BAB V ANALISA DATA
A. Hasil Analisa Data
Pada bab ini, peneliti menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah dikumpulkan dan disajikan pada bab sebelumnya. Adapun jenis metode yang
digunakan adalah metode deskriptif dengan analisa data kualitatif, dimana data dan fakta yang didapatkan di lapangan dideskripsikan sebagaimana adanya diiringi
dengan penafsiran dan analisa yang rasional. Dari seluruh data yang telah disediakan secara menyeluruh yang diperoleh
selama penelitian, baik melalui wawancara, studi kepustakaan, serta observasi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi yang ada kaitannya dengan Peranan
Imeum Mukim Dalam Pengambilan Keputusan Sengketa Antar Masyarakat Di Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues. Penelitian ini mengkaji tentang
peranan Imeum Mukim dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai pengambil keputusan atas sengketa yang terjadi di Mukim Suluh Jaya. Dalam
penelitian ini yang menjadi informan Adapun informasi dalam penelitian yang digunakan dalam penelitian terdiri atas Informan adalah Camat, Seketaris camat,
Gecik. Informan utama adalah Kepala Mukim dan Perangkat Mukim, Informan Tambahan adalah Majlis Adat Aceh dan Masyarakat sebanyak 22 orang yang di
mintai pendapat untuk dapat mengisi kuesioner dan lima orang yang di wawancarai
67
Universitas Sumatera Utara
dianggap paham akan masalah peneliti ini. Dimana metode wawancara ini ditujuan untuk memperkuat validitas data yang diperoleh.
Selanjutnya dalam analisa data ini, akan manjabarkan masalah-masalah yang ditemukan di lapangan, untuk dilakukan analisa terhadap setiap data yang ada dan
fakta yang didapat melalui interpretasi data dan penguraian-penguraian masalah sebagai berikut:
a. Sejarah dan Latar Belakang Mengenai Terbentuknya Sistem Kepala Mukim
Dari hasil penelitian dan wawancara dari berbagai narasumber yang ada meliputi Camat, Sekretaris Camat, Kepala Mukim, Sekretaris Mukim, Majelis Adat
Aceh Gayo Lues, memberikan jawaban yang bervariasi. Secara umum dari hasil wawancara, informan menggambarkan sejarah dan Latar Belakang mengenai
terbentuknya sistem Mukim. Beberapa informan mengatakan bahwa sejarah mencatat bahwa Mukim
tersebut terbentuk seiring dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan sistem pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh Imeum Mukim.
Karenanya, ia tidak tunduk pada kekuasaan di atasnya. Mukim mempunyai harta kekayaan serta sumber keuangan sendiri dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri. Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imeum Mukim tetap diakui. Mengenai sistem Kepala Mukim ini sejak dari masa kolonial Belanda sudah
adanya sistem mukim ini dan sudah menjadi kebiasaan dan mendarah daging pada masyarakat mengenai sistem ini dan masih terbawa-bawa dalam masyarakat dalam
Universitas Sumatera Utara
hal penyelesaian masalah yang ada, dan sempat di hentikan sistem ini namun kembali berjalan lagi. Dan dikarenakan situasi wilayah antara satu kampung dengan satu
kampung yang lainnya berjauhan maka untuk mempermudah kepala desa memberi laporan dan tanggapan yang cepat maka mukimlah sebagai tempat penyampaian
masalah tersebut dan didalam satu mukim terdapat ada beberapa kampung. Karena situasi dan jarak yang berjauhan dari tiap kampung yang ada, jadi Mukim ini
membantu kepala desa dalam mengurus tugasnya dan mengawasinya. Dari pertanyaan dengan informan yang sudah kita lakukan maka dapat
diambil kesimpulan bahwa sejarah dan latar belakang Mukim ini sudah ada sejak masuknya Islam ke Aceh dan dari jaman penjajahan Belanda ataupun Pemerintahan
Indonesia, sudah berlaku yang dinamakan sistem pemerintahan mukim ini pada masyarakat Aceh. Mukim tetap eksis sebagai satuan pemerintahan adat dan
dilaksanakan berdasrkan adat dan hukum adat. Keberadaan Imeum Mukim diakui sebagai salah satu unit pemerintahan tersendiri yang berada dibawah camat dan diatur
dalam Qanun masing-masing KabupatenKota.
b. Peranan Selaku Kepala Mukim
Peranan yang didapat Kepala Mukim Nomor 2 Tahun 2012 pasal 11 tentang Tugas dan Kewajiban Kepala Mukim merupakan sebagai membina kerukunan
beragama dan antar umat beragama serta meningkatkan kualitas pelaksanaan Syari’at Islam dalam masyarakat, melaksanakan tugas pembantuan dari Pemerintah Aceh dan
Pemerintah Kabupaten melalui camat, menjaga dan memelihara kelestarian adat dan
Universitas Sumatera Utara
istiadat, kebiasaan –kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,
membina kesejahteraan masyarakat, memelihara ketenteraman dan ketertiban serta sikap saling menghargai secara inklusif dalam masyarakat, menjadi hakim adat dalam
penyelesaian persengketaan adat di kemukiman. Dari hasil penelitian dan wawancara dari berbagai narasumber yang ada
meliputi Bapak Camat, Sekretaris Camat, Kepala Mukim, Sekretaris Mukim dan Majelis Adat Aceh Gayo Lues memberikan jawaban yang secara umum dari hasil
wawancara, informan menggambarkan Peranan Selaku Kepala Mukim sudah ada aturan dan qanun yang menjadi dasar berlakunya sistem Kepala Mukim ini. Peranan
Kepala Mukim tersebut sesuai dengan apa yang sudah menjadi ketentuan yang tertulis yang dapat dilakukannya, peranan Kepala Mukim Suluh Jaya dapat kita
melihat secara garis besar berperan sebagai masyarakat adat, sebagai Lembaga Adat, sebagai jenjang Pemerintahan dan sesuai dengan pembagian tugasnya.
Peranan mukim itu sebagai orang penengah dalam masalah karena segala perkara yang terjadi yang berada dibawah naungan Kepala Mukim harus diketahui
oleh Mukim dan diawasi oleh Kepala Mukim karena Mukim ini memilik wewenang dan berperan untuk dapat menyelesian sengketa yang terjadi di tujuh desa bagian
Mukim Suluh Jaya ini. Mukim ini berperan sebagai pengambil keputusan terhadap perkara-perkara yang ada, dan peranannya sudah diatur dalam Qanun No.4 Tahun
2003 tentang Pemerintahan Mukim. Dan peran dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dikampung yaitu dalam kewenangan peradilan adat Qanun Aceh No.9
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat untuk menyelesaikan sengketa yang ada dikampung bagian Mukim Suluh Jaya.
c. Cara Pengambilan Keputusan dalam Sengketa
Dalam mengambil suatu keputusan merupakan bukan suatu hal yang dianggap mudah dan harus memikirkan dari tiap perkara yang dilakukan secara adil agar tidak
ada pihak yang merasa lebih dirugikan dan merasakan lebih tertindas dari hasil keputusan yang kita tetapkan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pedoman
peradilan Adat di Aceh yang diutamakan adalah dengan cara perdamaian untuk keputusan yang diberikan.
Untuk mengambil keputusan harus sesuai dengan prosedur yang ada untuk memutuskan terlebih harus mengetahui pokok perkara,
keterangan para pihak, keterangan saksi, bukti yang diajukan, pertimbangan agota majelis, usulan bentuk penyelesaian damai, pernyataan menolak menerima bentuk
damai, dengan begitu baru kita dapat memutuskan untuk penetapan keputusan musyawarah. Dengan begitu kita dapat melihat dari hasil wawancara yang peneliti
lakukan yang bertanya pada informan yang sudah ditetapkan. Hasil wawancara yang didapat mengatakan bahwa, Terlebih dahulu kita
melihat kasus seperti apa yang terjadi apakah tergolong pada kasus-kasus yang dapat diselesaikan ditingkat peradilan adat maka kasus itu dapat diselesaikan tanpa dibawa
ke Ranah hukum formal karena bisa diselesaikan secara baik. Cara yang dilakukan dalam pengambilan keputusan yang diutamakan adalah kearifan lokal terlebih dahulu.
Bila kasus tersebut tergolong pidana maka Mukim dan bawahannya dapat
Universitas Sumatera Utara
memberitahu pada camat dan mengarahkan kepada pihak kepolisian ditingkat kecamatan Polsek secara lisan maupun tulisan. Untuk memberitakan sengketa yang
terjadi juga melalui prosedur karena masalah itu di sesuaikan dengan tingkatan- tingkatan untuk dapat diputuskan menyelesaikan dan mengambil keputusan yang
diserah kemukim dan bila tidak teratasi maka di bawa kejalur hukum Negara. Peranan Mukim dalam hal menetapkan putusan sangat penting karena hasil
terakhir putusan ditentukan oleh Kepala Mukim untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada karena permasalahan yang ada dilakukan dengan teknik bermusyawarah
Mediasi atau Negosiasi dalam peradilan adat untuk mencapai hasil putusan yang baik dan adanya tata cara dalam penetapan keputusan. Cara ataupun tahapan dalam
pengambilan keputusan itu sistemnya diselesaikan terlebih dahulu dengan menggunakan sistem adat istiadat, melalui musyawarah, dan Kepala Mukim diberi
wewenang untuk dapat memgambil suatu keputusan tanpa harus diserahkan ke camat namun tidak lepas dari pertanggungjawaban laporan atas hasil kerja tetap dilaporkan
kepada camat dalam pelaksanaan penetapan keputusan tersebut sesuai dengan tata cara dalam peradilan adat. Dalam hal ini sesuai dengan perintah Qanun Aceh No.9
Tahun 2008 pasal 13 ayat 3 yang menegaskan bahwa : Aparat penegak hukum memberi kesempatan kepada keucik dan Imuem Mukim untuk menyelesaikan
sengket-sengketa atau perselisihan digampong atau Mukim masing-masing. Itulah cara hasil mendapatkan keputusan dalam suatu perkara. Yang dikatakan menjadi
putusan akhir Mukim karena keputusan yang diberi tersebut dapat kita lihat sebagai penentu apakah perkara tersebut dibawa kejalur yang lebih serius apa dapat diatasi.
Universitas Sumatera Utara
d. Proses Menyelesakan Sengketa
Hukum adat tidak membedakan antar kasus perdata dan pidana. Namun untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada perimbangan-pertimbangan
dan prosedur-prosedur yang perlu diterapkan jika kasus pidana sedang ditangani dan diselesaikan. Kasus perkara pidana yang paling umum jatuh dibawah payung adat
adalah pencurian dan kekerasan. Mekanisme dan prosedur penanganan perkara beserta prosesi penyelesaiannya didepan pengadilan berdasarkan hukum positif atau
formal menghabiskan waktu sepanjang jenjang peradilan adat yang dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapannya.
Wawancara yang saya lakukan dalam menyelesaikan sengketa yang ada dalam prosesnya k membuka forum persidangan terutama dari tata letak duduk para
pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatan formil secara adat maka dengan telah ditetapkannya tata letak duduk maka dengan
begitu persidangan dimulai dan dapat mengambil keputusan dari musyawarah yang sudah dilakukan. Dengan membuka forum seperti itu harus adanya dasar-dasar
penyelesaian sengketa yaitu ada komunikasi, ada lembaga mukim, adanya perangkat, adanya kompetensi kewenangan, ada proses, ada administrasi , ada persidangan, ada
keputusan, ada eksekusi, ada upacara seremonial. Dengan begitu melihat perkara dan prosesi penyelesaiannya ada tahapan dan
ketentuannya proses penyelesaian yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan maka disini kita mengambil cara penyelesaian secara damai terlebih kita
mencari kesepakatan dengan bermusyawarah dalam peradilan untuk dapat
Universitas Sumatera Utara
menetapkan suatu ketetapan dengan menyelesaikan persengketaan yang terjadi dan sejalan dengan prosedur yang ditetapkan dengan secara perdamaian.
e. Perkara yang Sudah Dapat di Selesaikan Kepala Mukim
Sengketa atau perselisihan adat menurut Qanun no. 9 tahun 2008, tentang Pembinaan kehidupan adat adat istiadat meliputi: perselisihan dalam rumah tangga,
sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh, perselisihan antar warga, khalwat meusum, perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga
pencurian ringan, perselisihan harta sehareukat, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di
laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat, pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran
nama baik, pencemaran lingkungan skala ringan, ancam mengancam tergantung dari jenis ancaman, dan perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat
istiadat. Hal itulah yang menjadi ketentuan yang diatasi oleh peradilan tingkat mukim dan kampung.
Dari hasil wawancara yang sudah dilakukan maka yang sudah pernah terjadi di Mukim Suluh Jaya ini diantaranya dapat ditarik kesimpulannya oleh peneliti
Berbicara mengenai masalah perkara yang terjadi antar kampung itu pasti ada terjadi untuk sejauh ini perkara yang diatasi itu untuk sejauh ini sudah dapat diselesaikan
dengan Kepala Mukim di misalnya seperi perkara yang kemarin pernah terjadi yaitu tentang sengketa Hak milik tanah itu diselesaikan oleh Mukim dan sudah selesai,
Universitas Sumatera Utara
dalam menyelesaikan perkara ada tingkatan dalam penyelesaian mungkin perkara itu dapat di atasi oleh tingkat Kampung terlebih Dahulu, pernah terjadi dan dapat
diselesaikan selaku Kepala Mukim diantaranya : persoalan perkara tanah , perselisihan adat istiadat, pertikaian yang terjadi dikampung, perselisihan antar
warga, perselisihan dalam rumah tangga, permasalahan khalawatmesum. Masalah yang sering terjadi itu biasanya masalah pertikaian yang terjadi
mengenai pertengkaran Rumah tangga yang terkadang tidak dapat diselesaikan diantar kedua belah pihak sampai perkara itu didamaikan oleh Mukim yang sebagai
pihak mediasi diantara mereka. Masalah yang lain adanya persengketaan atas kepemilikan tanah yang bertikai antar masyarakat dalam mukim dan luar mukim
maka ini diselesaikan dengan pedoman Peradilan di Adat Aceh. Penyelesaian sengketa yang sudah pernah terjadi yang disebutkan diatas sudah
dapat diselesaikan pada peradilan adat dilakukan dan sudah berdasarkan prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam penyelesaiannya maka disini meraka melakukan
pemeberian sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum adat dalam Pasal 16 Qanun no. 9 tahun 2008 tentang Jenis-jenis Sanksi Adat yang diberi antara antara
lain: nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayam; semacam peusijuek, diyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan oleh masyarakat gampong, dikeluarkan dari masyarakat
gampong, pencabutan gelar adat dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.
Universitas Sumatera Utara
f. Memutuskan Perkara Sesuai dengan Peraturan
Proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindak lanjuti digunakan sebagai suatu cara pemecahan masalah. Untuk dapat
menetapkan dalam suatu perkara harus berdasarkan ketentuan yang sudah di atur dalam qanun dan disini peneliti sudah melakukan wawancara dalam pengambilan
keputusan terhadap sengketa sudah memiliki kemampuan dan dasar pegangan yang kuat untuk dapat menetapkan keputusan yang tidak terlepas dari jalur ketentuannya
dengan ketentuan dan mengutamakan hukum kebaikan yang diberikan. Dalam pengambilan keputusan tidak mungkin mengambil keputusan dengan
sesuka hati, karena harus melihat Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Bab XIII tentang lembaga adat. Dan melihat peraturan yang ada
didalam Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang pemerintah Mukim. Maka memutuskan itu juga dengan dasar yang sudah ada di tetapkan dan kita juga dengan cara memutuskan
sesuatu itu dengan bermusyawarah dalam peradilan adat. Dari Qanun Aceh yang sudah ada ditetepkan dan berjalan sesuai dengan yang
menjadi wewenang dan tugas sebagai penentu pengambilan keputusan terhadap hasil akhir maka untuk menjalankan tugas sebagaimana yang ada dalam ketentuan seperti
Qanun No. 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggro Aceh Darussalam memberikan wewenang pada Kepala Mukim dan sesuai dengan
proses penyelesaian perkara yang dilakukan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan mengikutu proses yang
dilakukan untuk dapat memutuskan sesuai dengan dasar yang sudah ada maka disini
Universitas Sumatera Utara
dapat disimpulkan para pemerintahan mukim tidak melakukan atau mengabil keputusan berdasarkan kehendak sendiri menyelesaikan melainkan mengikuti
peraturan yang sudah dibuat.
g. Pengambilan keputusan dapat diterima oleh masyarakat
Hasil keputusan yang diberikan adalah hasil yang sudah dibawakan keforum dan sudah dimusyawarahkan, berdasarkan hasil yang ditetapkan sudah sesuai dan
hasil keputusan dapat diterima dengan mengutamakan sistem tanpa vonis menang atau kalah .
Maka dari itu peneliti sudah menanyakan dengan Kepala Mukim hal keputusan yang diberi bagaimana tanggapan masyarakat apakah dapat diterima atau
menjadi konflik yang baru terjadi lagi atas keputusan maka dapat disimpulkan dari hasil wawancara yang didapat, hasil keputusan itu sudah dapat diterima namun, masih
adanya ditemui prokontra dari keputusan yang beri walaupun demikian keputusan yang ditetapkan sudah berdasarkan hukum adat merupakan penyelesaian perkara
yang sangat efektif jika di tinjau secara social. Artinya, kemungkinan untuk selesai dalam suatu perkara sangatlah besar. Hal ini karena masyarakat kita sudah terbiasa
dengan hukum adat yang berlaku dibandingkan dengan hukum positif. Selain biaya murah juga tidak merepotkan. Artinya tidak perlu memikirkan prosedur yang sangat
membingungkan. Dan hasil yang diputuskan tetap diterima karena biasanya putusan itu dengan cara kebaikan dari hukum adat yang diberi.
Universitas Sumatera Utara
h. Strata Gecik dan Kepala Mukim dalam Pengambilan Perannya
Adanya tingkatan-tingkatan yang didapat dalam struktur tingkat Mukim dan Kampung dan dalam peranan yang didapat sudah ada aturan yang tersendiri yang
ditemukan sesuai dengan yang didapat dalam qanun bawah Mukim peranannya harus sama dengan ketentuan yang diapat dari tiap porsi yang sudah ditentukan Mukim
adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan beberapa Kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim.
Maka dari tiap tugasnya sudah mengerti mana yang menjadi bagian dari Kepala Mukim dan mana yang menjadi tugas gecik, dari sini terlihat tidak ada
kekeliruan yang diterima karena mereka sudah menjalankan sesuai dengan apa yang menjadi tugas mereka dalam mengatasi sengketa yang ada.
Untuk itu peneliti sudah mewawancarai beberapa narasumber yang dapat dipercaya maka dapat disimpulkan dalam proses penyelesaian permasalahan di
kampung atau mukim terlebih dahulu permasalahan itu di selesaikan di tingkat kampung terlebih dahulu dan bila tidak dapat diselesaikan tingkat kampung baru
permasalahan itu naik ketingkat mukim sebagai penentu akhir dalam pemutusan masalah, bila juga tidak dapat diselesaikan, maka mukim memberi rekom kepada
camat. Jadi strata dalam peranan itu berjalan dan terlihat jelas prosedur yang dikerjakan dengan begitu tidak ada yang meengambil peranan dari tiap struktur.
Tingkatan yang didapat oleh gecik dan Kepala Mukim dalam perannya sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
strata yang diaturkan. Jika permasalahan tidak dapat diselesaikan diputuskan oleh gecik maka masalah oleh Mukim bila itu juga tidak dapat diselesaikan atau tidak
diterima putusannya, dalam waktu 15 hari tidak diterima oleh warga baru dialihkan ke camat itu juga harus sesuai dengan prosedur. Maka sistem untuk dapat
menentukan keputusan harus berdasarkan yang tahapan-tahapan yang didapat dan memiliki peranan tersendiri dan saling membatu dan mengkoordinasikan.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan