit


(52)

pemilikan rumah (KPR) syariah dinilai lebih aman karena memiliki suku bunga yang tetap.

Para pengembang dianggap akan mudah menetapkan program pemasaran dengan suku bunga KPR yang tetap. Selain itu para pembeli properti juga akan mampu mengatur cash flow-nya agar tidak terganggu.9

Jumlah pembiayaan perbankan syariah ke sektor properti hingga akhir September 2010 baru mencapai 1,8% dari total pembiayaan perbankan syariah sebesar Rp 61 triliun atau sekitar 1,2 triliun. Sedangkan kalau dilihat secara nasional 13,3% pembiayaan perbankan sudah ke sektor properti. Jadi kalau dilihat baru 1,8% masih sangat kecil sekali.

Masyarakat sudah mulai tertarik menggunakan pembiayaan perbankan syariah di sektor properti. Hal ini bisa dilihat dari total transaksi pameran Real Estate Indonesia (REI) Expo ke-23 yang bekerjasama dengan perbankan syariah pada bulan Mei lalu mencapai Rp 356 miliar. Namun pencapaian yang sangat menggembirakan tersebut baru melayani nasabah dari sisi individu, belum banyak menyentuhkan dari sisi nasabah korporasi ataupun penyedia data teknis di sektor properti.

Untuk mendukung perkembangan perbankan syariah di tanah air, saat ini BI dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan masih melakukan kajian mengenai pemetaan permasalahaan pajak yang berlaku pada perbankan syariah.

9 Media Indonesia, Minim Peran Perbankan Syariah di Pembiayaan Properti, artikel diakses pada tanggal 21 April 2011 dari http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/21/ 176669/20/2/Minim-Peran-Perbankan-Syariah-di-Pembiayaan-Properti


(53)

Selama ini masyarakat memang masih belum kenal dengan bank syariah. Mereka tahunya untuk mendapatkan kredit di sektor properti dari BNI, BRI dan BTN. Kebutuhan properti di Jakarta saja masih akan meningkat. Diproyeksikan akan ada kebutuhan tambahan 300 ribu properti yang masih bisa diserap. Saat ini di Jakarta kalau siang hari ada 12 juta penduduk yang bekerja. Sementara kalau malam hanya 8,5-9 juta orang saja, jadi ada 3 juta yang tinggal di luar Jakarta. Dan mereka diproyeksikan akan pindah ke Jakarta, namun yang bisa diserap hanya 300 ribu atau 10% saja.10

KPR Syariah

Pangsa pasar perbankan syariah baru sekitar 2,5 persen dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp2.500 triliun. Karena itu lumrah kalau perannya dalam perekonomian kita belum signifikan. Selain eksistensinya relatif baru, kecilnya share perbankan syariah itu juga lantaran sosialisasinya masih kurang. Atas dasar itu, terdapat produk-produk bank syariah yang lebih menyentuh sektor ritel yaitu tentang pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) secara syariah.

Baik perbankan konvensional maupun syariah keduanya adalah penjual. Sedangkan nasabah adalah pembeli. Bedanya, perbankan konvensional menjual uang dengan bunga tertentu. Sebab itu pengikatannya disebut akad kredit (perjanjian pinjam meminjam uang). Karena menjual uang, bunganya bisa berubah-ubah mengikuti fluktuasi bunga pasar. Artinya, angsuran kredit bisa naik atau turun.

10 Detikfinance, Pembiayaan Perbankan Syariah ke Properti Masih Minim, artikel di akses pada tanggal 21 April 2011 dari http://www.detikfinance.com/read/2010/10/20/140439/


(54)

Sementara perbankan syariah menjual barang. Sebagai penjual (pedagang) bank mengambil keuntungan yang disebut margin. Artinya, perbankan syariah tidak mengenal bunga karena jual beli uang dan bunga dalam Islam diharamkan. Dalam sistem syariah sekali kontrak jual-beli disepakati, cicilan nasabah tetap selama masa kontrak. Sangat cocok bagi kalangan berpendapatan tetap.

Salah satu problem penyaluran KPR di Indonesia selama ini adalah fluktuasi bunga. Yang paling kesulitan dengan fluktuasi itu adalah nasabah berpenghasilan tetap. Bila dikonversi ke bunga KPR konvensional margin KPR syariah masih lebih tinggi. Tapi, hal itu tidak bisa dielakkan mengingat kekuatan pendanaan bank syariah masih terbatas. Selain itu nasabah penyimpan di bank syariah juga menuntut porsi bagi hasil (nisbah) yang tinggi. Misalnya, nisbah simpanan di BTN Syariah saat ini mencapai 12,25 persen bila dikonversi ke bunga deposito bank konvensional. Padahal, bunga deposito bank konvensional antara 9–10%.

Produk pembiayaan KPR yang digunakan dalam perbankan syari’ah memiliki berbagai macam perbedaan dengan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) di perbankan konvensional. Hal ini merupakan implikasi dari perbedaan prinsipal yang diterapkan perbankan syari’ah dan perbankan konvensional, yaitu konsep bagi hasil dan kerugian sebagai pengganti sistem bunga perbankan konvensional.

Dalam produk pembiayaan kepemilikan rumah ini, terdapat beberapa perbedaan antara perbankan syari’ah dan perbankan konvensional, di antaranya adalah; pemberlakuan sistem kredit dan sistem markup, kebolehan dan ketidakbolehan tawar menawar (bargaining position) antara nasabah dengan bank,


(55)

prosedur pembiayaan dan lain sebagainya. Dari segi pengistilahan, untuk produk pembiayaan pemilikan rumah, perlu dipikirkan suatu bentuk pengistilahan yang relevan. Karena istilah KPR cenderung memunculkan asumsi terjadinya kredit, padahal dalam perbankan syari’ah tidak menggunakan sistem kredit. Untuk menghindari hal itu (tetapi tetap menggunakan istilah KPR11), beberapa bank syari’ah (seperti BTN Syari’ah) memaknai KPR dengan ”Kebutuhan Pemilikan Rumah“. Dalam menjalankan produk KPR, bank syari’ah memadukan dan menggali skim-skim transaksi yang dibolehkan dalam Islam dengan operasional KPR perbankan konvensional.

Sebenarnya margin KPR syariah mampu bersaing dengan bunga KPR konvensional. Masalahnya selama ini nasabah menerima saja persentase bunga yang ditawarkan, tidak pernah menghitung betul berapa total bunga yang dibayarnya selama masa KPR. Harusnya lihat berapa total bunga yang dibayar kalau pakai KPR konvensional, bandingkan dengan total margin bila menggunakan KPR syariah.

Ada yang mengatakan kelebihan lain KPR syariah, bila pelunasannya dipercepat nasabah tidak dikenai pinalti. Di BTN syariah misalnya, kita cukup melunasi sisa angsuran pokok ditambah tiga kali margin. Contoh, kita melunasi KPR pada akhir tahun kelima dari akad semula 10 tahun. Saat itu sisa angsuran pokok katakanlah Rp52,5 juta. Sedangkan cicilan KPR Rp2,9 juta/bulan, terdiri dari angsuran pokok Rp1,5 juta dan margin Rp1,4 juta. Maka, yang kita bayar hanya

11 Karena di masyarakat luas sudah terpolakan bahwa produk perbankan yang melayani pembiayaan kepemilikan rumah adalah KPR. Faktor familier inilah yang kemudian menjadi alasan bank-bank syari’ah tetap menggunakan istilah KPR.


(56)

Rp52,5 juta + (3 x Rp1,4 juta). Tapi, apakah hal itu memang lebih menguntungkan dibanding nilai pinalti bila kita mempercepat pelunasan pada KPR konvensional dengan nilai kredit dan periode yang sama? Untuk itu perlu membandingkan sebelum mengambil kesimpulan.

Kelebihan KPR syariah berikutnya, di tengah masa kontrak nasabah boleh minta diskon margin (mukhasah). Misalnya, karena melihat bunga pasar sudah begitu rendah atau kita kesulitan meneruskan cicilan dengan margin yang disepakati semula. Hanya, peluang mendapat diskon margin ini tidak pasti dan karena itu tidak tercantum dalam kontrak.

2. Peluang Perbankan Syariah Dalam Pembiayaan Sektor Properti

Di tahun 2011 ini, industri perbankan syariah memang mulai menggeliatkan pembiayaan mereka pada sektor properti yang selama ini belum digarap sepenuhnya. Hal tersebut didasarkan pada peluang dan pasar properti yang sangat besar, juga antusias masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas kredit perumahan (KPR) berbasis perbankan syariah.

Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI) Mulya Siregar mengatakan, tahun ini akan menjadi tahun bagi bank syariah untuk menggarap pembiayaan industri perumahan atau membiayai para pengembang. Kalau selama ini bank syariah dinilai lebih banyak pembiayaan konsumtif, maka kita akan buktikan tahun ini dengan rencana pembiayaan untuk perumahan dan para pengembang.

Menurutnya, rencana industri perbankan syariah menggarap pembiayaan perumahan juga didasarkan tingginya minat nasabah menggunakan KPR bank syariah


(57)

yang dinilai banyak memberikan keunggulan dan kenyamanan. Di mana dengan menggunakan KPR Syariah, nasabah akan menerima cicilan tetap, masa pembiayaan 15 tahun serta pembayaran awal uang muka yang tidak dikenakan pinalti.

Saat ini pembiayaan perbankan syariah untuk sektor properti masih kecil sekitar 1,8% atau setara Rp 1,2 triliun dari total pembiayaan nasional) untuk sektor properti Rp 61 triliun atau sekitar 13,3%. Pembiayaan bank syariah untuk sektor properti masih kecil dan lebih didominasi sektor perdagangan.

Namun, untuk total asset, perbankan syariah sampai dengan September 2010 telah mencapai Rp 85,9 triliun dengan komponennya terdiri dari Rp 65,3 triliun dari bank umum syariah, Rp 16, 2 triliun dari unit usaha syariah, dan Rp 2 triliun berasal dari BPR syariah. Pangsa pasar industri perbankan syariah akan mencapai target moderat yang ditetapkan BI sampai akhir tahun, yakni sebesar Rp 97 triliun.

Adapun hingga September pansa pasar bank syariah mencapai 43% pertumbuhannya jika dibandingkan dengan tahun lalu, atau setara dengan Rp85.9 triliun. Pencapaian aset bank-bank syariah tersebut juga telah melewati target pesimistis pencapaian aset yang dicanangkan BI, yaitu pada angka Rp 72 triliun. Sampai akhir tahun aset bank-bank syariah bisa mendekati target moderat yang ditetapkan BI, yaitu Rp 97 triliun.

September Year on Year total asset syariah tumbuh 43% atau sejalan dengan proyeksi yang dilakukan. Namun, Juli sampai Agustus pertumbuhan aset sekitar Rp 3 triliun per bulan. Mudah-mudahan pada tahun ini mendekati Rp 97 triliun. BI sebenarnya memiliki target pencapaian aset bank-bank syariah yang lebih optimis,


(58)

yaitu mencapai Rp 12 triliun. Namun menurutnya, pertumbuhan aset bank-bank syariah saat ini juga sudah lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2001-2008 pertumbuhan aset hanya Rp 661 miliar per bulan. Lama-lama sudah menjadi Rp 1,5 triliun dan sekarang average Rp 2 triliun. Besarnya peluang pasar industri bank syariah di Indonesia membuat minat dan daya tarik investor asing membuka bank syariah di Indonesia semakin besar. Namun saat ini yang menjadi hambatan mereka (investor asing) persoalan peraturan pajak, khususnya terkait UU No.42 tentang PPN.

Tingginya minat investor asing disektor industri perbankan syariah menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk mampu bersaing dengan asing. Maka strateginya, perbankan syariah diminta untuk berorentasi pada kualitas domestik dan bukan keluar. Karena bila tidak dilakukan, bank syariah hanya akan menjadi penonton dinegerinya sendiri.

C.Prinsip Dasar Operasional Bank Syariah

Perkembangan perbankan Islam merupakan fenomena yang menarik kalangan akademisi maupun praktisi dalam 20 tahun terakhir. Tak kurang IMF juga telah melakukan kajian-kajian atas praktek perbankan Islam scbagai alternatif sistem keuangan internasional yang memberikan peluang upaya penyempurnaan sistem keuangan internasional yang belakangan dirasakan banyak sekali mengalami goncangan dan ketidakstabilan yang menyebabkan krisis dan keterpurukan ekonomi akibat lebih dominannya sektor finansial dibanding sektor riil dalam hubungan perekonomian dunia.


(59)

Beberapa kajian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan perdagangan uang dan derivasinya tumbuh kurang lebih 800 kali lipat dibanding laju pertumbuhan sektor riil dan semakin tidak terintegrasinya kegiatan sektor riil dengan sektor moneter sehingga timbul berbagai distorsi dalam mengakselerasi pembangunan ekonomi dunia karena pengaruh yang sangat kuat dari perilaku ekonomi yang spekulatif dan tidak berbasis pada kondisi riil potensi ekonomi yang ada. Tidak lama sebelum terjadinya krisis mata uang di Asia khususnya Asia Tenggara, kawasan ini masih dinilai sebagai kawasan yang mempunyai laju pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan oleh sebagian besar pakar dan lembaga keuangan internasional namun sebenarnya telah ada pula yang mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut lebih bersifat semu seperti gelembung sabun atau balon karena tidak mencerminkan fundamental ekonomi yang kuat, yang tidak lain adalah kekuatan riil ekonomi dengan tingkat produktifitas yang tinggi dan efisiensi ekonomi yang optimal. Meskipun tidak semua mengakui secara terus terang tetapi disadari sepenuhnya bahwa sistem ekonomi yang berbasis kapitalis dan interest base serta menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan bahkan secara besar-besaran ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan hubungan ekonomi yang adil dan produktif. Pidato PM Malaysia DR. Mahathir pada sidang IMF di Hongkong tentang hal-hal tersebut diatas dianggap sangat fenomenal dan menggugah kesadaran berbagai pihak untuk setidak-tidaknya tergerak mempelajari lebih jauh kebenaran argumentasi yang muncul tentang kerusakan sistem keuangan dunia, bahkan belakangan Soros pun


(60)

sudah mulai mengkritik sistem kapitalis yang kelewat bebas dalam pengaturan arus keuangan dunia.

Secara politis dan praktis upaya memperkenalkan sistem keuangan berdasarkan pandangan Islam tersebut masih harus melewati jalan panjang tidak saja dari segi pemantapan fondasi teoritis dan praktis tetapi lebih dari itu diperlukan kekuatan untuk meyakinkan kelompok pelaku utama keuangan internasional dan negara maju bahwa sistem keuangan yang berbasis pada prinsip ekonomi Islam dapat menjamin terselenggaranya perekonomian dunia yang lebih adil dan membawa kesejahteraan umat manusia sesuai dengan konsep Islam "rahmatan lil alamin" Kajian atas kekayaan prinsip ekonomi Islam serta praktek ekonomi yang berlaku pada masa Rasulullah khususnya pada periode Madinah telah lama dilakukan, sehingga pada masa sekarang telah tumbuh dan berkembang berbagai pusat kajian akademis tentang ekonomi Islam khususnya tentang lembaga keuangan Islam diberbagai negara bahkan di negara non muslim sekalipun seperti di Harvard Amerika, beberapa universitas di London, Australia dan tentu saja di negara-negara berpenduduk muslim termasuk Malaysia dan Indonesia. Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas).

Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu:

1. Aqidah: komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang


(61)

muslim manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah.

2. Syariah: komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi keyakinannya. Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut muamalah maliyah.

3. Akhlaq: landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis nabi yang menyatakan "Tidaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk menjadikan akhlaqul karimah".

Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi umat yang antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut :

1. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.


(62)

2. Riba dalam segala bentuknya dilarang bahkan dalam ayat Alquran tentang pelarangan riba yang terakhir yaitu surat Al Baqarah ayat 278-279 secara tegas dinyatakan sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba itu jika kamu orang beriman. Kalau kamu tiada memperbuatnya ketahuilah ada peperangan dari Allah dan RasulNya terhadapmu dan jika kamu bertobat maka untukmu polcok-pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya.

3. Larangan riba juga terdapat dalam ajaran kristen baik perjanjian lama maupun perjanjian baru yang pada intinya menghendaki pemberian pinjaman pada orang lain tanpa meminta bunga sebagai imbalan.

4. Meskipun masih ada sementara pendapat khususnya di Indonesia yang masih meragukan apakah bunga bank termasuk riba atau bukan, maka sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan.

5. Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

6. Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat pada segelintir orang dan Allah sangat tidak menyukai orang yang menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang lebih besar dibanding


(63)

jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah yang menerima amanah dari Allah sebagai pemilik mutlak segala yang terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan wajib dlakukan sehingga tidak seorangpun tanpa bekerja yang berarti siap menghadapi resiko dapat memperoleh keuntungan atau manfaat (jika dibandingkan dengan perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa resiko).

7. Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi harus dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa paksaan dari pihak manapun.

8. Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan profesi akuntansi dan notaris).

9. Zakat sebagai instrumen untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan. Dari uraian ringkas diatas memberikan gambaran yang jelas tentang prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi Islam dimana tidak hanya berhenti pada tataran konsep saja tetapi tersedia cukup banyak contoh-contoh


(64)

kongkrit yang diajarkan oleh RasulAllah, yang untuk penyesuaiannya dengan kebutuhan saat sekarang cukup banyak ijtima' yang dilakukan oleh para ahli fikih disamping pengembangan praktek operasional oleh para ekonom dan praktisi lembaga keuangan Islam. Sesuai sifatnya yang universal maka tuntunan Islam tersebut diyakini akan selalu relevan dengan kebutuhan zaman, dalam hal ini sebagai contoh adalah pengembangan lembaga keuangan Islam seperti perbankan dan asuransi.

Prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi Islam akan menjadi dasar beroperasinya bank Islam yaitu yang paling menonjol adalah tidak mengenal konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk tujuan komersial Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan/kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun.

Didalam menjalankan operasinya fungsi bank Islam akan terdiri dari:

1. Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank.

2. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana/sahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak sebagai manajer investasi).

3. Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah


(1)

Lampiran 2

SIMULASI PEMBIAYAAN iB HUNIAN KONGSI (MUSYARAKAH MUTANAQISHAH)


(2)


(3)

(4)

(5)

Lampiran 3

SIMULASI PEMBIAYAAN iB PEMBELIAN HUNIAN SYARIAH (MURABAHAH)

Contoh Perhitungan Flat:

Diketahui:

Harga jual : Rp. 24.000.000 Rate : 5,3739% flat perbulan Jangka Waktu : 2 tahun

Perhitungan:

Bunga flat sebesar 5,3739 % per tahun

Maka, margin flat tiap bulan selalu sama yaitu sebesar: = (Rp 24.000.000,00 x 5,3739 x 2) : 24

= Rp 107.478,00

Maka, angsuran pinjaman 1

Angsuran pokok dan margin pada bulan 1 adalah: Rp. 1.000.000,00 + 107.478,00 = Rp 1.107.478,00 Angsuran pinjaman bulan 2:

Angsuran pokok dan margin pada bulan 1 adalah: Rp. 1.000.000,00 + 107.478,00 = Rp 1.107.478,00 Jumlah angsuran akan sama setiap bulan sampai selesai.

Bulan Saldo Bunga Flat Angsuran Pokok

Total Angsuran

0 Rp 24.000.000 0 0 0

1 Rp 23.092.522 Rp 107.478 Rp 1.000.000 Rp 1.107.478


(6)

Contoh Perhitungan Anuitas:

Diketahui:

Harga jual : Rp 24.000.000,00

Rate : 10% per tahun

Jangka waktu : 2 tahun Perhitungan:

Margin anuitas bulan 1 = Rp 24.000.000,00 x 10% x (30 hari/360 hari) = Rp 200.000,00

Angsuran pokok dan margin pada bulan 1 adalah Rp 907.407 + 200.000,00 = Rp 1.107.478,00

Margin anuitas bulan 2 = Rp 23.092.522,00 x 10% x (30 hari/360 hari) = Rp 192.438,00

Angsuran pokok dan margin pada bulan 2 adalah: Rp 915.040,00 + 192.438,00 = Rp 1.107.478,00

Total angsuran dengan flat dan anuitas setiap bulannya sama yang membedakannya hanya pada cara perhitungannya.

Bulan Saldo Bunga Flat Angsuran Pokok

Total Angsuran

0 Rp 24.000.000 0 0 0

1 Rp 23.092.522 Rp 200.000 Rp 907.478 Rp 1.107.478