Agresi Belanda Kedua 16 November 1873

30 negerinya kacau balau serta Belanda mempunyai persenjataan yang modern kala itu. 54 Salah satu sebab penting kenapa Agresi Belanda Pertama ini mengalami kegagalan adalah tewasnya Jenderal J.H.R Kohler yang ditembak pejuang Aceh di halaman Mesjid Raya Banda Aceh pada tanggal 14 April 1873. 55 Penyebab lain adalah pasukan Belanda tidak mampu menghadapi perlawananan laskar Aceh dengan taktik perang gerilyanya. Pasca tewasnya Kohler pertahanan Belanda menjadi kacau, semangat mereka berkurang. Lain halnya di kubu pejuang Aceh, semangat mereka untuk mengusir Belanda semakin besar. Pada tanggal 23 April pasukan Belanda memperoleh izin dari Gubernur Jendral G.G Loudon di Batavia untuk mundur dan meninggalkan Mesjid Baiturrahman dalam keadaan terbakar dan kembali ke Jawa pada tanggal 29 April 1873. 56

1.4 Agresi Belanda Kedua 16 November 1873

Kegagalan Belanda dalam agresi pertamanya ke Aceh tidak membuat niat mereka untuk menginvasi Aceh terhenti. Belanda semakin berambisi utuk menaklukan negeri tersebut secepatnya. Berbeda dengan sebelumnya, rencana agresi kedua ini dipersiapkan dengan matang agar mereka berhasil meredam perlawanan laskar Aceh yang selalu siap berperang melawan Belanda. 54 Ismail Jakub, op. cit., hlm. 29. 55 Paul Van’t Veer, op. cit., hlm. 36. 56 Ismail Jakub, op. cit., hlm. 32. Universitas Sumatera Utara 31 Hal yang pertama dilakukan Belanda adalah memata-matai Aceh dibawah pimpinan konsulnya di Penang yaitu G. Lavino. Setelah usaha G. Lavino dianggap matang, maka langkah selanjutnya yang di ambil oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda G.G. Loudon adalah mengangkat Letnan Jendral J. Van Swieten sebagai panglima agresi kedua tentara Hindia Belanda dan merangkap sebagai Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh. 57 Dengan dibebani tugas untuk menaklukkan Aceh dengan kekerasan, yang dibuat dalam sebuah instruksi oleh Loudon pada tanggal 16 Nopember 1873, maka pada tanggal 16 Nopember 1873 berangkatlah panglima agresi kedua Letnan Jendral J. Van Swieten menuju Aceh. Van Swieten membawa 60 buah kapal perang, yang diperlengkapi dengan 206 pucuk meriam, 22 pucuk mortir, 389 perwira, 7888 serdadu biasa, 32 orang perwira dokter, 3565 orang hukuman laki-laki yang dipaksa untuk berperang, 243 orang hukuman perempuan yang mungkin dijadikan sebagai tempat serdadu-serdadunya melampiaskan hawa nafsunya, pastor, guru agama. Disamping itu dibawa juga kakitangannya seperti Sidi Tahil, Datok Setia Abuhasan, Mas Sumo Widikdjo, Mohammad Arsyad, Ke Beng Swie, Pie Auw, Josee Massang, Pada Agresi kali ini Loudon memberikan kekuasan penuh bagi Van Swieten memegang kekuasan militer panglima perang dan sipil Komisaris Pemeritah. Hal ini berbeda dari agresi pertama, karena kekuasan militer dibawah komando Kohler dan sipil dalam tangan Edeelar Niuwhuyzen. Langkah ini diambil agar Van Swieten dapat mengambil keputusan yang cepat dan tegas untuk menghadapi perlawanan Aceh. 57 Muhammad Said, op. cit., hlm. 428. Universitas Sumatera Utara 32 Li Bieng Tjhet, Tjo Gee, Si Diman, Ramasamy, Si Kitab, Ameran, Malela dan Said Muhammad bin Abdurrahman Maysore. 58 Pada tanggal 28 Nopember 1873 tentara kolonial Belanda di bawah pimpinan van Swieten tiba di perairan Aceh. 59 Akan tetapi pendaratan pasukan dilakukan pada tanggal 9 Desember 1873 dibawah pimpinan Mayor Jendral Verspick di Pantai Kuala Lue dan besoknya berkumpul di Kuala Gigieng. Enam hari kemudian mereka baru dapat mencapai Kuala Aceh, yang kemudian menuju Peunayong dan Gampong Jawa Aceh Besar untuk berperang. 60 Dalam menghadapi serangan dari tentara Belanda, Laskar Aceh sangat bersemangat tinggi. Hal ini disebabkan karena kemenangan mereka ketika Agresi Belanda Pertama dan juga besarnya bantuan yang datang ke Aceh Besar, seperti bantuan dari Uleebalang Mereudeu, Uleebalang Pidie yang berkekuatan 500 orang. 61 Pasca pertempuran Peunayong dan Mesjid Raya dapat direbut oleh Belanda pada tanggal 6 Januari 1874, kerugian dari kedua belah pihak lebih besar dari Agresi Pertama. Keadaan yang semakin genting ini membuat Sultan Aceh diungsikan ke Lueng Bata yang jaraknya dari Keraton lebih kurang tiga kilometer. Tidak lama kemudian Sultan kembali dipindahkan ke Pagar Ajer untuk menghindari penyerangan dari pasukan Belanda. 62 58 Ibid., hlm. 437-439. 59 A. Hasjmy, op. cit., hlm. 37. 60 Ismail Jakub, op. cit., hlm. 35. 61 Syarifuddin Mahmud, op. cit., hlm. 51-52. 62 Ismail Jakub, op. cit., hlm. 36. Universitas Sumatera Utara 33 Keraton Aceh akhirnya jatuh pada pukul 12 siang tanggal 24 Januari 1874. J. Van Swieten menduduki Istana Kerajaan yang telah dikosongkan. Kemudian Van Swieten menulis dan mengirim surat kepada Gubernur Jendral Loudon di Batavia yang berbunyi : 24 Januari kraton is ons stop koning en vaderland gelukgewenschtmet deze over winning 24 Januari kraton sudah di tangan kita titik raja dan tanah air diucapkan selamat atas kemenangan ini. Disamping itu, Van Swieten juga mengumumkan proklamasi atas kemenangannya merebut Keraton Aceh yang berbunyi : Bahwa Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang, menjadi hak-milik Kerajaan Belanda. Banda Aceh itu dinamainya Kutaraja dengan mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat pada tanggal 16 Maret 1874. 63 Empat hari setelah Keraton jatuh ketangan Belanda 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah mangkat, Beliau kemudian dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar. Untuk menggantikan Sultan Mahmud, maka diangkatlah Muhammad Daud yang berumur 7 tahun sebagai lambang kerajaan, dengan mangkubuminya Tuanku Hasyim Banta Muda. 64 Mendengar kabar tersebut Van Swieten sangat menyesal karena sultan kala itu tidak dapat menandatangani surat penyerahan daerahnya kepada Kerajaan Belanda. 65 Pada tanggal 25 April 1874 Jendral Van Swieten kembali ke Jawa, jabatannya diganti oleh Kolonel Pel. Pel mengadakan hubungan dengan Aceh supaya 63 Muhammad Said, op. cit., hlm. 473. 64 Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhatara, 1980, hlm. 182. 65 Ismail Jakub, op. cit., hlm. 37. Universitas Sumatera Utara 34 berdamai dengan Belanda dan meminta rakyat untuk mengibarkan bendera Belanda. Beberapa golongan uleebalang berpihak kepada Belanda karena ajakan Kolonel Pel, namun tidak sedikit yang masih setia terhadap negerinya dan tetap mendukung perjuangan. Laskar Aceh terus berperang walaupun Keraton Aceh telah jatuh dan terbukti dengan tewasnya Kolonel Pel pada akhir Februari 1874. Posisinya kemudian digantikan oleh Jendral Wiggers Van Kerchem. 66 Jendral Wiggers merencanakan memperkuat daerah Aceh Besar yang sudah dibawah kekuasaannya serta menaklukan daerah-daerah yang masih melawan. Maka Wiggers mendatangkan Jendral Diemont, namun Wiggers tidaklah puas dengan kinerja dari Jendral Diemont. Tidak lama kemudian didatangkan Jendral Karel Van der Heyden untuk memuluskan langkahnya tersebut. 67 Van der Heyden diangkat sebagai Gubernur sipil dan militer untuk menggatikan peran dari Jendral Diemont pada Januari 1878. Heyden membujuk rakyat Aceh agar jangan menentang Belanda, tetapi apabila tetap melawan maka jalan kekerasan akan dilancarkannya. Jendral Heyden membangun kembali Mesjid Raya Banda Aceh yang terbakar untuk menarik simpati rakyat. Dalam bidang pertahanan, Heyden berusaha menaklukan seluruh lembah sungai di Aceh Besar, membangun pos-pos ditempat yang srategis serta melindungi penduduk yang tidak bermusuhan 66 Ismail Sunny, op. cit., hlm. 37. 67 Ismail Jakub, loc. cit. Universitas Sumatera Utara 35 dengan Belanda. Kegiatan patroli dilakukan terus menerus oleh pasukan Belanda untuk menguatkan posisi Belanda dibawah pimpinannya. 68 Srategi Van der Heyden sebagian besar berjalan dengan baik. Dengan menyerahnya Seulimun pada bulan September 1879 maka seluruh Aceh Besar berada dibawah kekuasaan Belanda. Semangat para Laskar Aceh mulai memudar, sikap pada masa perang ditunjukkan untuk menghadapi musuh berubah dengan sikap menyelamatkan diri agar tidak tertangkap dari sergapan tentara Kompeni Belanda. 69 Untuk menghadapi situasi yang semakin sulit, beberapa langkah penting diambil diantaranya mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin terkemuka Aceh untuk mengadakan suatu musyawarah yang dipimpin Teungku Lueng Bata dan Teungku Lamnga. Mereka mengikrarkan sumpah “Wajib Perang Sabil” untuk mengusir Belanda. Atas dasar wajib jihad yang diikrarkan bersama dalam musyawarah itu, maka para ulama mengambil peranan aktif dan penting baik sebagai pemimpin perang maupun sebagai koordinator perlawanan rakyat terhadap Belanda. 70 1. Sifat jihad, rakyat yang diwajibkan turut serta memanggul senapang atau kelewang tegasnya bertempur adalah mereka yang sudah menyatakan sukarela untuk ambil bahagian langsung ; tanggal dari peristiwa ini belum ditemukan dalam catatan sejarah. Hasil dari musyawarah ini juga ditujukan untuk rakyat umum, dengan memberikan mereka aturan-aturan yang berisi : 68 Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 72. 69 Ismail jakub, op. cit., hlm. 38. 70 Muhammad Said, op. cit., hlm. 473. Universitas Sumatera Utara 36 2. Rakyat diwajibkan gotong-royong untuk segera memperbaiki mesjid yang rusak akibat perang supaya kewajiban ibadat tetap terpelihara ; 3. Rakyat diwajibkan gotong-royong untuk bersama-sama mengatasi akibat perang ; 4. Dalam masa perang dilarang mengadakan pertemuan-pertemuan sukaria yang tiada bertalian dengan agama, seperti seudati dan yang seperti itu ; 5. Setiap yang membutuhkan bantuan, wajib diberi bantuan oleh penduduk, terutama jika mereka memerlukan pemondokan dan persembunyian ; 6. Apabila diperlukan untuk membikin benteng kuta, rakyat diwajibkan bergotong-royong ; 7. Ulama setempat berwenang memberikan bantuan danatau menerima pengaduan-pengaduan rakyat di dalam mengatasi kesulitan yang dideritanya. 71 Dukungan terhadap para pemimpin-pemimpin Aceh yang masih aktif terus berjuang juga datang dari “Dewan Delapan” yang berada di Penang dibawah pimpinan Teungku Paja. 72 71 A. Hasjmy, op. cit., hlm. 39. 72 Ibid., hlm. 39-40. Dia mengirimkan sepucuk surat dengan perantaraan Panglima Polem kepada kerajaan Aceh yang berisi sebagai berikut : Bersama ini kami menyampaikan perkabaran dari Penang, bahwa pada dewasa ini hal ikhwal antara kerajaan negeri Aceh dengan negeri Belanda telah menjadi masalah negeri-negeri besar di Eropah. Terutama dengan bantuan kerajaan ratu Victoria negeri Inggeris, dengan campur tangan negeri Eropah, mudah-mudahan pengepungan dilaut dalam dua bulan ini akan dicabut. Universitas Sumatera Utara 37 Demikian kami mendapat kabat. Kamipun ingin mengabarkan juga bahwa Perdana menteri Inggeris bernama Gladstone sudah diganti oleh Perdana Menteri baru yang bernama Disraeli, Gladstone dijatuhkan karena terlalu menyebelah Belanda. Sedangkan sebaliknya Disraeli bukanlah sahabat Belanda. Belanda sendiri pada waktu ini mengalami kesusahan uang. Kopi yang belum sampai masih dalam perjalanan sudah dijual murah-murah, sebab Belanda kekurangan uang. Selain daripada itu luas tersiar kabar bahwa Belanda telah banyak sekali tewas di dalam pertempuran. Jumlahnya 7000 orang. Demikian juga jendral-jendralnya, dan sejumlah 27 opsir yang berpangkat tinggi-tinggi mati, dan ada seorang panglima bernama Nono Bixio dan ada pula seorang pangeran Jawa turut tewas. . . . . . 73 Di Lamsie, Aceh Besar, diadakan suatu perundingan rahasia yang bernama Perundingan Lamsie Surat yang dikirimkan oleh Teungku Paja tersebut membuat semangat para laskar Aceh semakin kuat untuk merebut kembali “Aceh Lhee Sagoe” yaitu kabupaten Aceh besar dan Banda Aceh sekarang. 74 , yang diketuai oleh Panglima Polem 75 yang dihadiri oleh Teungku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abeue dan sejumlah ulama dan uleebalang yang belum menyerah kepada kompeni Belanda. Masalah yang dibahas dalam perundingan adalah menggiatkan perang jihad untuk mengusir Belanda. 76 Dalam rapat itu Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abeue menegaskan bahwa tenaga perjuangan masih belum hancur seluruhnya, tetapi yang sudah kurang 73 Muhammad Said, op. cit., hlm. 474-475. 74 Perundingan Lamsie adalah suatu rapat rahasia yang diadakan di daerah Lamsie Aceh Besar, lihat Ismail Jakub, op. cit., hlm. 38. 75 Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud adalah seorang panglima Aceh. Panglima Polem semasa hidupnya berjuang aktif untuk kemerdekaan indonesia. Lihat http:seputaraceh.comread422720100330tma-panglima-polim- kisah-kesetiaan-aceh-pada-republik , akses pukul 10.00 wib, 15 September 2014. 76 Ismuha,op. cit., hlm. 34. Universitas Sumatera Utara 38 yaitu kesucian batin dan kekuatan hati, yang akhirnya beliau menutup nasehatnya dengan kata-kata: Sebelum kita memerangi musuh lahir, perangilah musuh batin dahulu, yaitu hawa nafsu. Harta rakyat yang ada pada kita masing-masing yang telah diambil karena menurut hawa nafsu, serahkanlah kembali dengan segera. Janganlah rakyat itu selalu teraniaya, tegakkanlah keadilan di tengah-tengah kita terlebih dahulu, sebelum kita minta keadilan pada orang lain. Dari itu tobatlah wahai teuku-teuku dahulu sebelum mengajak rakyat memerangi kompeni. Kalau tidak juga dikembalikan harta rakyat yang diambil dengan jalan yang tidak sah, yakinlah rakyat akan membelakangi kita dan kita akan tersapu bersih dari Aceh ini, melebihi dari yang sudah-sudah. Kalau yang saya minta teuku-teuku penuhi, maka saya akan bersama-sama Teuku-teuku kemedan perang. Bila tidak, saya dan murid-murid saya jangan dibawa serta. Dan saya pandang teuku-teuku berperang dengan saudara sendiri.” 77 Teungku Panglima Polem kemudian menguatkan pendapat yang dikemukan oleh Teungku Chik Tanoh Abeue, agar para uleebalang mengembalikan harta rakyat. Kemudian bersama-sama menyerang Belanda yang telah menguasai Kutaraja. Langkah selanjutnya akan diatur dalam musyawarah yang akan datang. 78 77 A. Hasjmy, op. cit., hlm. 40. 78 Ismail Jakub, op. cit., hlm. 40. Perundingan Lamsie yang awalnya menjadi titik tolak untuk membangkitkan semangat para laskar Aceh untuk berjuang kembali, lama kelamaan tidak terdengar lagi. Semangat para laskar Aceh untuk berperang kian berkurang, dibuktikan dengan jarangnya terjadi penyerangan terhadap pos-pos Belanda yang ada di Aceh besar. Amanah yang disampaikan Tengku Chik Tanoh Abeue kepada para uleebalang juga tidak dilaksanakan. Universitas Sumatera Utara 39 Para pejuang banyak yang mengundurkan diri dan bersembunyi di daerah pedalaman di sekitar kaki Gunung Biram, dekat Lamtamot, kira-kira 10 km dari Seulimun. Sementara itu, Sultan Muhammad Daud Syah beserta rombongannya dipindahkan ke Keumala Dalam, Pidie. Kemudian daerah ini dijadikan pusat pemerintah Kerajaan Aceh sementara. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa Kerajaan Aceh masih mempunyai pemerintahan. 79 Daerah Keumala Dalam dengan Tiro letaknya tidak terlalu jauh lebih kurang dua kilometer. Daerah Tiro pada saat itu terkenal dengan ulama yang berkarisma dan disegani di daerah Pidie yaitu “Teungku Syeh Muhammad Amin Dayah Cut”. Maka dikirimlah utusan dari Gunung Biram menuju Tiro untuk meminta bantuan menghadapi kompeni Belanda yang sudah menguasai Aceh Besar. Utusan tersebut bertemu dengan Teungku Syeh Muhammad Amin Dayah Cut dan menyampaikan amanah yang di bawanya dari Gunung Biram. 80 Amanah yang diterima dari utusan Gunung Biram tersebut dimusyawarahkan sebanyak dua kali oleh Teungku Dayah Cut. Hasil musyawarah pertama yaitu mengirimkan bantuan ke Aceh Besar. Kemudian keputusan dalam musyawarah kedua adalah mengangkat seorang pemimpin yang dapat menghidupkan kembali semangat para Laskar Aceh untuk berangkat ke Aceh Besar memimpin “perang sabil” yaitu perang melawan kafir Belanda. Maka diputuskanlah Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman atau yang lebih dikenal dengan gelar Teungku Chik Di Tiro yang 79 Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 72. 80 Ismuha, op. cit., hlm. 37. Universitas Sumatera Utara 40 menjadi Panglima Laskar Aceh untuk berangkat ke medan pertempuran di Aceh Besar. 81 Mulai saat itu Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman menjadi pimpinan perang sabil untuk menghadapi Belanda di Aceh Besar setelah mendapat restu dari pamannya Teungku Chik Dayah Cut dan Sultan Muhammad Daud Syah yang berada di Keumala Dalam. 82 81 Ibid., hlm. 38. 82 A. Hasjmy, op. cit., hlm. 41. Terpilihnya Teungku Chik Di Tiro tidak lepas dari semangatnya untuk berperang guna mengusir Belanda dari Aceh. Beliau diyakini dapat menghidupkan kembali semangat juang para laskar yang telah dilumat ketakutan ketika melihat keganasan Belanda merebut Keraton Aceh. Oleh karena itu Teungku Chik Di Tiro adalah tokoh pemimpin yang pantas untuk menghidupkan kembali semangat perang melawan serdadu Belanda di Aceh Besar. Uraian mengenai peran dari Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman dan keturunanya akan dijelaskan oleh penulis pada bab selanjutnya, agar penulisan ini menjadi sistematis dan menarik untuk dibaca. Universitas Sumatera Utara 41 BAB IV PERAN KELUARGA TIRO DALAM PERANG DI ACEH BESAR

4.1 Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman