1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Secara kultural, teungku adalah panggilangelar kehormatan yang diberikan masyarakat Aceh kepada seseorang yang berpredikat sebagai alim ulamaseorang
ulama. Mereka merupakan tamatan dari dayah.
1
Hal ini dipahami karena sampai sekarang ini dayah untuk kultur Aceh masih dipandang sebagai soko guru pendidikan
agama dan keulamaan. Demikian juga orang-orang yang terlibat dalam lembaga keagamaan desa umumnya adalah lulusan dari dayah.
2
- Pernah belajar di lingkungan dayah dan mempunyai pengetahuan kuat tentang
Agama Islam, Gelar teungku diperoleh seseorang dengan dua syarat:
- Mendapat pengakuan dari masyarakat.
3
Syarat pertama dapat dipenuhi seseorang setelah menempuh pendidikan agama, baik pendidikan formal maupun informal. Syarat kedua, baru dapat dipenuhi
sesudah masyarakat melihat ketaatannya terhadap ajaran Islam serta pengetahuannya
1
Dayah merupakan istilah yang disebutkan oleh masyarakat Aceh yang dikenal di Jawa dan berbagai tempat lainnya sebagai pondok pesantren. Dayah mempunyai fungsi sebagai tempat belajar
berbagai ilmu Agama Islam, membentuk karakter keislaman bagi para santri, tempat para remaja mendapat status terhormat dalam masyarakat dan menjadi sebuah lembaga yang mengingatkan dan
mengarahkan mereka yang telah jauh dari ajaran Islam. Lihat Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003, hlm. 33.
2
Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004, hlm. 1
3
Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah, Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional – LIPI, 1976, hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
2
tentang Islam yang mendalam. Mengetahui tanpa mengamalkan pengetahuan itu, tidak cukup membuat masyarakat mengakui bahwa dia pantas untuk menjadi seorang
ulama. Hal ini disebabkan karena pengakuan sebagai ulama, di iringi dengan penghormatan terhadap yang diakui tersebut.
4
Dalam sejarah Aceh, terdapat hubungan yang kuat antara ulama dan masyarakat. Hal ini terlihat dari kebersamaan mereka berjuang mempertahankan
Aceh. Pada masa itu posisi ulama malah di depan bertindak sebagai pemimpin rakyat.
5
Kejatuhan istana keraton dan dikuasainya Aceh Besar pada agresi Belanda ke II di bawah komando Jendral Van Swieten pada 16 Maret 1874, membuat para
pejuang memutuskan menyingkir ke daerah pedalaman karena dari segi kekuatan baik dari jumlah tentara maupun persenjataan Belanda lebih unggul dibandingkan
pejuang Aceh. Ulama yang dimaksud disini adalah Teungku Chik Di Tiro Muhammad
Saman yang berasal dari Tiro, Pidie.
6
Keberhasilan Van Swieten merebut Keraton Aceh dipelajarinya dari kegagalan Agresi Pertama yang di pimpin oleh Jendral J.H.R Kohler sebagai
pemegang pimpinan militer dan Niuwhuyzen sebagai pimpinan sipil. Maka Van Swieten mendapat mandat memangku dua jabatan tersebut sekaligus yaitu sebagai
pimpinan militer dan sipil. Srategi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda
4
Ismuha, loc. cit.
5
Ismail Jakub, Teungku Tjhik Di-Tiro Muhammad Saman: Pahlawan Besar Dalam Perang Atjeh 1881-1891, Jakarta: N.V Bulan Bintang, 1952, hlm. 35.
6
Ibid., hlm. 36.
Universitas Sumatera Utara
3
pada Agresi ke II tersebut sukses merebut Aceh Besar yang kemudian diganti namanya menjadi ”Kutaraja”.
7
Perlawanan rakyat Aceh untuk dapat merebut kembali Aceh Besar khususnya tidak pernah berhenti, mereka mempunyai modal kekuatan yaitu keikutsertaan semua
lapisan masyarakat, para Tuanku keluarga Sultan uleebalang, ulama, rakyat, sehingga perang ini dapat dikatakan perang rakyat semesta volks oorlog.
8
Peperangan di Aceh juga merupakan perang terlama dalam sejarah pendudukan Belanda di Nusantara.
9
Untuk tetap meneruskan perjuangan para pejuang Aceh yang ingin tetap melakukan perlawanan berkumpul di gunung Biram dekat Lamtamot, kira-kira 10 km
dari Seulimun untuk mengadakan pertemuan. Pertemuan ini dimaksudkan untuk membahas langkah-langkah lebih lanjut dalam menghadapi situasi saat itu. Hasil dari
pertemuan itu memutuskan untuk mencari bantuan ke luar Aceh Besar.
10
Bantuan tersebut harus berasal dari ulama karena ulamalah yang mempunyai pengaruh besar dalam menghadapi kondisi yang sulit seperti itu. Mereka kemudian
mengirimkan beberapa utusan ke daerah Tiro Pidie. Pemilihan daerah tersebut disamping karena memiliki tokoh ulama, juga merupakan daerah yang terdekat dan
lebih mudah dihubungi. Salah satu ulama yang terkenal di Tiro saat itu adalah
7
Paul Van’t Veer, Perang Aceh, Jakarta: Graviti Pers, 1985, hlm. 69.
8
Uleebalang adalah golongan yang memerintah negeri. Mereka merupakan kepala wilayah. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 99.
9
Muhammad Ibrahim, dkk., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991, hlm. 119.
10
Ismuha, op. cit., hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
4
Teungku Chik Dayah Cut Muhammad Amin, beliau adalah tokoh yang sangat dihormati dan disegani masyarakat Tiro karena memiliki pengetahuan yang luas
dalam agama Islam dan merupakan pimpinan pesantren di Tiro. Faktor lain karena daerah Tiro belum dikuasai Belanda, kecuali daerah Sigli saja.
11
“Saya bersedia pergi memimpin perang ke Aceh Besar, bila hadirin sekalian menaruh kepercayaan dan bersedia membantu dari belakang. Benar kesulitan
demikian memuncak, tetapi semangat keimanan dan contoh yang diperlihatkan Untuk menghindari dari mata-mata musuh, utusan dari gunung Biram
berangkat menuju Tiro melalui bukit barisan dipinggir Gunung Seulawah. Ulama yang dijumpai pada saat itu adalah Teungku Chik Dayah Cut. Kepada beliaulah
utusan gunung Biram menyampaikan amanah yang dibawa langsung dari Aceh Besar. Selanjutnya, Teungku Chik Dayah Cut mengundang orang-orang terkemuka di
sekitar Tiro untuk melakukan rapat di Dayah Krueng Tiro. Dalam rapat pertama, utusan Gunung Biram menjelaskan suasana Aceh Besar pada waktu itu. Kemudian
Teungku Chik Dayah Cut memberikan komentar seperlunya. Rapat kedua diadakan di Dayah Lampoh raya Tiro untuk menentukan sikap dan bantuan yang dapat
diberikan kepada pejuang yang masih ada di Aceh Besar. Rapat kedua ini juga untuk menentukan siapa pemimpin yang akan diutus ke Aceh Besar, guna membantu
perjuangan menghadapi Belanda di Aceh Besar. Dalam rapat kedua Teungku Chik Dayah Cut berbicara dengan keponakannya
yang baru pulang dari Mekkah yaitu Teungku Haji Syekh Muhammad Saman. Kemudian Syekh Muhammad Saman maju kedepan untuk berpidato yang isinya :
11
Hasbi Amiruddin, 2004, op. cit., hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
5
Junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W., beliau tegak seorang diri mengemukakan kebenaran di tengah-tengah tanah Arab, mendorong kita untuk
maju kemuka dan tidak berputus asa. Sekiranya dibiarkan terus musuh leluasa menjalankan usahanya menaklukan negeri kita dari satu daerah ke satu daerah,
niscaya pada suatu masa kelak, kita akan terusir ke gunung-gunung ataupun musnah dari permukaan bumi. Seluruh daerah sudah habis diambil musuh, hanya
tinggal lagi sekeping tanah ditempat kita ini. Bila ini pun kita lepaskan, maka lenyaplah seluruh negeri kita ditelan musuh. Dari itu saya bersedia menerima
seruan utusan Gunung Biram dengan segala senang hati.”
12
Semua yang hadir dalam rapat itu menyambut hangat dan dengan suara bulat menyetujui beliau menjadi Panglima Perang.
13
Tidak ada satu keluarga Aceh pun pada waktu itu, yang mempunyai peran besar dalam Perang Aceh, selain keluarga Teungku di Tiro, dan tidak ada satu pun
keluarga Aceh lainnya, yang meneruskan perjuangan sampai titik darah penghabisan, selain keluarga tersebut. Teungku Chik Di Tiro-lah tokoh yang paling besar perannya
Semenjak itu Teungku Haji Syekh Muhammad Saman yang lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Di Tiro memegang pimpinan perjuangan melawan
Belanda di Aceh. Beliau dengan keberanian tampil ke depan sebagai pimpinan peperangan yang sudah terbengkalai. Maka dimulailah pembinaan lasykar-lasykar
muslimin, bermodalkan semangat jihad. Perjalanan Teungku Chik Di Tiro dimulai dari Tiro kabupaten Pidie, menuju ke medan peperangan di Aceh Besar, dengan
mendapat bantuan dari segenap golongan rakyat, baik berupa alat-alat perang, bekal makanan, materi, maupun tenaga sukarela. Mereka bergabung menjadi lasykar
muslimin yang dibentuk mencapai jumlah puluhan ribu.
12
Ismuha, op. cit.,hlm. 38.
13
Ibid., hlm. 34-35.
Universitas Sumatera Utara
6
untuk mengatur srategi mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Dialah yang berhasil menghimpun angkatan perang dengan jumlah yang besar pada masanya.
14
Melihat sepak terjang Teungku Chik Di Tiro yang sangat berpengaruh besar bagi perjuangan di Aceh, Belanda mulai mengatur siasat untuk melenyapkannya.
Menurut Belanda, bila Teungku Chik Di Tiro tidak ada lagi, maka perlawanan akan berakhir dan Aceh akan menyerah. Dengan bantuan seorang perempuan bernama
Nyak Ubit, Teungku Chik Di Tiro berhasil dibunuh. Pembunuhan terhadap Teungku Chik Di Tiro dilakukan oleh Nyak Ubit dengan cara membubuhi racun pada
makanannya pada saat Teungku Chik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seulimeng Aceh Besar bagian sagi XXII. Racun itu dimasukkan kedalam daging burung
berkik. Tiga hari kemudian beliau meninggal dunia dengan meninggalkan pesan pada panglima-panglima dan kaum keluarganya. Pesan beliau adalah, sekiranya dipanggil
Allah SWT, hendaklah peperangan diteruskan. Siapapun kelak yang
menggantikannya, hendaklah dipilih bersama-sama. Beliau meninggal di benteng Aneuk Galong Aceh Besar pada malam selasa tanggal 10 djumadil akhir tahun 1308
hijriah bertepatan dengan bulan 28 Januari tahun 1891, dalam usia 55 tahun.
15
Wafatnya Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman tidak menyebabkan perjuangan rakyat Aceh melemah. Perjuangan tetap dilanjutkan silih berganti oleh
keturunannya. Dimulai dari Tengku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin, anak tertua dari Tungku Chik Di
14
H.C. Zentgraaff, Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1983, hlm. 16.
15
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 141-143.
Universitas Sumatera Utara
7
Tiro Muhammad Saman. Dari tahun 1891 sampai tahun 1896, Teungku Muhammad Amin meneruskan program yang telah digariskan oleh ayahnya untuk mengusir
Belanda. Lima tahun kemudian tepatnya tanggal 28 Juli 1896, Teungku Chik Muhammad Amin tewas setelah Belanda menyerang benteng Aneuk Galong Aceh
Besar.
16
Perjuangan selanjutnya secara bergantian dipimpin oleh Tengku Chik Di Tiro Mahyiddin, dan Teungku Chik Di Buket Tiro, sampai tahun 1911.
Besarnya peran Teungku-teungku Di Tiro dalam perjuangan melawan Belanda di Aceh Besar, tentu sangat penting untuk dituliskan. Selama ini orang hanya
mengenal Teungku Chik Di Tiro saja, sedangkan peran keluarga dari Teungku Chik Di Tiro tidak banyak yang mengetahui. Mereka berperan besar dalam menentang
kekuasaan Belanda di Aceh Besar. Skop waktu penelitian ini di awali tahun 1874 karena tahun tersebut merupakan awal dari kejatuhan Keraton Aceh ke tangan
Belanda. Adapun tahun 1911 sebagai batasan akhir dari penelitian ini karena pada tahun tersebut berakhirnya perjuangan ulama dari Tiro.
16
Ibid., hlm. 148.
Universitas Sumatera Utara
8
1.2 Rumusan Masalah