Kedudukan Teungku Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911

19 menjadi tempat bagi para santri yang datang dari segala penjuru Aceh untuk belajar ilmu Agama Islam. Selain dari dayah yang dipimpin oleh Teungku Chik Dayah Cut di daerah Tiro, di Pidie juga terdapat beberapa pusat pendidikan agama Islam seperti di Langga, Langgo, Sriweue, Simpang, Ie Leubeue Ayer Labu. Namun daerah Tiro mempunyai daya tarik sendiri bagi para santri yang ingin menuntut ilmu kesana. Hal ini disebabkan kepintaran Teungku Chik Dayah Cut dalam bidang agama Islam yang sudah sangat dikenal di hampir daerah diseluruh Aceh. 34 Wilayah Tiro tampil terhormat dikarenakan kehadiran kader-kader ulama dan terdapatnya makam keramat tokoh-tokoh pendahulunya. Tidak ada orang yang berani membawa senjata di kawasan ini, walaupun pada masa perang sekalipun. Hukum dan landasan agama mejadi landasan yang kuat di daerah Tiro. Hasilnya masyarakat yang dibesarkan di daerah Tiro merasa sudah ditakdirkan untuk mendalami hukum agama yang mulia sehingga Tiro terkenal sebagai daerah yang kuat dalam penegakan syariah dan hukum-hukum agama Islam. 35 Status atau gelar teungku di Aceh terkait erat dengan kualitas kewibawaan personal serta pengetahuan tentang Agama Islam yang kuat bukan berdasarkan genealogis keturunan. Seseorang yang dinyatakan mempunyai kemampuan yang

2.3 Kedudukan Teungku

34 Snouck Hurgronje, op. cit., hlm. 28. 35 Ibid., hlm. 29. Universitas Sumatera Utara 20 baik dan layak menyandang status teungku akan nampak dari keseharian dan tingkah lakunya. Hal itu terlihat dari kemampuannya memimpin acara keagamaan dan menjadi panutan masyarakat dalam penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan. Kemudian layak atau tidaknya seseorang digelar teungku juga dilihat dari ketaatannya dalam aktivitas sehari-hari. 36 Pada periode Kerajaan Aceh Darussalam peranan teungku sangat dominan. Dengan kualitas intelektualnya, mereka tidak hanya mampu mempengaruhi struktur Hubungan kekuasaan teungku dengan masyarakat Aceh tidak dibangun berdasarkan kekayaan ekonominya tetapi semata-mata berdasarkan ilmu, spiritual dan ikatan ideologis keagamaannya dengan masyarakat. Di aceh, sawah dan kebun bukan sesuatu yang langka di miliki masyarakat. Hal ini menyebabkan mereka tidak bergantung pada sumber ekonomi teungku dayah bahkan sebaliknya teungku dayahlah yang bergantung secara ekonomi pada masyarakat melalui bantuan-bantuan agama seperti shadaqah, infaq, nadzar, dan jakeut zakat. Di daerah Tiro bahkan seluruh Aceh pada masa kesultanan, gelar teungku dayah dapat dikatakan sebagai seorang ulama. Keputusan dan tindakan mereka yang sangat dihormati masyarakat dan di anggap sebagai sebuah fatwa yang harus dilaksanakan. Masyarakat memandang para teungku ulama sebagai umat yang di istimewakan Tuhan dan merupakan pewaris nabi. Sakralitas teungku dayah yang disokong oleh pengetahuan agama dan kekuatan spiritualnya melahirkan kepercayaan bahwa mereka merupakan tokoh yang suci dan keramat karamah. 36 Nirzalin, op. cit., hlm. 14. Universitas Sumatera Utara 21 pemerintahan namun dapat mengendalikannya. Hal ini ditunjukkan pada posisi struktural mereka sebagai Qadhi Malikon Ade Ketua Mahkamah Agung dan diplomat yang handal dalam urusan-urusan internasional. Oleh karena itu, tidak mengherankan konsep agama dan politik yang menjadi kebijakan kerajaan banyak lahir dari mereka. 37 Eksistensi para teungku yang sangat besar di Aceh menyebabkan Perang Aceh melawan Belanda di bawah agensi teungku. Mereka mengubah pandangan masyarakat dari perang mempertahankan negara menjadi perang mempertahankan negara dan agama Islam sekaligus. Keberhasilan para teungku melakukan transformasi perang ini sebagai perang agama atau jihad fi sabilillah perang di jalan Allah menyebabkan mereka dan para pengikutnya tidak lagi memaknai Belanda sebagai musuh negara tetapi sebagai musuh agama atau kafir. 38 37 Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 91. 38 Nirzalin, op. cit., hlm. 19. Menurut para teungku, kematian dalam arena perang bukanlah sesuatu yang harus ditakuti tetapi kematian merupakan awal dari kebahagian karena diyakini masuk surga sebagai seorang syuhada syahid. Kegigihan, fanatisme dan tindakan yang mengidelogi dibawah kendali teungku menyebabkan perang Aceh-Belanda ini berlangsung lebih dari 30 tahun. Belanda juga mengakui Perang Aceh merupakan perang terlama di nusantara yang menghabiskan banyak biaya. Suatu perlawanan yang tidak terjadi di wilayah nusantara lainnya. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah