Pengaturan Perjudian di Aceh
Tamiang, Bahasa Kluet, Bahasa Devayan, Bahasa Sigulai, Bahasa Pakpak, Bahasa Haloban, Bahasa Lekon dan Bahasa Nias. Rumah Adat di Provinsi
Aceh di sebut Rumoh Aceh.
7
Provinsi Aceh dalam perkembangannya telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah administratif dan saat ini terdiri dari 18 kabupaten
dan 5 kota. Untuk pemerintah di bawah kabupatenkota, selain memiliki Kecamatan dan Gampong wilayah setingkat Desa berdasarkan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 dibentuk Mukim yang berkedudukan langsung dibawah Camat dan wilayahnya
terdiri atas beberapa gampong. Hingga saat ini Provinsi Aceh memiliki 284 Kecamatan, 755 Mukim dan 6.450 Gampong.
8
2. Materi Pengaturan Perjudian di Aceh a. Pengertian
Definisi maisir perjudian menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 1 ayat 20 yang berbunyi:
“Maisir perjudian adalah kegiatan danatau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang
mendapat bayaran.” Jadi yang dimaksud perjudian di dalam pasal ini adalah setiap kegiatan atau perbuatan yang di dalamnya terdapat unsur
7
Ibid.
8
Ibid.
taruhan antara dua pihak atau lebih dan pihak yang menang akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan tertentu.
b. Perbuatan yang Dilarang Adapun perbuatan yang dilarang menurut Qanun Aceh No. 13
Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain: Pertama, melakukan perbuatan maisir. Maksudnya setiap orang
dilarang melakukan perbuatan maisir; Kedua, menyelenggarakan danatau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir.
Maksudnya dilarang dan akan dikenakan hukuman bagi setiap orang atau badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan danatau memberi
fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. Dengan menyelenggarakan danatau memberi fasilitas kepada orang yang akan
melakukan perbuatan maisir maka itu akan memberi kemudahan bagi pelaku perjudian dalam melaksanakan perbuatannya. Bila tetap dilakukan
pelanggaran maka akan dikenakan hukuman bagi pelakunya; Ketiga, menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir. Maksudnya setiap orang
atau badan hukum atau badan usaha dilarang melindungi terhadap perbuatan maisir. Melindungi di sini maksudnya antara lain menutup-
nutupi dari usaha penyidik melakukan penggrebekan orang yang sedang melakukan perjudian atau menghalang-halangi pekerjaan penyidik untuk
melakukan penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi; Keempat,
memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir. Maksudnya instansi pemerintah dilarang memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir.
c. Pelaku Tindak Pidana Yang termasuk pelaku menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain: Pertama, setiap orang yang melakukan perbuatan maisir pemain.
Kedua, setiap orang, badan hukum atau
badan usaha yang
menyelenggarakan danatau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. Kedua kategori pelaku tersebut adalah orang
yang beragama Islam yang melakukan tindak pidana di bidang maisir perjudian di wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam. Pidana cambuk
hanya diberikan terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum. Tujuan
penerapan Syariat Islam dan penerapan sanksi pidana cambuk adalah untuk memberikan pencerahan dan kesadaran bagi masyarakat dan untuk
memberikan kesadaran dan rasa malu untuk mengulangi perbuatannya lagi serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan
pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi keluarganya. Serta untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan
berjiwa Islam yang berakhlak mulia.
d. Sanksi Pidana Sanksi pidana menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti
yang tercantum dalam Pasal 23, 26 dan 27, antara lain: Pertama, setiap pemain judi yang terbukti melakukan tindak
pidana perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum paling banyak 12 dua belas kali dan paling sedikit 6 enam kali.
Kedua, pemberian fasilitas atau menyelenggarakan perjudian yang dilakukan baik oleh perorangan, badan usaha atau badan hukum yang
berdomisili atau beralamatkan di wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam, hanya dikenakan pidana dengan pidana denda sebesar paling
banyak Rp. 35.000.000,- tiga puluh lima juta rupiah dan paling sedikit Rp. 15.000.000,- lima belas juta rupiah. Dan jika berkaitan dengan
kegiatan usaha maka akan dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.
Dalam qanun maisir ini juga mengatur tentang pengulangan residivist, yaitu terdapat dalam Pasal 26 yang menyebutkan, bahwa
pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan qanun tersebut, ‘uqubatnya dapat ditambah 13 sepertiga dari ‘uqubat maksimal. Sedangkan
perbuatan dapat disebut pelanggaran apabila: 1 Dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung
jawab. 2 Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain
sanksi ‘uqubat dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan.
e. Pelaksanaan Hukuman Pelaksanaan hukuman menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
seperti yang tercantum dalam Pasal 29, 30 dan 31, antara lain: ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk
oleh Jaksa Penuntut Umum, Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur di dalam Qanun Maisir.
‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang
ditunjuk. Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara 0, 75 cm sampai 1 satu senti meter, panjang 1 satu meter dan tidak
mempunyai ujung ganda atau dibelah. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar
pukulan atau cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan
memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya adalah seorang perempuan maka posisinya duduk dan ditutup kain di
atasnya. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 enam puluh hari yang bersangkutan melahirkan. Apabila selama
pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum, yang dapat
membahayakan nyawanya berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.