38
Pada tahun 1950-an, masih dalam suasana gerakan buruh yang sedang dinamis, lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan antara serikat buruh dan majikan yang sungguh amat terasa nuansa demokratis dalam ketentuan pasal-pasalnya, termasuk sebuah Undang-Undang
Tahun 1956 yang meratifikasi konvensi ILO No.98 tentang Hak Berorganisasi sekaligus menjamin lebih jauh lagi memberi serikat buruh status hukum.
Kemudian dihasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, disusul Undang-Undang Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang memberikan proteksi yang amat kuat kepada para buruh atau pekerja dengan kewajiban
meminta izin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 untuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Pada jaman Orde Lama upah diberikan dalam dua bentuk yaitu upah nominal dan tunjangan natura guna menjamin pemenuhan kebutuhan fisik buruh
dan keluarganya berupa beras, ikan asin, minyak goreng, dll. Bahkan dikenal istilah Catu-11 terdiri dari 11 jenis kebutuhan pokok sehari-hari bagi buruh dan
keluarga yang diberikan oleh perusahaan. Dengan demikian kebutuhan fisik buruh dan keluarganya dijamin, disamping juga menerima upah dalam bentuk uang
nominal. Sisa-sisa catu 11 tersebut sampai sekarang masih ditemukan di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, contohnya: tunjangan beras dan
minyak goreng setiap bulan yang diberikan pengusaha.
2.1.2 Orde Baru
Pada masa Orde Baru merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan pemerintah
pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor hukumundang-undang, perekonomianbisnis,
kebebasan informasi pers dan lain-lain. Orde Baru memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak poranda. Karena itu, salah satu tugas utama yang diemban
Universitas Sumatera Utara
39
oleh Orde Baru dibawah Komando Soeharto adalah menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor paling penting untuk
menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru. Rezim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif devensive modernisation dimana penguasa
berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Disamping pendekatan ekonomis ini, pertimbangan-
pertimbangan politik yang mendasarinya juga merupakan aspek yang penting dalam kebijakan-kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru.
Agenda utama rezim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah mencegah kebangkitan kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal,
seperti gerakan buruh yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde Baru sejak awal adalah kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis
masa, entah partai politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab kerapuhan dan kehancuran Orde Lama. Kondisi perburuhan di Indonesia selama
Orde Baru dapat dijelaskan dalam terang model akomodasi diatas. Kontrol negara terhadap serikat buruh berlangsung terus menerus dengan
dukungan militer. Kontrol itu mengalami penguatan signifikan sejak dekade 1980 bersamaan dengan berakhirnya era boom minyak dan pemerintah harus
mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Peraturan tentang ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi pada masa ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997
yang kental dengan militerisme. Dalam pelaksanaan Undang undang dalam periode ini pemerintah bertujuan untuk menekan serikat buruh yang menjadi
wadah aspirasi buruh , begitu juga dalam hal pengupahan. Sehingga ada korelasi ketika serikat buruh diredam dengan upah yang diterima oleh buruh. Maka tidak
jarang kebijakan pengupahan merugikan buruh atau pekerja. Sementara dalam kebijakan pengupahannya, orde baru memperkenalkan
skema Kebijakan upah minimum di Indonesia pertama kali pada awal tahun 1970an. Meskipun sudah memiliki sejarah yang cukup panjang, implementasi dari kebijakan
Universitas Sumatera Utara
40
upah minimum ini tidak begitu tegas pada awal-awal pelaksanaan dan dampaknya tidak terlalu besar terhadap pasar tenaga kerja
36
. Dalam penelitiannya Sugiyarto dan Endriga
37
mengatakan dalam periode orde baru tersebut upah minimum ditetapkan jauh berada dibawah tingkat keseimbangan upah menunjukkan bahwa upah
minimum tidak mengikat bagi sebagian besar pekerja. Lebih lanjut, Sugiyarto dan Endriga menegaskan bahwa upah minimum di Indonesia relatif tidak dipaksakan
dan digunakan hanya sebagai tujuan yang bersifat simbolis. Sistem upah minimum kemudian berkembang dan diterapkan oleh rezim
Soeharto tahun 1981 melalui UU No. 08 Tahun 1981 tentang perlindungan upah buruh. Melalui undang-undang tersebut pengupahan buruh diubah menjadi hanya
dalam bentuk uang yang jumlahnya didasarkan dari kebutuhan hidup buruh secara lajang. Kondisi kebutuhan hidup buruh menjadi dasar Upah Minimum Regional
UMR Upah Minimum Provinsi UMP dan Upah Minimum Kabupaten UMK. Sejak penerapan sistem pengupahan buruh dalam bentuk upah minimum, maka
kehidupan kaum buruh secara bertahap semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan dan kemelaratan sebab kenaikan upah buruh hanya berdasarkan
kebutuhan hidup buruh tanpa memperhatikan kenaikan harga barang yang menjadi kebutuhan hidup buruh. Selain itu, upah minimum merupakan praktek
politik upah murah yang sengaja dipertahankan oleh para pengusaha besar dan pemerintahan Indonesia yang tunduk kepada kepentingan mereka untuk meraup
keuntungan berlipatganda. Upah minimum buruh menjadi harga minimum pemakaian tenaga kerja di Indonesia oleh para pengusaha ditengah angka
pengangguran yang begitu besar karena tidak mampu terserap oleh industri yang jumlahnya terbatas di Indonesia.
36
Martin Rama. 1996. The Cosequences Of Doubling The Minimum Wage. The Case Of Indonesia. World bank policy research working paper No. 1643. World Bank. Washington D. C. Hal 864
37
Sugiyarto, G. and B. A. Endriga. 2008. Do Minimum Wages Reduce Employment and Training?. Asian Development Bank Economics and Research Department Working Paper Series No. 113.
Universitas Sumatera Utara
41
Kebijakan upah minimum mulai digunakan sebagai instrument yang penting bagi kebijakan pasar tenaga kerja oleh pemerintah Indonesia pada akhir tahun
1980an. Hal ini berawal dari adanya tekanan internasional sehubungan dengan pelanggaran terhadap standart kerja Internasional di Indonesia pada saat
itu, secara khusus pada sektor-sektor usaha yang berorientasi ekspor. Secara lebih spesifik, sebuah perusahaan multinasional terkenal milik Amerika Serikat yang
beroperasi di Indonesia pada waktu itu diprotes oleh sebuah organisasi persatuan perdagangan Amerika Serikat AFL-CIO dan juga oleh beberapa aktivis hak
asasi manusia internasional akibat penetapan upah yang rendah dan kondisi kerja yang buruk. Dalam kasus ini, tekanan internasional telah memaksakan untuk
terciptanya sebuah klausa sosial yang disebut juga dengan General Scheme Preferences GSP yang mana berisi penolakan atas produk dari negara yang
sedang berkembang, termasuk Indonesia, dimana standar kerjanya masih berada di bawah standar yang diakui secara internasional
38
. Dalam prakteknya, kondisi ini memaksa pemerintah Indonesia untuk mau
tidak mau menjadi lebih perhatian terhadap kebijakan ketenagakerjaan mereka, termasuk didalamnya kebijakan upah minimum. Hal ini dilakukan dengan cara
menaikkan upah minimum tiga kali lipat secara nominal atau dua kali lipat secara riil pada akhir tahun 1980an agar sejalan dengan biaya Kebutuhan Fisik
Minimum KFM. KFM sendiri diukur oleh biaya dari paket konsumsi minimum, termasuk didalamnya makanan, perumahan, pakaian, dan beberapa jenis barang
yang lain untuk pekerja lajang dalam satu bulan. Adapun Kebutuhan Fisik Minimum seorang pekerja dihitung dari kebutuhan
minimum pekerja untuk kalori, protein, vitamin dan mineral lainnya. Dengan kata lain KFM adalah kebutuhan minimum pekerja yang dibutuhkan selama satu bulan
38
Gall, G. 1998. The Development of the Indonesian Labour Movement. International Journal of Human Resources Management, 92.
Universitas Sumatera Utara
42
berkaitan dengan kondisi fisiknya dalam melakukan pekerjaan. Secara rinci kebutuhan fisik minimum pekerja adalah sebagai berikut:
1. KFM untuk Pekerja Lajang, yaitu 2600 kalori per hari.
2. KFM K-0 untuk Pekerja dengan istri tanpa anak, yaitu 4800 kalori per
hari. 3.
KFM K-1 untuk Pekerja dengan istri dan satu orang anak yaitu 6700 kalori per hari.
4. KFM K-2 untuk Pekerja dengan istri dan dua orang anak yaitu 8100
kalori per hari. 5.
KFM K-3 untuk Pekerja dengan istri dan tiga orang anak yaitu 10.000 kalori per hari.
Tabel 2.1 Upah Minimum di Berbagai Sektor, 1987-1999 dalam rupiah
39
Sektor 1987
1988 1989
1990 1991
1992 1994
1995 1999
1. Pertanian 46.362
50.266 67.538
100.500 134.470 149.699 240.439 240.439 290.103 2. Pertambangan
145.973 146.081 185.187 218.241 321.750 368.807 487.299 487.299 536.117 3. Industri
98.627 115.701 130.263 171.957 186.086 187.800 206.907 206.907 325.083
4. Listrik 80.608
80.608 94.998
105.751 130.990 150.782 295.514 326.146 398.734 5. Bangunan
96.356 96.236
119.892 221.240 176.338 247.336 172.865 172.865 240.046 6. Perdagangan
159.142 209.313 212.896 227.611 250.343 305.080 326.146 326.146 403.913 7. Perhubungan
115.509 115.509 117.678 133.671 168.800 223.145 466.757 466.757 503.100 8. Jasa
71.597 102.146 112.000 157.585 223.252 234.686 234.683 234.683 289.357
39
Sumber: Prijono. 2003. Kebijakan Upah : Tantangan Di Tengah Suasana Krisis Ekonomi. Jurnal populasi XIV 1. Bapennas. Hal 10
Universitas Sumatera Utara
43
Dalam kebutuhan pekerja, terdapat dua komponen yang menentukan tingkat upah minimum, yaitu kebutuhan fisik minimum KFM dan kebutuhan
hidup minimum KHM. Berbagai bahan yang ada dalam komponen KFM dan KHM kemudian dinilai dengan harga yang berlaku sehingga menghasilkan tingkat
upah. Karena harga sangat bervariasi antardaerah, serta adanya situasi-situasi lokal yang tidak mungkin berlaku secara nasional, maka tingkat upah minimum
tersebut disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah atau lebih sering dikenal dengan upah minimum regional UMR. Sesuai dengan istilahnya,
penentuan upah minimum didasarkan pada kebutuhan fisik minimum KFM kurang memperhatikan kebutuhan non fisik. Sedangkan penentuan tingkat upah
dengan berpedoman kepada kebutuhan hidup minimum KHM memberikan perhatian yang besar kepada pemenuhan kebutuhan non fisik di samping
kebutuhan fisik. Karena itu, sangat wajar apabila penentuan upah didasarkan pada kebutuhan hidup minimum KHM.
Dalam perkembangannya pengukuran KFM sendiri kemudian direvisi pada 1996 oleh Dewan Pengupahan Nasional dengan membuat sebuah paket
konsumsi yang lebih luas baik secara kualitas maupun kuantitas dan dikenal dengan Kebutuhan Hidup Minimum KHM dalam rangka untuk meningkatkan
standar hidup pekerja. Beberapa komponen juga ditambahkan seperti komponen pendidikan dan rekreasi. Berdasarkan kebijakan Menteri Tenaga Kerja No
611995, KHM diukur oleh paket konsumsi yang detail yang terdiri dari 43 jenis barang, dimana termasuk didalamnya 11 jenis barang dalam kelompok makanan,
19 jenis dalam kelompok perumahan, 8 jenis dalam kelompok pakaian, 5 jenis termasuk dalam kelompok yang lain, yang mana meningkat15 sampai 20 lebih
dari KFM dalam rupiah. Perubahan komponen menjadi KHM diselaraskan dengan munculnya ketentuan upah minimum Permenaker Nomor 03 Tahun 1997 tentang
upah minimum regional yang hanya berlaku selama 2 tahun.
Universitas Sumatera Utara
44
Tabel 2.2 : Persentase Terpenuhinya KHM dalam UMR Tahun 1996 dan 1997
40
No. Daerah
1996 1997
UMR Rp
KHM UMR
KHM UMR
Rp KHM
UMR KHM
I UMR 100 KHM Tahun 1996
1. D.I. Aceh
115500 102950
112 128000
115293 111
2. Sumatera Selatan
138000 122060
113 151000
132557 114
3. Sumatera Barat
108000 104003
104 119000
114372 104
4. Kalimantan Selatan
114000 108750
105 125000
118338 105
II UMR 90-100 KHM Tahun
1996 5.
Riau - Luar Batam
138000 149422
92 151000
156893 97
- Pulau Batam 200500
223506 99
235000 238950
98 6.
Jambi 108000
102593 90
119500 130180
92 7.
Sumatera Selatan - Daratan
115500 125696
92 127500
135626 94
- Pulau Bangka Belitung -
- -
135500 140625
96 8.
Lampung 114000
125493 91
126000 132395
95 9.
DKI Jakarta 156000
160508 97
172500 173349
100 10.
Jawa Barat - Wilayah I
156000 155073
101 172500
170348 101
- Wilayah II 142500
148997 96
157500 162258
97 - Wilayah III
132000 136603
97 145500
147941 98
40
Ibid, hal 11
Universitas Sumatera Utara
45
- Wilayah IV 129000
133360 94
139000 142695
97 11.
Jawa Timur - Wilayah I
120000 118517
101 132500
130345 102
- Wilayah II 117000
117495 100
127500 128410
99 - Wilayah III
111000 116859
95 121000
125623 96
- Wilayah IV 108000
114238 95
116500 120235
97 - Wilayah V
105000 111023
95 -
- -
12. Jawa Tengah
102000 112178
91 113000
123115 92
13. Bali
127500 128645
99 141500
141381 100
14. Sulawesi Tenggara
109500 122040
90 121000
130644 93
15. Bengkulu
115500 123141
94 127500
132377 96
16. Kalimantan Timur
138000 150664
92 153000
162717 94
17. Nusa Tenggara Barat
97500 101546
96 108000
108654 99
III UMR 90 KHM Tahun 1996
18. D.I. Yogyakarta
96000 110959
87 106000
119281 89
19. Kalimantan Barat
114000 129828
88 126500
137618 92
20. Kalimantan Tengah
124500 160437
78 138000
162202 85
21. Maluku
123000 160437
85 136000
154259 88
22. Nusa Tenggara Timur
96000 145527
72 106500
134741 79
23. Sulawesi Utara
108000 132750
88 118000
126456 93
24. Sulawesi Selatan
102000 127750
80 112500
129291 87
25. Sulawesi Tengah
96000 115569
83 106500
123659 86
26. Irian Jaya
154500 179551
86 170000
193789 88
27. Timor-Timur
126000 166564
76 138000
171561 80
Universitas Sumatera Utara
46
2.1.3 Masa Reformasi Dan Paska Reformasi