Teh Camellia sinensis L. Kultur In Vitro Kalus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teh Camellia sinensis L.

Kata teh berasal dari Cina. Masyarakat Cina daerah Amoy menyebut teh dengan tay sementara masyarakat daerah Kanton menyebutnya cha. Orang Inggris menyebutnya tea, di daerah Spanyol diucapkan te, dan di Jerman teh disebut dengan tee. Tanaman teh Camellia sinensis L. tumbuh dengan baik pada kondisi beriklim hangat dan lembab dengan curah hujan yang cukup tinggi dan juga terdapat banyak paparan sinar matahari, tanah berasam rendah serta drainasi tanah yang baik. Teh dapat tumbuh dengan optimum di daerah pegunungan beriklim sejuk dengan ketinggian lebih dari 1800 meter di atas permukaan laut Nurunisa, 2011. Teh merupakan minuman yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Teh akan meningkatkan sistem pertahanan biologis tubuh terhadap kanker, membantu penyembuhan penyakit misalnya mencegah peningkatan kolesterol darah, dapat mengatur gerak fisik tubuh dengan mengaktifkan sistem saraf, dan menghambat proses penuaan karena adanya senyawa katekin yang merupakan antioksidan Bambang, 2006. Menurut Harold dan Graham 1992, di dalam teh hijau terkandung komponen-komponen seperti: kafein, epikatekin, epikatekin galat, epigalokatekin, epigalokatekin galat, flavonol, theanin, asam glutamat, asam aspartat, arginin, gula, dan kalium. Berdasarkan potensi aktivitas kesehatan yang paling baik, teh hijau lebih baik dibandingkan dengan jenis lainnya.

2.2 Kultur In Vitro Kalus

Kultur jaringan adalah istilah umum yang ditunjukkan pada budidaya secara in vitro terhadap bagian tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel, protoplas, dan embrio. Hartmann 1990, menggunakan istilah yang lebih spesifik yaitu mikropropagasi terhadap pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam upaya perbanyakan tanaman secara aseptik di dalam tabung kultur. Universitas Sumatera Utara Menurut Zulkarnain 2009, kultur in vitro memiliki peranan yang penting untuk mendapatkan hasil-hasil yang tidak mungkin dicapai melalui kultur in vivo. Menurut Watimena 1992, teknik kultur in vitro mempunyai keuntungan dalam produksi metabolit sekunder jika dibandingkan dengan tanaman utuh karena kecepatan pertumbuhan sel dan biosintesis dalam kultur yang diinisiasi dari eksplan sangat tinggi dalam periode yang sangat singkat, dan lebih ekonomis. Menurut Sutini 2009, penggunaan kultur in vitro tanaman yang dipelihara di bawah kondisi lingkungan, nutrisi, dan zat pengatur tumbuh yang terkontrol akan menghasilkan metabolit secara kontinyu. Kalus adalah kumpulan sel-sel yang terbentuk dari sel-sel parenkim yang membelah secara terus menerus dan tidak berdifferensiasi, yang ditumbuhkan dalam keadaan steril pada suatu media buatan, dengan penambahan nutrisi sehingga sel-selnya mampu tumbuh dan mengadakan pembelahan menjadi massa sel yang tidak terdeferensiasi yang disebut kalus Sutini, 2009. Adapun beberapa tujuan dari kultur kalus antara lain: perbanyakan tanaman melalui pembentukan organ dan embrio, regenerasi varian genetika, mendapatkan tanaman bebas virus, sebagai sumber untuk produksi protoplas, sebagai bahan awal untuk kreopreservasi, menghasilkan produk metabolit sekunder, dan biotransformasi Zulkarnain, 2009.

2.3 Metabolit Sekunder