Tinjauan hukum islam terhadap perjudian : kajian perbandingan qanun Maisir di Aceh dan perda perjudian di Kota Bekasi

(1)

Bekasi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

RENIATI SUMANTA NIM: 1110045100004

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,11 Sya’ban 1435 H 9 Juni 2014 M


(6)

TERHADAP PERJUDIAN (KAJIAN PERBANDINGAN QANUN MAISIR DI ACEH DAN PERDA PERJUDIAN DI KOTA BEKASI). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. vi + 81 halaman + 16 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota Bekasi serta untuk mengetahui kedua peraturan tersebut sudah sesuai atau belum dengan hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya. Sumber data yang dipergunakan penulis adalah sumber data sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukum primer berupa Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dan bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa Al-Qur’an, Al-Hadist, buku-buku fiqih. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (Research Library). Teknik analisis data menggunakan analisis perbandingan yang dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum yang ada di satu daerah dan daerah lainnya dalam kasus perjudian.

Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah bahwa pengaturan perjudian dari aspek definisi/pengertian, perbuatan yang dilarang, pelaku/subyek hukum, sanksi pidana dan pelaksanaan hukuman di Aceh dan Kota Bekasi tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia.

Kata kunci:Maisir, Perjudian, Qanun Aceh, Perda Bekasi, Ta’zir,Hukum Islam. Pembimbing : Dr. Khamami Zada, MA dan Qosim Arsyadani, MA Daftar Pustaka : Tahun 1987 sampai Tahun 2013


(7)

i

Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis, sehingga skripsi ”TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJUDIAN (KAJIAN PERBANDINGAN QANUN MAISIR DI ACEH DAN PERDA PERJUDIAN DI KOTA BEKASI)” dapat terselesaikan. Shalawat dan salam dimohonkan untuk Nabi dan Rasul akhir zaman, Muhammad SAW, berikut keluarga, sahabat, dan umatnya.

Penulisan skripsi ini bukan hal mudah, namun dengan iringan doa dan semangat yang tinggi serta juga dengan bantuan dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung, telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Afwan Faizin, MA Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah.

3. Dr. Khamami Zada, MA dan Qosim Arsyadani, MA Pembimbing Skripsi penulis, yang telah tulus ikhlas dalam mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran serta petunjuk dan pengarahannya untuk membimbing penulis.


(8)

ii

telah membantu penulis dalam mencari buku-buku referensi guna mendukung penulisan skripsi ini.

5. Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua yang penulis banggakan dan paling penulis cintai Ayahanda dan Ibunda (Sumanta dan Sunarti) dengan jerih payah, tetes keringat dan air mata membesarkan, mendidik dan memotivasi serta memberikan kasih sayang dan pengorbanan baik berupa dukungan moril dan finansial serta doa restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada adikku tersayang Rian yang telah mewarnai hari-hari penulis dengan canda tawanya.

6. Keluarga besar Pidana Islam Angkatan 2010 yang menjadi teman seperjuangan penulis: Imas, Amanah, Khodijah, Lulu, Siska, Azizah, Ayu, Ika, Ello, Sahuri, Jajat, Ilham, Ade, Edo, Gerardin, Asmui, Rizal, Farid F, Awal, Rodhi dan seluruh teman-teman penulis yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Terima kasih atas kesetiaan dalam pencarian ilmu di Jurusan kebanggan kita.

7. Komunitas Musik Mahasiswa Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (KMM RIAK), UKM yang tak pernah absen masuk Tabloid Institut. Penulis ucapkan terima kasih terutama kepada Muhammad Saddam Husein ZA. Juga kepada Ipang, Ka Sa’du, Ka Umam, Ka Iqy, Ka Minda, Gustia, dan Ka Dewi. Mereka mempunyai jiwa sosial, solidaritas, dan tanggung jawab yang sangat tinggi, mereka rela mengesampingkan hak-haknya demi tanggung jawab yang


(9)

iii

penulis banyak belajar dari kalian. Terima kasih support, motivasi, saran serta nasihatnya. Penulis doakan kalian menjadi orang yang sukses dan tetap rendah hati.

Di balik sedikit kekurangan bahkan mungkin kesalahan di sana sini, insya Allah skripsi ini bisa bermanfaat. Ganbarema dekiru yo~ Kalau kita berusaha, kita pasti mampu.

Jakarta,11 Sya’ban 1435 H 9 Juni 2014 M


(10)

iv PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu... 8

E. Metode Penelitian... 9

F. Sistimatika Pembahasan... 11

BAB II PERJUDIAN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM A. Posisi Perjudian dalam JarimahTa’zir... 13

B. Macam-Macam Hukuman Ta’zir... 18

1. Hukuman Mati... 18

2. Hukuman Cambuk... 19

3. Hukuman Penjara... 23

4. Hukuman Pengasingan... 24


(11)

v

Islam……….... 25

1. Pengertian Perjudian... 25

2. Pelaku Perjudian... 28

3. Unsur-unsur Perjudian... 29

BAB III PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN KOTA BEKASI A. Pengaturan Perjudian di Aceh... 33

1. Kondisi Sosial Politik Aceh... 33

2. Materi Pengaturan Perjudian di Aceh... 36

a. Pengertian... 36

b. Perbuatan yang Dilarang... 37

c. Pelaku Tindak Pidana... 38

d. Sanksi Pidana... 39

e. Pelaksanaan Hukuman... 40

B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi... 41

1. Kondisi Sosial Politik Kota Bekasi…... 41

2. Materi Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi... 45

a. Pengertian... 45

b. Perbuatan yang Dilarang... 45

c. Pelaku Tindak Pidana……….….…47


(12)

vi

A. Pengaturan Perjudian di Aceh dalam Perspektif Hukum

Islam………. 50

1. Pengertian... 50

2. Perbuatan yang Dilarang... 51

3. Sanksi Pidana... 53

4. Pelaksanaan Hukuman... 55

B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi dalam Perspektif Hukum Islam………..………..…….… 62

1. Pengertian... 62

2. Perbuatan yang Dilarang... 63

3. Sanksi Pidana... 67

C. Perbandingan Pengaturan Qanun Aceh dan Perda Bekasi.. 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 77

B. Saran... 79

DAFTAR PUSTAKA... 80 LAMPIRAN


(13)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, perjudian sudah dalam tahap yang menghawatirkan. Perkembangan perjudian semakin cepat dan bervariasi sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun tindak pidana perjudian merupakan kegiatan terlarang dan dapat dikenakan sanksi, namun kenyataanya tindak pidana ini sangat sulit untuk diberantas. Hal ini berkaitan dengan mental masyarakat untuk mengejar materi dengan cara cepat dan mudah. Sampai saat ini, sebagian orang masih tidak bisa lepas dari permainan judi. Mereka masih menggemari perjudian sebagai permainan yang dipilih.1

Jika Islam memperbolehkan bermacam-macam hiburan dan permainan bagi orang Muslim, namun ia mengharamkan setiap permainan yang dibarengi dengan judi. Seorang Muslim tidak menjadikan permainan judi sebagai alat untuk menghibur diri dan mengisi waktu senggang, sebagaimana tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai cara mencari uang, dengan alasan apapun.2 Para ulama fikih mendefinisikan judi atau maisir sebagai “suatu permainan yang menjanjikan keuntungan tanpa melalui cara yang wajar sebagaimana yang dituntunkan syara’ (hukum

1

Umi Sarah Dhiba, Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Terlibat Kasus Perjudian ,

Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, hal. 1, t.d.

2

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Penerjemah: Abu Sa id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Cet. 9, h. 350-351.


(14)

Islam)”. Judi merupakan praktek untung-untungan, yang membuat orang yang bermain berharap akan mendapatkan keuntungan dengan mudah.3

Perbuatan judi dilarang oleh Allah karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk melakukan kreasi yang positif dalam menunjang kehidupannya. Salah satu bentuk permainan yang menjurus kepada judi atau maisir adalah undian yang berlaku di beberapa Negara, seperti Porkas dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) di Indonesia pada era tahun 1980-an pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mengadakan Porkas dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).4 Porkas dan SDSB pada hakikatnya mengandung unsur-unsur maisir, oleh sebab itu mayoritas ulama di Indonesia menganggap porkas dan SDSB sebagai permainan judi yang merugikan umat Islam.5 Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja tidak boleh malas, oleh karena itu Islam menyuruh untuk menjauhi judi, karena dengan adanya permainan judi itu akan membuat seseorang berangan-angan, apabila ia menang maka akan menjadi kaya-raya tanpa usaha dan kerja keras. Sedangkan apabila ia kalah, maka kerugiannya mendorong pihak yang kalah untuk mengulangi lagi dengan ulangan yang kedua, sehingga dapat menutup kerugiannya yang pertama. Sedangkan yang

3

Hasan Muarif Ambary,Suplemen Ensiklopedia Islam,(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 297.

4

Masjfuk Zuhdi, Masa il Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam),(Jakarta: PT Gunung Agung, 1996), Cet. 9, h. 146.

5


(15)

menang karena didorong lezatnya menang, maka ia tertarik untuk mengulangi lagi kemenangannya yang sedikit itu mengajak untuk dapat lebih banyak.6

Sama sekali dia tidak ada keinginan untuk berhenti dan makin berkurang pendapatannya, makin dimabuk oleh kemenangan sehingga dia beralih dari kemegahan kepada suatu kesusahan yang mendebarkan. Begitulah berkaitnya putaran dalam permainan judi, hampir kedua putaran ini tidak pernah berpisah. Inilah rahasia terjadinya pertumpahan darah antara pemain-pemain judi, padahal belum pernah tercatat dalam sejarah ada orang kaya karena judi dan perjudian itu sendiri dapat mengakibatkan roda kehidupan menjadi terbengkalai, karena selamanya pemain judi sibuk dengan sesamanya.7

Seorang pejudi selamanya sibuk dengan permainannya sehingga lupa terhadap kewajibannya kepada Tuhannya, kewajibannya terhadap dirinya, kewajibannya kepada keluarganya, dan kewajibannya kepada bangsanya.8 Dilihat dari bahaya perjudian maka dapat dikatakan bahwa salah satu tindakan kriminal yang membawa dampak negatif, di antaranya, yaitu 1) merusak ekonomi keluarga, 2) mengganggu keamanan masyarakat, 3) melumpuhkan semangat berkreasi, 4) menghabiskan

6

Abul A la Almaududi, Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (Studi Analisis Komparasi Unsur-Unsur dan Sanksi Pidana Perjudian) ,Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 2-3, t.d.

7

Ibid.,h. 2-3.

8


(16)

waktu, dan lain-lain.9 Tidak mustahil orang yang asyik dengan “hidangan hijau”(sebagaimana mereka istilahkan) akan menjual agama, kehormatan, dan tanah airnya. Kecintaannya terhadap “hidangan” ini akan mencabut kecintaannya kepada apa saja atau kepada nilai mana pun.10

Judi juga dapat menjadikan orang yang bersangkutan mengorbankan segala sesuatu, hingga terhadap kehormatan, keyakinan, dan bangsanya demi terlaksananya pekerjaan yang sia-sia ini.11Khamrdan maisir/judi diharamkan sebagai tindak preventif agar tidak terjadi “’Adawah/permusuhan dan Baghdla’/saling membenci, Washaddun ‘an zikrillah/lalai kepada Allah dan Anisshalah/meninggalkan shalat”. Itulah yang menjadi tujuan inti larangan tersebut.12

Walaupun pelaku tindak pidana perjudian telah ditangkap dan dihukum, tetapi perjudian masih tetap ada. Hal ini merupakan persoalan yang rumit dan perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk dicarikan solusi terbaik. Perkembangan perjudian tidak terlepas dari peran institusi penegak hukum yang saat ini semakin banyak dipertanyakan, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.13

9

Zainuddin Ali,Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. 2, h. 93.

10

Yusuf Qardhawi,Halal dan Haram,h. 352.

11

Ibid.,h. 352.

12

Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al-Qur an (IIQ), 1987), h. 24.

13


(17)

Tidak hanya terbatas pada institusi hukum, tetapi perundang-undangan itu sendiri juga tidak kalah penting. Di setiap daerah hampir semua mempunyai peraturan perjudian salah satunya yaitu Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi. Tindak pidana maisir/judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus dita’zir.14 Sanksi di dalam Perda Bekasi itu pidana kurungan,15 sedang di dalam Qanun Aceh sanksinya pidana cambuk,16 dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia pidana cambuk memang merupakan jenis pidana baru, dan masyarakat hanya memiliki pemahaman bahwa pidana cambuk merupakan pidana yang telah ditetapkan di dalam hukum Islam.

Sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai produk baru pada sistem hukum pidana Indonesia.17 Berangkat dari permasalahan di atas, penulis memandang perlu memperhatikan serta membahas lebih jauh mengenai permasalahan tersebut, serta dapat dijadikan sebagai skripsi

14

Wahbah Zuhaili,Fiqh Imam Syafi i,(Jakarta: Almahira, 2010), h. 359.

15

Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi. 16

Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 17

Ferdiansyah, Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ,Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2008, t.d.


(18)

dengan judul: ”TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJUDIAN (Kajian Perbandingan Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di Kota Bekasi)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Penulis hanya membatasi Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.

Pokok masalah dalam penelitian ini adalah perbandingan pengaturan perjudian di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dalam hukum Islam.

2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang penulis sajikan, tertuang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana perjudian diatur di dalam hukum Islam ?

b. Bagaimana maisir/perjudian diatur di dalam Qanun Aceh dan Perda Bekasi ?

c. Bagaimana perbandingan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota Bekasi ?


(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota Bekasi.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Untuk mendeskripsikan perjudian dalam hukum Islam.

b. Untuk mendeskripsikan perjudian dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 dan Perda Kota Bekasi No. 11 Tahun 2005.

c. Menganalisis pengaturan Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di Kota Bekasi dalam tinjauan hukum Islam.

2. Manfaat Penelitian

a. Menyumbangkan pemikiran berupa gagasan buah pikir sebagai hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur, ilmiah, serta melatih kepekaan penulis sebagai mahasiswa terhadap masalah-masalah yang berkembang dilingkungan sekitarnya.

b. Memberikan sumbangan wacana pemikiran dan motivasi kepada Pemda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kota Bekasi dalam menerapkan atau menjalankan peraturan daerah atau qanun tersebut, serta memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai perjudian dalam konsep hukum Islam.


(20)

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian yang membahas tentang perjudian. Di antaranya adalah:

Pertama, buku karangan Ahmad Hanafi yang berjudul “Asas-asas Hukum Pidana Islam”yang diterbitkan oleh Bulan Bintang tahun 2005 di Jakarta.Dalam buku ini menjelaskan tentang macam-macam jarimah yang ada di dalam hukum Islam, baik itu jarimah hudud, qishash/diat, maupun ta’zir, akan tetapi untuk permasalahan “Tindak Pidana Perjudian” tidak ditemukan pembahasannya.

Kedua, buku karangan Zaenuddin Ali yang berjudul “Hukum Pidana Islam” yang diterbitkan oleh Sinar Grafika tahun 2009 di Jakarta. Di dalam buku ini masih menjelaskan masalah hukum dalam koridor hukum Islam, yang mana pembidangannya dari pidana Islam (jinayah) membahas tentang jarimah-jarimah hudud, qishash diat, dan ta’zir.

Ketiga, karya ilmiah mahasiswa(skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010 yang ditulis oleh Nasori yang berjudul “Perjudian Pandangan Hukum Islam dan KUHP (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)”. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dalam hukum Islam tindak pidana perjudian dikenakan hukuman ta’zir. Dalam perspektif hukum positif, tindak pidana perjudian dihukum penjara sesuai dalam Pasal 303 KUHP


(21)

dan Pasal 303 bis KUHP jo. Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang penertiban perjudian.

Keempat, karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007 yang ditulis oleh Mailiani yang berjudul “Pengaruh Pelaksanaan Hukuman Cambuk Terhadap Moral Generasi Muda Aceh (Studi di Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh-Aceh Barat)”. Penelitian ini menemukan bahwa pemberlakuan hukuman cambuk di NAD, sangat berpengaruh terhadap moral generasi muda dan masyarakat di sana terutama di Kec. Johan Pahlawan-Meulaboh. Perubahan mereka lebih ke arah yang positif, baik dari segi berpakaiannya maupun pergaulan mereka sehari-hari, walau masih ada pelanggaran-pelanggaran moral yang dilakukan oleh remaja maupun masyarakat tetapi angka pelanggarannya sudah bisa diminalisir.

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang. Pendekatan normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya. Meskipun tidak empiris, akan tetapi kegiatan-kegiatannya tetap merupakan penelitian ilmiah, karena mencakup


(22)

kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan dengan mempergunakan metodologi serta teknik-teknik tertentu.18

Adapun sumber data yang dipergunakan penulis adalah sumber data sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukum primer berupa Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dan bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa Al-Qur’an, Al-Hadist, buku-buku fiqih serta sumber-sumber yang ada korelasinya dengan pembahasan ini.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (Research Library). Artinya pengumpulan data-data diperoleh dengan merujuk pada karya-karya mendukung (komplementer) yang memiliki relevansi dengan pembahasan skripsi ini.

Teknik analisis data dalam penelitian penulis menggunakan analisis perbandingan yang dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum yang ada di satu daerah dan daerah lainnya dalam kasus perjudian.19Dalam kasus ini, penulis membandingkan Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.

18

Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) h. 166-167.

19

Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,(Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 3, h. 132-133.


(23)

Teknik penulisan dalam skripsi ini penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

F. Sistimatika Pembahasan

Dalam pembahasan skripsi ini penulis membagi uraian pembahasan menjadi lima bab yang terdiri dari:

BAB I : Menampilkan Bab Pendahuluan, yang di dalamnya membahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka/penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistimatika pembahasan.

BAB II : Menjelaskan secara deskriptif mengenai posisi perjudian dalam jarimah ta’zir, macam-macam hukuman ta’zir, serta pengertian, pelaku, unsur-unsur perjudian dalam hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan bagaimana posisi perjudian di dalam hukum Islam.

BAB III : Mengkaji materi Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di Kota Bekasi, di mulai dengan menjelaskan kondisi sosial politiknya dan menjelaskan materi pengaturan perjudian, di antaranya pengertian perjudian, perbuatan yang dilarang, pelaku tindak pidana, sanksi pidana, dan pelaksanaan hukuman


(24)

di dalam Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di Kota Bekasi.

BAB IV : Bagian paling subtantif ada di dalam Bab IV, di dalam Bab IV ini penulis menganalisis secara tajam perbandingan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota Bekasi dalam perspektif hukum Islam, dimulai dengan pengaturan perjudian di Aceh dalam perspektif hukum Islam, pengaturan perjudian di Kota Bekasi dalam perspektif hukum Islam, dan perbandingan pengaturan Qanun Aceh dan Perda Bekasi.

BAB V : Bab ini merupakan bab penutup atau terakhir yang mencangkup kesimpulan yang merupakan pemadatan dari seluruh uraian yang lebih bersifat luas dan abstrak kemudian dilanjutkan saran-saran.


(25)

13

PERJUDIAN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM A. Posisi Perjudian dalam Jarimah Ta’zir

Di dalam kajian fiqh jinayah ada tiga jarimah, yaitu sebagai berikut: Pertama, jarimah qishash yang terdiri atas jarimah pembunuhan dan jarimah penganiayaan.Kedua, jarimah hudud yang terdiri atas jarimah zina; jarimah qadzf; jarimah syurb al-khamr; jarimah al-baghyu; jarimah al-riddah; jarimah al-sariqah; dan jarimah al-hirabah. Ketiga, jarimah ta’zir yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh Al-Qur’an atau Hadist. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan kejahatan yang dilakukan akibat godaan setan dalam diri manusia.1 Tindak pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah ta’zir.

Alangkah tepat dan indahnya Al-Qur’an ketika mengumpulkan antara khamr dan judi dalam ayat-ayat dan hukum-hukumnya, karena sama bahayanya terhadap pribadi, keluarga, tanah air, dan akhlak. Tidak ada bedanya orang yang mabuk karena judi dengan orang mabuk karena khamr, bahkan jarang dijumpai salah satunya saja tanpa yang satunya lagi.

1


(26)

Sungguh tepat Al-Qur’an ketika memberitahukan bahwa khamr dan judi termasuk perbuatan syetan.2

Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminumkhamr diungkapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an secara bertahap tentang status hukum. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.

Surah Al-Baqarah ayat 219

                                                     ) /ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻟ ا

٢

: ( 219

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 219).

Surah Al-Maa’idah ayat 90-91

                                                                  ) /ة د ى ﺎ ﻤ ﻟ ا

٥ : ٩ ١ -٩ ٠ ( 2

Yusuf Qardhawi,Halal dan Haram,Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Cet. 9, h. 352.


(27)

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Q.S. Al-Maa’idah [5]: 90-91).

Kata maisir dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 3 kali, yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maa’idah ayat 90 dan 91. Dari kandungan surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maa’idah ayat 90 dan 91 diketahui bahwa judi merupakan perbuatan keji yang diharamkan Islam. Keharaman judi dalam surah Al-Baqarah ayat 219 tidak begitu jelas. Allah SWT secara tegas menyatakan dalam surah Al-Maa’idah ayat 90 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu

mendapat keuntungan.” Penyebab diharamkannya perbuatan judi

dijelaskan Allah SWT dalam ayat 91 yang artinya, “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingati Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakanpekerjaan itu).”3

3

Hasan Muarif Ambary,Suplemen Ensiklopedia Islam,(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 297-298.


(28)

Dari ketiga ayat tersebut, para mufasir/ulama ahli tafsir menyimpulkan beberapa hal. 1) Judi merupakan dosa besar. 2) Judi merupakan perbuatan setan. 3) Judi sejajar dengan syirik. 5) Judi menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia. 6) Judi membuat orang malas berusaha. 7) Judi juga akan menjauhkan orang dari Allah SWT. Selain lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, perbuatan judi dilarang oleh Allah SWT karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk melakukan kreasi yang positif dalam menunjang kehidupannya di dunia dan akhirat.4

Imam Ghazali menjelaskan seluruh permainan yang di dalamnya terdapat unsur perjudian, maka permainan itu hukumnya haram,5 di mana pemain tidak lepas dari untung atau rugi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardlawy dalam buku “Halal dan Haram”, dia mengutip sebuah hadist Rasulullah SAW mengenai hal itu yang artinya: “barangsiapa berkata kepada kawannya: ‘Marilah berjudi’, maka hendaklah ia bersedekah.” Dengan demikian, seorang Muslim tidak menjadikan permainan judi sebagai alat untuk menghibur diri dan mengisi

4

Ibid.,,h. 298-299.

5

Nazar Bakry,Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. 1, h. 70.


(29)

waktu senggang, sebagaimana tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai cara mencari uang, dengan alasan apapun.6

Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia.7

Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk dan jumlah hukumannya tidak ditentukan oleh syara’. Tindak pidana yang masuk dalam jenis ini yaitu semua tindak pidana yang hukumannya berupa ta’zir. Tindak pidana ini terdiri atas tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Tindak pidanata’zir yang asli (pokok), yakni setiap tindak pidana yang tidak termasuk dalam kategori tindak pidana hudud, qishash, dan diat. 2. Tindak pidana hudud yang tidak dijatuhi dengan hukuman yang

ditentukan, yakni tindak pidana hudud yang tidak sempurna dan yang hukuman hadnya terhindar dan dihapuskan.

6

Yusuf Qardhawi,Halal dan Haram,h. 350-351.

7


(30)

3. Tindak pidana qishash dan diat yang tidak diancamkan hukuman yang ditentukan, yakni tindak pidana-tindak pidana yang tidak dikenai hukuman qishash dan diat.8

Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman–hukuman yang sesuai dengan macam tindak pidana ta’zir serta keadaan si pelaku. Singkatnya, hukuman-hukuman tindak pidana ta’zir tidak mempunyai batasan-batasan tertentu. Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberi wewenang kepada penguasa atau hakim untuk menentukan tindak pidana setengah hati, tetapi harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan) serta prinsip umum hukum Islam. Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak ada satu kejahatanpun yang tidak dikenakan sanksi atau hukuman.9 Para ulama sepakat bahwa bentuk dan kualitas hukuman ta’zir tidak boleh menyamai hukuman diat atau hudud.10

B. Macam-Macam Hukuman Ta’zir

Adapun bentuk-bentuk hukuman ta’zir yaitu:

1. Hukuman Mati

8

Abdul Qadir Audah,Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamy

Muqaranan bil Qonunil Wad’iy),Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor, (Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007), Jilid III, h. 24.

9

Abdul Qadir Audah,Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamy

Muqaranan bil Qonunil Wad’iy), Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor, (Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007), Jilid I, h. 100.

10

H.E. Hassan Saleh Ed.1,Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer,(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 465.


(31)

Pada dasarnya menurut syari’at Islam hukum ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (Al-ta’dib) dan tidak sampai membinasakan, oleh karena itu dalam hukuman ta’zir tidak boleh pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa, akan tetapi kebanyakan fuqaha membuat suatu pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya hukuman tersebut jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau jika pemberantasan kejahatan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya; seperti mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang berbahaya.11 Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.12

2. Hukuman Cambuk

Hukuman cambuk cukup efektif dalam menjerakan pelaku jarimah ta’zir. Hukuman ini dalam jarimah hudud telah jelas jumlahnya bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan dan jarimah qadzf. Namun dalam jarimah ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah

11

Ahmad Hanafi,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. 6, h. 299.

12


(32)

cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.13 Alat yang digunakan untuk hukuman cambuk ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibnu Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.14

Adapun mengenai jumlah maksimal cambuk dalam jarimah ta’zir, ulama berbeda pendapat:

Menurut Mazhab Hanafi tidak boleh melampaui batas hukuman had. Menurut Abu Hanifah tidak boleh lebih dari 39 kali, karena had bagi peminumkhamradalah dicambuk 40 kali. Menurut Abu Yusuf tidak boleh lebih dari 79 kali, karena had bagi pelaku qadzf adalah dicambuk 80 kali. Menurut Ulama Malikiyah sanksi ta’zir boleh melebihi had selama mengandung maslahat. Mereka berpedoman kepada keputusan Umar bin Al-Khaththab yang mencambuk Ma’an bin Zaidah 100 kali karena memalsukan stempel baitul mal. Ali pernah mencambuk peminum khamr pada siang hari di bulan Ramadhan sebanyak 80 kali dan ditambah 20 kali sebagai ta’zir.

Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan dalam jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:

13

M. Nurul Irfan dan Masyrofah,Fiqh Jinayah, h. 149.

14


(33)

Menurut Ulama Hanafiyah batas terendah ta’zir harus mampu memberi dampak preventif dan represif. Batas terendah satu kali cambukan. Menurut Ibnu Qudamah batas terendah tidak dapat ditentukan, diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, pelaku, waktu, dan pelaksanaannya. Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan ulil amri sebagai pegangan semua hakim. Apabila telah ada ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat.15

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman cambuk masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, cambuk sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada cambuk dalam had agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat cambuk dalam ta’zir dengan sifat cambuk dalam hudud.16 Ta’zir untuk tindak kejahatan seksual adalah dicambuk kurang dari 100 kali, untuk tindak kejahatan fitnah adalah dicambuk kurang dari 80 kali, atau hukuman lain yang setara dengan itu. Ta’zir untuk tindak pencurian dalam jumlah kecil dikenai hukuman yang setara dengan tahanan. Ta’zir untuk peminum minuman khamr adalah di bawah 40 kali cambuk atau yang setara.17

15

M. Nurul Irfan dan Masyrofah,Fiqh Jinayah,h. 150-151.

16

Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,h. 260.

17


(34)

Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah auratnya. Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.18

Apabila pelaku adalah seorang wanita dalam keadaan hamil maka pelaksanaan hukuman cambuk ditunda sampai dia melahirkan anak dan anak itu telah berhenti menyusui (disapih) serta telah memakan makanan lain misalnya roti. Hal ini untuk menjaga agar anak dalam kandungan atau yang sedang menyusu pada ibunya itu tidak turut meninggal atau tidak turut mengalami penderitaan karena ibunya dikenai hukuman. Apabila si pelaku dalam keadaan sakit yang dipandang tidak kuat untuk menahan rasa sakit maka pelaksanaan hukuman cambuk diundurkan sampai dipandang kesehatan si terhukum memungkinkan. Jika si terhukum sakit yang tidak membahayakan jiwanya maka hukuman cambuk tetap dilaksanakan.19

18

Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,h. 260.

19

Muhammad Abduh Malik,Perilaku Zina: Pandangan Hukum Islam dan KUHP,


(35)

3. Hukuman Penjara

Hukuman penjara dalam syari’at Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu:

a. Hukuman Penjara Terbatas

Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjualan khamr, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur, mengairi ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang pengadilan, dan saksi palsu. Batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha. Menurut Syafi’iyah batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini adalah satu tahun. Adapun pendapat yang dinukil dari Abdullah Az-Zaubairi adalah ditetapkannya masa hukuman penjara dengan satu bulan, atau enam bulan.20

b. Penjara Tidak Terbatas

Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum meninggal dunia atau sampai ia bertaubat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman seumur hidup ini dalam hukum pidana

20


(36)

Islam dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya. Misalnya, seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga. Hukuman penjara tidak terbatas macam yang kedua (sampai ia bertaubat) dikenakan antara lain untuk orang yang dituduh membunuh dan mencuri, melakukan homoseksual, atau penyihir, mencuri untuk yang ketiga kalinya menurut Imam Abu Hanifah, atau mencuri untuk kedua kalinya menurut imam yang lain.21

4. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan). Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namun di dalam praktiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman ta’zir. Di antara jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berprilaku mukhannats (waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar dari Madinah. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.22

Lamanya (masa) pengasingan juga tidak ada kesepakatan di kalangan para fuqaha. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa

21

Ibid.,h. 263.

22


(37)

pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun. Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had.23

5. Hukuman Denda (Al-gharamah)

Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya. Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili perkara jarimah ta’zir, karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat mempertimbangkan berbagai aspek, baik yang berkaitan dengan jarimah, pelaku, situasi, maupun kondisi tempat dan waktunya.24

C. Pengertian, Pelaku dan Unsur-unsur Perjudian dalam Hukum Islam 1. Pengertian Perjudian

Maisir dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian di antaranya ialah: lunak, tunduk, keharusan, mudah, gampang, kaya, membagi-bagi, dll. Ada yang mengatakan bahwa kata maisir berasal dari kata yasara (

َﺮ

َﺴ

َﯾ

) yang artinya keharusan. Keharusan bagi siapa yang kalah dalam bermain maisir/judi untuk menyerahkan sesuatu yang

23

Ibid.,h. 265.

24


(38)

dipertaruhkan kepada pihak yang menang. Ada yang mengatakan bahwa

kata maisir berasal dari kata yusrun (

ٌ

ْﺴ

ُﯾ

) yang artinya mudah, dengan analisa bahasa karena maisir/judi merupakan upaya dan cara untuk mendapatkan rezeki dengan mudah, tanpa susah payah.25

Ada lagi yang mengatakan bahwa kata maisir berasal dari kata yasaar (

ٌر ﺎ

َﺴ

َﯾ

) yang artinya kaya, dengan analisa bahasa karena dengan permainan itu akan menyebabkan pemenangnya menjadi kaya. Adapula

yang berpendapat bahwa katamaisirberasal dari katayusrun(

ٌﺮ

ْﺴ

َﯾ

) yang artinya membagi-bagi daging onta. Hal ini sejalan dengan sifatmaisir/judi yang ada pada masa Jahiliyyah yang karenanya ayat Al-Qur’an itu diturunkan; di mana mereka membagi-bagi daging onta menjadi dua puluh delapan bagian. Dalam bahasa Arab maisirsering juga disebut qimar, jadi qimar dan maisir artinya sama. Qimar sendiri asal artinya taruhan atau perlombaan.26

Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan judi dengan segala bentuk permainan yang ada wujud kalah-menangnya; pihak yang kalah memberikan sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan kepada pihak yang menang. Syekh Muhammad Rasyid Ridha menyatakan bahwa maisir itu suatu permainan dalam mencari keuntungan tanpa harus

25

Ibrahim Hosen,Apakah Judi Itu ?,(Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu

Al-Qur’an (IIQ), 1987),h. 24-25.

26


(39)

berpikir dan bekerja keras. Menurut at-Tabarsi, ahli tafsir Syiah Imamiah abad ke-6 Hijriah, maisir adalah permainan yang pemenangnya mendapatkan sejumlah uang atau barang tanpa usaha yang wajar dan dapat membuat orang jatuh ke lembah kemiskinan. Permainan anak-anak pun jika ada unsur taruhannya, termasuk dalam kategori ini.27

Menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “Al-Halal Wal-Haram Fil-Islam”, judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan. Definisimaisir/judi menurut pengarang Al-Munjid,maisir/judi ialah setiap permainan yang disyaratkan padanya bahwa yang menang akan mendapatkan/mengambil sesuatu dari yang kalah baik berupa uang atau yang lainnya.28

Menurut Imam Syafi’i di dalam kitabnya Al-Iqna’ juz II hal 286, apabila kedua orang yang berlomba pacuan kuda itu mengeluarkan taruhannya secara bersama-sama (artinya, siapa yang kalah harus memberi kepada yang menang) maka dalam kondisi semacam itu tidak boleh. Kecuali apabila keduanya tadi memasukkan muhallil, maka hal itu diperbolehkan apabila kuda yang dipakai olehmuhallilitu sepadan dengan kuda kedua orang yang berpacu tersebut. Pihak ketiga menjadi penengah

27

Hasan Muarif Ambary,Suplemen Ensiklopedia Islam,h. 297-298.

28


(40)

tadi dinamakan muhallil karena ia berfungsi untuk menghalalkan aqad, dan mengeluarkannya dari bentuk judi yang diharamkan.29

Berdasarkan definisi-definisi yang diutarakan para ulama tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa judi ialah segala macam bentuk permainan yang di dalamnya terdapat taruhan dan ada praktek untung-untungan, yang membuat orang yang bermain berharap akan mendapatkan keuntungan dengan mudah tanpa bekerja keras.

2. Pelaku Perjudian

Ta’zir berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan. Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun muslim. Setiap orang yang melakukan kemungkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan-alasan yang tidak dibenarkan, baik dengan perbuatan, ucapan, atau isyarat. Perlu diberi sanksi ta’zir agar tidak mengulangi perbuatannya.30

Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa anak di bawah umur, orang gila, dan orang mabuk yang kehilangan akalnya tidak dikenai hukuman hudud dan qishash. Meskipun anak di bawah umur, orang gila, dan orang mabuk tidak dikenai hukuman hudud dan qishash, mereka harus dihukum ta’zir. Jika salah satu dari mereka melakukan tindak pidana, ia harus diberi 29

Ibid.,h. 35.

30


(41)

pelajaran agar berhenti merugikan orang lain; orang yang mabuk sampai ia bertobat, yang gila sampai ia sadar, dan anak di bawah umur sampai ia dewasa. Mendidik mereka berarti saling menolong dalam kebaikan dan takwa, sedangkan membiarkan mereka berarti membantu dalam dosa dan pelanggaran.31Allah SWT berfirman:

 …                 )… /ة د ى ﺎ ﻤ ﻟ ا

٥

:

٢(

“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”(Q.S. Al-Maa’idah[5]: 2).

3. Unsur-unsur Perjudian

Dalam menetapkan sanksi atau hukuman terhadap suatu pelanggaran harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur delik dalam jarimah. Unsur-unsur ini ada pada suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut dipandang sebagai suatu delik jarimah. Unsur-unsur delik itu ada dua macam yaitu unsur umum dan unsur khusus.32 Unsur umum tersebut adalah:

a. Adanya nash yang melarang dan mengancam perbuatan (unsur formiil).

31

Abdul Qadir Audah,Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,h. 227.

32

Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (Studi Analisis Komparasi Unsur-Unsur dan Sanksi Pidana Perjudian)”,Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009


(42)

b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata atau sikap tidak berbuat (unsur materiil).

c. Pelaku adalah mukallaf (unsur moril).33

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian, apabila telah memenuhi unsur-unsur khusus, menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang merupakan syarat khusus untuk dinamakan seseorang telah melakukan jarimah perjudian, ialah:

a. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau lebih yang bertaruh: yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor yang cocok) akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan tertentu.

b. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari para petaruh.34

Rasyid Ridha dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam pengertian maisir yang dilarang syara’. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi, dilarang syara’.35

33

34

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam),h. 148.

35


(43)

Berdasarkan rumusan judi di atas, maka jika ada dua kesebelasan sepak bola yang bertanding yang oleh sponsor akan diberikan hadiah kepada yang menang, ini bukan judi, karena tidak ada dua pihak yang bertaruh. Contoh lain: dua pemain catur yang mengadakan perjanjian, siapa yang kalah membayar kepada yang menang suatu jumlah uang, juga tidak dapat dinamakan berjudi, sebab pertandingan itu merupakan adu kekuatan/keterampilan/kepandaian.36

Pada prinsipnya lomba berhadiah seperti bergulat, lomba lari, badminton, sepak bola, atau catur diperbolehkan oleh agama, asal tidak membahayakan keselamatan badan dan jiwa. Dan mengenai uang hadiah yang diperoleh dari hasil lomba tersebut diperbolehkan oleh agama, jika dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Jika uang/hadiah itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor nonpemerintah untuk para pemenang.

b. Jika uang/hadiah lomba itu merupakan janji salah satu dari dua orang yang berlomba kepada lawannya, jika ia dapat dikalahkan oleh lawannya itu.

c. Jika uang/hadiah lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka disertai muhallil, yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian lomba dengan uang sebagai pihak ketiga, yang akan mengambil uang

36


(44)

hadiah itu, jika jagonya menang; tetapi ia tidak harus membayar, jika jagonya kalah.37

Para ulama membolehkan balapan kuda, sapi, dan sebagainya, dengan syarat uang/hadiah yang diterimanya itu berasal dari pihak ketiga (sponsor lomba) atau dari sebagian peserta lomba. Islam membolehkan balapan kuda dan sebagainya itu adalah untuk mendorong umat Islam mempunyai keterampilan dan keberanian menunggang kuda yang sangat diperlukan untuk peperangan dahulu. Tetapi sekarang orang melatih diri agar menjadi joki yang hebat. Apabila uang/hadiah itu berasal dari semua peserta lomba, untuk bertaruh: siapa yang kalah, membayar Rp. 100.000,00 dan peserta yang diajak mau bertanding, maka lomba ini haram, karena masing-masing menghadapi untung rugi.38

37

Ibid.,h. 150.

38


(45)

33

PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN KOTA BEKASI A. Pengaturan Perjudian di Aceh

1. Kondisi Sosial Politik Aceh

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah sebuah Daerah yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia, Ibukota Provinsi NAD adalah Banda Aceh. Secara geografis dan keluasan, kawasan ini terbentang di ujung pulau Sumatera yang berbatasan sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Lautan Hindia serta sebelah barat dengan Lautan Hindia dan Teluk Benggala (India), sayang tidak disebutkan perbatasan sebelah timur. Sangat strategis baik dari sudut ekonomi, politik, maupun geografis. sehingga menjadi jalur perniagaan internasional yang paling sibuk di kawasan Asia Tenggara.1 Berdasarkan data sensus penduduk 2012 Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Provinsi Aceh sebanyak 4.726.001 jiwa dan tersebar diseluruh kabupaten/kota. Selama periode Maret 2012-September 2012, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan menurun 0,60 persen (dari 13,07 persen menjadi 12,47 persen),

!" #!$ % & '( !$, ) *+ , + , Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh, (- ! . !/ 0 !12' % 0 !$ 345. 0/6 5 ! 3 !( ! !$7 ! !$4 %0 !$3!$ D% . !06 5(5$ 0 / %!$ 3 ! ( !89, : ;< ;=, ". :<>


(46)

sementara di daerah perdesaan menurun 1,00 persen (dari 21,97 persen menjadi 20,97 persen).2

Secara geografis terletak pada 2°-6° LU dan 95°-98° BT. Provinsi NAD merupakan Provinsi yang berbatasan (laut) dengan India, Myanmar, Thailand dan Malaysia. Di sebelah timur, Provinsi NAD berbatasan laut dan darat dengan Provinsi Sumatera Utara. Provinsi NAD memiliki wilayah seluas 57.736,557 km², didalamnya terdapat kawasan hutan seluas 3.335.613 Ha atau 62 % dari luas daratan terdiri dari hutan lindung dan konservasi 2.697.113 Ha dan kawasan budidaya hutan 638.580 Ha. Puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut, wilayah laut yang merupakan Zona Ekonomi Exclusif (ZEE) seluas 534.520 km². Provinsi NAD memiliki 119 buah pulau, 73 sungai yang besar, 35 gunung dan 2 buah danau.3 Kabupaten dan kota di provinsi Aceh yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Barat daya, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Bener Meriah, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Simeulue, Kota

?

@ AB C DE F GEH I FJJ BCKL MK N DIBO GGIP IQ , artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 dari

http://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf. 3

Gambaran Umum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) , artikel diakses pada 7 Maret 2014 dari http://www.profilkabupaten.com/gambaran-umum-provinsi-nanggroe-aceh-darussalam-nad/.


(47)

Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, dan Kota Subulussalam.4

Bangsa Aceh seluruhnya beragama Islam, bangsa Aceh telah identik dengan agama Islam. Sejak permulaan masuknya Islam ke Asia Tenggara, Aceh adalah tempat pertama berlabuhnya agama Islam dan sejak saat itulah bangsa Aceh telah memeluk agama ini tepatnya pada awal abad lahirnya agama Islam. Bersatunya agama Islam dengan penduduk Aceh telah menjadikan bangsa ini sebagai yang mempelopori agama Islam ke wilayah-wilayah di sekitar Asia Tenggara, seperti semenanjung Malaya, wilayah Sumatera lainnya, Pulau Jawa dan lain-lain. Bumi Aceh yang telah menyatu dengan agama Islam yang dianut oleh penduduknya, sehingga sesuailah Aceh dijuluki dengan ‘Serambi Mekkah’.5 Agama lain yang di anut oleh penduduk di Aceh adalah Agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Khonghucu.6

Provinsi Aceh memiliki 13 buah asli yaitu Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Bahasa Aneuk Jamee, Bahasa Singkil, Bahasa Alas, Bahasa

4

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam , artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 dari http://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf.

5

Abdullah Sani Usman,Krisis Legitimasi Politik dalam...,h. 22-23. 6

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam , artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 dari http://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf.


(48)

Tamiang, Bahasa Kluet, Bahasa Devayan, Bahasa Sigulai, Bahasa Pakpak, Bahasa Haloban, Bahasa Lekon dan Bahasa Nias. Rumah Adat di Provinsi Aceh di sebutRumoh Aceh.7

Provinsi Aceh dalam perkembangannya telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah administratif dan saat ini terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota. Untuk pemerintah di bawah kabupaten/kota, selain memiliki Kecamatan dan Gampong (wilayah setingkat Desa) berdasarkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 dibentuk Mukim yang berkedudukan langsung dibawah Camat dan wilayahnya terdiri atas beberapa gampong. Hingga saat ini Provinsi Aceh memiliki 284 Kecamatan, 755 Mukim dan 6.450 Gampong.8

2. Materi Pengaturan Perjudian di Aceh a. Pengertian

Definisi maisir (perjudian) menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 1 ayat (20) yang berbunyi:

“Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapat bayaran.” Jadi yang dimaksud perjudian di dalam pasal ini adalah setiap kegiatan atau perbuatan yang di dalamnya terdapat unsur

7

Ibid.

8


(49)

taruhan antara dua pihak atau lebih dan pihak yang menang akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan tertentu.

b. Perbuatan yang Dilarang

Adapun perbuatan yang dilarang menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain:

Pertama, melakukan perbuatan maisir. Maksudnya setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir; Kedua,menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. Maksudnya dilarang dan akan dikenakan hukuman bagi setiap orang atau badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. Dengan menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir maka itu akan memberi kemudahan bagi pelaku perjudian dalam melaksanakan perbuatannya. Bila tetap dilakukan pelanggaran maka akan dikenakan hukuman bagi pelakunya; Ketiga, menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir. Maksudnya setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang melindungi terhadap perbuatan maisir. Melindungi di sini maksudnya antara lain menutup-nutupi dari usaha penyidik melakukan penggrebekan orang yang sedang melakukan perjudian atau menghalang-halangi pekerjaan penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi; Keempat,


(50)

memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir. Maksudnya instansi pemerintah dilarang memberikan izin usaha penyelenggaraanmaisir.

c. Pelaku Tindak Pidana

Yang termasuk pelaku menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain:

Pertama, setiap orang yang melakukan perbuatan maisir(pemain). Kedua, setiap orang, badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatanmaisir. Kedua kategori pelaku tersebut adalah orang yang beragama Islam yang melakukan tindak pidana di bidang maisir (perjudian) di wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam. Pidana cambuk hanya diberikan terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum. Tujuan penerapan Syariat Islam dan penerapan sanksi pidana cambuk adalah untuk memberikan pencerahan dan kesadaran bagi masyarakat dan untuk memberikan kesadaran dan rasa malu untuk mengulangi perbuatannya lagi serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi keluarganya. Serta untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan berjiwa Islam yang berakhlak mulia.


(51)

d. Sanksi Pidana

Sanksi pidana menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 23, 26 dan 27, antara lain:

Pertama, setiap pemain judi yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.

Kedua, pemberian fasilitas atau menyelenggarakan perjudian yang dilakukan baik oleh perorangan, badan usaha atau badan hukum yang berdomisili atau beralamatkan di wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam, hanya dikenakan pidana dengan pidana denda sebesar paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Dan jika berkaitan dengan kegiatan usaha maka akan dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.

Dalam qanun maisir ini juga mengatur tentang pengulangan (residivist), yaitu terdapat dalam Pasal 26 yang menyebutkan, bahwa pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan qanun tersebut, ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal. Sedangkan perbuatan dapat disebut pelanggaran apabila: (1) Dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab. (2) Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain


(52)

sanksi ‘uqubat dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan.

e. Pelaksanaan Hukuman

Pelaksanaan hukuman menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 29, 30 dan 31, antara lain:

‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum, Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur di dalam QanunMaisir.

‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara 0, 75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau dibelah. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan atau cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya adalah seorang perempuan maka posisinya duduk dan ditutup kain di atasnya. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Apabila selama pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum, yang dapat


(53)

membahayakan nyawanya berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.

B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi 1. Kondisi Sosial Politik di Kota Bekasi

Kota Bekasi secara administratif termasuk dalam Provinsi Jawa Barat dengan batas-batas: sebelah utara dengan Kabupaten Bekasi; sebelah selatan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok; sebelah barat dengan Provinsi DKI Jakarta; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Kota yang luas wilayahnya sekitar 210,49 Km² dengan titik koordinat 106°48'281"-107°27'29" Bujur Timur dan 6°10'6"-6°30'6" Lintang Selatan.9 Pada perkembangannya kini sesuai dengan Perda No. 4 tahun 2004, Kota Bekasi mempunyai 12 kecamatan, yang terdiri dari 56 kelurahan, yaitu : Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan, Kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Pondok Gede, Kecamatan Jatiasih, Kecamatan Bantar Gebang, kecamatan Jatisampurna, Kecamatan Medan Satria, kecamatan Rawalumbu, kecamatan Mustika Jaya dan kecamatan Pondok Melati.10

Topografi Kota Bekasi bervariasi, namun sebagian besar berada pada dataran rendah dengan kemiringan antara 0-2% dan ketinggian antara

9

Kondisi Geografis Wilayah Kota Bekasi , artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://www.bekasikota.go.id/read/5456/kondisi-geografis-wilayah-kota-bekasi.

10

Profil Daerah Kota Bekasi , artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1062.


(54)

11-81 meter di atas permukaan air laut. Dataran rendah yang ketinggannya kurang dari 25 meter dari permukaan air laut sebagian besar berada di Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, dan Pondok Gede. Sedangkan, daerah berketinggan antara 25-100 meter dari permukaan air laut sebagian besar berada di Kecamatan Bantargebang, Pondok Melati, dan Jatiasih (Pemkot Bekasi, 2009).11 Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi tahun 2014 sebanyak 2. 811. 000 jiwa.12

Salah satu hal yang membuat Kota Bekasi berkembang dengan pesat adalah karena adanya perkembangan dalam bidang industri, terutama industri pengolahan, perdagangan, hotel, dan restoran. Hal ini membuat mata pencaharian penduduknya pun semakin beragam dan tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian. Menurut data dari BPS Kota Bekasi tahun 2012, dari luas secara keseluruhan yang mencapai 21.049 ha, hanya sebagian kecil saja yang saat ini masih digunakan sebagai lahan pertanian yaitu sekitar 505 ha atau 3,15%. Selebihnya, merupakan lahan kering yang digunakan untuk bangunan dan halaman (15.072 ha), kebun (4.285 ha), dan kolam atau empang seluas (69 ha).13

11

Kota Bekasi , artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun-halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.

12

Puluhan Ribu E-KTP Baru Turun Lagi ,artikel yang diakses pada tanggal 7 Maret 2014 dari http://poskotanews.com/2014/03/05/puluhan-ribu-e-ktp-baru-turun-lagi/.

13

Kota Bekasi , artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun-halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.


(55)

Sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang diunggulkan, ini sesuai dengan Visi Kota Bekasi, yaitu unggul dalam jasa dan perdagangan, kini berkembang sangat pesat. Selain itu, banyak juga industri kecil yang berkembang dan telah dapat membuka pasar internasional. Perdagangan ikan hias yang ada di Kota Bekasi saat ini merupakan komoditi terbesar di Asia Tenggara. Dieksport ke berbagai negara Australia, Belanda dan Selandia Baru. Sektor industri besar juga telah menetapkan Kota Bekasi sebagai kawasan perindustrian yang dapat memberikan keuntungan bagi pengusaha lokal maupun internasional.14

Dengan lahan yang relatif kecil tersebut, tanaman pangan, buah-buahan dan hasil kebun lain yang dihasilkan hanyalah berupa padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, sawi, kacang panjang, bayam, mentimun, cabe, terong, kangkung, rambutan, jambu biji, duku, sawo, pisang, pepaya, jahe, pandan, dan kencur. Pada tahun 2012, produksi tanaman padi menghasilkan sekitar 5.950,79 ton, kangkung 4.348 ton, sawi 3.614,4 ton, bayam 3.556,65 ton, rambutan 2.006,87 ton, jambu biji 987,74 ton, jahe 366,47 kwintal per ha, dan selebihnya berupa sawo, pisang, dan pepaya sekitar 600 ton. Selain pertanian dan perkebunan, Kota Bekasi juga menghasilkan tambahan dari sektor perikanan dan peternakan. Pada tahun 2011 hasil perikanan Kota Bekasi mencapai 1.310,05 ton dengan jenis ikan lele yang paling banyak diproduksi yaitu sekitar 531,85 ton.

14

Profil Daerah Kota Bekasi , artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1062.


(56)

Sedangkan dari sektor peternakan menghasilkan 1.104.525 ekor ayam ras pedaging, 172.358 ekor ayam buras, 118.500 ekor ayam petelur, dan 7.294 ekor itik.15

Agama yang dianut oleh Masyarakat Kota Bekasi sangat beragam, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan aliran Kepercayaan. Ada korelasi positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (masjid, musholla dan langar). Berdasarkan data yang tertera pada Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, jumlah masjid yang ada di sana mencapai 1.032 buah, musholla 695 buah, dan langgar mencapai 957 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen dan Katolik mencapai 97 buah, agama Budha mencapai 11 buah (10 buah vihara dan 1 buah kelenteng), dan agama Hindu hanya ada satu buah pura. Sementara data yang berkaitan dengan sarana peribadatan atau gedung pertemuan bagi penganut aliran kepercayaan belum ada.16 Dan Walikota Bekasi tahun 2014 adalah Dr. H. Rahmat Effendi.17

15

Kota Bekasi , artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun-halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.

16

Ibid.

17

Walikota Bekasi , artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://www.bekasikota.go.id/read/53/walikota-bekasi.


(57)

2. Materi Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi a. Pengertian

Definisi judi menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 diatur dalam Pasal 1 ayat (12) yang berbunyi:

“Judi adalah tiap-tiap permainan, yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lain.”Jadi yang dimaksud perjudian di dalam pasal ini adalah setiap permainan yang mengandalkan untung-untungan dalam kemenangannya dan bertambah besar kemungkinan menangnya karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi juga mengandung segala pertaruhan keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang berlomba atau bermain itu, dan juga segala pertaruhan lain.

b. Perbuatan yang Dilarang

Adapun perbuatan yang dilarang menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 7, antara lain:

Pertama, memberikan izin perjudian. Maksudnya instansi pemerintah dilarang memberikan izin usaha perjudian; Kedua,


(1)

11. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai

Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3192);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3866);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

17. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 37 Tahun 1998 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi (Lembaran Daerah Tahun 1998 Nomor 39 Seri D);

18. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 06 Tahun 2003 tentang Rencana Strategik Pemerintah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2003-2008 (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 6 Seri E).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BEKASI dan

WALIKOTA BEKASI MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN PERJUDIAN DI KOTA BEKASI BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Kota Bekasi;

2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;

3. Walikota adalah Walikota Bekasi;

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi;

5. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi;

6. Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat POLRI adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah kerja Daerah;

7. Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang;


(2)

8. Pengadilan Negeri adalah pengadilan negeri di dalam wilayah Daerah;

9. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah;

10. Pencegahan adalah tindakan awal merintangi, antisipasi, menolak atau melarang agar tidak terjadi suatu perbuatan yang berkaitan dengan tindakan perjudian;

11. Satuan Polisi Pamong Praja adalah Perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Walikota ;

12. Judi adalah tiap-tiap permainan, yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lain;

13. Instansi vertikal adalah perangkat dari Departemen atau Lembaga Pemerintah non Departemen yang mempunyai lingkungan kerja di wilayah yang bersangkutan;

14. Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh Walikota guna mencapai keselarasan, keserasian, dan keterpaduan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua Instansi Vertikal, dan antara Instansi Vertikal dengan Dinas Daerah agar tercapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya;

15. Pihak yang berwajib adalah Kepolisian Metro Bekasi. BAB II

RUANG LINGKUP DAN TUJUAN Pasal 2

(1) Ruang lingkup pencegahan perjudian dalam Peraturan Daerah ini adalah segala bentuk kegiatan pencegahan dan/atau perbuatan yang berhubungan dan/atau mengarah pencegahan pada perjudian.

(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud ayat (1) berisikan ketentuan–ketentuan yang mengatur kewenangan dan Kewajiban Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam melaksanakan pencegahan perjudian.

(3) Dalam hal ketentuan-ketentuan yang mengatur kewenangan dan kewajiban Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka segala bentuk akibat hukum yang ditimbulkan termasuk ancaman hukumannya tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 3 Pencegahan perjudian ini bertujuan :

a. melindungi masyarakat terhadap adanya berbagai bentuk kegiatan perjudian;

b. meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan perjudian; c. mendukung penegakan hukum yang optimal terhadap ketentuan peraturan dan

perundang-undangan yang berhubungan dengan kegiatan dan/atau perbuatan judi. BAB III

JENIS PERJUDIAN Pasal 4

Jenis perjudian yang harus dicegah adalah (setiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung untung-untungan saja dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain) antara lain terdiri atas :

1. Perjudian yang biasa dilakukan di kasino, seperti : a. Roulette;

b. Blackjack; c. Baccarat; d. Creps; e. Keno;


(3)

f. Tombola;

g. Super Ping-pong; h. Lotto Fair;

i. Satan; j. Paykyu;

k. Slot machine (jackpot) l. Ji Si Kie;

m. Big Six Wheel; n. Chuc a luck;

o. Lempar panser/bulu ayam pada sasaran atau apapun yang berputar (Paseran) p. Pachinko;

q. Poker; r. Twenty one; s. Hwa-Hwe; t. Kiu-kiu.

2. Perjudian di tempat-tempat keramaian yang harus dicegah, antara lain terdiri dari perjudian dengan :

a. Lempar panser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak; b. Lempar gelang;

c. Lempar uang (coin); d. Kim;

e. Pancingan;

f. Menembak sasaran yang tidak berputar; g. Lempar bola;

h. Adu ayam; i. Adu kerbau;

j. Adu domba/kambing; k. Pacu Kuda;

l. Karapan sapi; m. Pacu anjing; n. Hailai;

o. Mayong/macak; p. Erek-erek;

q. Toto gelap (Togel).

3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang berkaitan dengan kebiasaan :

a. Adu ayam/Sabung ayam; b. Adu sapi;

c. Adu kerbau; d. Pacu kuda; e. Karapan sapi;

f. Adu domba/kambing.

4. Dan jenis-jenis kegiatan yang diindikasikan sebagai judi. BAB IV

PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 5

Peran serta masyarakat dalam pencegahan perjudian merupakan kewajiban dan tanggung jawab untuk ikut mewujudkan kehidupan yang aman dan tenteram bebas dari perjudian, yang meliputi:

a. memberi peringatan agar setiap orang tidak melakukan perjudian dan tindakan yang mengarah pada perjudian;


(4)

b. membantu mengawasi lingkungan agar tidak terjadi perbuatan yang mengarah pada perjudian;

c. mencegah dibukanya lokasi-lokasi atau tempat-tempat yang digunakan untuk perbuatan perjudian;

d. melaporkan kepada Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan Perangkat Pemerintahan Daerah, apabila terjadi perbuatan perjudian atau mengarah pada perbuatan perjudian;

e. melaporkan atau mengadukan kepada pihak berwajib apabila mengetahui diduga adanya perbuatan perjudian.

Pasal 6

Pihak berwajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf e.

BAB V

PENCEGAHAN PERJUDIAN Pasal 7

(1) Pemerintah Daerah dilarang memberikan izin perjudian dalam bentuk apapun.

(2) Setiap orang dan/atau sekelompok orang dilarang menggunakan tempat usaha/tempat tinggal sebagai tempat perjudian.

(3) Setiap orang maupun sekelompok orang dilarang membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian yang mengakibatkan terjadinya perbuatan perjudian.

(4) Setiap orang dan/atau sekelompok orang dilarang menjadi pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian, maupun memberikan kesempatan untuk perjudian.

(5) Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan dilarang memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian.

(6) Setiap penanggung jawab dan/atau pemimpin lembaga pendidikan, lembaga swasta, pemerintahan serta instansi wajib mencegah terjadinya perbuatan perjudian di lingkungannya.

(7) a. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan diwajibkan mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, sehingga pihak pemakainya tidak menggunakan sebagai tempat perjudian;

b. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan untuk perjudian.

BAB VI

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 8

Pemerintah Daerah bersama masyarakat melakukan pembinaan yang diarahkan untuk : a. mencegah terjadinya dan meluasnya perbuatan perjudian;

b. melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas meluasnya perbuatan perjudian;

c. mencegah seluruh lapisan masyarakat terlibat dalam kegiatan perbuatan perjudian; d. mendidik, mensosialisasikan, penyuluhan nilai-nilai moral, agama dan hukum kepada

seluruh lapisan masyarakat.


(5)

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan pencegahan perjudian ini dilakukan oleh Walikota dan pejabat lain yang berwenang dalam penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

(2) Pengawasan terhadap kegiatan yang potensial mengarah pada perbuatan perjudian, dapat dilakukan oleh :

a. Pemerintah Daerah dan DPRD; b. Penegak Hukum;

c. Warga masyarakat.

(3) Penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b pasal ini, meliputi : a. Kepolisian;

b. Polisi Militer; c. Kejaksaan;

d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil; e. Satuan Polisi Pamong Praja.

(4) Pemerintah Daerah dan/atau Instansi Vertikal wajib mengawasi perjudian di perbatasan dan pintu-pintu masuk Kota Bekasi.

BAB VII

KOORDINASI KEGIATAN DENGAN INTANSI VERTIKAL Pasal 10

Walikota wajib menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan pencegahan dan pemberantasan perjudian dengan Instansi Vertikal.

Pasal 11

(1) Dalam melaksanakan koordinasi, Walikota melakukan :

a. perencanaan dan pengorganisasian kegiatan bersama instansi vertikal terhadap masalah sosial yg terkait dengan masalah pencegahan dan pemberantasan perjudian;

b. Evaluasi bersama dengan instansi vertikal dalam 6 (enam) bulan sekali terhadap masalah sosial yg terkait dengan masalah pencegahan dan pemberantasan perjudian.

(2) Dalam melaksanakan koordinasi Walikota memperhatikan prinsip fungsionalisasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII PENYIDIKAN

Pasal 12

(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

(2) Penyidik Pegawai Negari Sipil (PPNS) diberikan kewenangan penyidikan sesuai peraturan yang berlaku pada instansinya.

(3) Dalam melaksanakan tugas penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, penyidik berwenang :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang, kelompok atau lembaga tentang adanya perbuatan perjudian;

b. melakukan tindakan pertama pada saat ini ditempat kejadian serta melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan setelah terjadi perbuatan perjudian; c. menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dari kegiatan

perjudian dan memeriksa tanda pengenalnya;

d. melakukan penggeledahan, penyitaan benda dan/atau surat yang diduga berkaitan dengan perbuatan perjudian;

e. mengambil sidik jari dan photo yang diduga sebagai tersangka;

f. memanggil seseorang atau beberapa orang untuk didengar dan diperiksa yang diduga sebagai tersangka atau saksi;


(6)

g. menghentikan penyidikan setelah tidak terdapat cukup bukti atau setelah diketahui peristiwa yang disidik bukan merupakan perbuatan perjudian;

h. mengadakan tindakan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. (4) Penyidik dimaksud ayat (2) pasal ini membuat Berita Acara untuk setiap tindakan :

a. pemeriksaan yang diduga tersangka; b. penggeledahan;

c. penyitiaan barang; d. pemeriksaan surat; e. pemeriksaan saksi;

f. pemeriksaan tempat kejadian;

g. penyimpanan dan penyisihan barang bukti. BAB IX

SANKSI ADMINISTRASI Pasal 13

(1) Barang siapa yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2), (3), (5), (6) dan (7) Peraturan Daerah ini diancam dengan sanksi administratif.

(2) Sanksi sebagaimana ayat (1) pasal ini berupa pencabutan izin.

(3) Ketentuan pencabutan izin sebagaimana ayat (2) pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

BAB X

KETENTUAN PIDANA Pasal 14

(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (2) sampai dengan (7) Peraturan Daerah ini diancam dengan hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud ayat 2 pasal ini adalah pelanggaran. BAB XI

KETENTUAN PENUTUP Pasal 15

Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan Peraturan Daerah ini akan diatur dengan Peraturan dan/atau Keputusan Walikota.

Pasal 16

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Bekasi.

Ditetapkan di Bekasi pada tanggal 22 Nopember 2005 WALIKOTA BEKASI

Ttd/Cap

AKHMAD ZURFAIH Diundangkan di Bekasi

pada tanggal 22 Nopember 2005

SEKRETARIS DAERAH KOTA BEKASI Ttd/Cap

TJANDRA UTAMA EFFENDI Pembina Utama Muda NIP. 010 081 186