Pengaruh Elisitasi Terhadap Berat Kering Kalus Hubungan Peningkatan Berat Basah Kalus dengan Produksi Katekin

Menurut Pandiangan 2002, kebanyakan eksplan menghasilkan auksin dan sitokinin endogen. Dalam kultur jaringan, tambahan auksin dan sitokinin eksogen sebagai zat pengatur tumbuh diberikan untuk memperoleh efek pertumbuhan.

4.3 Pengaruh Elisitasi Terhadap Berat Kering Kalus

Berat kering kalus diketahui setelah menimbang kalus pada akhir penelitian dengan menggunakan neraca analitik. Data berat kering kalus pada akhir penelitian digunakan untuk mengetahui pengaruh elisitor yang diberikan terhadap peningkatan biomassa kalus setelah kalus dielisitasi dengan Saccharomyces cerevisiae. Data berat kering kalus dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Lampiran 5, halaman 36. Tabel 4.2 Rata-rata berat kering kalus pada akhir penelitian Perlakuan Rata-rata g Kontrol 0,28 b Elisitor 0,25 0,25 a Elisitor 0,50 0,28 b Elisitor 1,00 0,30 bc Elisitor 2,00 0,31 c Elisitor 4,00 0,29 bc Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DNMRT 5 p 0,05. Berdasarkan uji statistik DNMRT 5, pada Tabel 4.2 di atas terdapat perbedaan berat kering yang nyata pada hampir setiap perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi elisitor yang diberikan pada kalus teh berpengaruh terhadap berat kering kalus. Konsentrasi elisitor 2 memberikan pengaruh paling tinggi terhadap berat kering kalus yakni 0,31 g. Menurut Pandiangan 2001, berat kering kalus menunjukkan pertumbuhan kalus yang sebenarnya. Pertambahan berat kering umumnya menunjukkan ciri-ciri pertumbuhan dimana sel terus membelah dan membentuk biomassa sel. Penambahan elisitor, prekursor, dan amobilisasi sel efektif untuk meningkatkan produksi biomassa sel. Menurut Maftuchah et al. 1998 dan Rahayu et al. 2003, peningkatan berat kering sel disebabkan meningkatnya aktivitas kalus pada masing-masing perlakuan. Diduga perlakuan yang diberikan Universitas Sumatera Utara mempengaruhi metabolisme senyawa organik seperti protein sehingga bertambahnya sumber tenaga untuk pertumbuhan yang diikuti peningkatan volume sel. 4.4 Kandungan Katekin 4.4.1 Kandungan Katekin Secara Kualitatif Kandungan katekin secara kualitatif diperoleh dengan membandingkan waktu retensi larutan standar dengan waktu retensi sampel yang dapat dilihat pada Tabel 4.3. Data waktu retensi larutan standar dan sampel dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 38. Tabel 4.3 Kandungan katekin secara kualitatif Rata-rata waktu retensi menit Standar katekin 3,349 Sampel katekin 3,415 Berdasarkan Tabel 4.3 di atas dilihat bahwa rata-rata waktu retensi sampel jika dibandingkan dengan waktu retensi standar tidak jauh berbeda. Senyawa katekin standar mempunyai waktu retensi 3,349 sedangkan sampel katekin mempunyai waktu retensi 3,415. Hal ini menunjukkan perlakuan elisitasi dengan penambahan dinding sel Saccharomyces cerevisiae pada kalus teh mengandung senyawa katekin. Menurut Sutini 2010, perbedaan waktu retensi antara standar dan sampel katekin dikarenakan kalus diduga mengandung senyawa lain sehingga waktu retensi terdapat perbedaan yang kurang bermakna. Menurut Hamdiyati 1999, ada perbedaan profil kromatogram tidak menutup kemungkinan ada senyawa yang sama karena walau tinggi puncaknya sedikit berbeda. Hal ini mungkin disebabkan dari konsentrasi senyawa yang tidak sama.

4.4.2 Kandungan Katekin Secara Kuantitatif

Kandungan katekin secara kuantitatif diperoleh dengan cara menginterpolarisasikan luas area pada sampel kedalam persamaan regresi linier y = a + bx yang diperoleh dari larutan katekin standar konsentrasi 50-400 mgL Lampiran 7, halaman 38. Data kandungan katekin pada sampel dapat Universitas Sumatera Utara dilihat pada Lampiran 8, halaman 39. Gambar 4.4 di bawah adalah histogram kandungan katekin yang diperoleh setelah kalus dielisitasi. Gambar 4.2 Kandungan Katekin Secara Kuantitatif Berdasarkan uji statistik DNMRT 5 dapat diketahui bahwa pemberian elisitor pada kalus yang dielisitasi rata-rata memberikan pengaruh terhadap peningkatan kandungan katekin yang diperoleh, jika dibandingkan dengan kontrol. Kandungan katekin paling tinggi terdapat pada perlakuan dengan elisitor 0,50 yakni 2,105 mgg BK. Sedangkan pada perlakuan kontrol tanpa pemberian elisitor, kandungan katekin yang dihasilkan 0,485 mgg BK. Peningkatan kandungan katekin setelah diberi elisitor dinding sel Saccharomyces cerevisiae diduga karena terinduksinya serangkaian proses metabolisme metabolit sekunder yang mengarah pada akumulasi katekin. Menurut Purkayastha 1996, tumbuhan mampu menghasilkan senyawa fitoalexin sebagai respon untuk melindungi diri. Penggunaan dinding sel jamur pada kultur jaringan dapat menginduksi tanaman untuk membentuk beberapa enzim untuk pembentukan fitoalexin. Menurut Punyasiri et al. 2004, adanya aktivitas enzim anthocyanidin reduktase, dihydroflavonol 4-reduktase, dan leucoanthocyanidin 4-reduktase pada teh akan mempengaruhi biosintesis flavonoid katekin dan epigallokatekin dalam teh. Menurut Pandiangan 2011 dan Buitelaar 1991, beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan metabolit sekunder dalam kultur yang dielisitasi antara 50 100 150 200 250 300 350 400 Kontrol Elisitor 0,25 Elisitor 0,50 Elisitor 1,00 Elisitor 2,00 Elisitor 4,00 K and un gan kate kin µ g m L Perlakuan a c b a a c Universitas Sumatera Utara lain: konsentrasi elisitor, jenis elisitor, waktu kontak elisitor dengan sel, galur eksplan yang digunakan, waktu penambahan elisitor, fase pertumbuhan sel dalam kultur, dan nutrien yang digunakan di dalam medium. Menurut Ratnasari et al. 2001, konsentrasi elisitor dan waktu pemanenan berpengaruh terhadap post binding effect yaitu proses yang diawali dengan berikatannya elisitor dan reseptor sehingga dapat menginduksi pembentukan metabolit sekunder. Pada penelitian yang telah dilakukan Ratnasari et al. elisitasi dengan menggunakan dinding sel Saccharomyces cerevisiae 0,5 dan waktu pemanenan 24 jam dapat meningkatkan produksi ajmalisin dengan presentase peningkatan tertinggi yaitu 216, 508. Menurut Ali et al. 2007, adanya elisitor yang bersentuhan dengan dinding sel tumbuhan akan ditangkap oleh reseptor pada membran plasma, kemudian akan merubah potensial plasma membran yang mengaktivasi NADPH oksidase untuk merespon reaktif oxygen spesies ROS yang akan menghasilkan anion superoksida dan H 2 O 2 yang bertindak sebagai second messenger yang membawa sinyal ke inti sel sehingga menghasilkan gen pertahanan, meningkatkan respon biosintesis metabolit sekunder protease inhibitor dan protein prolin. Menurut Hahn 1996, sisi aktif dari elisitor glukan ragi adalah 1,6 β-D glukopiranosil. Glukan dari ekstrak ragi secara alami diperkirakan mempunyai binding site yang sesuai dengan reseptor yang terdapat pada permukan sel tumbuhan. Menurut Hamdiyati 1999, homogenat jamur yang sudah diotoklaf apabila digunakan sebagai bahan elisitor, maka respon sel tumbuhan terhadap elisitor berhubungan langsung dengan komposisi dari dinding sel jamur.

4.5 Hubungan Peningkatan Berat Basah Kalus dengan Produksi Katekin

Penambahan elisitor pada sel kalus berpengaruh terhadap berat basah kalus. Pada penelitian ini, peningkatan berat basah kalus berbanding terbalik dengan peningkatan kandungan katekin yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.5 Universitas Sumatera Utara Gambar 4.3 Kurva Hubungan Peningkatan Berat Basah Kalus dengan Produksi Katekin Berdasarkan Gambar 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa seiring dengan peningkatan kandungan katekin yang dihasilkan, berat basah kalus menurun. Pada penelitian ini, perlakuan elisitor 0,50 merupakan perlakuan paling baik dalam meningkatkan kandungkan katekin jika dibandingkan dengan perlakuan lain, karena dapat mengahasilkan kandungan katekin paling tinggi yakni: 2,105 mgg BK dan pada perlakuan tersebut berat basah kalus yang dihasilkan paling rendah. Sedangkan pada perlakuan elisitor 1,00 kandungan katekin yang dihasilkan mulai menurun, dan berat basah kalus mulai meningkat. Menurut Zakaria 2010, berat basah kalus tergantung pada kandungan air dalam kalus. Perbedaan berat basah antar kalus disebabkan oleh perbedaan komponen tiap jaringan dalam menyimpan air dan unsur hara, dalam hal ini meliputi difusi, osmosis dan tekanan turgor sel. Menurut Hamdiyati 1999 dan Moreno 1994, terhambatnya pertumbuhan kalus disebabkan kalus memanfaatkan prekursor untuk mensintesis metabolit sekunder sebagai respon terhadap cekaman yang diberikan. Di dalam sel terjadi persaingan antara jalur metabolisme primer dan sekunder, sehingga apabila jalur metabolisme sekunder aktif, maka jalur metabolisme primer akan terhambat. 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 Kontrol Elisitor 0,25 Elisitor 0,50 Elisitor 1,00 Elisitor 2,00 Elisitor 4,00 Perlakuan B erat B asah K al us g K andun gan K at ek in m g g B K Kandungan Katekin mg g BK Berat basah g Universitas Sumatera Utara

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: a. Perlakuan kontrol medium Murashige Skoog ditambah ZPT 1 mgL 2,4-D dan 1 mgL kinetin memberikan pengaruh paling baik terhadap peningkatan berat basah kultur in vitro kalus teh Camellia sinensis L. dengan rata-rata peningkatan berat basah 0,19 g. b. Peningkatan konsentrasi elisitor dinding sel Saccharomyces cerevisiae cenderung menyebabkan peningkatan berat kering kalus teh. c. Konsentrasi elisitor dinding sel Saccharomyces cerevisiae 0,50 merupakan konsentrasi elisitor yang paling baik dalam meningkatkan produksi katekin pada kultur kalus teh. d. Kandungan katekin tertingi 2,105 mgg BK atau meningkat 4 kali dibandingkan perlakuan kontrol.

5.2 Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai produksi katekin pada kultur suspensi sel dari daun teh Camellia sinensis L. dengan elisitor yang sama dan bahan tanaman segar yang dijadikan eksplan turut diekstraksi agar dapat dibandingkan kandungan katekin yang dihasilkan sebagai data pembanding. Universitas Sumatera Utara