Kesimpulan Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911

57 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perjuangan keluarga ulama tiro dalam perang di Aceh Besar untuk menentang penjajahan Belanda di mulai ketika Istana Keraton Aceh jatuh ketangan Belanda. Perjuangan tersebut dipelopori oleh salah satu tokoh ulama termuka di Pidie yaitu Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman. Setelah Aceh Besar jatuh ke tangan Belanda, para pejuang Aceh terpaksa mundur ke Gunung Biram kaki Gunung Seulawah untuk menyelamatkan diri dari gempuran para serdadu Belanda. Hal ini membuktikan bahwa semangat dan persatuan dibarisan laskar Aceh mulai luntur. Munculnya kader ulama Tiro 1881 erat hubungannya dengan keadaan pejuang Aceh saat itu yang kehilangan semangat juangnya. Setelah mendapat restu dari Teungku Chik Dayah Cut, berangkatlah Teungku Chik Di Tiro ke Gunung Biram bersama dengan pengikutnya untuk menemui para pejuang yang berdiam di kawasan ini. Beliau menanamkan ideologi perang sabil untuk membangkitkan kembali semangat para laskar Aceh agar kembali mengangkat senjata melawan Belanda yang telah menduduki Aceh Besar. Teungku Chik Di Tiro menanamkan kebencian yang begitu besar terhadap Belanda. Karena posisi mereka semakin kokoh dan menghasilkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat Aceh di masa itu. Semasa di Mekkah, beliau bergaul dengan beberapa jamaah haji dari daerah lain di Nusantara seperti Sumatera, Jawa, Universitas Sumatera Utara 58 Kalimantan dan lain-lain. Dari merekalah Syeh Saman mendapatkan informasi bahwa bertahun-tahun mereka juga berperang melawan Belanda untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Seruan Perang Sabil yang dikumandangkan oleh Tgk Chik Di Tiro mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, baik kaum ulama maupun panglima. Dengan adanya bantuan tersebut, Tgk Chik Di Tiro semakin kuat dan siap menghadapi Belanda. Hasil usaha menghimpun kekuatan pejuang tidak lah sia-sia. Teungku Chik Di Tiro berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 6000 orang pasukan. Suatu hal penting yang harus di ingat, sejak Teungku Chik Di Tiro maju sebagai pimpinan perang sabil, para laskar Aceh kembali menemukan kepercayaan diri untuk menghadapi Belanda di medan perang. Satu persatu benteng Belanda di taklukan, seperti benteng Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Berbagai usaha dilakukan Belanda untuk melenyapkan kekuasaan keluarga Teungku Chik Di Tiro. Selain lewat peperangan juga melalui imbalan bagi siapa saja yang dapat menangkap Teungku Chik Di Tiro hidup atau mati. Siasat Belanda tersebut akhirnya berhasil. Teungku Chik Di Tiro meninggal dunia pada tanggal 25 Januari 1891 setelah menyantap makanan yang telah di bubuhi racun kedalamnya. Setelah meninggalnya Teungku Chik Di Tiro, pemimpin perang di ambil alih oleh anak tertua beliau yaitu Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin. Langkah pertama yang dilakukannya adalah memindahkan pusat pertahanan dari Mereu Indrapuri ke Benteng Aneuk Galong Aceh Besar. Beliau juga melanjutkan perjuangan yang telah digariskan ayahnya untuk mengusir Belanda dari bumi Aceh. Universitas Sumatera Utara 59 Pada tahun 1896, pasukan Belanda menyerang Benteng Aneuk Galong. Pertempuran ini di menangkan oleh Belanda dan Teungku Chik Muhammad Amin menjadi korban dari serangan Belanda tersebut. Dengan jatuhnya Benteng Aneuk Galong, menyebabkan para laskar terpaksa mundur ke daerah pedalam Pidie. Pimpinan angkatan perang yang telah kosong segera di isi oleh Teungku Mahyiddin dan Teungku di Buket. Mereka mendirikan pusat pertahanan di sekitar Gunung Halimon, Tangse Pidie. Perjuangan anak-anak dari Teungku Chik Di Tiro terus berlanjut, walaupun kenyataannya posisi mereka terus terdesak oleh siasat Belanda yang ingin menghancurkan seluruh keluarga ulama Tiro tersebut. Teungku Di Buket dan Teungku Mahyiddin tidak mengenal damai dengan kompeni Belanda. Teungku Di Buket meninggal dalam sebuah penyerbuan tanggal 21 Mei 1910. Tidak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 5 September 1910 Teungku Chik Mahyiddin juga tewas dalam menghadapi pasukan Belanda. Keberanian keluarga ulama Tiro dalam menentang penjajahan di Aceh besar sangat merepotkan kekuasan Belanda. Zentgraaff menyebutkan “tidak ada satu keluarga Aceh pun pada waktu itu yang begitu besar pengaruhnya dalam Perang Aceh, selain keluarga ulama Tiro. Dan tidak pula ada satu keluarga Aceh lainnya, yang meneruskan perjuangan sampai kepada titik darah penghabisan, selain keluarga tersebut”. Universitas Sumatera Utara 60

5.2 Saran