1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap keluarga untuk dijaga dan dipelihara. Kehadiran seorang anak adalah sebagai pelengkap di
dalam suatu keluarga. Bagi orangtua kesusksesan anak adalah hal yang membanggakan, akan tetapi pada saat ini telah banyak kasus kriminal yang
dilakukan oleh seorang anak di dalam kehidupannya sehari-hari. Perilaku
anak dalam
kehidupan sehari-hari
dapat mengalami
penyimpangan dikarenakan anak sedang mengalami masa perkembangan menuju dewasa. Penggolongan proses perkembangan anak dibagi dalam 3tiga fase,
yaitu;
1
1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan
7 tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh,
perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis pertama tumbuhnya seksualitas pada anak.
2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai
masa kanak-kanak, di mana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu :
a.
Masa anak Sekolah Dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual.
b. Masa remajapra pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan
sebutan periode pueral. 3.
Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun, yang dibamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan
adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa.
1
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak edisi Revisi, Refika Aditama, Bandung, 2013, hal.7-8
Universitas Sumatera Utara
Pada masa pubertas, anak mengalami gejolak dalam diri untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya dan dalam fase ini anak sedang mencari
jadi dirinya. Pada fase ini, anak sering malakukan kenakalan yang terkadang menimbulkan perbuatan jahat yang dikenal dengan istilah juvenile deliquency.
Perilaku delikuensi anak atau juvenile deliquency adalah perilaku anak yang melanggar hukum yang apabila dilanggar oleh orang dewasa termasuk kategori
kejahatan.
2
1. Secara Praktis
2. Secara Religius
3. Secara Yuridis
Bagan 1.1 Bagan Kejahatan.
3
1. Secara Yuridis adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
yang melanggar ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan dan terhadap pelakunya diberikan sanksi pidana.
2. Secara Religius adalah suatu pengertian mengidentikkan jahat dengan
dosa. Jahat dan Dosa dala arti religius itu merupakan sinonim. 3.
Secara Yuridis adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau dilarang oleh Undang-undang.
4
Suatu perbuatan itu dapat disebut sebagai delikuen apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum janganlah sampai
2
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 3
3
Ediwarman,dkk,Monograf Kriminologi Edisi Ketiga, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012, hal.8
4
Ibid, hal.9
Kejahatan Crimes
Universitas Sumatera Utara
memunculkan stigmatisasi atau labelling dan kurangnya atau bahkan ketiadaan pembinaan terhadap mereka sehingga membuyarkan harapan mereka menjadi
pemuda yang dapat berguna bagi bangsanya.
5
Permasalahan terbesar dari anak yang berhadapan dengan hukum adalah karena Undang-Undang No.3 Tahun 1997 sudah tidak relevan lagi, undang-
undang ini tidak memberikan solusi yang tepat bagi penanganan anak sebagai anak yang berhadapan dengan hukum akibatnya, akan ada tekanan mental dan
psikologis terhadap anak dan mengganggu pertumbuhannya.
6
Alasan lain Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tidak relevan lagi, yakni:
7
1. Pasal 23 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menunjukkan begitu
mudahnya menjatuhkan pidana kepada seorang anak yanpa memperhatikan keadaan yang di alami oleh anak.
2. Alasan Karakteristik Anak
Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 menyebutkan: ...”untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia ,...” Jadi, anak merupakan individu yang masih harus
tumbuh dan berkembang dalam segala aspek, sehingga anak belum dapat menentukan pilihan perbuatan secara benar.
3. Alasan Masa Depan Anak
Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, anak yang dipidana terlabel dan terstigmatisasi selepas pemidanaan sehingga menyulitkan
pertumbuhan psikis dan sosial anak ke depan.
4. Undang-undang ini tidak memberikan jalan untuk memulihkan keadaan
anak kepada keadaan semula dimana anak belum berhadapan dengan hukum.
Model di dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak sesuai lagi dalam mengatasi permasalahan hukum mengenai anak dan
untuk itu Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
5
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hal.4
6
Ibid, hal.3
7
Ibid, hal.4
Universitas Sumatera Utara
Anak lebih mengutamakan konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan permasalahan anak dibandingkan dengan melakukan penjatuhan
penjara terhadap anak. Undang-Undang Sistem Peradilan Anak memerintahkan agar dikeluarkan
Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan diversi akan tetapi, pelaksanaan diversi tersebut belum juga ada dan untuk mengisi kekosongan hukum di dalam pedoman
pelaksanaan diversi ini maka, diterbitkanlah PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Model restorative justice yang dimuat dalam undang-undang ini adalah mengenai pemulihan ke kondisi semula dan menggunakan pemidanaan sebagai
jalan terakhir bagi anak, sehingga perlu proses penyelesaian di luar peradilan pidana yakni dengan cara diversi.
8
Diversi ini sendiri masih dapat dikatakan baru sehingga, banyak aparat penegak hukum belum mengetahui aturan pelaksanaan
ini dan ketika memperoleh berkas perkara aparat penegak hukum langsung melimpahkannya kepada kejaksaan maupun pengadilan untuk disidangkan dan ini
menjadi hambatan dalam pelaksanaan diversi yang merupakan suatu kewajiban. Selain itu, di dalam undang-undang dan Perma yang telah di terbitkan oleh
Mahkamah Agung terkait pengaturan diversi di Indonesia masih dapat dikatakan abu-abu karena belum jelas memuat mengenai syarat-syarat untuk menjadi
fasilitator diversi dan kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang fasilitator diversi.
8
Ibid, hal.6
Universitas Sumatera Utara
Tempat pelaksanaan yang dibutuhkan dalam melakukan diversi ini juga tidak banyak dimiliki oleh pengadilan bahkan, ada pengadilan yang tidak
memiliki tempat pelaksanaan diversi dan terkadang menggunakan ruang sidang sebagai tempat melakukan diversi. Hambatan terbesar selanjutnya ialah kurangnya
pengetahuan mengenai diversi bagi aparat penegak hukum di dalam menyelesaikan kasus, ini dapat dilihat dengan banyaknya perkara yang
dilimpahkan ke pengadilan tanpa melalui proses diversi. Hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan diversi ini juga dapat
terbilang cukup berat dikarenakan diversi baru dikenal di Indonesia dan masyarakat sendiri juga masih banyak yang tidak mengerti dengan tata cara
pelaksanaan diversi baik di tingkat penidikan, penuntutan, maupun tingkat pengadilan sehingga, dapat memungkinkan tidak terlaksananya diversi di dalam
setiap tingkatan yang ada baik penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan anak di pengadilan.
Berdasarkan latar belakang mengenai pengaturan diversi di Indonesia dan peraturan pelaksanaan serta hambatan yang di hadapi dalam melaksanakan
diversi, maka mengenai latar belakang tersebut diangkatlah penulisan mengenai
“Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan studi di Pengadilan Negeri Medan
” untuk dijadikan sebagai judul skripsi.
B. Perumusan Masalah