2.3.4 Konstruksi Realitas Sosial
Dalam pandangan paradigma defensi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di
sekelilingnya. Awalnya konstruksi ini berasal dari filsafat konstruktivisme yang semuanya dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Dalam Bungin
2008:11, realitas menurut paradigma konstruktivis adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, walau demikian, kebenaran suatu realitas sosial
mempunyai sifat nisbi yang berlaku secara spresifik dan haruslah relevan oleh pelaku sosial.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann memperkenalkan istilah konstruksi sosial atas realitas social construction of reality melalui tulisan-tulisan mereka.
Kedua ahli sosiologi ini menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas
yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif Bungin, 2007:189. Penjelasan yang dinyatakan oleh Berger dan Luckmann dalam Bungin,
2007:191 atas realitas sosial dimulai dengan memisahkan pemahaman antara kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat
didalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefenisikan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakter yang spresifik. Pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat.
Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat dan pengetahuan adalah konstruksi dari
individu yang mengetahui dan hal tersebut tidak dapat ditransfer kepada individu yang pasif. Karena konstruksi tersebut dilakukan oleh dirinya sendiri terhadap
pengetahuan itu dan lingkungan hanyalah media bagi terjadinya konstruksi tersebut.
Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Dalam Wibowo, 2013;152, Berger dan Luckman
menjelaskan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial
Universitas Sumatera Utara
terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam defenisi sebjektif melalui proses interaksi.
Berdasarkan penjelasan di atas, hal-hal yang terdapat dalam institusi masyarakat sengaja dibangun oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi.
Semua interaksi itu dilakukan berdasarkan defenisi subjektif dari setiap anggota masyarakat yang selanjutnya ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu
nilai objektif bagi masyarakat. Realitas sosial dibagi menjadi tiga macam realitas menurut Berger dan
Luckmann Bungin, 2007;192 yaitu : 1.
Realitas Objektif yaitu realitas yang dibentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas ini dianggap kenyataan.
2. Realitas Simbolis yaitu ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai
bentuk. 3.
Realitas Subjektif yaitu realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses
internalisasi. Realitas sosial ini juga terbentuk dalam 3 tahap yaitu eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi. Proses ekternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Objektivasi yaitu interaksi sosial
dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusional. Internalisasi adalah individu mengidentifikasikan diri dengan
lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Ketiga tahap ini menghasilkan suatu konstruksi kenyataan sosial
yang merupakan hasil ciptaan manusia. Realitas sosial itu ‘ada’ dapat dilihat dari subjektivitas ‘ada’ itu sendiri,
dan dunia objektivitas di sekeliling realitas sosial itu. Setiap individu tidak hanya dilihat dari kediriannya, tetapi mereka juga dapat dilihat dari mana ‘kedirian’
tersebut berada, bagaimana individu tersebut menerima dan mengaktualisasikan diri individu tersebut serta seperti apa lingkungan menerimanya. Sehingga
konstruksi sosial sangat terkait dengan kesadaran manusia terhadap realitas sosial itu. Oleh karena itu, kesadaran merupakan hal yang paling penting dalam
konstruksi sosial.
Universitas Sumatera Utara
Pada akhirnya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik didalam maupun diluar realitas tersebur. Realitas sosial itu
memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.
Individu mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam
institusi sosialnya. Menurut Sauusure, persepsi dan pandangan kita tentang sebuah realitas
akan dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Menurut Paul Watson, pendiri Greenpeace, kebenaran yang dianut
oleh media massa bukanlah sebuah kebenaran yang sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai sebuah kebenaran. Sobur, 2004:87
Pada dasarnya, Isi media merupakan hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Isi media pada hakikatnya
adalah hasil dari konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasar. Bahasa tidak hanya saja sebagai alat merepresentasikan sebuah realitas namun
juga bahasa dapat menentukan relif seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas. Oleh karena itu, media massa mempunyai sebuah peluang yang
sangat besar dalam mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya.
Penggunaan bahasa tertentu sangat jelas berimplikasi terhadap kehadiran makna tertentu. Setiap pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas akan turut
menentukan bentuk sebuah konstruksi realitas yang sekaligus akan menentukan makna yang akan muncul dari bahasa itu sendiri. Hamad mengatakan bahwa
bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi dapat pula menciptakan sebuah realitas. Bahasa merupakan sebuah unsur utama dalam
sebuah konstruksi realitas dan merupakan instrumen pokok dalam menceritakan sebuah realitas Sobur, 2004:90.
2.3.4.1 Film Sebagai Konstruksi Realitas
Tema tunggal tampaknya telah mempedomani berbagai isi media adalah hubungan isi media dengan realitas sosial. Tidak terkecuali dengan film. Film
Universitas Sumatera Utara
merupakan sebuah teknologi baru yang lahir pada akhir abad kesembilan belas. Film menjadi fenomena yang sangat berkembang dengan pesatnya dan semakin
tidak terprediksi. Film mempunyai peran sebagai sarana baru yang dipakai dalam penyebaran informasi, hiburan serta digunakan dalam penyajian cerita kepada
masyarakat umum. Terdapat kebiasaan yang lazim untuk mengenali tuntutan realitas atau
potensi isi dan harapan tertinggi tentang sebuah kebenaran realitas sangat melekat pada berita dan informasi. Seperangkat isi dalam sebuah film umumnya
dipandang sebagai fantasi atau abstraksi yang selalu dikaitkan dengan harapan audiensnya. Dalam sebuah film, dapat ditemukan kisah fiksi ilmiah, adikodrati
hal-hal gaib serta dongeng maupun horor yang ditampilkan dengan beberapa bentuk abstrak seperti musik dan tarian. Standar penimbangan itu tidak hanya
digunakan secara luas tetapi bahwa kesimpulan berulang dari kebanyakan studi beragam tentang isi, dalam posisi apapun disepanjang kontinum harapan realitas
adalah bahwa isi daripada film menyimpang jauh dari realitas. Sebagian besar isi yang ditampilkan sebuah film bersifat fiktif dan khayalan. Dalam film, lokasi
yang digambarkan dalam kisah fiksi terdapat bias ke beberapa negara dan tempat yang disenangi khususnya amerika serikat, eropa barat dan berbagai kota
internasional yang terkemuka. Film cenderung mengandung stereotip tentang minoritas dan kelompok
luar seperti kaum perempuan, militan buruh dan orang-orang miskin. Salah satunya adalah film yang merupakan produk media yang dituding mengkonstruksi
realitas perempuan sebagai yang “rendah diri” atau “cengeng”. Film terbukti mampu membentuk dan menghadirkan sosok perempuan yang dikonstruksikan
sebagai pekerjaan yang lekat dengan wilayah domestik seperti menjadi resepsionis, sekretaris, gadis dengan pekerjaan sambilan, gadis yang disokong dan
lain-lain. Perempuan juga ditindas dengan diperankan sebagai citra negatif seperti objek seks, korban, atau perempuan penggoda laki-laki. Film dalam kontennya
cenderung memberikan dan menyediakan banyak tentang dongeng tentang situasi dan perilaku, karena alasan yang sama cenderung merupakan kebenaran historis
dan manusiawi tertentu. Film juga, dalam pemilihan peristiwa lebih memusatkan perhatian dalam hal-hal yang bersifat dramatis dan kekerasan.
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan media film juga dapat sebagai lembaga pendidikan nonformal dalam mempengaruhi dan membentuk budaya kehidupan masyarakat sehari-hari
melalui kisah yang ditampilkan. Film dianggap sebagai medium sempurna untuk merepresentasikan dan mengkonstruksi realitas kehidupan yang bebas dari
konflik-konflik ideologis serta berperan serta dalam pelestarian budaya bangsa. Kehidupan nyata tak bisa lagi dibedakan dari film. Bahkan suara dari film
dianggap tidak lagi menyisakan tempat bagi audiens untuk berimaji dan dan berefleksi. Film telah benar-benar membentuk realitas audiens dan mereka benar-
benar percaya bahwa isi dalam film merupakan sebuah kenyataan yang berada di lingkungannya.
2.3.5 Semiotika