Definisi Kredit Properti PROPERTI DAN PRINSIP DASAR OPERASIONAL BANK SYARIAH

industri properti pada periode berikutnya karena NPL memiliki lag waktu. 8 Berdasarkan definisi Bank Indonesia, kredit properti merupakan semua pembiayaan dari perbankan untuk bidang usaha yang kegiatannya berkaitan dengan pengadaan tanah, bangunan dan fasilitasnya untuk dijual atau disewakan. Kredit properti ini diberikan dalam bentuk kredit investasi, kredit modal kerja maupun kredit konsumsi. Kredit investasi dan kredit modal kerja diberikan kepada pengembang untuk proses pembangunan proyek properti, sementara kredit konsumsi diberikan kepada masyarakat sebagai konsumen dari produk- produk properti. Dilihat dari komposisinya, kredit properti terdiri dari 3 jenis kredit, yaitu kredit konstruksi, kredit real estate serta Kredit Pemilikan Rumah dan Apartemen KPRA. Ketiga jenis kredit tersebut berbeda peruntukan dan segmen pasarnya. Kredit konstruksi umumnya diberikan kepada para usahawan atau kontraktor untuk membangun perkantoran, mall, ruko dan pusat bisnis lainnya. Kredit real estate diberikan kepada para pengembang untuk membangun kompleks perumahan kelas atas. Sedangkan KPRA diberikan kepada perorangan yang akan membeli atau memperbaiki rumah atau apartemen.

3. Gambaran Umum Sektor Properti Pasca Krisis

Pada saat terkena badai krisis ekonomi sebelas tahun lalu, industri properti di Indonesia termasuk salah satu industri yang pertama kali terkena dampaknya. Hal tersebut bisa dikatakan terjadi karena akumulasi kesalahan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku dalam industri properti sendiri. Saat itu perbankan demikian gencar menyalurkan kredit ke sektor properti yang umumnya bersifat jangka panjang dengan 8 Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, 2007. ditopang dana yang bersifat jangka pendek. Sementara pengawasan dari Bank Indonesia masih sangat lemah sehingga praktik pelanggaran legal lending limit batas maksimum pemberian kredit atau BMPK dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Pada saat itu, hal ini tidak menjadi masalah karena kondisi perekonomian Indonesia sedang stabil. Namun ketika krisis mata uang yang awalnya terjadi di Thailand kemudian berimbas ke Indonesia, tidak dipungkiri hal ini menjadi pemicu jatuhnya bank-bank yang berperan besar dalam pembiayaan bisnis properti. Para pengembang-pun ikut merasakan dampak dari jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Sebagian besar dari mereka berurusan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN karena tidak dapat memenuhi kewajiban mereka kepada pihak perbankan. Ketika itu banyak kalangan yang memperkirakan industri properti akan lama untuk bisa pulih kembali. Namun, pada tahun 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai menekuni kembali bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pasca krisis. Tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi proyek properti Rp 91,01 triliun, atau meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang sebesar Rp 9,51 triliun. Jika