54
yang tewas jatuh ke pihak kita serta dua orang yang masih hidup, yakni anak lelaki usia 5 serta 6 tahun yang luka ringan.”
114
Akibat serangan yang dilancarkan pasukan Belanda tersebut, Teungku Mat Amin tewas dalam mempertahankan Benteng Aneuk Galong. Jasadnya kemudian di
kebumikan dekat makam ayahnya di Mereu, dekat Indrapuri Aceh Besar.
115
4.3 Teungku Chik Di Buket Di Tiro
Teungku Chik Di Buket Di Tiro atau yang sering disebut Teungku di Buket bernama lengkap Teungku Muhammad Ali Zainal Abidin. Ia adalah satu-satunya
putra Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman dengan isteri kedua Cut Nyak Aceh.
116
Teungku di Buket juga dikenal dengan prinsip pantang menyerah kepada Belanda walaupun semakin lama kekuatan dan semangat juang dari para laskar Aceh
terus menyusut. Beliau tetap menjaga wasiat yang telah diamanahkan oleh ayahnya sebelum wafat yaitu tetap melanjutkan perang menghadapi kafir Belanda. Dibawah
komando beliau para pejuang tetap melakukan perlawan dengan berbagai cara, diantaranya menyerang pos-pos Belanda dan melakukan taktik bergerilya.
117
Sepak terjang beliau akhirnya terhenti ketika penyerbuan tiba-tiba dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 21 Mei 1910. Dibawah pimpinan Komando Sersan
Mollier, Belanda melancarkan serangan terhadap barisan pejuang Teungku Di Buket
114
Ibid., hlm. 32.
115
Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 160.
116
Zentgraaff, op. cit., hlm. 52.
117
Zakaria Ahmad, op. cit., hlm. 82.
Universitas Sumatera Utara
55
yang berakhir dengan tewasnya 12 Laskar Aceh, diantaranya Teungku Di Buket sendiri. Jasad Teungku Di Buket sendiri kemudian dibawa ke Gunung Halimon dan
dikebumikan di daerah tersebut.
118
4.4 Teungku Chik Di Tiro Mahyiddin
Dengan tewasnya Teungku Chik Di Buket Di Tiro akibat serbuan serdadu Belanda, maka pimpinan Angkatan Perang Sabil dipegang oleh Teungku Chik Di
Tiro Mahyiddin. Beliau sendiri adalah anak ketiga dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman.
Teungku Mahyiddin mulai terjun ke medan perang semasa ayahnya masih menjadi panglima perang. Pada tahun 1881 Beliau pernah menyerang pos-pos
Belanda di sekitar Indrapuri, Aceh Besar. Semenjak itu Teungku Mahyiddin mulai aktif mempertahankan Benteng Lamkrak yang merupakan benteng terbesar kedua
setelah Benteng Aneuk Galong. Pasca jatuhnya Benteng Aneuk Galong ke tangan Belanda, Benteng Lamkrak kemudian dijadikan markas besar bagi Laskar Aceh untuk
bertahan dan menyusun srategi.
119
Pasukan Belanda terus memusatkan perhatian untuk melemahkan posisi Ulama Tiro yang terus silih berganti. Belanda memusatkan kekuatan untuk
menyerang laskar Aceh di bawah komando Van Heutsz, tujuannya adalah Benteng Lamkrak. Penyerangan yang dilakukan Belanda secara besar-besaran membuat
118
Zentgraaff, op. cit., hlm. 57.
119
Ismail Sunny, op. cit., hlm. 309.
Universitas Sumatera Utara
56
Teungku Mahyiddin harus menyingkir dan meninggalkan Benteng Lamkrak menuju Mereu. Dari sinilah dapat kita pahami bahwa kekuatan dari laskar Aceh
sepeninggalnya Teungku Chik Di Tiro Muhammmad Saman semakin melemah.
120
Akibat serangan yang terus menerus dilancarkan oleh Belanda, Benteng Mereu akhirnya jatuh ketangan Belanda. Benteng tersebut menjadi basis pertahanan
terakhir para laskar Aceh dibawah kepemimpinan Teungku Chik Mahyiddin di wilayah Aceh Besar. Dengan jatuhnya benteng-benteng tersebut ketangan Belanda
akhirnya Teungku Mahyiddin mundur bersama sebagian besar pasukannya ke Cot Kan, Tiro Pidie. Mereka kemudian melakukan perang gerilya untuk menyerang
barisan pasukan Belanda yang sedang memburu rombongan mereka.
121
Setelah mengumpulkan informasi tentang keberadaan Teungku Chik Mahyiddin, akhirnya pada tanggal 5 September 1910 Belanda mengetahui lokasi
keberadaan Teungku Chik Mahyiddin. Belanda menyusun siasat untuk mengepung lokasi tersebut. Dibawah pimpinan Letnan Schmidt mereka menyerang lokasi yang
diyakini ditempati oleh Teungku Mahyiddin. Pertempuran yang tidak berimbang tersebut dimenangkan oleh Belanda dan turut gugur didalamnya adalah Teungku
Chik Mahyiddin dan kemudian dikebumikan di Pulo Mesjid Tangse, Pidie.
122
120
Zentgraaff, op. cit., hlm. 57.
121
A. Wahab Umar Tiro, Peranan Teungku-teungku Di Tiro Dalam Perang Atjeh. Dalam Rangka Menyambut Pekan Kebudayaan Aceh II, 1972, hlm. 30.
122
Zentgraaff, op. cit., hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan