hasrat autentik, untuk hidup dalam hubungan yang dekat dengan anak. Menurutnya, manusia tidak perlu menjadi orangtua biologis untuk mempunyai
hidup yang berpusat pada anak. Perkembangan menjadi seorang ibu biologis di masyarakat sudah sangat
melekat di masyarakat. Persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa seorang perempuan akan menjadi wanita atau ibu yang seutuhnya ketika perempuan
tesebut melahirkan anak dari rahimnya. Akan tetapi Menurut Oakley, perempuan untuk menjadi seorang ibu “tidak adanya hubungannya” dengan “kepemilikan
ovari dari rahim” seorang perempuan dan melainkan berhubungan dengan cara perempuan dikondisikan secara sosial dan kultural untuk menjadi ibu Tong
1998:120. Menurutnya, Motherhood biologis adalah merupakan konstruksi budaya, suatu mitos dengan tujuan-tujuan opresif, karena tidak ingin dituduh
sebagai seorang yang hanya memikirkan diri sendiri dan bahkan dituduh tidak normal. Firestone menyatakan, perempuan yang mengandung bukanlah akibat
dari “kesukaan autentik” terhadap anak-anak melainkan lebih merupakan “penggantian” dan kebutuhan pengembangan ego. Bagi seorang laki-laki, anak
adalah cara untuk mengabdikan namanya, hak miliknya dan idenifikasi kelas dan etnik dan bagi perempuan, seorang anak adalah cara untuk membenarkan
eksistensinya yang terikat dengan rumah adalah keharusan absolut Tong, 1998:122. Hal ini juga menunjukkan bahwa walaupun seorang perempan dapat
menguasai laki-laki dan menjadi seorang pemimpin, tetapi dia juga tidak lepas dari kodratnya sebagai seorang ibu yang memiliki kelemahan ketika dia
berhadapan dengan seorang anak.
4.4 Realitas sosial dalam film Maleficent
Film merupakan realitas media. Dalam pandangan paradigma defenisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi
sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagai yang disebut oleh George Simmer Veeger, dalam Bungin, 2011:12, bahwa
realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya.
Sebagai karya seni, film terbukti memiliki kemampuan kreatif. Ia mempunyai kesanggupan untuk menciptakan suatu realitas rekaan sebagai
Universitas Sumatera Utara
bandingan terhadap realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas yang ditampilkan dalam film adalah realitas yang dibangun oleh pembuat film
dengan mengangkat nilai-nilai atau unsur budaya yang terdapat di dalam masyarakat atau sebaliknya realitas rekaan yang ditampilkan dalam film kemudian
menjadikan sebuah bentukan “budaya” yang diikuti oleh penonton. Pada subbab ini, peneliti mencoba mengemukakan realitas sosial media
seperti yang ditampilkan oleh pembuat film di dalam Film Maleficent mengingat bahwa segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang
sengaja dikonstruksikan. Berikut hasil interpretasi yang dapat dikemukakan peneliti mengenai realitas sosial media dalam Film Maleficent.
Kesetaraan gender yang sering disebut dengan feminisme merupakan aliran yang sudah mulai akrab di tengah-tengah masyarakat dan sudah mulai
berkembang dan dapat diterima. Karena saat ini kita hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan media, maka para pekerja
kreatif industri film melihat hal tersebut sebagai bongkahan batu mulia yang dapat diasah. Artinya tema feminisme dapat diangkat menjadi film dengan harapan
banyak masyarakat yang belajar melalui hal ini sehingga dapat mengambil pesan baik yang terkandung didalamnya. Karena film-film seperti ini merupakan film
komersial yang mesti mempertimbangkan aspek estetika dan segmentasi semua anggota masyarakat. Dalam sebuah film komersial, seorang sutradara bisa
memilih adegan-adegan tertentu yang dianggapnya bisa menjaga bangunan cerita sehingga kelak penonton tidak bosan dan terkantuk-kantuk di dalam bioskop.
Tanpa drama dan pergolakan, sebuah film akan terasa seperti sayur tanpa garam. Namun sutradara tetap harus memperhatikan nilai, norma dan gaya hidup yang
berlaku pada masyarakat yang akan disajikan dalam film yang diproduksi Tema feminisme dalam Film Maleficent ini dilakukan oleh seorang
perempuan yang berjuang untuk mendapatkan hak karena kekerasan fisik yang diterimanya yang dilakukan oleh seorang laki-laki. Feminisme merupakan yang
diartikan sebagai kesadaran terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan dan subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan upaya mengubah keadaan tersebut
menuju ke sebuah sistem masyarakat yang lebih adil. Visualiasasi sequence- sequence
feminisme dalam film ini dapat dilihat dari penggunaan warna, gesture,
Universitas Sumatera Utara
ekspresi, teknik pengambilan gambar, setting tempat dukungan elemen audio pada film yang berupa sound effect.
Penggunaan warna paling dominan pada sequence feminisme ini adalah warna gelap atau cahaya yang minim. Warna gelap atau dapat terlihat warna hitam
yang cukup dominan membuat kesan sebuah kesedihan dan dukacita yang melatarbelakangi gambar tertangkap dalam suatu frame. Warna hitam dapat
memiliki makna berdukacita, tidak bahagia, keburukan dan misteri. Warna hitam juga kerap diasosiassikan dengan kekuatan seperti halnya Maleficent yang
ditunjukkan melalui warna tanduk yang berwarna hitam dan baju yang dikenakannya dan sayapnya. Tidak hanya gelap, dalam film ini juga memakai
warna terang yang identik dengan warna putih yang membuat kesan hati yang bersih. Putih merupakan warna yang melambangkan kesucian, polos, murni dan
jujur. Pemilihan warna tersebut bukanlah tanpa alasan, melainkan untuk membuat sequence
terlihat semakin dramatis Selain warna, gesture para pelaku peran yang terdapat dalam sequence
feminisme ini juga sangat penting. Karena gesture dapat memberikan pesan-pesan yang ingin disampaikan. Gesture dapat memberikan pesan-pesan yang ingin
disampaikan secara nonverbal. Gesture yang begitu terlihat jelas dalam setiap sequence
adalah pada saat Maleficent selalu berusaha menjaga hutan dan alam tempat dia tinggal agar tidak dirusak oleh Raja Stefan dan Raja Henry serta ketika
Stefan melukai dan melakukan kekerasan pada Maleficent. Terlihat pergerakan tubuh Maleficent selalu sigap menjaga wilayahnya dan wajah Stefan yang takut
dan serius dalam melakukan kekerasan. Hal ini juga tampak begitu jelas karena didukung dengan metode pengambilan gambar.
Sound effect atau efek suara adalah bunyian khusus yang digunakan untuk
melatarbelakangi adegan yang berfungsi sebagai penunjang gambar untuk membentuk nilai dramatik dan estetika sebuah adegan. Dalam sequence yang
menampilkan representasi pada film ini sound effect yang digunakan adalah instrumen dengan nada yang yang terdengar memiliki intonasi yang cepat dan
lambat dengan memakai alat musik instrumen perkusi sehingga dapat memainkan emosi penonton.
Universitas Sumatera Utara
Karena cerita yang dikemas dengan begitu baik dan juga adegan setiap sequence
yang tidak dilebih-lebihkan, Film Maleficent ini mampu membuat emosi penonton naik dan turun dengan adegan-adegan dalam film Maleficent. Atas hasil
tersebut, maka disimpulkan bahwa media memiliki kekuatan untuk membius dan mempengaruhi khalayak. Khalayak yang menganggap realitas sama dengan
realitas dunia nyata melupakan kenyataan bahwa media melakukan proses seleksi informasi berlapis-lapis secara ketat sebelum menyajikannya ke hadapan
khalayak. Seleksi tersebut oleh berbagai pertimbangan, mulai dari pertimbangan atas norma kultural dalam lingkungan sosial, pertimbangan ideologis organisasi
media, hingga pemenuhan kebutuhan khalayak.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan