Dampak Yang Muncul Dari Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 .1 Dampak Ekonomi

123 Pekerja dengan organisasi Pengusaha dalam penetapan upah minimum. Tetapi kewajiban untuk melakukan konsultasi itu diabaikan” . 3.3 Dampak Yang Muncul Dari Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 3.3.1 Dampak Ekonomi Dalam pelaksanaanya PP No.78 Tahun 2015 memberikan dampak yang nyata bagi kehidupan buruhpekerja khususnya diaspek ekonomi. Dalam PP No.78 tahun 2015 dalam bab 2 pasal 3 ayat 1 dikatakan kebijakan pengupahan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerjaburuh. Kemudian pada bab 3 Pasal 4 ayat 1 dan 2 dikatakan bahwa dalam penetapan upah harus memperhatikan kualitas hidup seorang buruhpekerja beserta dengan keluarganya. Dan upah tersebut harus dibagi dalam bentuk upah dan pendapatan non upah. Pendapatan non upah yaitu tunjangan hari raya, bonus, uang pengganti fasilitas kerja, dan uang servis pada usaha tertentu. Akan tetapi dalam hal penetapan upah terjadi paradoks dengan tujuan kehidupan layak tersebut , dimana kebijakan ini tidak mencerminkan pencapaian kebutuhan hidup layak. Hal ini jelas tertera dalam mekanisme penetapan upah, dimana penetapan upah tidak lagi berdasarkan survei KHL akan tetapi sudah digantikan dengan sebuah bentuk formulasi penetapan upah minimum. Dalam formulasi tersebut upah minimum bersandarkan dengan pertumbuhan ekonomi PDB dan tingkat inflasi. Ditambah lagi ketika survei KHL hanya dilakukan 5 tahun sekali , maka upah akan semakin tidak realistis ditengah kebutuhan buruh yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Ketika kenaikan upah buruh pertahun relatif stabil mengikuti tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi, ternyata kenaikan harga barang yang menjadi konsumsi pokok buruhpekerja mengalami kenaikan yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga barang yang diukur dari tingkat inflasi nasional. Akibatnya buruh akan mengalami defisit upah perbulannya. Ketika terjadi defisit terhadap upah buruh maka kehidupan buruh jauh dari kata layak. Hal ini sangat berdampak pada kesejaterahan buruh dibidang Universitas Sumatera Utara 124 ekonomi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari ketua DPP GSBI yang meyatakan 71 : PP No.78 tahun 2015 salah satu isinya menetapkan kenaikan upah minimum berdasarkan perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. “Jika angka inflasinya tinggi, maka telah terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok yang berlipat dari angka inflasi itu sendiri. Sehingga, jika angka inflasinya tinggi, maka upah buruh akan terampas oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. Pun demikian jika kenaikan upah buruh diukur menggunakan prosentase pertumbuhan ekonomi. Ditengah krisis ekonomi yang terus berlangsung, pasti terjadi pelambatan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi sendiri tidak akan tumbuh dengan signifikan. Disisi lain, negeri ini bergantung dari investasi asing dan hutang dari negara lain, berapapun besar pertumbuhan ekonomi tidak akan punya pengaruh yang riil terhadap perbaikan kehidupan masyarakat. Sehingga dampaknya secara ekonomi adalah kehidupan buruh jauh dari kata layak, artinya buruh akan kesulitan memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan upah yang tidak sesuai dengan kenaikan harga barang pokok. Selama ini pemerintah tidak pernah mempunyai upaya nyata dalam membantu kehidupan buruh untuk melakukan kontrol atas harga. Jika harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, tentu nilai upah yang diterima oleh buruh tidak akan sebanding dengan beban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hasil studi internal organisasi menunjukkan, lebih dari 60 dari total upah yang diterima oleh buruh digunakan untuk memenuhi konsumsi kebutuhan pokoknya. Jika demikian, bagaimana klas buruh di Indonesia bisa mendapatkan upah yang lebih baik jika inflasi dijadikan parameter untuk penetapan upah. Jika inflasinya tinggi, sudah pasti kenaikan harga juga lebih tinggi. Jika kenaikan harga tinggi, seberapapun kenaikan upah tentu akan terampas kembali oleh harga barang”. Dalam survei yang dilakukan oleh Rumah Diah Pitaloka RDP bekerjasama dengan jaringan buruh, mahasiswa dan LSM pada 28 Agustus 2015- 30 Agustus 2015 mengadakan survei pengupahan nasional di 7tujuh Provinsi dan 9 KotaKabupaten yang merupakan daerah padat industri di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Jawa BaratKab Bekasi- Kota Depok, BantenKota Tangerang, Jawa TengahKota Semarang, Jawa Timur Kota Surabaya- Kab Sidoarjo, 71 Hasil wawancara dengan ketua DPP GSBI Rudi HB Daman pada tanggal 25 Agustus 2016 pada pukul 15.00 Wib Universitas Sumatera Utara 125 Kepulauan RiauKota Batam dan Sumatera Utara Kota Medan. Survei dilakukan di pasar-pasar tradisional, penjualpedagang yang ada di komunitas buruh dan kontrakankos buruh 72 . 1. Berdasarkan temuan survei ini bahwa kebutuhan hidup layak yang konkret apabila dirata-ratakan secara nasional yakni : a. Bagi pekerja lajang sebesar Rp. 2.889.933 b. Berkeluarga belum mempunyai anak K-0 sebesar Rp 3.645.171 c. Berleluarga mempunyai anak K-1 sebesar Rp 3.645.171 d. Berkeluarga mempunyai anak dua K-2 sebesar Rp 5.941.831 2. Proporsi pengeluaran belanja terbesar pada Perumahan 39 yang terdiri dari sewa kamar 65, Kompor gas dan LPG 3,6, dan listrik 11,7 selanjutnya Makanan dan Minuman 28 yang terdiri dari beras 18 dan Mie instan 10 dan Transportasi 23 German Anggent Direktur Lembaga Analis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan-Elkape : 3. Berdasarkan temuan survei 60 item komponen KHL versi Permenakertrans, bahwa kebutuhan dasar riil pekerja belum tercukupi untuk lajang maupun berkeluarga. Ada 23 item harus ditambahkan dalam Komponen KHL, antara lain air minum, kebutuhan susu anak, biaya pendidikan anak, biaya sosial, biaya komunikasi dan kebutuhan perumahan. 4. Tingkat kesejahteraan pekerjaburuh masih rendah karena upah yang diterima hanya dikisaran upah minimum sehingga tidak mencukupi untuk biaya hidup dan jauh dari layak. Dapat dilihat perbandingan antara UMPK 2015 rata-rata nasional di 9 lokasi survei sebesar Rp 2.539.755 dengan KHL hasil survei untuk Lajang terdapat defisit sebesar 13; untuk K-0 sebesar 43,5; K-1 sebesar 89; dan K-2 sebesar 133. 72 “Survei pengupahan nasioanal rekomendasikan upah minimum di 7 provinsi naik 33 ” diakses dari : http:www.rumahdiahpitaloka.orgsurvei-pengupahan-nasional-rekomendasikan-kenaikan-upah-2016-di-7- kawasan-industri-sebesar-33 Universitas Sumatera Utara 126 5. Untuk mengatasi defisit, pekerjaburuh menyiasatinya dengan cara berhemat, berhutang dan penghasilan tambahan. 6. Upah minimum sektoral dan struktur skala upah belum sepenuhnya diterapkan sehingga terjadi ketimpangan upah dan sistem pengupahan yang tidak adil. Gambar 3.4 : Survei Kenaikan Upah Minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Buruh Versi Rumah Diah Pitaloka Tahun 2015 Sumber : Survei Rumah Diah Pitaloka dengan Jaringan Buruh, LSM, dan Mahasiswa. Jika dianalisis dari data survei diatas dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak buruh pada upah tahun 2016 berdasarkan PP no.78 tahun 2016, maka terdapat perbedaan yang sangat jauh antara kebutuhan hidup rill buruh dengan kenaikan upah. Dimana jika dikalkulasikan rata rata upah minimum nasional di tahun 2016 berdasarkan PP no.78 tahun 2015 adalah Rp 1.906.085 Universitas Sumatera Utara 127 atau dengan presentase kenaikan rata-rata 11,5 nominal upah tersebut semakin jauh dari kata layak. Hal itu dikarenakan KHL yang disurvei untuk upah minimum ditahun 2016 sudah melekat dengan KHL upah tahun sebelumnya sesuai dengan Permenaker no.21 tahun 2016 pasal 3 ayat 2. Maka dapat disimpulkan terjadi kembali perampasan upah yang sangat besar ketika kenaikan KHL hanya ditentukan formulasi penetapan upah bukan berdasarkan survei langsung secara objektif. Kemudian upah juga tidak mencakup kebutuhan hidup seorang buruhpekerja dengan keluarganya. Karena berdasarakan survei kebutuhan hidup rill buruhpekerja lajang versi Rumah Diah Pitaloka sudah berkisar pada angka 3 juta-an, apalagi dengan kebutuhan buruhpekerja yang sudah berkeluarga, tentu akan lebih besar lagi. Kemudian besaran upah belum sejatinya mencakup kebutuhan seperti air minum, kebutuhan susu anak, biaya pendidikan anak, biaya sosial, biaya komunikasi dan kebutuhan perumahan masih rumah sewa. “Upah yang saya dapatkan ditempat saya bekerja Rp 2.100.000 saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan saya dan keluarga saya apalagi upah minimum Sumatera Utara yang hanya Rp 1.800.000 an, karena kalo dihitung-hitung-hitung pengeluaran untuk kebutuhan pokok saya dengan istri saya lebih 2 jutaan , baik itu beras, uang kontrakan, uang air dan listrik, uang gas LPG, lauk pauk, sayuran, uang minyak motor, lain lagi biaya sekolah anak saya baik itu buku-bukunya maupun uang jajannya. Sehingga kami buruh ini makin lama makin susah, upah tidak seberapa tapi harga kebutuhan pokok naik terus 73 ”. Dari informasi diatas dapat juga kita hubungkan dengan keadaan buruh lainnya yang tidak akan jauh berbeda keadaanya, karena rata-rata buruh mengalami persoalan yang sama atas keadaan ekonominya. Sementara dampak pelaksanaan dari PP no.78 tahun 2015 terhadap buruh yang bekerja melalui perusahaan outsourching tidak terlalu signifikan diakibatkan upah yang mereka dapatkan sesuai berapa hari mereka bekerja dalam sebulan. Tergantung 73 Hasil Wawancara dengan Yogi Saputra salah satu buruh di PT.Oleo Champ Indusstri Kawasan Industri Medan II pada tanggal 28 Septmber pukul 15:20 Wib Universitas Sumatera Utara 128 permintaan dari perusahaan tempat mereka bekerja ke biro jasa yang menyalurkan mereka bekerja. “Pelaksanaan PP no.78 Tahun 2015 tidak terlalu berpengaruh pada kami yang kerja kontrak bang, karena upah kami tergantung berapa hari kami bekerja. Semakin banyak kami bekerja semakin banyak upah kami bang, begitulah sebaliknya semakin sedikit kesempatan kami kerja sebulan semakin sedikit pulalah upah kami. Upah kami saat ini di PT. Pasifik Medan Industri satu hari Rp 92.000 bang dari Rp. 102.000 , dipotong mandor penyalur tenaga kerja lah Rp 10.000 bang. Itulah ironisnya bang, kami keberatan bang dengan hal semacam itu bang. Udah upah sedikit dipotong lagi bang. Khususnya kami pekerja harian bang, paling banyak kami kerja 20 hari sebulan bang. Paling banyak upah kami Rp 1.800.000 an sebulan bang. Kalo dihubungkan sama keperluan saya sehari-hari tidak mencukupi karena harga bahan-bahan pokok juga tinggi. Itulah bang udah susah orang yang kerja sebagai buruh tetap dengan upah minimum rendah ,lebih susah kami bang yang buruh outsourching ” 74 . Dari pemaparan diatas dapat kita lihat dampak ekonomi secara nyata dari PP no.78 tahun 2015 terhadap kehidupan rill buruh, dimana kembali mengalami perampasan upah yang mengakibatkan kebutuhan ekonomistiknya tidak terpenuhi, dan PP no.78 tahun 2015 secara langsung merupakan skema sistematis dalam memiskinkan buruh.

3.3.2 Dampak Sosial