104
3.1.2 Analisis Penetapan Upah Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No.78 Tahun 2015
Kemudian di bulan oktober tahun 2015 muncul kebijakan baru terkait pengupahan yaitu peraturan pemerintah no.78 tahun 2015 yang menjadi acuan
baru dalam penetapan upah minimum di Indonesia. Didalam peraturan ini ada perbedaan yang cukup signifikan dalam penetapan upah minimum, dimana dalam
menetapkan upah tidak lagi mengacu pada pada nilai KHL yang ada disetiap daerah
yang bersangkutan
dengan mempertimbangkan
produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak mampu
marginal akan tetapi sudah mengacu pada sebuah formula peneetapan upah seperti dalam pasal 44 ayat 2 PP No.78 Tahun 2015 .
Gambar 3.3 : Formula Penghitungan Upah Minimum
Upah minimum yang akan ditetapkan adalah upah minimum tahun berjalan ditambah dengan perkalian upah minimum tahun berjalan dengan
penjumlahan tingkat inflasi tahun berjalan dan tingkat domestik bruto tahun berjalan. Artinya dalam hal ini ada sebuah rumusan yang ditetapkan oleh
pemerintah secara nasional tanpa mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dalam hal ini produk domestik regional bruto, kondisi pasar kerja, dan usaha
Universitas Sumatera Utara
105
yang tidak mampu diderah, yang secara kuantitas berbeda-beda. Dalam penetapan upah sesuai dengan PP no.78 tahun 2015 secara langsung pemerintah melakukan
penyeragaman keseluruh daerah di Indonesia baik provinsi maupun kabupatenkota dalam penetapan upah minimum. Kemudian untuk peninjauan
KHL dilakukan setiap 5 tahun sekali. Hal ini ditegaskan pada aturan turunan yang terdapat pada Permen No.21 tahun 2016 pada pasal 2 dan 3. Selanjutnya pada
pasal 3 ayat 1 dijelaskan bahwa dalam penetapan upah minimum setiap tahun terdapat penyesuaian KHL. Penyesuaian KHL yang dimaksud adalah secara
langsung terkoreksi melalui perkalian antara upah minimum berjalan dengan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dijelaskan pada ayat 2.
Jika dikaji lebih dalam formulasi penetapan upah minimum yang terdapat pada PP No.78 tahun 2015 memiliki pertentangan dengan konstitusi yang
mengaturnya yaitu UU no.13 tahun 2003. Dimana dalam UU no.13 tahun 2003 dikatakan untuk melindungi buruh atau pekerja terhadap upahnya maka
dilakukanlah survei terhadap KHL untuk pencapaian kehidupan layak bagi kemanusiaan dan juga pengupahan harus melindungi buruhpekerja. Namun
dalam peraturan pemerintah tentang pengupahan yang disahkan ini, pemerintah tidak memenuhi prinsip penghidupan yang layak bagi buruh dan tidak melindungi
pekerja. Dengan ditetapkannya peraturan pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang
pengupahan yang baru , formulasi upah kedepannya dihitung hanya sekedar angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah
BPS, dengan mengabaikan survey harga-harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang menjadi patokan Komponen Hidup Layak. Selain itu dengan adanya PP ini
kewenangan dewan pengupahan dalam menentukan besaran upah juga diambil alih oleh BPS sesuai dengan Permen no.21 tahun 2016 pasal 7 ayat 2 dan 3..
Dalam ketentuan Pasal 45 dan Pasal 47 PP Pengupahan, kewenangan Dewan Pengupahan hanya-lah melakukan peninjauan kebutuhan hidup layak, dengan
tetap berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang penetapan komponen dan jenisnya. Padahal seharusnya, Gubernur sebelum menetapkan besaran upah
Universitas Sumatera Utara
106
minimum provinsi dan kabupatenkota, memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 3 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012. Dengan demikian, meskipun Dewan Pengupahan masih diberikan
kewenangan memberikan usulan terhadap besaran upah minimum sektoral. Namun dalam hal penetapan besaran upah minimum, Dewan Pengupahan hanya
berwenang memberikan
saran dan
pertimbangan kepada
Gubernur, BupatiWalikota, atas peninjauan kebutuhan hidup layak yang ditinjau setiap 5
lima tahun sekali, sesuai Pasal 43 ayat 5 PP Pengupahan. Sehingga PP ini bertentangan dengan isi UU 132003, isi dalam PP tersebut tidak memiliki
kesinkronan secara hirarkis peraturan perundang-undangan, dan formula rumus kenaikan upah minimum tidak didasari kondisi ekonomi obyektif di wilayah per
wilayah. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Ketua DPP GSBI yang menyatakan
57
: “Formulasi penetapan upah berdasarkan PP no.78 tahun 2015 secara
konstitusi bertentangan dengan UU no.13 tahun 2013 karena upah tidak lagi dihitung berdasarkan KHL yang didalam UU no.13 tahun 2003
merupakan unsur pencapaian hidup layak pekerja. Akan tetapi hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dan pelaksanaan survei
KHL dilakukan 5 tahun sekali dengan menggunakan data dan informasi dari lembaga yang berwenang di bidang statistik sesuai dengan pasal 43
ayat 7. Kemudian klaim pemerintahan terhadap KHL yang sudah melekat pada Upah minimum dikali dengan tingkat inflasi berjalan
berjalan tidak dapat menggambarkan komponen KHL pekerja. Karena KHL adalah komponen yang dibutuhkan pekerja dalam bentuk barang
bukan kenaikan barang secara keseluruhan. Dalam hal ini penetapan upah tidak lagi bersifat objektif karena tidak
menghiraukan dengan keadaan disetiap daerah yang berbeda-beda. Dan kenaikan upah pertahun akan selalu diimbangi oleh kenaikan barang yang
terus melonjak pertahun. Biasanya pertahun itu kenaikan harga barang sampai 3 kali ,sementara KHL nya disurvei hanya 5 tahun sekali. Hal ini
akan menjadi defisit bagi buruh dalam mendapatkan upahnya”.
57
Hasil wawancara dengan Ketua DPP GSBI Rudi HB Daman pada tanggal 25 Agustus 2016 pukul 15:00 Wib
Universitas Sumatera Utara
107
Dari hasil wawancara diatas dapat kita pahami bahwa kenaikan upah buruh akan selalu terlewati oleh kenaikan harga barang yang lebih dari satu kali
pertahun, jelas ini akan berdampak pada upah buruh yang akan tidak sesuai lagi dengan kenaikan harga barang. Begitu juga halnya yang dialami oleh beberapa
serikat pekerja yang aktif diwilayah Provinsi yang juga melihat banyak celah yang terdapat dalam PP no.78 tahun 2015 khusunya tentang penetapan upah dan sanksi
pelanggarannya yang tergolong ringan. Salah satunya adalah Serikat Buruh Sejahterah Indonesia SBSI Sumatera Utara.
“PP Pengupahan merupakan kebijakan yang telah melanggar UUK No.13 Tahun 2003 , karena mekanisme penetapan upah tidak lagi didasarkan oleh
pencapaian KHL yang diamanatkan UUK No.13 Tahun 2003 akan tetapi hanya berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dan PP No.78
tahun 2015 membuka celah terhadap pelanggaran-pelanggaran tentang pembayaran upah dibawah ketentuan, karena sanksi pidana telah dihilangkan
untuk pengusaha dan hanya dikenakan sanksi administratif”
58
. Sementara pendapat dari pihak pemerintah daerah di Suamtera Utara yang
diwakili oleh Ririn Bidasari SH, M.Hum selaku kepala seksi persyaratan kerja ,pengupahan, dan jaminan sosial dinas tenaga kerja Sumatera Utara menyatakan
59
: “PP no.78 tahun 2015 adalah sebuah kebijakan yang sangat krusial karena
PP No.78 tahun 2015 adalah aturan yang pertama yang menggunakan teknik perhitungan upah minimum yang diatur pada pasal 44 ayat 2. Dan
ini sebenarnya aturan yang secara langsung tidak memperhatikan kondisi objektif masing-masing wilayah. Dan dalam PP no.78 tahun 2015 pasal 59
ayat 2 tidak ada sanksi yang tegas bagi pengusaha jika terdapat pelanggaran upah contohnya bagi pengusaha yang tidak memberikan
tunjangan hari raya dan menyusun skala upah , hanya sebatas sanksi administrasi yang sifatnya perdata. Sehingga ini berpotensi pada terjadinya
pelanggaran upah yang selama ini sudah banyak terjadi.” Dari pemaparan diatas jelas dikatakan bahwa selain penetapan upah
minimum sifatnya sangat krusial , juga sanksi yang dikenakan ketika terjadi
58
Hasil wawancara dengan Nicholas Sutrisman SH selaku ketua kordinator wilayah Korwil Serikat Buruh Sejahterah Indonesia SBSI Sumatera Utara pada tanggal 11 Oktober 2016 pada pukul 15:00 Wib
59
Hasil wawancara dengan Ririn Bidasari SH, M.Hum kepala seksi persyaratan kerja, pengupahan, dan jaminan soanisial Dinas tenaga kerja dan transmigrasi Sumatera Utara pada tanggal 16 Agustus 2016 dikantor
Disnaker Sumatera Utara pada pukul 11:20 Wib
Universitas Sumatera Utara
108
pelanggaran upah bersifat perdata yang esensinya lebih ringan. Hal ini berbeda dengan UU no.13 tahun 2003 pasal 90 ayat 1 dan pasal 185 yaitu pidana penjara
paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun danatau denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 400 juta. Hal ini jelas akan memberikan celah
terhadap tindakan-tindakan pelanggaran upah. Disisi lain terdapat pandangan yang berbeda dari pemerintah pusat melalui Hanif Dhakiri sebagai Mentri tenaga
kerja dan transmigrasi dalam rapat kerja bersama komisi 9 DPR RI pada tanggal 19 November pada pukul 11.45 Wib mengatakan
60
: “PP 78 merupakan mandat dari UU No.13 Tahun 2013 UU 13. Kenaikan
upah minimum harus berdasarkan tiga variabel, yaitu tunjangan hari raya THR, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi. KHL dievaluasi tiap 5
tahun sekali, dimana pola konsumsi masyarakat berubah. Di lapangan, struktur skala upah belum berjalan dengan baik sehingga terus-menerus
digenjot dan mengakibatkan perusahaan terus tertekan. Padahal, idealnya pengupahan
harus mengacu
pada struktur
skala upah
yang mempertimbangkan banyak hal, termasuk tingkat pendidikan. Sanksi
dalam PP 78 akan lebih kuat, bisa berupa teguran tertulis, serta pemberhentian sebagian atau seluruh perusahaan.
Seharusnya sanksi dikembalikan ke pemerintah, bukan datang dari Kemenakertrans yang kewenangannya terbatas. Ada 28 provinsi yang
menetapkan upah minimum, 13 di antarannya sudah menggunakan PP 78 dan sisanya belum. Terdapat 11.5 kenaikan upah bila daerah
menggunakan PP 78. Sementara daerah yang belum mengenakan PP 78, tidak mengalami kenaikan upah yang tinggi. PP 78 ini diadakan untuk
memastikan perlindungan semua pihak: pekerja, mereka yang belum bekerja, dan industri. Kenaikan upah yang tidak mempertimbangkan
kekuatan industri akan mengakibatkan banyak industri yang gulung tikar. Sementara, upah buruh tidak bisa dijadikan standard nasional karena
negara tidak akan mampu membayarnya
”. Dari pemaparan mentri tenaga kerja diatas dapat kita lihat secara langsung
pemerintah membenarkan PP no.78 tahun 2015 adalah mekanisme penetapan upah yang paling ideal untuk memberikan keuntungan kepada buruh dan
60
“
Pro Kontra PP No.78 Tahun 2015 dan Isu Ketenagakerjaan – Rapat Kerja Komisi 9 dengan Menteri
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi ” diakses dari :
http:wikidpr.orgnewspro-kontra-pp-no-78-tahun-2015- dan-isu-ketenagakerjaan-rapat-kerja-komisi-9-dengan-menteri-ketenagakerjaan-dan-transmigrasi
pad tanggal 27 Agustus 2016 pukul 04:00 Wib
Universitas Sumatera Utara
109
pengusaha. Akan tetapi disisi lain pemerintah tidak melihat adanya ketimpangan yang terjadi akibat dari PP no.78 tahun 2015, yang pertama, yaitu tunjangan hari
raya tidak berpengaruh besar terhadap upah buruh karena sifatnya adalah upah tahunan yang diberikan ketika ada hari besar keagamaan. Kedua,produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum mampu berdampak secara merata ke seluruh masyarakat khusunya pekerja. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan
ekonomi kumulatif Indonesia mencapai 5,04 yang didominasi oleh pertumbuhan ekonomi makro seperti peningkatan harga non migas dipasar
internasional, turunnya suku bunga dari 6,75 menjadi 6,50, meningkatnya penanaman modal asing sebesar 3,5 , dan meningkatnya produksi mobil di
Indonesia
61
. Sehingga tidak ideal menjadi tolak ukur penetapan upah karena pertumbuhan ekonomi makro hanya dinikmati oleh pengusaha besar asing dan
pengusaha besar nasional. Ketiga, tentang potensi pelanggaran dalam penyusunan struktur skala upah dimana akan mempengaruhi besaran upah yang akan diterima
pekerja sesuai dengan jabatan dan tingkat pendidikannya. Hal ini akan memberikan celah kepada pengusaha untuk melakukan pelanggaran terhadap
kebijakan pengupahan karena sanksi yang termuat dalam PP no.78 tahun 2015 hanya sekedar sanksi adminstratif, berbeda dengan amanat UUK no.13tahun 2003
yang memberikan sanksi pidana dan sanksi administratif yang memberikan proteksi yang lebih kuat terhadap buruhpekerja.
Pemerintah juga meyakini dengan adanya PP no.78 tahun 2015 maka kegaduhan yang terjadi akibat upah dapat ditangani dan mampu memberikan
kepastian upah dan jauh dari unsur politisasi. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan dilapangan, berdasarkan laporan CNN Indonesia terjadi gelombang
demonstrasi besar mencapai 4 juta pekerjaburuh akibat PP no.78 Tahun 2015 yang semakin menjauhkan buruhpekerja dari kebutuhan hidup rillnya. Sementara
dalam rapat kerja antara mentri tenaga kerja dan transmigrasi dengan komisi 9
61
Estu Suryowati . “Pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2016 mencapai 5,18 ” diakses dari
http:bisniskeuangan.kompas.comread20160805103327626pertumbuhan.ekonomi.kuartal.ii.2016.capai.5 .18.persen pada tanggal 3 Oktober 2016 pada pukul 23.43 Wib
Universitas Sumatera Utara
110
DPR RI pada tanggal 18 April 2016 pukul 14:00 Wib, terdapat 6 Fraksi yang tidak setuju dengan PP No.78 tahun 2015 diantaranya Fraksi Golkar, PPP,
Nasdem, PKS, Demokrat, PAN dan merekomendasikan mengkaji dan mengevaluasi kembali PP No.78 Tahun 2015
62
. Kemudian dalam pelaksanaan PP no.78 tahun 2015 yang ditetapkan
berdasarkan formulasi upah minimum, didapatkan besaran upah minimum provinsi rata-rata mengalami kenaikan sebesar 11,5 karena ketetapan inflasi
dan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Surat mentri tenagakerjaan Republik Indonesia Nomor B.232MENPHIJSK2015
tanggal 23 oktober 2015 perihal penyampaian data tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan produk domestik bruto tahun 2015. Dalam surat tersebut bahwa :
tingkat inflasi nasional sebesar 6,83 dan pertumbuhan PDB sebesar 4,67
63
. Hal ini terbukti dengan besaran upah minimum yang ada di 33 Provinsi di
Indonesia tahun 2016 dengan rata-rata kenaikan sebesar 11,5.
Tabel 3.2 : Daftar UMP tahun 2016
64
Nama Provinsi UMP 2016
UMP 2015 Kenaikan
Jawa Barat 1.312.355
- 1.312.355
- NTT
1.425.000 1.250.000
175.000 14,00
NTB 1.482.950
1.330.000 152.950
11,50 Bengkulu
1.605.000 1.500.000
105.000 7,00
Sulawesi Tengah 1.670.000
1.500.000 170.000
11,33 Maluku Utara
1.681.266 1.577.617
103.649 6,57
Kalimantan Barat 1.739.400
1.560.000 179.400
11,50 Lampung
1.763.000 1.581.000
182.000 11,51
62
Loc cit,
63
Data dikutip dari Dinas tenagakerja dan transmigrasi Provinsi Sumatera Utara tentang Data perhitungan inflasi dan PDB tahun 2015 untuk penetapan UMP Sumut.
64
“Daftar UMP tahun 2016 dan persentase kenaikan upah di 31 Provinsi di Indonesia” diakses dari : http:bisnis.liputan6.comread2409607cek-daftar-lengkap-ump-2016-di-31-provinsi
pada tanggal
16 Agustus pukul 23:14 wib
Universitas Sumatera Utara
111
Maluku 1.775.000
1.650.000 125.000
7,58 Banten
1.784.000 1.600.000
184.000 11,50
Sumatera Barat 1.800.725
1.615.000 185.725
11,50 Bali
1.807.600 1.621.172
186.428 11,50
Sumatera Utara 1.811.875
1.625.000 186.875
11,50 Sulawesi Tenggara
1.850.000 1.652.000
198.000 11,99
Sulawesi Barat 1.864.000
1.655.500 208.500
12,59 Gorontalo
1.875.000 1.600.000
275.000 17,19
Jambi 1.906.650
1.710.000 196.650
11,50 Kalimantan Tengah
2.057.550 1.896.367
161.183 8,50
Kalimantan Selatan 2.085.050
1.870.000 215.050
11,50 Riau
2.095.000 1.878.000
217.000 11,55
Aceh 2.118.500
1.900.000 218.500
11,50 Kalimantan Timur
2.161.253 2.026.126
135.127 6,67
Kalimantan Utara 2.175.340
2.026.126 149.214
7,36 Kepulauan Riau
2.178.710 1.954.000
224.710 11,50
Sumatera Selatan 2.206.000
1.974.346 231.654
11,73 Papua Barat
2.237.000 2.015.000
222.000 11,02
Sulawesi Selatan 2.250.000
2.000.000 250.000
12,50 Bangka Belitung
2.341.500 2.100.000
241.500 11,50
Sulawesi Utara 2.400.000
2.150.000 250.000
11,63 Papua
2.435.000 2.193.000
242.000 11,04
DKI Jakarta 3.100.000
2.700.000 400.000
14,81
UMP 2016 paling besar diduduki oleh DKI Jakarta. UMP DKI Jakarta Tahun 2016 ditetapkan dengan Pergub No 230 Tahun 2015 dengan nilai UMP
sebesar Rp 3.100.000 dan persentase kenaikan sebesar 14,81 hal ini dikarenakan dalam penetapan upah minimum Pemprov DKI tahun 2016 masih
menggunakan teknik penetapan upah berdasarkan Permenaker no.13 tahun 2012. Sementara kenaikan upah secara nasional di tahun 2016 dengan rata-rata 11,5
Universitas Sumatera Utara
112
akan memunculkan persoalan terhadap penyesuaian harga bahan pokok dan lonjakannya di setiap daerah. Ketika kenaikan upah tahunan relatif stabil,
pertanyaannya, apakah pemerintah mampu mengendalikan harga barang? Faktanya selama beberapa tahun terakhir kenaikan upah selalu diimbangi
kenaikan harga barang dan pemerintah tidak mampu menanganinya. Selanjutnya ketika terjadi kenaikan harga barang yang berbeda-beda disetiap daerah, apakah
relevan dengan formulasi peentapan upah minimum berdasarkan PP no.78 tahun 2015? Yang esensi dari formulai itu adalah penyeragaman upah minimum secara
nasional. Contohnya akan berbeda biaya hidup di daerah industri seperti DKI yang daerah Industri dengan daerah perkebunan seperti Kalimantan,
Riau,Sulawesi yang harga bahan pokoknya jauh lebih mahal dibandingkan dengan daerah yang ada di Jogjakarta dan Sumatera Utara yang biaya hidupnya lebih
rendah. Hal ini dibuktikan dalam kenaikan upah minimum di tahun 2014 sebelum berlakunya PP No.78 tahun 2015. Yang masih menyesuaikan pada UU no.13
tahun 2003 dengan aturan pelaksana Permenaker No.13 tahun 2012 dimana kenaikan upah didaerah industri dan perkebunan mengalami kenaikan upah yang
lebih tinggi dengan rata-rata 20-30. Kemudian didalam Permenaker no.21 tahun 2016 tentang komponen
hidup layak sebagai aturan pelaksana PP no.78 tahun 2015 yang menggantikan Permenaker no.13 tahun 2013 , tidak ada penjelasan mengenai pertambahan KHL,
yang dijelaskan pada pasal 10 ayat 1 dan 2 hanya pertambahan nilai KHL. Artinya melihat kenaikan nilai KHL hanya berdasarkan kenaikan harga barang
bukan berdasarkan pertambahan komponen hidup buruh yang selalu berkembang dari tahun ketahun. Disini kita lihat bahwa Permenaker no.21 tahun 2016 hanya
menyesuaikan upah buruh dengan kenaikan harga barang. Implikasinya adalah seberapa besar pun kenaikan upah buruh akan selalu terampas dengan harga
barang. Contohnya beras IR 64 10 kg tahun 2015 seharga Rp 105.000 , jika lima tahun lagi terjadi kenaikan upah yang hanya untuk menyesuaikan dengan
Universitas Sumatera Utara
113
kenaikan harga beras IR 64, maka esensinya sama saja upah naik karena harga barang naik bukan karena penambahan terhadap komponen hidup layak buruh.
3.2 Keterlibatan Buruh Dalam Penetapan Upah Berdasarkan PP No.78 tahun 2015
3.2.1 Peran Dewan Pengupahan Berdasarkan UUK No.13 tahun 2003