41
BAB IV PERAN KELUARGA TIRO DALAM PERANG DI ACEH BESAR
4.1 Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman
Muhammad Saman atau yang lebih terkenal dengan “Teungku Chik Di Tiro” adalah anak dari Teungku Syeh Abdullah dari desa Garot, Sigli Aceh Pidie. Ibunya
bernama Siti Aisyah, yang lahir pada tahun 1251 H ± tahun 1836 Masehi di Dayah Krueng Cumbok lamlo, yang terkenal sekarang dengan Kota Bakti. Teungku Di Tiro
semasa kecil hidup dalam lingkup kaum agama yang kuat, karena dia bergaul dengan murid-murid ayahnya yang mengajar ilmu agama Islam di Garot. Dia juga belajar Al
Qur’an dan ilmu agama dalam Bahasa Djawi pada ibunya dan belajar tulisan Arab pada ayahnya. Memasuki usia 15 tahun Muhammad Saman sudah mempunyai ilmu-
ilmu agama yang berguna, seperti tasawwuf, sejarah, mantiq,
83
83
Ilmu mantiq atau logika adalah ilmu yang menelaah tata pikiran yang dituturkan dalam bahasa. Lihat
ilmu bumi dan ilmu lain yang biasa dipelajari pada masanya. Dengan kemampuan yang ia miliki, maka
http:www.wapklis.web.id201105pengertian-ilmu-mantiq-logika.html?m=1 . Akses
pukul 12.00 wib, 22 September 2014.
Universitas Sumatera Utara
42
beliau menjadi tenaga pengajar bersama pamannya Teungku Chik Dayah Cut di Pesantren Tiro.
84
Sebelum menjadi Panglima Perang, Teungku Chik Muhammad Saman memimpin Dayah Cot Murong dan mengajar di Dayah Cut, Tiro. Ilmu pengetahuan
yang dipelajarinya setelah berangkat menunaikan ibadah haji diajarkan kepada para santri. Beliau juga menamkan semangat jihad kepada setiap santrinya. Teungku Chik
Di Tiro juga berusaha mengajak santri dan masyarakat kepada persatuan dan kesatuan untuk berperang mengusir Belanda.
85
Setelah mendapat mandat dari pamannya Teungku Chik Dayah Cut dan Sultan Muhammad Daud Syah yang berkedudukan di Keumala Dalam menjadi
panglima perang sabil, Teungku Muhammad Saman mulai menyusun srategi dan mencoba menghimpun kembali barisan para laskar yang tersebar dan bersembunyi di
pegunungan, seperti Gunung Biram yang berada di kaki Gunung Seulawah. Beliau juga memanggil beberapa teman baiknya seperti Pang Asyek, Teungku Muhammad
Saleh Lampoh Raya dan Panglima Itam untuk bersama-sama berangkat ke Aceh Besar.
86
Cara lain yang ditempuh oleh Teungku Chik Di Tiro adalah mengadakan khotbah-khotbah dan kenduri yang bertujuan untuk menyebarluaskan ideologi perang
sabil dan menyadarkan rakyat untuk berperang melawan Belanda. Acara tersebut juga Semangat juang yang telah hilang dari para Laskar Aceh mulai dihidupkan
kembali oleh Teungku Chik Di Tiro.
84
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 52.
85
Ibid., hlm. 56.
86
Ibid., hlm. 62.
Universitas Sumatera Utara
43
dimaksudkan sebagai media informasi bagi orang-orang yang hadir dalam acara tersebut. Untuk menyadarkan para pemimpin seperti keuchik dan uleebalang yang
telah mengakui kedaulatan Belanda, Muhammad Saman mengirimkan surat kepada mereka yang intinya meminta dukungan dan beralih membela negeri sendiri daripada
memihak Belanda. Surat-surat tersebut dikirim melalui perantara seperti Habib Lamayong dan Habib Samalanga dibantu oleh pemimpin-pemimpin agama seperti
Tengku Polem di Nyong, Teungku Awe Geutah Peusangan, Tengku Di Blang Bagoh dan lain-lain.
87
Dalam perjalanan dari Tiro ke Aceh Besar pada awal tahun 1880, di berbagai tempat sepanjang jalan, Teungku Haji Muhammad Saman mengadakan pertemuan-
pertemuan dengan para ulama dan pemimpin rakyat, seperti di Garut Pidie, Padang tiji Pidie, Gunung Biram Aceh Besar, Tanoh Abeue Aceh Besar, Je Alang Aceh
Besar, Lamsie Aceh Besar. Para ulama dan pemimpin rakyat yang dijumpainya, termasuk Teungku Panglima Polem dan Teungku Chik Tanoh Abeue, yang berjanji
akan membantu usaha perang Teungku Chik di Tiro.
88
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dari Tiro menuju ke Aceh Besar, akhirnya Teungku Chik di Tiro membina markas besarnya di Mereu dekat Indrapuri
Tujuan pertemuan tersebut adalah agar para pemimpin rakyat yang masih aktif memberi dukungan terhadap
angkatan perang sabil yang dipimpin oleh Teungku Chik Di Tiro yang akan menuju ke medan perang.
87
Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 153.
88
A, Hasjmy, op. cit., hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
44
Aceh Besar dengan jumlah laskarnya lebih kurang 6000 orang. Kehadiran Teungku Chik Di Tiro di Aceh Besar sebenarnya diketahui oleh tentara Hindia Belanda, namun
Belanda menganggap penyerangan yang akan dilakukan akan mudah dipatahkan seperti sebelumnya. Dari Benteng inilah Teungku Chik Di Tiro mulai mengirim
utusan ke segala penjuru Aceh untuk menjumpai para ulama dan pemimpin rakyat, sehingga dalam waktu tiga bulan saja keadaan di seluruh Aceh, terutama di Aceh
Besar, telah terbakar oleh panasnya ”semangat jihad”.
89
Teungku Chik di Tiro juga kedatangan seorang tamu yaitu Teungku Haji Muhammad Pante Kulu
90
yang baru saja pulang dari Mekkah, yang dikirim oleh pamannya Teungku Chik Dayah Cut.
Teungku Haji Muhammad Pante Kulu, yang lebih terkenal dengan nama Teungku Chik Pante Kulu mempersembahkan kepada
Teungku Chik di Tiro sebagai Panglima Perang Angkatan Sabil, sebuah karya sastra yang bernama “Hikayat Prang Sabi”.
91
Hikayat tersebut berisi dua hal pokok yaitu, seruan dan ajakan ke medan “perang sabil” dan peringatan akan kejahatan kafir
dengan tipu dayanya.
92
Pada bulan April tahun 1881, Belanda melakukan serah terima jabatan panglimanya di Aceh, dari Van Der Heyden kepada Pruys Van Der Hooven. Kegiatan
89
Ibid., hlm. 41.
90
Teungku Chik Pante Kulu bernama lengkap Teuku Chik Haji Muhammad Pante Kulu adalah pengarang karya sastra yang bernama Hikayat Prang Sabi yang berisi anjuran melawan kair Belanda.
Lihat Ismuha, op. cit., hlm. 40.
91
Hikayat Prang Sabi HPS adalah sebuah karya sastra yang disusun dalam Bahasa Aceh bersajak yang berisi anjuran melawan kafir yang disebut Perang Fi sabilillah yaitu Perang di jalan
Allah. Lihat Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 108.
92
Imran Teuku Abdullah, “Hikayat Prang Sabi Satu Bentuk Karya Sastra Perlawan”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada,
2008, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
45
patroli yang pernah dijalankan oleh Heyden dihentikan oleh Jendral Pruys. Kebijakan yang dilaksanakan Pruys menyebabkan lemahnya pertahanan Belanda sehingga
laskar Aceh dapat memasuki wilayah Aceh Besar. Mereka juga dapat memasukkan apa yang mereka butuhkan melalui Pantai Ulee Lheue, seperti persenjataan dan
perbekalan.
93
Setelah mendapat restu dari Teungku Chik Dayah Cut, Muhammad Saman mulai melakukan serangan pertama pada bulan Mei 1881 yaitu menyerang Benteng
Indrapuri yang dipimpin oleh Pang Lamreh. Benteng tersebut dapat direbut oleh Laskar Aceh. Belanda yang kalah akhirnya melarikan diri ke Benteng Gleue Kameng
dan Krueng Jreue, Aceh Besar. Penyerangan kembali dilakukan pada akhir tahun 1881 yaitu ketika menyerang Samahani, Aceh Besar dan Belanda kembali mengalami
kekalahan dalam menghadapi serangan dari laskar aceh tersebut.
94
Akibat kekalahan yang dialami oleh Belanda ketika penyerangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh dibawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro maka
bangkitlah semangat juang para laskar dan meningkatnya kepercayaan terhadap Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman. Perlu kita pahami pada dasarnya Teungku
Chik Di Tiro bukanlah berasal dari kalangan pejuang aktif berjuang menghadapi agresi Belanda pertama dan kedua. Beliau dari kalangan ulama dan aktif mengajar di
dayah bersama pamannya di Tiro, Pidie. Jadi tidak mengherankan pada awal munculnya Teungku Chik Di Tiro sebagai Pimpinan Prang Sabi timbul keraguan
93
Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 75.
94
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 88.
Universitas Sumatera Utara
46
dikalangan para pejuang. Namun keraguan tersebut dijawab dengan ideologi
semangat jihad fi sabilillah yaitu berperang dijalan Allah melawan kafir Belanda.
Pada tanggal 12 Juni 1882 Teungku Chik Di Tiro memerintahkan untuk membagi laskarnya menjadi tiga pasukan. Pembagian laskar ini bermaksud untuk
menyerang tiga Benteng Belanda sekaligus yaitu Benteng Ulee Lheu, Lhok Nga, dan Lam Tong Aceh Besar. Namun siasat Teungku Chik diketahui oleh Belanda sehingga
penyerangan yang direncanakan tersebut dapat dipatahkan oleh tentara Hindia Belanda. Para laskar yang gagal untuk menyerang benteng-benteng Belanda tersebut
mundur dan menyusun srategi lain agar serangan selanjutnya dapat berjalan dengan baik.
95
Teungku Chik Di Tiro mempunyai rencana untuk merebut kembali Aceh Besar terutama Keraton Aceh yang telah dikuasai Belanda selambat-lambatnya akhir
tahun 1883. Oleh karena itu, beliau menggerakkan pasukannya secara besar-besaran untuk menyerang benteng-benteng Belanda dalam waktu yang bersamaan.
Penyerangan tersebut terjadi di beberapa lokasi seperti Benteng Aneuk Galong, Cot Bak Seutui, Kedeu Bieng dan Mata Ie. Akibat dari serangan yang terus menerus
kedudukan Belanda kian lama semakin terdesak.
96
Pemeritah Hindia Belanda menganggap kepemimpinan dari Jendral Pruys Van Der Hoven sangatlah lemah. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya intensitas
serangan yang dipimpin oleh seorang ulama yang berasal dari Tiro. Langkah yang
95
Kamajaya, Lima Putra-putri Aceh Pahlawan Nasional. Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984, hlm. 11.
96
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 98.
Universitas Sumatera Utara
47
diambil oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia yaitu menggantikan Jendral Pruys dengan P.F Langing Tobias. Tobias berpendapat meskipun peperangan terjadi di
sana-sini namun perlawanan oleh laskar aceh secara umum tidak ada lagi.
97
Pada bulan Juli 1884, kekuasaan Teungku Chik Di Tiro yang mempimpin para laskar membuat kekuatan Belanda semakin lemah. Namun hal yang dicapai
beliau sampai Juli 1884 dinodai oleh hasutan para uleebalang kepada Sultan Aceh Muhammad Daud Syah yang mengatakan Aceh akan menjadi negeri Teungku Chik
Di Tiro. Fitnah tersebut mempengaruhi sultan dan pada bulan Agustus 1884 sultan mengeluarkan maklumat yang berisi bahwa bagindalah Raja Aceh yang sah dan
berkuasa di seluruh Aceh. Ketika maklumat Sultan Muhammad sampai kepada Teungku Chik Di Tiro, beliau memberi pandangannya bahwa tidak ada orang yang
ingin menjadi raja sekarang di Aceh. Beliau hanya bertindak sebagai Panglima Laskar Aceh yang bertujuan untuk mengusir belanda.
Aggapan tersebut jelas tidak berdasarkan fakta tentang seranga-serangan yang dilakukan
serentak oleh Laskar Aceh dibawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro.
98
F. Langing Tobias mempunyai rencana untuk berdamai dengan Aceh dan mengembalikan kesultanan Aceh karena posisi Belanda yang semakin sulit ketika itu.
Gagasan Langing Tobias ditolak oleh menteri jajahan Belanda, Weitzel, karena gagasan itu dianggap tidak ada gunanya. Belanda tidak akan setuju jika
kedaulatannya tidak diakui, sebaliknya Aceh juga tidak akan setuju untuk mengakui
97
Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 76.
98
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 103.
Universitas Sumatera Utara
48
kedaulatan Belanda. Akibat berbeda pendapat akhirnya F. Langing Tobias mundur dan digantikan oleh Jendral E. Demmeni sebagai pimpinan militer dan sipil pada
tanggal 19 Agustus 1884.
99
E. Demmeni diberikan tugas yang sangat penting, yaitu untuk menyelamatkan tentara Belanda di Aceh Besar yang sedang berperang dengan laskar Aceh. Demmeni
diberi waktu selama enam bulan untuk menyelamatkan serdadu ke dalam suatu lini konsentrasi. Hal ini disebabkan karena serangan-serangan yang terus dilakukan oleh
laskar Aceh. Di atas kertas, lini tersebut membentang dari Kuta Pagami dan Lamteh di sebelah selatan melalui Lamboro hingga ke Kuta Pohama di sebelah timur, Aceh
Besar. Dengan dibentuknya lini konsentrasi maka Demmeni dapat mengurangkan jumlah tentaranya sampai tiga batalyon infantri.
100
Belanda mulai membuat lini konsentrasi pada tanggal 20 Agustus 1884 yang terdiri dari 16 benteng dengan jarak antar benteng lebih kurang satu sampai dua
kilometer. Benteng-benteng tersebut satu sama lainnya dihubungkan dengan jalur kereta api. Setelah membangun lini konsentrasi tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
berharap bahwa kedudukan mereka di Kutaraja akan aman dari serangan para laskar Aceh yang tengah giat-giatnya menyerang pasukan Belanda.
101
Belanda memberikan peringatan kepada seluruh pasukannya bahwa Teungku Chik Di Tiro adalah tokoh yang sangat berbahaya dan berpengaruh bagi rakyat dalam
usahanya melumpuhkan kekuatan Pemerintah Hindia Belanda di Aceh. Belanda
99
Muhammad Said, op. cit., hlm. 111.
100
Ibid., hlm. 111.
101
Paul Van’t Veer, op. cit., hlm. 127.
Universitas Sumatera Utara
49
menganggap Tengku Chik Di Tiro berhasil mengubah ideologi peperangan melawan mereka menjadi ideologi Prang Sabi, yaitu suatu perang agama, dan beliau berhasil
mendamaikan para uleebalang yang saling berselisih. Rakyat yang siap tempur berbondong-bondong datang untuk menjadi laskar dan rela mati dalam peperangan
karena pada akhirnya akan dianggap mati syahid.
102
Hal-hal yang demikian menjadikan Teungku Chik Di Tiro sebagai tokoh yang paling takuti Belanda masa
itu.
103
Jendral E. Demmeni meninggal pada bulan Desember 1886 dan digantikan oleh Kolonel H.K.F. van Teijn. Ia diberikan tugas untuk mempertahankan lini
konsentrasi yang telah dibangun oleh Belanda dan memulihkan kembali kekuasaan sultan di Aceh Besar dibawah kerangka pemerintah Hindia Belanda. Pada masa Van
Teijn serangan dari laskar aceh dibawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro tidak berkurang, sebaliknya posisi Belanda semakin sulit dalam lini konsentrasi.
Disamping itu, Teungku Chik Di Tiro juga memberlakukan aturan “Top Larang” yaitu sebuah aturan yang melarang seluruh masyarakat Aceh mengadakan hubungan
perdagangan dengan pasukan Belanda yang terkurung dalam lini konsentrasi di Aceh Besar.
104
Pada tahun 1887, Teungku Chik Dayah Cut paman dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman meninggal dunia. Sejak awal perjuangan, Teungku Chik Dayah
102
Mati Syahid adalah seorang muslim yang meninggal ketika berperang atau berjuang di jalan Allah atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan
agama Allah SWT. Lihat Hasbi Amiruddin, op. cit., hlm. 50.
103
H.C Zentgraaff, op. cit., hlm. 16.
104
Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
50
Cut memainkan peranan yang cukup penting sebagai penghubung markas besar di Benteng Mereu Aceh Besar dengan daerah Tiro yang berfungsi untuk melaporkan
hal-hal yang penting ke Tiro dan memberikan bantuan-bantuan untuk perjuangan Teungku Chik Di Tiro bersama barisan laskarnya di Aceh Besar, baik berupa tenaga
maupun harta.
105
Pada awal Oktober 1887, Teungku Chik Di Tiro melancarkan serangan ke lini pertahanan Belanda di sekitar Meusapi dan Rajabedil Aceh Besar dengan kekuatan
400 orang pasukan. Dalam pertempuran tersebut 41 orang tewas dipihak Aceh, sedangkan Belanda kehilangan empat orang dan 17 luka-luka. Jendral Van Teijn
kemudian mengambil langkah meninggalkan politik menunggu untuk bertahan dalam lini konsentrasi. Van Teijn juga menjatuhkan sanksi kepada masyarakat Aceh Besar
yang dianggap membantu laskar aceh dengan melarang warga menangkap ikan, dan bagian-bagian dari pantai Aceh yang srategis ditutup.
106
Laskar Aceh tidak hanya melakukan serangan-serangan ke beberapa benteng milik Belanda, mereka juga melakukan pengrusakan kabel telepon sepanjang 51.000
meter dan menanam ranjau-ranjau di bawah jembatan kereta api. Selama tahun 1889 Teungku Chik Di Tiro bersama laskarnya melancarkan serangan ke benteng
Lambaro, Lamreung, dan Lampeneurot. Sampai akhir tahun 1889 seluruh lini Belanda mendapat tekanan yang sangat kuat dari barisan pejuang Aceh.
107
105
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 121.
106
Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 80.
107
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 130.
Universitas Sumatera Utara
51
Dikalangan perwira tinggi Belanda Teungku Chik Di Tiro dianggap sebagai orang yang congkak dan angkuh. Penilaian tersebut diberikan Belanda kepadanya
setelah Teungku Chik Di Tiro mengirimkan surat yang berisi agar semua residen Belanda beralih masuk Islam untuk menghindari nasib terusir secara hina dari Aceh.
Surat Teungku Chik Di Tiro mendapat kecaman dari Belanda karena menurut mereka perang Aceh bukanlah perang Agama. Hal ini membuat niat Belanda untuk
melenyapkan pimpinan Angkatan Sabi ini semakin kuat.
108
Pemerintah Hindia Belanda mempunyai sebuah keyakinan bahwa perlawanan yang dimobilisasi Teungku Chik Di Tiro tidak akan pernah ada habisnya. Maka
seandainya Ulama Tiro tersebut dapat dilenyapkan maka berakhirlah Perang Aceh. Belanda mulai mengatur siasat mencari orang lokal yang bersedia melaksanakan
tugas tersebut dan segala permintaanya akan dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
109
Usaha Belanda untuk membunuh Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman akhirnya berhasil melalui perempuan tua yang bernama Nyak ubit. Pada saat
Teungku Chik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seulimeng Aceh Besar, beliau dijamu hidangan kenduri yang telah diberi racun oleh Nyak Ubit. Setelah menyantap
makanan tersebut, kesehatan Teungku Chik Di Tiro mulai menurun. Keadaan yang demikian membuat Teungku Chik Di Tiro memanggil seluruh panglima dan
keluarganya, beliau berpesan hendaklah peperangan diteruskan. Tiga hari kemudian,
108
H.C Zentgraaff, op. cit., hlm. 27.
109
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 142.
Universitas Sumatera Utara
52
tepatnya 25 Januari 1891, Teungku Chik Di Tiro akhirnya meninggal pada usia 55 tahun.
110
Teungku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin diangkat menjadi Panglima Laskar Aceh oleh sultan pada tahun
1892 untuk melanjutkan perjuangan yang telah digariskan ayahnya. Mat amin, begitu Belanda menyebutkan namanya, tidak mempunyai kemampuan yang sepadan dengan
ayahnya. Belanda menganggap dia bukanlah seorang pemimpin yang besar dan berpengaruh. Tengku Mat Amin adalah anak tertua dari Teungku Chik Di Tiro
Muhammad Saman.
4.2 Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin Dengan meninggalnya Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman maka