Pengertian Pesawat Udara Sejarah

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PESAWAT UDARA

D. Pengertian Pesawat Udara

Kini manusia bukan saja mampu melakukan perjalanan dengan tranportasi darat dan laut saja akan tetapi kini manusia dapat melakukan perjalanan di atas awan dengan menggunakan alat transpotasi udara, yaitu pesawat terbang. Usaha tersebut merupakan hasil kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan teknologi penerbangan. Sebelumnya perlu dijelaskan dahulu apa yang dimaksud dengan “pesawat udara” . Pesawat terbang sebagai alat transportasi udara, dalam perspektif kehidupan masyarakat sekarang banyak diakui kalangan luas memiliki posisi sangat sentral. Sedang arti pesawat udara sendiri dengan mengacu pada pasal 1 ayat 3 UU No.151992 diartikan sebagai setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara. Sedang istilah lain yang banyak digunakan secara umum, yakni pesawat udara. Dalam penulisan skripsi ini telah termasuk pengertian pesawat udara, dalam pasal 1 ayat 3 UU No.151992 arti pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya sendiri. 11 11 Departemen Perhubungan, Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, tt, h. 2

E. Sejarah

3. Sejarah Perkembangan Pesawat Udara Penerbangan oleh manusia sudah ada dalam khayalan orang yunani kuno, yang terungkap dari dongeng-dongengnya. Yang terkenal ialah dongeng Daedalus . Yang membuatkan sayap untuk anaknya Icarus, yang akhirnya mencelakakan anaknya itu. Tetapi awal mulanya analisis yang sungguh-sungguh tentang kemampuan terbang terdapat dalam tulisan Aristoteles 384-322 sebelum masehi. Ia mengemukakan, suatu benda hanya mungkin meluncur atau terbang, bila ada daya atau kekuatan yang terus-menerus mendorongnya. Jika daya atau kekuatan tersebut dihilangkan, maka benda itu akan berhenti meluncur dan jatuh. Menurut Aristoteles, daya atau kekuatan itu berasal dari udara. Jadi, udara justru mendorong terbangnya benda-benda tersebut. Sebagimana diketahui, di dusun Kitty Hawk, Carolina Utara, Amarika Serikat, Wright bersaudara melakukan penerbangan bersejarah yang pertama kali dilakukan manusia. Pada waktu itu, Orville Wright dengan rendah hati melukiskan pengalaman secara tepat dan mengatakan: “penerbangan ini berlangsung hanya 12 detik. Namun ini penerbangan pertama kali dalam sejarah dunia. Penerbangan dengan pesawat yang mampu mengangkut manusi, mampu tinggal-landas dengan tenaganya sendiri untuk melakukan penerbangan penuh, dan bergerak maju tanpa kecepatan berkurang, dan mampu mendarat dengan selamat.” Pada tahun 1905 Wright bersaudara membuat rekor dengan melakukan penerbangan sejauh 24 mil. 12 4. Sejarah Perkambangan Hukum Penerbangan Banyak kejadian terutama sejak setelah Perang Dunia II, penerbangan sipil mengalami bentuk terorisme udara. Tercatat terorisme udara pertama tahun 1948 sebuah pesawat Cathay Pasific dibajak saat terbang yang menyebabkan seluruh penumpangnya tewas, setelah itu ada berbagai macam terorisme udara lainnya seperti pemasangan bom pada tragedi Kashmir Princess, meningkatnya pembajakan demi motif politik mencari suaka saat konflik Cina dan Taiwan, konflik dua Korea, konflik Amerika Serikat dan Kuba. Naiknya tingkat pembajakan dan terorisme udara sangat terasa di Timur Tengah saat konflik Arab- Israel pada kurun waktu 1960-1980. Tercatat peledakan tiga buah pesawat dari maskapai BOAC, SwissAir, dan TWA di Jordania oleh gerilyawan Palestina, pembajakan pesawat El Al Israel, pembajakan pesawat Lufthansa, dan usaha penembakan pesawat B747 El Al dengan rudal panggul oleh gembong terorisme Carlos The Jackal. Beberapa tindakan sabotase juga dilakukan. Tercatat ada dua buah kasus peledakan terhadap pesawat udara sipil yang membawa implikasi politis yaitu peledakan pesawat Korean Airlines Korea Selatan tahun 1987 oleh badan intelijen Korea Utara dan peledakan pesawat PANAM tahun 1988 di Lockerbie diduga dilakukan oleh badan intelejen Libya. Indonesia-pun juga tidak 12 Achmad Moegandi, Mengenal Dunia Penerbangan Sipil, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996, cet. Pertama, h. 18-44 luput dari usaha terorisme udara ini seperti pembajakan pesawat Merpati dan pembajakan DC-9 Woyla 13 . Terlihat pada kejadian-kejadian diatas bahwa tidak ada satupun negara yang mengoperasikan pesawat udara yang benar-benar aman terhadap terorisme udara bahkan pada suatu negara yang keamanannya luar biasa ketat seperti Israel sekalipun. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang cukup meresahkan ini maka dibuatlah konvesi yang mengaturnya. Konvensi ini ada tiga yaitu Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Konvensi ini diadakan untuk mengatur tindak pidana pada pesawat udara dimana pada tiap konvensi melakukan berbagai macam perbaikan. Badan dunia seperti Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB juga membuat beberapa resolusi serta International Civil Aviation Organization ICAO dan International Air Transport Assosiation IATA mengeluarkan bentuk perjanjian serupa. Indonesia juga tidak ketinggalan membuat UU no.2 1976 dan no.4 1976 yang akan dijelaskan nanti. Instrumen Hukum Instrumen hukum Internasional yang mengatur masalah tindak pidana dan bentuk-bentuk terorisme penerbangan diantaranya tiga Konvensi Internsional yaitu Konvensi Tokyo, Den Haag, dan Montreal. Beberapa resolusi juga telah dibuat oleh PBB dan ICAO. Sementara di Indonesia telah 13 Artikel ini diakses pada tanggal 12 desember 2007, http:www.sudirodesign.comindex.php?m=newsid=0hash_token=my_category=lower_limit= 24 mengambil ketentuan-ketentuan dalam ketiga konvensi tersebut sebagai dasar pembuatan undang-undang UU no.2 dan no.4 1976 sehingga pelaku tindak pidana penerbangan atau terorisme udara tidak kebal hukum di negara ini. Seperti yang diketahui, mengenai masalah tindak pidana penerbangan telah dibuat tiga konvensi yaitu: a. Konvensi Tokyo pada tahun 1963 Convention on Offence and certain Acts Committed on Board Aircraft b. Konvensi den Haag pada tahun 1970 Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft c. Konvensi Montreal pada tahun 1971 Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation Konvensi Tokyo Asal mulanya Konvesi Tokyo dipersiapkan untuk menampung status hukum suatu pesawat udara legal status of aircraft, yurisdikasi peradilan judical jurisdiction, hukum yang dapat diterapkan terhadap kejahatan yang dilakukan dalam pesawat udara dalam penerbangan the applicable substantive law to govern allege offences committed on board aircraft in flight , dan wewenang komandan atau pilot menurut hukum yang berlaku yaitu wewenang hukum terhadap pesawat udara, awak pesawat,dan penumpang selama penerbangan. Konvensi Tokyo mengatur tindak pidana dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan diatas laut lepas atau terra nullius. Yang dimaksudkan sebagai tindak pidana itu adalah segala bentuk tindak pidana yang termasuk atau diatur didalam UU Pidana masing-masing negara peserta Konvensi Tokyo dan perbuatan-perbuatan tertentu adalah perbuatan baik pidana atau bukan yang melanggar ketentuan disiplin dan ketertiban didalam pesawat udara. Kedua tindak pidana dan perbuatan-perbuatan ini berlangsung saat penerbangan diatas laut lepas. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi. Unsur-unsur di dalam Pasal 1 Konvensi yaitu: 1. Tindak pidana itu dilakukan didalam pesawat udara. 2. Pesawat udara tersebut harus didaftarkan di negara peserta Konvensi. 3. Pesawat udara sedang berada dalam penerbangan di atas laut lepas. 4. Pesawat udara berada di permukaan laut lepas. Sedangkan pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindakan pidana diatur dalam Pasal 3 Konvensi yaitu negara tempat pesawat udara didaftarkan dan juga ada kemungkinan bagi negara lain yang bukan tempat pesawat udara didaftarkan untuk melaksanakan yurisdikasinya bila negara tempat pesawat udara didaftarkan tidak mau melaksanakannya. Sedangkan pada Pasal 4 Konvensi juga diatur kemungkinan kepada negara-negara untuk melaksanakan yuridikasi bersama artinya negara-negara tersebut punya wewenang yang sama dengan negara tempat pesawat udara terdaftar untuk menyelesaikan tindakan pidana yang tercantum pada Pasal 1 Konvensi. Konvensi Tokyo ini masih memiliki banyak kelemahan seperti : 1. Tindak pidana sabotase yang sebagian besar memasukan bahan peledak secara diam-diam pada pesawat udara saat didarat dan juga terlalu mengkhususkan diri pada tindak pidananya yang kurang jelas terlebih lagi pada masalah pembajakan dan terorisme udara. 2. Hanya negara peserta Konvensi saja yang dapat dikenai ketentuan- ketentuan Konvensi. 3. Terlalu membatasi kondisi “diatas laut lepas” karena tidak seluruh negara memiliki kekuatan yurisdiksi saat pesawat udara berada dilaut lepas ataupun diatas wilayah diluar kekuasaan negara. Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa pihak saat itu masih mengganggap tindak pidana diatas laut lepas itu tidak terjangkau oleh hukum pidana manapun. Oleh karena masih banyak kekosongan yurisdiksi pada Konvensi Tokyo ini maka negara-negara peserta konvensi ini mengadakan konvensi berikutnya yaitu Konvensi den Haag pada tahun 1970. Konvensi Den Haag Konvensi ini diadakan karena timbulnya kelemahan pada Konvensi Tokyo terlebih lagi perkembangan tindak pidana seperti melebarnya dimensi perbuatan pembajakan terhadap pesawat udara yang dulunya sangat terbatas menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat mengganggu dan membahayakan penerbangan sipil pada lingkungan Internasional yang berhubungan dengan keamanan masyarakat Internasional dengan ideologi dan politik yang berbeda-beda. Konvensi ini juga terkenal dengan nama konvensi mengenai hijacking pesawat udara unlawful seizure of aircraft atau dalam bahasa Indonesia pembajakan pesawat udara. Pada Pasal 1 Konvensi Den Haag memberikan batasan mengenai pembajakan pesawat udara, yaitu apabila orang tersebut telah melakukan tindakan pidana dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan sebagai berikut: Ayat a: unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts to perform any such act ,or Ayat b: is an accomplice of a person who performs or attempts to perform any such act. Terlihat jelas bahwa Konvensi Den Haag hanya mengkhususkan tindak pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum dengan jalan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sedangkan pada bidang yurisdiksinya pada Konvensi Den Haag menghendaki negara-negara anggota memiliki yurisdiksi bilamana : a. Kejahatan dilakukan didalam pesawat udara yang didaftarkan di negara yang bersangkutan. b. Pesawat udara terhadap dari mana dilakukan pembajakan, mendarat diwilayahnya dengan pembajak berada didalam pesawat tersebut. c. Kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang disewakan tanpa awak kepada seseorang yang mempunyai domisili di negara tersebut. Yuridiksi pada konvensi ini menetapkan yurisdiksi pertama ditentukan oleh negara dimana pesawat udara mendarat dan adanya pembajak didalam pesawat udara. Konvensi Montreal Konvensi Montreal pada tahun 1971 sengaja ditujukan untuk menakuti mereka yang ingin melakukan tindakan kekerasan didalam pesawat pada umumnya dan juga tindakan sabotase dimana pada Konvensi Den Haag tidak mengatur secara jelas karena lebih memfokuskan pada pembajakan pada pesawat udara. Konvensi ini juga dimaksudkan sebagai suplemen pada pengaturan terhadap pembajakan pada Konvensi Den Haag tersebut. Latar belakang terbentuknya konvensi antara lain disebabkan dua peristiwa sabotase terhadap pesawat sipil SwissAir dan peledakan ruang kargo pesawat Austrian Airlines. Disamping itu kemajuan dan keberhasilan cara-cara pemberantasan pembajakan udara juga memberikan implikasi diadakannya konvensi ini. Pada Pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal mengatur tidak pidana sebagai berikut : a. Dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang didalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan dan tindakannya itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. b. Dengan sengaja dan secara melawan hukum merusakkan pesawat udara dalam dinas in service atau menyebabkan pesawat udara tersebut tidak mampu untuk melakukan penerbangan dengan sempurna sehingga membahayakan keselamatannya dalam penerbangannya. c. Menempatkan atau memungkinkan penempatan suatu bahan peledak atau suatu zat dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara bagaimanapun, sehingga dapat memusnahkan atau menyebabkan peswat udara tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat dalam penerbangan. d. Memusnahkan atau merusak fasilitas penerbangan atau turut campur secara melawan hukum dalam pengoperasiannya, sehingga dapat membahayakn keselamatan pesawat udara dalam penerbangan. e. Memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan pesawat udara dalam penerbangan. Konvensi ini mengikuti pola yang ada dalam konvensi terdahulu bahkan dalam aspek yurisdiksi hukum telah dimasukkan sangsi-sangsi hukum yang lebih berat terhadap pelakunya dan kemungkinan untuk ekstradisi pelakunya penyerahan ke negara dimana tindakan tersebut mula-mula dilakukan. Pada konvensi ini juga berisi tindakan pembajakan dan terorisme udara sehingga konvensi ini dapat dikatakan sempurna karena memuat kedua tindakan tersebut. Instrumen Hukum Internasional Lainnya Selain beberapa Konvensi dan Resolusi ternyata juga terdapat beberapa instrumen hukum yang cukup diakui keberadaanya terutama yang berasal dari ICAO, badan penerbangan kelas dunia yang sangat memperhatikan keamanan dan keselamatan terbang. Beberapa instrumen hukum yang dikenal saat ini adalah : a. Mukadimah Konvensi Chicago 1944 yang mejamin adanya kebebasan ruang udara freedom of the air dan kutipan yang menyatakan : “…that International civil aviation should be develop in a safe and orderly manner.” Memang tampaknya cukup luas pengertian “safe” ini, tetapi hal ini juga dimaksudkan sebagai keamanan terhadap gangguan teror dan kejahatan. b. Perjanjian multilateral yaitu “Convention for the Prevention and Punishment of Terorism” di Genewa, Swiss pada tanggal 16 November 1937. Dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak peserta konvensi telah memandang secara jauh pada tahun 1937 mengenai masalah ini. c. Di bawah naungan ICAO terbentuk pada tahun 1973 yaitu Convention on the Pervention and Punishment of Crimes Againts Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, lalu pada tahun 1977 diadakan The European Convention on The Suppression of Terrorism . d. Beberapa deklarasi juga dibuat terutama untuk kerjasama internasional seperti The Bonn Declaration 1978. Hukum Nasional Indonesia Indonesia meratifikasi ketiga konvensi tersebut menjadi undang-undang UU No.2 tahun 1976, yang menjadikan Indonesia secara langsung terikat oleh ketentuan-ketentuan pada ketiga konvensi tersebut. Dengan kata lain Indonesia berhak melaksanakan hal yurisdikasi bila hukum nasional belum mengaturnya. Sedangkan untuk hukum pidana, sebelum tahun 1976 tidak berlaku tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara Indonesia yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Lalu Indonesia memperluas berlakunya hukum pidana Indonesia sehingga berlaku terhadap pesawat udara yang berada diluar wilayah Indonesia dalam bentuk UU No. 4 tahun 1976 yakni Undang-undang tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab UU Hukum Pidana KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap SaranaPrasarana Penerbangan. Beberapa Pasal dalam KUHP ini ada pada Pasal 479 KUHP. Sangat jelas terlihat pada Pasal 479 Kitab UU Hukum Pidana KUHP mengambil ketentuan pada Konvensi Montreal bahkan dapat diambil bandingannya. Pasal 479 yang dimaksud adalah : a. Pasal 479a sd 479d mengatur tindak pidana yang dilakukan pada fasilitas penerbangan, sedangkan pada Konvensi tercantum pada Pasal 1 ayat 1 d. Perhatikan pada pembahasan Konvensi Montreal sebelumnya. b. Pasal 479e sd 479h mengatur tindak pidana menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dipakainya pesawat udara, baik sengaja atau kealpaan, menimbulkan kebakaran, ledakan, kecelakaan, kehancuran, dan sebagainya terhadap pesawat udara dengan maksud mencari keuntungan untuk dirinya sendiri atas kerugian penanggungan asuransi. Dapat dibandingkan dengan jelas Pasal 1 ayat 1 b Konvensi Montreal. c. Pasal 479l mengenai tindak pidana sengaja melakukan kekerasan terhadap seseorang dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan. Tercantum pula pada Pasal 1 ayat 1 a Konvensi Montreal. d. Pasal 479n mengatur penempatan alat atau bahan peledak yang dapat menghancurkan pesawat udara dalam dinas. Hal ini tercantum pada Pasal 1 ayat 1 c Konvensi. e. Pasal 479p yang berisi memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan yang juga sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 e Konvensi.

F. Pesawat Udara Sebagai Objek Hukum