Gambaran Umum Sektor Properti Pasca Krisis

ditopang dana yang bersifat jangka pendek. Sementara pengawasan dari Bank Indonesia masih sangat lemah sehingga praktik pelanggaran legal lending limit batas maksimum pemberian kredit atau BMPK dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Pada saat itu, hal ini tidak menjadi masalah karena kondisi perekonomian Indonesia sedang stabil. Namun ketika krisis mata uang yang awalnya terjadi di Thailand kemudian berimbas ke Indonesia, tidak dipungkiri hal ini menjadi pemicu jatuhnya bank-bank yang berperan besar dalam pembiayaan bisnis properti. Para pengembang-pun ikut merasakan dampak dari jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Sebagian besar dari mereka berurusan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN karena tidak dapat memenuhi kewajiban mereka kepada pihak perbankan. Ketika itu banyak kalangan yang memperkirakan industri properti akan lama untuk bisa pulih kembali. Namun, pada tahun 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai menekuni kembali bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pasca krisis. Tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi proyek properti Rp 91,01 triliun, atau meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang sebesar Rp 9,51 triliun. Jika menyimak proyek pembangunan properti nasional sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.1, terlihat pada tahun 2003 nilai kapitalisasi proyek properti di Indonesia mencapai angka Rp 49,3 triliun kemudian tumbuh secara konsisten menjadi Rp 77,1 triliun pada tahun 2007. Berdasarkan pengamatan terhadap kinerja serta kondisi faktor-faktor pendukung industri properti, maka diperkirakan pertumbuhan bisnis properti masih prospektif di tahun-tahun kedepan. Bahkan menurut salah seorang pengamat properti di Indonesia mengatakan bahwa puncak siklus bisnis properti masih akan terjadi pada tahun 2010-2011. Tabel 2.1 Proyek Pembangunan Properti dalam Miliar Rupiah

4. Perkembangan Kredit Properti di Indonesia

Realisasi penyaluran kredit properti sepanjang tahun 2010 lalu tumbuh sekitar 15,07 dibandingkan dengan penyaluran kredit pada 2009 dari Rp217 triliun menjadi Rp249,7 triliun. Berdasarkan data Bank Indonesia BI pertumbuhan penyaluran kredit yang signifikan tersebut didorong masih besarnya minat bank umum menyalurkan kredit properti pada kuartal IV2010 sejalan dengan bergairahnya permintaan produk properti oleh calon debitur. Adapun, kredit properti yang dimaksud mencakup kredit yang diberikan kepada kontraktor untuk pembangunan perkantoran, perhotelan, rumah, pertokoan, serta kredit kepada perorangan untuk kepemilikan serta pemugaran rumah. Penyaluran kredit properti yang terakumulasi pada kuartal IV itu tumbuh 9,87 sebesar Rp22,43 triliun dibandingkan dengan akumulasi penyaluran kredit properti hingga kuartal III2010 q-to-q sebesar Rp227,27 triliun. Menurut BI, peningkatan kredit pada kuartal IV dipacu oleh ekspansi kredit realestate sebesar 15,97 q-to-q. Hal itu diikuti pertumbuhan kredit pemilikan rumah dan apartemen KPRKPA sebesar 13,56 dengan pangsa pasar tertinggi mencapai 57,41.

B. Pembiayaan Bank Syariah Dalam Sektor Properti

1. Produk Pembiayaan Bank Syariah Dalam Sektor Properti

Kehadiran perbankan syariah di sektor pembiayaan properti dianggap masih relatif baru dan minim. Padahal perbankan syariah diperkirakan dapat menjadi opsi di sektor pembiayaan properti dengan berbagai kelebihannya. Pembiayaan perbankan syariah di sektor pembiayaan properti terlihat dari jumlah pembiayaan yang diberikan perbankan syariah kepada sektor properti. Hingga September 2010, Bank Indonesia BI mencatat jumlah pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah ke sektor properti hanya mencapai Rp1,2 triliun. Jumlah tersebut hanya 1,8 dari total pembiayaan perbankan syariah yang besarnya mencapai Rp 61 triliun. Padahal pembiayaan perbankan secara umum nasional kepada sektor properti mencapai 13,3 dari keseluruhan jumlah pembiayaan perbankan. Artinya yang disalurkan perbankan syariah ke sektor properti masih kecil sekali dan ini masih bisa berkembang lagi. Peluang perbankan syariah memberikan pembiayaan ke sektor properti masih terbuka. Masyarakat, khususnya menengah ke bawah, masih membutuhkan fasilitas pembiayaan perumahan yang aman. Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia DKI Jakarta Setyo Maharso mengatakan bahwa kebutuhan rumah di Jakarta akan meningkat pada tahun- tahun mendatang. Ada sekitar 3 juta orang yang menjadi komuter keluar masuk Jakarta memiliki keinginan untuk memiliki tempat tinggal di Jakarta karena menghindari kemacetan. Jika 10 dari 3 juta orang tersebut bisa dimanfaatkan, perbankan syariah berpotensi besar memberikan pembiayaan ke sana. Potensi ini masih ada. Perbankan syariah bisa memanfaatkan sekitar 300 ribu komuter yang membutuhkan tempat tinggal di Jakarta. Sementara itu bagi para pengembang, masuknya perbankan syariah dalam pemberian fasilitas pembiayaan properti disambut positif. Pembiayaan kredit