Pratek simpan pinjam Baitul Maal Wattamwil (BMT) Cita Sejahtera menurut ekonomi syariah

(1)

PRAKTEK SIMPAN PINJAM BAITUL MAAL WATTAMWIL

(BMT) CITA SEJAHTERA MENURUT

EKONOMI SYARIAH

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)

Oleh : M. Arizan NIM : 203046101723

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 26 Mei 2008


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena dengan inayah, rahmat dan karunia Allah SWT, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai revolusioner dunia dan pembawa risalah serta kepada keluarga, dan para sahabat-Nya, mudah-mudahan kita semua akan mendapatkan syafa’atul ’udzma di yaumil kiamat kelak, Amin.

Pada dasarnya dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapati kesulitan. Akan tetapi, dengan adanya bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak, Alhamdulillah penulisan skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan. Namun penulis menyadari dalam skripsi ini masih banyak sekali kekurangan sehingga saran serta kritik dengan kerendahan hati penulis terima sehingga skripsi ini dapat lebih sempurna lagi.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak dan instansi lainnya yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Amin Suma, SH, MA, MM, beserta pembantu dekan, baik sebagai


(4)

parat birokrasi maupun sebagai pribadi, terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang diberikan.

2. Ibu Euis Amalia, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Azharuddin Lathif, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Muamalah yang telah banyak membantu penulis dalam menentukan judul dan dalam penyelesaian hal-hal administratif dan nasehat-nasehat yang sangat berharga.

3. Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Bapak Drs. Ahmad Yani, M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Kordinator Teknis Program Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. Hasanuddin AF., MA, dan Bapak Kamarusdiana, M.Hum selaku pembimbing skripsi, yang telah sabar membimbing, memberikan saran, arahan, motivasi dan telah meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran di sela-sela kesibukannya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Muamalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan peranan dalam memberikan pembelajaran.

6. Pimpinan dan seluruh staf karyawan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas untuk studi kepustakaan.

7. Moh. Khoirul Anam, SE, selaku Manager BMT Cita Sejahtera yang telah berpartisipasi dan memberikan kontribusinya dalam memperoleh informasi,


(5)

data-data dan yang telah meluangkan waktunya kepada penulis hingga terselesainya skripsi ini.

8. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Ayahanda Abuzar MY dan Ibunda Siti Fatimah yang telah memberikan dukungan dan do’a yang tidak pernah sedikitpun terlupakan dan sangat besar dan berarti bagi penulis, baik dukungan moril maupun materil sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

9. Untuk adek ku Okbar Ariansyah dan seluruh keluarga besar ku yang telah membantu dan memberikan dukungan serta do’a yang cukup besar bagi penulis dalam pembuatan skripsi ini.

10. Teman-teman ku seperjuangan Alumni DH angkatan ke VII, Hafiz, Zulkifli, Syukron, Wahyu, Dania Dewi dan Intan yang selalu memberikan motivasi dan dorongan sehingga terselesaikan skripsi ini, dan tak pernah akan terlupakan atas kebaikan mereka semua.

11. Sahabat-sahabatku PS A, Fahri, Ridwan, Muzaini, Godai, Dede, Hendra, Mahmal, Edo, Eko S, Eko K, Ida, Lia, Mila, Yanti, Aini, Cika, Balqis dan yang lainnya, terima kasih atas kebersamaannya selama ini kita kuliah dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Sahabat kosan, Hanif, Haji Nandar, Oki dan yang lainnya yang telah memberikan semangat dan canda tawa selama ini sehingga suasana kosan terasa nyaman, tentram dan sedikit agak ramai.


(6)

13. Teman-teman ku SEMARI (Serumpun Mahasiswa Riau) seperjuangan dalam menuntut ilmu di jalan Illahi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 14. Anak-anak IKAPDH Sabar, Samsul, Sahroni, Ulum, Rijal, Fi’i, Feni, Alsa,

Sadar, Bali, Afnita, Luluk, Ely, Bedah, Salmi, Jefi, Kasih, Titin, Ida, Lilis, Tilah, Nurul, Iil, Lilik, Maya, Jusra, Atin, Minah, Duta dan lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu, yang pasti ucapan terimakasih banyak atas do’a dan motivasinya yang membuat penulis bersemangat dalam penulisan skripsi ini.

15. Yang paling spesial buat Siti Hamidah yang selalu mendampingi penulis dan yang telah memberikan dorongan, perhatian, kasih sayang, motivasi dan semangat yang tak henti-hentinya untuk penulis sampai terselesainya skripsi ini, terimakasih atas semuanya.

16. Adek-adek Kosan Cantik yang selalu kompak, semangat dan ceria, Emi, Lela, Uwie, Nia, Ijeh, Ochi, Leni, Anis, Ima, Dilas, Resna, dan Tika.

Mudah-mudahan atas segala bantuan serta budi baik yang penulis terima selama menjalani pendidikan mendapatkan ridho dari Allah SWT. Penulis sangat menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif agar lebih baik lagi.

Akhirnya penulis menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Mudah-mudahan dapat balasan yang lebih baik. Harapan penulis mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semoga skripsi ini sidikit dapat memberikan sumbangan


(7)

fikiran dan saran untuk perkembangan dalam pendidikan dan bagi siapa saja yang membacanya untuk menambah ilmu pengetahuan. Amin…

Jakarta, 26 Mei 2008


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Tinjauan Pustaka... 9

E. Objek Penelitian... 10

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan... 11

BAB II KERANGKA TEORI A. Ekonomi Syariah... 13

1. Pengertian dan Dasar Hukum Ekonomi Syariah ... 13


(9)

B. Akad Wadiah dan Murabahah ... 33 1. Akad Wadiah... 33

a...Pengerti

an Wadiah... 33 b...Landasa

n Hukum Wadiah... 33 c...Rukun

dan Syarat Wadiah... 34 d....

Macam-Macam Wadiah... 37 2. Akad Murabahah ... 39

a...Pengerti

an Murabahah ... 39 b....Landasa

n Hukum Murabahah ... 39 c....Rukun

dan Syarat Murabahah ... 40 d...

Jenis-Jenis Murabahah ... 43 e...Manfaat


(10)

BAB III GAMBARAN UMUM BMT

A. BMT ... 46

1. Pengertian BMT ... 46

2. Visi dan Misi BMT ... 47

3. Ciri-Ciri BMT ... 49

4. Tujuan didirikan BMT... 50

5. Prinsip Operasional BMT ... 52

6. Produk-Produk BMT... 54

B. BMT CITA SEJAHTERA... 62

1....Sejarah dan Struktur Organisasi ... 62

a. Sejarah Berdiri ... 62

b. Struktur Organisasi... 65

2...Prinsip dan Fungsi... 66

3....Perkemb angan BMT Cita Sejahtera... 66

a. Organisasi ... 66

b. Usaha ... 70


(11)

SEJAHTERA MENURUT EKONOMI SYARIAH

A....Penerapa n Simpan Pinjam di BMT Cita Sejahtera ... 76 B...Analisa

Tentang Praktek Simpan Pinjam Pada BMT Cita Sejahtera 85

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran-Saran... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Data Tabungan Nasabah BMT Cita Sejahtera... 87 2. Tabel 2. Data Pembiayaan Nasabah BMT Cita Sejahtera… ... 92


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jika kita merenung tentang keberadaan manusia di bumi ini dengan segala macam pencapaiannya, maka pertanyaan yang muncul, akan kemanakah setelah semua ini. Apakah keberadaan manusia serta apa-apa yang telah dicapainya akan hilang begitu saja seperti matinya api dari lilin yang ditiup. Kesadaran akan eksistensi (dari mana dan akan kemana) akan membawa manusia pada sisi terdalam dari wujud manusia itu sendiri. Sepanjang sejarah manusia, sudah banyak orang yang mencoba mencari formulasi guna memuaskan “rasa kesadaran” ini. Namun karena formulasi yang mereka ciptakan berdasarkan pemahaman yang tidak utuh terhadap manusia, karena mereka sebenarnya tidak mengetahui hakikat manusia, hanya akan menempatkan manusia pada posisi yang tidak sesuai dengan semestinya.1

Islam adalah suatu dien (way of life) yang praktis, mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dengan mengabaikan waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Selain itu, Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia (human nature). Ajaran Islam tidak mencakup hal-hal

1

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia,Bank Syari’ah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Djambatan, 2003), cet.II, h.3.


(14)

yang berkaitan dengan aqidah, ibadah dan akhlaq saja, melainkan ia juga mengatur segi-segi kehidupan dalam bermuamalah, dimana di dalamnya mengatur hal-hal mulai dari persoalan hukum sampai urusan ekonomi dan lembaga keuangan.

Islam memiliki sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem ekonomi lainnya. Ia memiliki akar dalam syariat yang membentuk pandangan dunia sekaligus sasaran-sasaran dan strategi (maqoshid asy-syari’ah) yang berbeda dari sistem-sistem sekuler yang menguasai dunia saat ini. Sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam secara mendasar bukan materiil. Mereka didasarkan atas konsep-konsep Islam sendiri tentang kebahagiaan manusia (falah) dan kehidupan yang baik (hayatun thayyibah) yang sangat menekankan aspek persaudaraan (ukhuwah), keadilan sosio-ekonomi dan kebutuah-kebutuhan spiritual manusia. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan bahwa umat manusia memiliki kedudukan yang sama sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya yang tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman bathin, kecuali jika kebahagiaan sejati telah dicapai melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materiil dan spiritual. Tujuan-tujuan syariat mengandung semua yang diperlukan manusia untuk merealisasikan falah dan hayatun thayibah dalam batas-batas syariat.2

2

M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (terj) Ikhwan Abidin dari Judul Asli Islam and Economic Challenge, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet.I, h.7.


(15)

Dalam kehidupan bermuamalah, Islam mengatur banyak hal mulai dari persoalan hak atau hukum sampai pada urusan ekonomi. Seperti kita ketahui bahwa kegiatan perekonomian merupakan suatu kebutuhan hidup yang tidak terelakkan. Salah satu indikator sehat atau tidaknya perekonomian suatu negara adalah kondisi lembaga keuangan/perbankan. Lembaga keuangan merupakan lembaga yang mewadahi aktifitas ekonomi yang meliputi pengelolaan investasi, simpanan ataupun pembiayaan.

Mengingat betapa pentingnya keberadaan lembaga keuangan bagi suatu negara, maka saat ini banyak muncul bank-bank, baik itu bank umum maupun bank perkreditan rakyat. Dengan adanya lembaga keuangan tersebut, perekonomian rakyat dapat ditingkatkan terutama pada rakyat kurang mampu yang sangat memerlukan pembiayaan/kredit, baik itu pemenuhan kebutuhan konsumtif ataupun untuk mengembangkan usaha.

Yang menjadi masalah saat ini adalah banyak lembaga keuangan yang tidak tertarik untuk mengembangkan mekanisme kredit bagi nasabah yang kecil terutama para pengusaha kelas menengah ke bawah.

Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan dan memperluas jangkauan fasilitas kredit kepada pengusaha kecil tersebut, sangat dibutuhkan lembaga keuangan yang dapat menjangkau pengusaha kecil dan tidak memberatkan mereka.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa salah satu kegiatan lembaga keuangan adalah memberikan pinjaman. Namun pola pemberian pinjaman (kredit) yang


(16)

ditawarkan oleh bank konvensional selama ini belum sesuai dengan keinginan umat Islam karena adanya sistem bunga. Sistem bunga tersebut sangat merugikan masyarakat terutama masyarakat peminjam, karena setiap saat pertumbuhan bunga semakin meningkat. Sehingga apabila sipeminjam terlambat membayar maka akan semakin tinggi beban bunga yang harus dibayarkan.

Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, bahwa pinjaman dana makin mengikat dan mencekik pengusaha kecil kebawah. Di antaranya adalah praktek bank-bank keliling. Bahkan ada yang menampakkan wajahnya sebagai koperasi simpan pinjam yang menawarkan pinjaman dengan suku bunga yang mencekik leher yang umumnya di atas 30% pertahun. Adalah praktek yang telah biasa, seorang pengusaha kecil yang meminjam uang Rp. 100.000,- ia hanya menerima sebesar Rp. 90.000,- sementara ia harus mengembalikan pinjaman tersebut sebesar Rp. 4.000,- per hari selama satu bulan atau Rp. 120.000 per bulan.3

Islam menganggap bunga sebagai suatu kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat, baik itu secara ekonomi, sosial, maupun moral. Oleh karena itu, kitab suci al-Qur’an melarang kaum muslimin untuk memberi maupun menerima bunga. Dalam surat al-Baqarah (2) ayat 278-279 Allah melarang riba dan mempertegas bahwa bunga itu melanggar hukum di dalam Islam.4

3

Baihaqi Abdul Madjid dan Saifudin A. Rasyid, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia, (Jakarta: PINBUK, 2000), h.189

4

Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama, 1999), h.6


(17)

ی

ی ی

ﻡ !" ﻡ #$%#

&"' & ﻡ (

.

&)*+'

,-.# & )/' . 0 &ﻡ 1#($ 0)- 2'

# 3 &ﺱ$#

ﻡ 56 7

&ﻥ%9-& )/'

:

; "2

<

=>? -=>@ A

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-Baqarah: 278-279)

Saat Indonesia merdeka, koperasi mendapat tempat terhormat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada pasal 33 yang menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia dibangun atas dasar kekeluargaan dan usaha bersama, dan dalam penjelasannya disebutkan bahwa “koperasi” merupakan lembaga ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut di atas. Menurut Undang-Undang tentang pokok-pokok perkoperasian (Undang-Undang No. 18 Tahun 1967), koperasi adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.5

Azas dan sendi dasar koperasi (principles of cooperative) sebagai gagasan atau ide akan melandasi syarat-syarat yang diterima oleh orang-orang bilamana

5

G. Kartasapoetra, Praktek Pengelolaan Koperasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), cet.II, h.137


(18)

mereka sepakat untuk berkoperasi. Azas dan sendi dasar koperasi adalah semua hal yang terkandung dalam konsep saling menolong.6

Dalam hal ini, Islam memberikan pedoman dalam surat al-Maidah ayat 2:

#B* # CD E)F &ﻥ# *'.# G&" # 2 E)F &ﻥ# *'#

:

BH

;

<

=

A

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan”. (QS. Al-Maidah: 2)

Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas, kiranya dapat dipahami bahwa tolong menolong dalam kebajikan dan dalam ketaqwaan dianjurkan oleh Allah. Maka koperasi sebagai salah satu bentuk tolong menolong, kerja sama dan saling menutupi kebutuhan adalah salah satu wasilah untuk mencapai ketaqwaan yang sempurna (haqqa tuqatih).7

Salah satu dari jenis kegiatan yang dijalankan koperasi adalah usaha simpan pinjam. Simpan pinjam sebagai salah satu unit usaha koperasi memiliki peran strategis. Karena adanya unit usaha simpan pinjam tidak lain dari suatu gerakan untuk membela para anggotanya di dalam keperluan mereka akan kredit (pinjaman utang), yang akan dipergunakannya untuk melancarkan jalan perusahaannya. Dengan adanya unit usaha simpan pinjam akan memudahkan mereka untuk mendapatkan pinjaman dengan prosedur yang mudah pula.

Baitul Maal Wa Tamwil adalah salah satu unit usaha dari sebuah koperasi. Dimana BMT merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi kecil kebawah.

6

A. M. Saefuddin, et al., Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, (Jakarta: CV. Wirabuana, 1986), cet.I, h.122

7


(19)

Baitul Maal Wa Tamwil terdiri dari dua kegiatan, yaitu Baitul Maal dan Baitut Tamwil. Kegiatan Baitut Tamwil mengutamakan pengembangan kegiatan-kegiatan investasi dan produktif dengan sasaran usaha ekonomi yang dalam pelaksanaannya saling mendukung untuk pembangunan usaha-usaha kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Baitul Maal mengutamakan kegiatan-kegiatan kesejahteraan, bersifat nirlaba, diharapkan mampu menghimpun dana zakat, infaq, shadaqah yang pada gilirannya berfungsi mendukung kemungkinan-kemungkinan resiko yang terjadi dalam kegiatan ekonomi pengusaha kecil.8

Pada awal-awal pendirian, umumnya BMT memiliki legalitas hukum sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Sebagai lembaga simpan pinjam, segi formalitas hukum BMT memiliki dua alternatif badan hukum. Pertama dalam lembaga perbankan, maka BMT akan tunduk pada ketentuan UU Perbankan No.10 tahun 1998. Kedua, dalam bentuk koperasi simpan pinjam dengan pola syariah, BMT tunduk pada UU No.25 tahun 1992 tentang perkoperasian dan PP No.9 tahun 1995 tentang pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi.9

Dalam hal ini, BMT Cita Sejahtera merupakan salah satu unit usaha simpan pinjam dari Koperasi Serba Usaha Syariah (KSUS) yang ditujukan untuk para anggota BMT itu sendiri.

8

Madjid dan Rasyid, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah, h.182

9


(20)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji praktek simpan pinjam dan membahasnya dalam skripsi dengan judul : “Praktek Simpan Pinjam Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Cita Sejahtera Menurut Ekonomi Syariah”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah, maka penulis perlu memberikan batasan pada aspek usaha BMT simpan pinjam yang mencakup modal, layanan kredit, sisa hasil usaha dan penentuannya, mitra usaha BMT, prosedur dan syarat pinjaman.

Dari pembatasan masalah tersebut dapat di rumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana praktek simpan pinjam yang ada pada BMT Cita Sejahtera?

2. Apakah sistem simpan pinjam pada BMT Cita Sejahtera sesuai dengan praktek ekonomi syariah?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui praktek simpan pinjam BMT Cita Sejahtera.

2. Untuk mengetahui apakah sistem simpan pinjam pada BMT Cita Sejahtera sesuai dengan sistem ekonomi syariah.

Dan penulisan ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut: a. Bagi Penulis


(21)

Merupakan apresiasi terhadap teori-teori yang pernah penulis dapatkan selama menempuh pendidikan dan diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis.

b. Bagi Pihak Lain

Merupakan sumber referensi dan saran pemikiran bagi kalangan akademis dalam menunjang penelitian selanjutnya yang akan berguna sebagai bahan perbandingan bagi penulis yang lain.

D. Tinjauan Pustaka

1. Skripsi

a. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, oleh Heri Sudarsono Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun skripsi: 2003.

Menurut penulis di dalam skripsinya menyebutkan bahwa semakin berkembangnya masalah ekonomi masyarakat, maka berbagai kendala tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan BMT.

b. Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Taman Iskandar Muda dan Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Wilayah Pasar Minggu Jakarta Selatan, oleh Ida Nurfaiza Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun skripsi: 2003.

Didalam skripsinya tersebut, penulis menganalisa beberapa point diantaranya: gambaran umum BMT Taman Iskandar Muda, pembinaan dan pembiayaan UKM.


(22)

Letak perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang lainnya adalah bahwa skripsi ini lebih memfokuskan pada praktek simpan pinjam di BMT Cita Sejahtera, yaitu praktek wadiah dan murabahah. Apakah aplikasinya sejalan atau sesuai dengan konsep ekonomi syariah.

E. Objek Penelitian

Adapun objek penelitian ini dilakukan di Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Cita Sejahtera tentang praktek simpan pinjam menurut ekonomi syariah yang bertempat di Ciputat.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian yang di lakukan adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

2. Metode Pengumpulan Data.

Metode pengumpulan data yang digunakan antara lain:

a. Untuk Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan data-data dari berbagai literatur yang ada, seperti buku-buku sumber, dokumen-dokumen BMT Cita Sejahtera, serta tulisan lain yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Untuk Penelitian lapangan (field research) yaitu dengan wawancara langsung secara pribadi dengan beberapa pengurus BMT Cita Sejahtera. 3. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data


(23)

Teknis analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dengan menggunakan pola pikir induksi. Teknik ini dilaksanakan dengan metode interaktif sebagaimana di kemukakan oleh Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, yang terdiri dari tiga jenis kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Reduksi dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah suatu penyajian sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan.10

Adapun teknik penyusunan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih terarah dalam pembahasan skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan sesuai dengan masing-masing bab. Penulis membaginya menjadi 5 (lima) bab, yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

10

Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif: Buku Tentang Sumber Metode-Metode Baru, (Jakarta: UI Press, 1992), h. 18.


(24)

BAB I Pendahuluan, Meliputi latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, objek penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II Kerangka Teori, Meliputi pengertian dan dasar hukum ekonomi syariah, prinsip-prinsip ekonomi syariah, akad wadiah dan murabahah. BAB III Gambaran Umum BMT, Meliputi pengertian BMT, visi dan misi

BMT, ciri-ciri BMT, prinsip operasional BMT, tujuan didirikan BMT, produk-produk BMT, sejarah dan struktur organisasi BMT Cita Sejahtera, prinsip dan fungsi BMT Cita Sejahtera, perkembangan BMT Cita Sejahtera.

BAB IV Analisa Praktek Simpan Pinjam BMT Cita Sejahtera Menurut Ekonomi Syariah, Meliputi penerapan simpan pinjam di BMT Cita Sejahtera, analisis tentang praktek simpan pinjam pada BMT Cita Sejahtera.

BAB V Penutup, Dalam bab kelima ini merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam skripsi ini. Bab ini berisi: Kesimpulan dan Saran-saran dari penulis mengenai hal-hal yang dibahas dalam skripsi ini.


(25)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. EKONOMI SYARIAH

1. Pengertian dan Dasar Hukum Ekonomi Syariah

Makna etimologi ekonomi berasal dari oikonomeia (Greek atau Yunani). Kata oikonomeia berasal dari dua kata oicos yang berarti rumah dan nomos yang berarti aturan. Jadi, ekonomi ialah aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga, baik rumah tangga rakyat (volkshuishouding), maupun rumah tangga Negara (staathuishouding), yang dalam bahasa Inggris disebutnya sebagai economics.11

Secara terminologi, oleh Samuelson (1973), ilmu ekonomi didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi.12

Seorang pakar ekonomi dunia terkemuka sekaligus peraih nobel dalam bidang ekonomi ditahun 1970 Paul A. Samuelson mengartikan, bahwa ekonomi merupakan studi mengenai bagaimana orang-orang dan masyarakat

11

Abdullah Zaky al-Kaaf, Ekonomi dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Pustaka Setia, pertama, Maret 2002), cet.I, h.18

12

Murasa Sarkaniputra, Pengantar Ekonomi Islam; Bahan kuliah pada Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: 1999), h.6


(26)

membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi sekarang dan dimasa yang akan datang, kepada berbagai orang dan golongan masyarakat.13

Sedangkan Lionel Robins mendefinisikan, bahwa ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai dan sumber daya langka yang mempunyai berbagai kemungkinan penggunaan.14

Jadi menurut sistem ekonomi konvensional terdapat kelangkaan dari sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas, sehingga timbul pilihan-pilihan atas penggunaan sumber daya yang bisa dimiliki.15

Dari berbagai definisi yang diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi adalah sesuatu yang menyangkut tentang perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan materialnya dengan sumber daya yang terbatas. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan seperti produksi, distribusi

13

Murasa Sarkaniputra dan Agus Krisriawan, Ilmu Ekonomi (Pengantar Ekonomi Moneter: Suatu Awalan), Bahan Pengajaran Ekonomi Perbankan dan Asuransi Islam, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), cet.I, h.2

14

Carla Poli, dkk, Pengantar Ilmu Ekonomi I, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.20-22

15


(27)

dan konsumsi. Tiga model kegiatan inilah yang menjadi pokok kegiatan dalam ekonomi.

Jika definisi tersebut dijadikan acuan, maka Islam bisa memberikan komentar tentang apa yang seharusnya tujuan aktivitas itu. Yang tentunya tercermin dalam tujuan hidup muslim itu sendiri, yang tidak hanya mencakup segi-segi material, tetapi juga spiritual. Apakah seorang muslim hendak merubah definisi kegiatan ekonomi? Pertanyaan itulah yang hendak dijawab oleh beberapa pemikir ekonomi muslim. Apa yang dimaksud ekonomi Islam itu? Dengan mencantumkan label Islam, berarti ada sebuah akar teoritis yang dijadikan acuan untuk mendefinisikan ilmu tersebut.

Dalam bahasa arab ekonomi dinamakan mu’amalah maddiyah, yaitu aturan-aturan tentang pergaulan dan perhubungan manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Lebih tepat lagi dinamakan iqtishad, yaitu mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya.16

Dalam al-Qur’an Allah memberikan contoh tegas mengenai ajaran-ajaran para Rasul, dalam kaitannya dengan masalah-masalah ekonomi yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu bidang perhatian agama. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah mengenai risalah kenabian Ibrahim as. dan putra-putranya. Allah berfirman:

16


(28)

( ی # ;IJ K L # M N O*-

# # ﻥ ﻡ9 #B ی PQ H R )*S#

# ; T

&ﻥ

یB F

:

( 2ﻥ.

<

>U

A

Artinya: “Kami telah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk manusia dengan perintah kami, dan kami turunkan wahyu kepada mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, melaksanakan sholat dan zakat, dan mereka senantiasa beribadah kepada-Ku”. (QS. al-Anbiya’: 73)

Ekonomi Islam yang dibangun diatas –atau paling tidak diwarnai- oleh prinsip-prinsip religius yang punya orientasi kehidupan dunia dan juga akhirat. Ekonomi Islam merupakan paradigma baru dalam sistem ekonomi dunia saat ini. Paradigma ini bagi ekonom-ekonom muslim bukan merupakan hal yang perlu ditakuti, akan tetapi menjadi sebuah tantangan untuk dapat lebih mengembangkan ekonomi Islam sehingga ia menjadi sebuah jawaban atas berbagai permasalahan ekonomi dunia dewasa ini. Semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) yang melandasi ekonom-ekonom muslim bahkan non muslim dalam mendalami ekonomi Islam berdampak pada perbedaan pendapat tentang definisi ekonomi Islam itu sendiri. Perbedaan ini ‘lumrah’ terjadi selama tidak keluar dari jalur Islam.

Sebagaimana beragamnya definisi mengenai ekonomi secara umum yang dikemukakan oleh para pakar ekonomi, maka ekonomi Islam pun didefinisikan secara beragam pula oleh para pakar ekonomi Islam, diantaranya oleh Muhammad Abdul Manan seorang pakar ekonomi Islam, menurutnya yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah pengetahuan sosial yang


(29)

mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.17

Menurut Abdullah al-Arabi ekonomi Islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas dasar-dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masyarakat.18

Definisi lain juga disampaikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah. Aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, import dan eksport tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan.19

Ekonomi Islam yang dikemukakan S.M. Hasanuzzaman adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidak adilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.20

17

Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Potan Arif Harahap (terj), (Jakarta: Internusa, 1992), cet.I, h.19

18

Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), cet.I, h.245

19

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet.II, h.31

20

Rustam Effendi, Produksi Dalam Islam, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003), cet.I, h.2-3


(30)

Sedangkan menurut H. Halide yang menjabat sebagai Kepala Pusat Pengelolaan Data Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi. Menurutnya sebagai suatu sistem, ekonomi Islam menarik untuk dikaji karena pertama, diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah yang melanda ekonomi dunia. Timbulnya berbagai kepincangan dalam neraca pembayaran negara-negara, resesi dan sebagainya pada masa akhir-akhir ini, semakin terasa bahwa teori dan sistem ekonomi yang ada mungkin tidak berdaya lagi menemukan alternatif penyelesaian. Kedua, ekonomi Islam sebagai suatu sistem adalah cabang ilmu pengetahuan yang dijiwai oleh ajaran agama Islam.21

Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian dari ekonomi Islam adalah studi tentang problema-problema ekonomi dan institusi yang berkaitan dengannya. Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari tentang tata kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan untuk mencapai ridha Allah. Dalam definisi ini terdapat tiga cakupan utama dalam ekonomi Islam yaitu, tata kehidupan, pemenuhan kebutuhan dan ridha Allah yang kesemuanya diilhami oleh nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yang akhirnya menunjukkan konsistensi antara niat

21

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1998), cet.I, h.3-4


(31)

karena Allah, kaifiat atau cara-cara dan ghayah atau tujuan dari setiap manusia.22

Sebenarnya definisi ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam tidak jauh berbeda, hanya saja dalam ekonomi Islam lebih dititik beratkan pada penetapan syariah dalam perilaku ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa kebahagiaan dunia merupakan modal untuk meraih kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan akhirat.23

Sedangkan dasar hukum ekonomi Islam itu sendiri terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijtihad, Ijma, qiyas, ‘urf, istihsan, istishlah, istishab dan mashlaha al-mursalah.

a. Al-Qur’an, adalah kallam Allah, merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Rasulullah SAW yang di tulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Abd al-Wahhab al-Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul al-Fiqh lebih jauh mendefinisikan al-Qur’an adalah perkataan Allah yang diturunkan oleh ruhul amin kedalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafadz bahasa arab berikut artinya. Agar supaya menjadi hujjah bagi

22

Sarkaniputra, Pengantar Ekonomi Islam, h.5

23

M. Daman Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), cet.I, h.7


(32)

Rasulullah SAW bahwa dia adalah seorang utusan Allah, menjadi undang-undang dasar bagi orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah.24

b. Al-Hadits, adalah berita yang berasal dari Nabi. Boleh jadi berita itu berwujud perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah), dan pengakuan atau persetujuan terhadap perkataan orang lain (taqrir). Sedangkan sunnah adalah perilaku Rasulullah yang berdimensi hukum; dengan demikian dalam kapasitasnya sebagai Rasul.

Hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya. Jika hadits menurut kaidah dan akan menjadi asas prektek bagi kaum muslimin. Sementara sunnah merupakan sebagian besar dan terutama fenomena praktik yang dilengkapi dengan norma-norma perilaku. Hadits dan sunnah berfungsi sebagai petunjuk-petunjuk praktis yang tidak dijelaskan secara lengkap dalam al-Qur’an.25

Justifikasi sunnah dan hadits sebagai dasar hukum Islam termuat dalam al-Qur’an, Allah berfirman:

,- 0 ﻡ ﻡV E # # W&ﺱ

&* X #

&* X & ﻡ ( ی

ی ی

W&ﺱ #

E Y#Z - 5(E[ !- F\ '

K& #

& ﻡ '

PIی#9'

# ﺥ ^ % ﺥV

:

(

<

_@

A

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Apabila terjadi pertengkaran dalam sesuatu (masalah) maka pulanglah kepada Allah dan Rasul, jika

24

Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), cet.III, h.26

25


(33)

kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59)

c. Ijtihad, adalah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci yang bersifat operasional dengan cara istimbat.26 Secara teknis, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin benar, walaupun mungkin saja keliru. Jelaslah, asas-asas agama Islam seperti ke-Esaan Allah, diutusnya para Nabi dan seterusnya tidak tepat merupakan subjek ijtihad. Menurut al-Mawardi, ruang lingkup ijtihad sesudah wafatnya Nabi meliputi delapan judul yang terpisah. Tujuh diantaranya terdiri dari penafsiran terhadap ayat-ayat yang diwahyukan dengan suatu metode seperti analogi, sedangkan yang kedelapan adalah kesimpulan arti lain dari ayat-ayat yang diwahyukan, umpamanya dengan penalaran. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis dengan penalaran. Dengan majunya peradaban manusia, kehidupan kita pada satu pihak, hari demi hari menjadi lebih rumit, dan masalah-masalah sosial dan moral baru yang timbul dalam masyarakat dari waktu kewaktu memerlukan pemecahan. Di pihak lain, cakrawala mental dan intelektual juga meluas dengan kemajuan

26


(34)

pengetahuan manusia. Akibatnya hokum Islam berkembang bersamaan dengan munculnya masalah-masalah baru sejak zaman Nabi, dan diciptakan serta diciptakan kembali, ditafsirkan dan ditafsirkan kembali sesuai dengan keadaan-keadaan yang berubah. Karena itu, pandangan kalangan Mu’tazilah bahwa ijtihad itu selalu benar hamper-hampir tidak dapat diterima. Karena ijtihad terutama menghadapi persoalan syariat yang timbul dalam masyarakat dari waktu kewaktu, maka ketentuan-ketentuannya tidak sama untuk segala zaman mendatang. Dengan berlalunya waktu, konsep kebutuhan hidup masyarakat, bila hal-hal lain tetap sama, dituntut untuk berubah. Karena itu proses pemikiran kembali dan penafsiran kembali harus diperkenankan tanpa gangguan, dengan tetap memperhatikan perintah-perintah al-Qur’an dan as-Sunnah.27

Keberadaan ijtihad sebagai sebuah hukum dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 83, yang berbunyi:

W&ﺱ

E Y#Z$ & # 3 &F % `&N # ﻡV ﻡ ﻡ R( S % #

0 )F

Oa- .& #

ﻡ 3ﻥ&b2 ی ی 3 )*

ﻡ ﻡV E # E #

$#

PI )L .

b c

*2'. 3

:

(

<

?U

A

Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena

27

Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, M. Nastangin (terj), (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h.35-36


(35)

karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (QS. An-Nisa’: 83)

d. Ijma’, menurut istilah ushul ialah kesepakatan para mujtahid memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i pada suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan keadaan semua mujtahid di saat terjadinya. Para mujtahid itu sepakat memutuskan / menentukan hukumnya.

Ketentuan hukum mengenai ijma’, dikatakan Rasulullah SAW:

“Umatku tidak akan sepakat untuk membuat kekeliruan”. (HR. Ibnu Majah)

Ditinjau dari sudut menghasilkan hukum ini, maka ijma’ dapat dibagi dua: 1) Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa dan dalam memutuskan suatu perkara. Tiap-tiap mujtahid itu merupakan sumber hukum. Menurut jumhur ulama disebut juga ijma haqiqi dan menjadi sumber hukum syariat.

2) Ijma’ Sukuti, sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan pendapatnya dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu


(36)

masalah. Menurut jumhurulama ijma sukuti disebut juga dengan ijma I’tibari, sumber hukum yang kedudukannya relative.28

e. Qiyas, adalah istilah ushul, yaitu mempersamakan peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hokum ini. Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid untuk meng-istimbath-kan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling jelas.

f. ‘Urf, yaitu apa yang saling diketahui dan saling dijalani orang. Apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. ‘Urf disebut juga adat kebiasaan. g. Istihsan, berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama

ushul, istihsan adalah memperbandingkan yang dilakukan oleh mujtahid dari qiyas jalli (jelas) kepada qiyas khaffi (yang tersembunyi). Atau dari hukum kulli kepada hukum istisna’i. Disini terdapat kecendrungan yang lebih kuat untuk mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak didasarkan nash.29 Istihsan ternyata merupakan suatu sarana yang lebih efektif dari pada qiyas dalam memasukkan unsur-unsur baru, karena dalam hal ini ketentuan-ketentuan untuk menetapkan persoalan adalah lebih mudah dari pada dalam qiyas, maka ia memberi

28

Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, h.47-48

29


(37)

kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar. Hal yang diperlukan adalah untuk melihat dalam unsur baru yang penggunaannya menghendaki adanya suatu sifat yang dimiliki oleh suatu persoalan yang telah disetujui atau dilarang oleh sumber-sumber dan sasaran yang tercapai.30

h. Istishlah, berarti melarang atau mengizinkan suatu hal semata-mata karena ia memenuhi suatu “maksud yang baik” walaupun tidak ada bukti jelas pada sumber yang diwahyukan untuk mendukung tindakan semacam itu.31 Istishlah menurut ulama ushul adalah menetapkan hukum suatu peristiwa hukum yang tidak disebut nash, dan ijma, berlandaskan pada pemeliharaan mashlahat al-mursalah, yaitu mashlahat yang tak ada dalil dari syara’ yang menunjukkan diakuinya atau ditolaknya.32

i. Istishhab, artinya pelajaran yang diambil dari sahabat Rasulullah SAW. Menurut istilah para ulama ushul, yaitu hokum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya; sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan itu. Atau menjadikan hukum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil untuk mengubahnya. j. Mashlahatul al-mursalah, ialah yang mutlak. Menurut istilah ahli ushul,

kemaslahatan yang tidak di-syariat-kan oleh syari’ dalam wujud hukum didalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah al-mursalah

30

Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, h.38

31

Ibid., h.38

32


(38)

itu disebut mutlak, lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.33

2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah

Dalam perekonomian Islam terkandung prinsip bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat adalah erat, semata-mata karena fitrah keduanya. Antara keduanya harus ada keselarasan dan keserasian, bukan persaingan. Jika seorang individu mengambil kekayaan masyarakat untuk dirinya sendiri tanpa mengindahkan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum dan tanpa memperhatikan ketika ia menyimpan dan menyalurkannya kecuali untuk kepentingan pribadinya, maka bahayanya pun tidak hanya menimpa individu sendiri, tetapi pada akhirnya kembali menimpa masyarakat.34

Adapun secara rinci dapat dikemukakan beberapa prinsip ekonomi syariah, diantaranya:

a. Prinsip tauhid (Ilahiah)

Tauhid berarti keesaan, maksud keesaan disini adalah keyakinan akan tunggalnya Allah.35 Dengan keyakinan (aqidah) ketuhanan ini manusia dituntut untuk selalu mengarahkan tindakannya agar sesuai dengan tujuan

33

Ibid., h.51

34

Ahmad Dimyati (ed.), Islam dan Koperasi: Telaah Peran Serta Umat Islam dalam Pengembangan Koperasi, (Jakarta: Koperasi Jasa Informasi, 1989), cet.I, h.50

35


(39)

syari’ah. Artinya, titik tolak dari ekonomi Islam adalah Ilahiah. Ini dapat dipahami karena tujuannya adalah mencari ridha Allah. Dengan demikian segala kegiatan ekonomi manusia, seperti produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi diikatkan pada prinsip ketuhanan dan pada tujuan Ilahi.36 Sebagaimana firman Allah:

3 # 3L\ $ ﻡ &) # 2 ﻡ !- &cﻡ - P.& % d$V 0 O*S e &R

$&c

:

^

<

f_

A

Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegala penjuru-Nya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. al-Mulk: 15)

Dengan keyakinan yang mendalam seseorang terhadap Tuhannya akan membangun kontrol yang intern dalam diri seseorang dengan hadirnya “perasaan selalu ada yang mengawasi”. Keimanan seseorang akan pengawasan Tuhannya didunia ini akan berimplikasi terhadap tidak perlunya kepada semua pengawasan selain-Nya. Dengan prinsip ini kegiatan ekonomi akan selalu produktif dan efisien.37

b. Prinsip keadilan

Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Islam mendefinisikan adil sebagai “tidak menzalimi dan tidak dizalimi”. Implikasi ekonomi dari nilai adil ini adalah tidak menzalimi kaum, khususnya yang lemah sebagaimana

36

Sarkaniputra, Pengantar Ekonomi Islam, h.43

37


(40)

dalam ekonomi kapitalis. Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana dalam ekonomi sosialis.38

Keadilan harus diterapkan dalam setiap aspek ekonomi. Keadilan dalam produksi dan konsumsi adalah cara efesiensi dalam memberantas keborosan. Adalah suatu kezaliman dan penindasan, apabila seseorang dibiarkan berbuat terhadap hartanya sendiri dengan melampaui batas yang telah ditetapkan dan bahkan sampai membiarkannya merampas hak orang lain. Keadilan berarti kebijaksaan mengalokasikan sejumlah hasil tertentu dari kegiatan ekonomi bagi mereka yang tidak mampu memasuki pasar atau tidak mampu membelinya menurut kemampuan pasar. Karakter pokok dari nilai keadilan diatas menunjukkan bahwa masyarakat ekonomi harus memiliki sifat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran menurut syari’at Islamiyah.39 Keadilan merupakan pilar Islam, sebagaimana firman Allah:

. . .

. E)F 5K&L

g [ 0 ﻡ hی .# i " (jB [

ﻡ &L &ﻥ&

*'

6 L &R & BF & B

G&" )

. . .

:

;BH

<

? A

Artinya: “…hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa… (QS. al-Maidah: 8)

c. Prinsip khilafah (perwakilan)

38

Ibid., h.71

39

A.M. Saefudin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), cet.I, h.66-68


(41)

Manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi dan telah dilengkapi dengan perangkat akal dan spiritual yang jauh lebih sempurna dari makhluk yang lain. Dalam menjalankan tugas sebagai khalifah, ia diberikan kebebasan dengan dapat berfikir dan menalar untuk membedakan haq dan bathil, fair dan unfair, serta menentukan arah hidup. Secara alami, manusia adalah baik dan terhormat dan mampu berbuat kebaikan, menjaga kehormatan, mengatasi permasalahan hidup selama ia masih menggunakan anugrah akal dan hati nurani yang diberikan Allah padanya.40

Konsep khilafah telah menempatkan manusia pada posisi yang mulia dimuka bumi, sebagaimana firman Allah:

PQ+ )ﺥ d$V !- OF S ! ﻥ Q0HI ) ^ $ W L % #

. . .

:

; "2

<

Uk

A

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi… (QS. al-Baqarah: 30)

Dengan demikian kegiatan ekonomi dalam Islam dipandang sebagai salah satu aspek dari pelaksanaan tanggung jawab manusia dibumi (khilafah). Ada tiga nilai dasar kepemilikan manusia terhadap sumber-sumber ekonomi yang ada di muka bumi, antara lain:

1) Manusia sebagai khilafah hanya diperkenankan untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang ada bukan untuk menguasainya secara mutlak.

40

M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer, (terj), (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h.218


(42)

2) Pemilikan terhadap sumber-sumber ekonomi tersebut hanya terbatas sepanjang umurnya.

3) Pemilikan secara pribadi tidak dibolehkan terhadap sumber-sumber ekonomi yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak.41

d. Prinsip keseimbangan

Keseimbangan merupakan nilai dasar yang pengaruhnya terlihat dari berbagai aspek ekonomi muslim, misalnya kesederhanaan, berhemat dan menjauhi pemborosan. Sebagaimana firman Allah:

Pﻡ &L ^ %

# # "ی # &- ی

&"+ﻥ j% ی #

:

L +

<

l>

A

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian”. (QS. al-Furqan: 67)

Konsep keseimbangan ini tidak hanya timbangan kebaikan hasil usaha diarahkan untuk dunia dan akhirat saja, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan atau kebebasan perorangan dengan kepentingan umum yang harus dipelihara dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

e. Prinsip kemanusiaan

Manusia dalam sistem ekonomi Islam adalah sasaran sekaligus sarana. Tujuan dan sasaran utama Islam adalah merealisasikan “kehidupan yang baik” bagi manusia dengan segala unsur dan pilarnya. Ekonomi Islam juga bertujuan untuk memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya

41


(43)

yang disyari’atkan. Manusia perlu hidup dengan pola kehidupan Rabbani dan sekaligus manusiawi, sehingga ia mampu melaksanakan kewajiban kepada Tuhan, kepada diri, kepada keluarga dan kepada manusia secara umum.

Nilai kemanusiaan terhimpun dalam ekonomi Islam pada sejumlah nilai yang ditunjukkan Islam didalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Misalnya warisan, sebagai contoh dari nilai tersebut adalah nilai kemerdekaan dan kemuliaan, kemanusiaan, keadilan, persaudaraan, saling mencintai dan tolong menolong antar sesama manusia.42

Prinsip persaudaraan atau kekeluargaan juga menjadi tolak ukur. Tujuan ekonomi Islam menciptakan manusia yang aman dan sejahtera. Faktor kemanusiaan merupakan tujuan utama dalam ekonomi Islam. Ekonomi Islam mengajarkan manusia untuk bekerjasama dan saling tolong menolong.43

f. Prinsip kewajiban untuk berusaha (ikhtiar)

Manusia dengan segala fitrah kenisbiannya memang tidak merata dalam memperoleh karunia Tuhan. Namun Tuhan tetap memberikan kewenangan yang sama kepada manusia, yakni persamaan dalam kesempatan untuk memperjuangkan hidup dalam mencapai kesejahteraan

42

Syed Nawab Haidar Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Sebuah Sintesa Islam, Husin Amis (terj), (Bandung: Mizan, 1985), cet.I, h.126-129

43

Djaslim Saladin, Konsep Dasar Ekonomi dan Lembaga Keuangan Islam, (Bandung: Linda Karya, t.th.), h.8


(44)

dan kemakmuran. Islam menghendaki agar tidak ada tradisi-tradisi dalam masyarakat yang menggambarkan perbedaan sosial yang bertujuan melestarikan keistimewaan kelas sosial, sehingga menghambat seseorang dalam perjuangannya untuk hidup sesuai dengan kemampuan dan bakatnya. Islam selalu meletakkan prinsip ekonomi atas dasar alamiah, sehingga kesempatan untuk berusaha dan berjuang tetap terbuka bagi setiap orang dan dengan lugas Islam menghindari pengangguran.44

g. Prinsip kerjasama ekonomi

Kerjasama merupakan watak masyarakat ekonomi menurut ajaran Islam. Kerja sama itu harus tercermin dalam segala tingkat kerjasama ekonomi, baik produksi maupun distribusi berupa barang ataupun jasa.

Tindakan-tindakan bersama dalam ekonomi harus di ambil untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah kesengsaraan sosial, seperti penindasan ekonomi, distribusi yang tidak adil dan merata. Ekonomi yang berdasarkan saling membantu dan kerjasama ini dengan sendirinya menghendaki adanya organisasi kerjasama dalam aktifitas ekonomi. Nilai yang ada dalam prinsip ini adalah pengambilan keputusan secara konsensus dimana semua peserta mempertanggungjawabkan kepentingan bersama.45

44

Ahmad Dimyati (ed.), Islam dan Koperasi, h.60

45


(45)

B. AKAD WADI’AH DAN MURABAHAH 1. Akad Wadi’ah

a. Pengertian Wadi’ah

Pengertian wadi’ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai: meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.

Sedangkan menurut istilah wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.46

b. Landasan Hukum Wadi’ah

Ulama fiqh sepakat bahwa wadi’ah merupakan salah satu akad dalam rangka tolong menolong sesama insan, disyariatkan dan dianjurkan dalam Islam.

Para fuqoha juga telah sepakat mengenai hukum kebolehan menitip dan meminta menitipkan barang kepada orang lain. Imam Malik berpendapat bahwa menerima titipan itu tidak wajib sama sekali, karena menerima titipan itu sunat apabila ia yakin dengan kemampuan dan kejujuran dirinya.

Tidaklah dapat dipungkiri bahwa manusia itu memerlukan akad wadi’ah ini dalam rangka mengurus harta benda. Namun hendaklah orang yang akan dititipi itu atau orang yang diberi amanah untuk menerima

46


(46)

titipan itu mengetahui wadi’ah itu sendiri adalah memelihara dan menjaga barang yang dititipkan dan penerima titipan telah menyanggupi untuk memelihara barang titipan tersebut. Hal ini berlandaskan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 283 yaitu:

A

=?U

<

; "2

:

...

3 $

m # 3 ﻥ ﻡ

'n e Z )- Pa* 0a* ﻡ ,-

...

Artinya: ”Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya”. (QS. Al-Baqarah: 283)

c. Rukun dan Syarat Wadi’ah

Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu: 1) Barang yang dititipkan.

2) Orang yang berakad yaitu orang yang menitipkan dan orang yang dititipi.

3) Sigot yaitu ijab (pernyataan menitipkan) dan qobul (pernyataan menerima titipan).

Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah pertama yang berhubungan dengan objek atau barang yang dititipkan, antara lain: 1) Barang yang dititipkan hendaklah merupakan barang atau harta yang

boleh di manfaatkan menurut Islam, sehingga tidak sah menitipkan sesuatu yang diharamkan dalam Islam seperti menitipkan minuman keras dan anjing, kecuali anjing yang sah untuk dipelihara yaitu anjing yang dapat digunakan untuk berburu dan anjing penjaga.


(47)

2) Barang yang dititipkan merupakan sesuatu yang berharga atau bernilai. 3) Barang yang dititipkan itu jelas dan dapat dikuasai (dipegang), maksudnya yaitu barang yang dititipkan itu dapat diketahui identitasnya dan dapat dikuasai untuk dijaga. Menurut ulama fiqh, syarat kejelasan dan dapat dikuasai ini dianggap penting karena terkait erat dengan masalah kerusakan barang titipan yang mungkin timbul atau hilang selama barang dititipkan. Jika barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai oleh orang yang menerima titipan, maka apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang titipan tersebut, orang yang dititipi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

Syarat yang kedua adalah berhubungan dengan orang yang berakad. Dalam hal ini disyaratkan hendaknya keduanya sah melakukan tindakan pekerjaan tersebut. Menurut ulama mazhab Hanafi, orang yang berakad hendaklah berakal. Sedangkan jumhur ulama mensyaratkan orang yang berakad dalam wadi’ah sama seperti dalam hal menjadi wakil atau perjanjian mewakilkan, yaitu baligh, berakal dan cerdas.

Syarat yang ketiga berhubungan dengan sigot, yaitu yang disyaratkan keduanya menunjukkan adanya saling mempercayai. Menurut ulama mazhab Hanafi, untuk ijab disyaratkan hendaknya dengan ucapan atau dengan perbuatan. Ucapan itu sendiri dapat dilakukan secara sharih (terang) maupun dilakukan dengan knayah (kiasan). Dan untuk qobul dari orang yang menerima titipan juga adakalanya dilakukan secara


(48)

terang-terangan atau secara penunjukan, seperti orang yang dititipi diam saja ketika barang diletakkan dihadapannya. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i, dalam masalah ijab dan qabul ini disyaratkan adanya ucapan yang keluar dari salah seorang yang melakukan akad. Artinya tidak disyaratkan ucapan itu keluar dari pihak yang menitipkan tetapi sah juga dari orang yang dititipi. Dan ucapan itu juga dari orang yang dititipi. Dan ucapan itu juga adakalanya sharih atau terang dan dengan knayah artinya dengan sindiran atau kiasan. Sementara ulama mazhab Maliki tidak mensyaratkan ijab dan qabul itu berupa ucapan, tetapi mereka mengatakan: bilamana seseorang meletakkan barangnya dihadapan orang lain, lalu orang lain diam saja, maka orang ini berkewajiban untuk memelihara barang tersebut. Sebab sikap diamnya itu menjadikan barang tersebut menjadi titipan padanya, kecuali jika ia memang menolak.

d. Macam-Macam Wadi’ah

Adapun macam-macam wadi’ah antara lain:47 1) Wadi’ah yad al-amanah

Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

47


(49)

a) Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.

b) Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkan.

c) Penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.

d) Aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe deposit box.

2) Wadi’ah yad ad-domanah

Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.

b) Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu menghasilkan manfaat kepada sipenitip. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi hak penyimpan.

c) Produk bank yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan. d) Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang

dihitung berdasarkan presentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syariah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad,


(50)

tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.

e) Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.

f) Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang dapat diambil setiap saat. Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan. Cara pengembangannya harus yang diakui oleh syariat, yaitu berdasarkan keikutsertaan pemilik harta yang disimpan bank sebagai titipan sampai batas waktu tertentu, dalam soal laba yang dihasilkan dari praktek-praktek pengembangan maupun kerugian secara teratur, sesuai dengan sistem perbankan kini dalam batas-batas syariat Islam. Dan dalam masalah ini, transaksi secara Islam yang paling mirip adalah qiradh atau mudharabah.

2. Akad Murabahah

a. Pengertian Murabahah

Pengertian murabahah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang fiqh dan sudut pandang tehnis perbankan.


(51)

Dari sudut pandang fiqh, murabahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu dimana penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian penjual mensyaratkan atas keuntungan dalam jumlah tertentu.

Adapun dari sudut pandang tehnik perbankan, murabahah merupakan akad penyediaan barang berdasarkan akad jual beli dimana bank memberikan kebutuhan investasi nasabah ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati.

b. Landasan Hukum Murabahah

Dasar hukum akad murabahah adalah:

F P;$ h' &0'

. OX 2

0

0 &ﻡ &) 9'. & ﻡ ( ی

ی ی

0 ﻡ 5d '

:

(

<

=@

A

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu…”. (QS. Al-Nisa’: 29)

c. Rukun dan Syarat Murabahah

Murabahah merupakan suatu transaksi jual beli, dengan demikian rukun-rukunnya pun sama dengan rukun jual beli, yaitu:


(52)

2) Ada orang yang berakad (al-muta’aqidain) dalam hal ini penjual dan pembeli.

3) Al-ma’qud alaih yaitu barang yang diperjualbelikan. 4) Harga barang yang diperjualbelikan.48

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai rukun jual beli diatas adalah sebagai berikut:

1) Syarat yang terkait dengan ijab qabul.

Ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul adalah sebagai berikut:

a) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal menurut jumhur ulama.

b) Qabul sesuai dengan ijab.

c) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.49 2) Syarat orang berakad.

Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan aqad jual beli harus memenuhi syarat:

a) Baligh dan berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.

b) Yang melakukan aqad itu adalah orang yang berbeda.

48

Yusuf Qardhawi, Bai’ al-murabahah li al-amr bi’ al-syarra’I kama Tajriyah al-Masyarif al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h.19

49


(53)

3) Syarat harga barang dan barang yang diperjualbelikan.

Para ulama membedakan syarat harga barang dengan barang yang diperjualbelikan. Menurut mereka, syarat harga barang adalah harga pasar yang berlaku ditengah masyarakat secara aktual. Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat harga barang adalah:

a) Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

b) Boleh diserahkan pada waktu aqad atau dibayarkan kemudian. c) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan

barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar adalah bukan barang yang diharamkan syara’, seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai dalam syara’.50

Sedangkan syarat-syarat barang yang diperjualbelikan adalah:

a) Barang itu ada, atau tidak ada ditempat tetapi penjual menyatakan kesanggupan untuk menyediakan barang tersebut.

b) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. c) Milik seseorang.

d) Boleh diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi itu berlangsung.

Adapun syarat-syarat khusus murabahah adalah sebagai berikut: a) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.

50


(54)

b) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. c) Kontrak harus bebas dari riba.

d) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat pada barang sudah pembelian.

e) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.51 f) Secara prinsip, jika syarat dalam point 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi

maka pembeli memiliki pilihan sebagai berikut:

• Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.

• Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas

barang yang dijual.

• Membatalkan kontrak.

Jual beli secara murabahah diatas hanya untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Bila produk tidak dimiliki penjual, sistem yang digunakan murabahah kepada pemesan pembelian, hal ini dinamakan demikian karena sipenjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan sipembeli yang memesannya.

d. Jenis-Jenis Murabahah

51

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h.122


(55)

Seiring dengan perkembangan pemikiran tentang perbankan syariah, murabahah pun telah mengalami perluasan konsep. Jika sebelumnya hanya terdapat satu jenis murabahah, maka kini telah berkembang menjadi dua jenis konsep mengenai murabahah.

Dua jenis konsep tersebut adalah sebagaimana penjelasan sebagai berikut ini:

1) Murabahah Murni

Murabahah ini adalah sebagaimana penjelasan diatas, yaitu dalam konteks jika barang yang dijual oleh penjual telah dimiliki oleh penjual pada saat negosiasi dan akad.

Adapun jika barang tersebut tidak sedang dimiliki oleh penjual, maka dikenal bentuk lain yaitu murabahah kepada pemesan pembelian. 2) Murabahah kepada Pemesan Pembeli

Murabahah kepada pemesan pembelian ini adalah bukan murabahah murni tetapi merupakan kombinasi antara konsep bai’ murabahah dengan konsep bai’ salam.52

e. Manfaat dan Resiko Murabahah

Setiap kegiatan dalam usaha perbankan selalu ada saja manfaat dan resiko yang harus dihadapi oleh seorang pelaku bisnis, dalam kegiatan

52


(56)

murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi.

Murabahah memberi banyak manfaat bagi BMT. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang didapat dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.53

Diantara resiko yang harus dihadapi oleh sebuah lembaga keuangan dalam hal ini khususnya BMT antara lain:

1) Kelalaian dari pihak nasabah yang dengan sengaja tidak membayar angsuran.

2) Fluktuasi harga komparatif; ini terjadi bila harga suatu barang dipasar naik setelah BMT membelikannya untuk nasabah. BMT tidak bisa mengubah harga jual yang telah ditentukan diawal akad.

3) Penolakan yang dilakukan nasabah karena disebabkan oleh beberapa sebab. Bisa jadi karena barang yang diterima rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerima barang tersebut. Kemungkinan lain adalah spesifikasi barang tidak sesuai dengan keinginan nasabah. Bila BMT telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, maka barang tersebut menjadi milik BMT. Dengan demikian BMT mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.

53


(57)

4) Dijual, karena murabahah bersifat jual beli dengan hutang maka ketika kontrak ditandatangani, maka barang tersebut menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, maka resiko kelalaian akan makin besar54

54


(58)

BAB III

GAMBARAN UMUM BMT

A. BMT

1. Pengertian BMT

BMT merupakan kependekan dari Baitul Maal Wat Tamwil atau dapat juga ditulis Baitul Maal wa Baitul Tanwil. Secara Harfiah (lughowi) Baitul Maal berarti rumah dana dan Baitul Tamwil berarti rumah usaha.55 Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa pola pengembangan institusi keuangan ini di adopsi dari Bayt al-Maal yang pernah dan sempat tumbuh dan berkembang pada masa Nabi SAW dan Khulafa’ al-Rasyidin.56

BMT yang dalam terminology disebut Balai Usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga usaha ekonomi kerakyatan yang dapat dan mampu menangani masalah-masalah usaha kecil kebawah berdasarkan sistem bagi hasil dengan memanfaatkan potensi jaminan dalam lingkungannya sendiri.57

Baitul Maal wat Tamwil (BMT) adalah Balai Usaha Mandiri Terpadu yang isinya Bayt Al-Maal wa Tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan

55

Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta: UII Press, 2004), h.126

56

A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h.183

57

Baihaqi Abd. Madjid dan Saefuddin A. Rasyid, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah, Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia, (Jakarta: PINBUK, 2000), h.182


(59)

ekonomi pengusaha kecil dan menengah antara lain dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu BMT juga bisa menerima titipan zakat, infaq dan shadaqah, serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan-peraturan dan amanatnya.58

Baitul Maal merupakan sebuah lembaga keuangan Islam yang mempunyai peranan penting dalam tatanan dalam ekonomi Islam. Lembaga keuangan ini banyak memberikan kontribusi dalam membangun perekonomian umat Islam bahkan hingga mampu mensejahterakan umat.59

Pada dasarnya BMT dibangun di atas prinsip-prinsip yang didasarkan pada cara pandang holistic dan integral, dalam menangani pembangunan bangsa. Adapun yang dimaksud dengan cara pandang holistic adalah cara pandang yang didasarkan pada al-Qur’an. Dan cara pandang integral adalah cara pandang yang digunakan oleh para pendiri Republik Indonesia, dan tersimpul dalam Pancasila UUD 1945.60

2. Visi dan Misi BMT

Visi BMT harus mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota (anggota dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah

58

Djazuli dan Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, h.183

59

Mustafa Kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997), h.207

60


(60)

SWT, memakmurkan kehidupan anggota khususnya dan masyarakat umumnya.

Titik tekan perumusan visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang profesional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah.61 Ibadah harus dipahami dalam arti luas, yakni tidak saja mencakup aspek ritual peribadatan seperti shalat misalnya, tetapi lebih luas mencakup aspek kehidupan. Sehingga setiap kegiatan BMT harus berorientasi pada upaya mewujudkan ekonomi yang adil dan makmur.

Masing-masing BMT dapat saja merumuskan visinya sendiri. Karena visi sangat dipengaruhi oleh lingkungan bisnisnya, latar belakang masyarakatnya serta visi para pendirinya. Namun demikian, prinsip perumusan visi harus sama dan tetap dipegang teguh karena visi sifatnya jangka panjang.

Dilihat dari sisi visi dan orientasi yang dimiliki oleh BMT, tampak lembaga BMT memikul suatu tugas dan tanggung jawab yang sangat besar. BMT hendaknya mampu menjamin pengembangan usaha kecil dan menengah menjadi lebih baik. Tatkala masyarakat dihadapkan kepada kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi dan disertai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tinggi maka BMT dianggap memiliki kompetensi dalam membangkitkan kembali minat wirausaha masyarakat.

61


(61)

Keadaan ini hendaknya dilihat sebagai peluang yang positif. Di saat kalangan usaha kecil dan menengah mulai beralih memanfaatkan pelayanan jasa keuangan syariah yang ditawarkan oleh BMT.

Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran, berkemajuan, serta makmur-maju berkeadilan berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT.62

Maka dapat dipahami bahwa misi BMT bukanlah semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan laba-modal pada segolongan orang kaya, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Masyarakat ekonomi kelas bawah-mikro harus didorong untuk berpartisipasi dalam modal melalui simpanan penyertaan modal, sehingga mereka dapat menikmati hasil-hasil BMT.

3. Ciri-Ciri BMT

Adapun ciri-ciri BMT adalah sebagai berikut:

a. Usahanya dimaksud untuk mendorong sikap dan perilaku menabung dari masyarakat banyak dengan menerima simpanan atas dasar balas jasa berdasarkan bagi hasil.

b. Pengelolannya secara profesional persis mengikuti administrasi pembukuan dan prosedur perbankan (namun bukan lembaga perbankan).

62


(62)

Dengan pengecualian tidak mengharuskan pakai jaminan uang atau harta benda untuk jumlah pinjaman yang kecil.

c. Modal awal untuk mendirikan BMT, lebih kurang Rp. 5.000.000,- sampai dengan Rp. 10.000.000,- ditambah dengan fasilitas/sarana sekitar Rp. 1.000.000,- sampai dengan Rp. 1.500.000,-.

d. Pendirinya sebagai anggota inti, terdapat sekelompok orang (20 sampai 40 orang) disekitar lokasi tempat didirikan BMT, yang diharapkan bersedia urunan modal awal.

e. Biaya operasionalnya sangat rendah, antara lain karena jumlah stafnya kecil dan dapat beroperasi pada kondisi yang tidak mewah.

f. Jaminannya adalah dengan mengutamakan kepercayaan, (rekomendasi) tokoh setempat dan/atau tanggung renteng, saling kenal karena daerah operasinya tidak terlalu luas.

g. Mitra operasinya terintegrasi dengan lembaga lokal; misalnya pengajian, lingkungan masjid dan pesantren.63

4. Tujuan didirikan BMT

Lembaga mikro ini pada awalnya pendiriannya menfokuskan diri untuk meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya melalui pemberian pinjaman modal. Pemberian modal pinjaman sedapat mungkin dapat memandirikan

63


(1)

Cita Sejahtera ketentuan besarnya bagi hasil pinjaman dilihat dari kondisi usaha nasabah.

2. Praktek simpan pinjam yang dijalankan oleh BMT Cita Sejahtera sesuai dengan ekonomi syariah. Dimana pelaksanaan simpan pinjam yang dipraktekkan oleh BMT Cita Sejahtera tidak memberatkan anggotanya dan dari prinsip BMT Cita Sejahtera itu sendiri mencerminkan prinsip ekonomi syariah.

Salah satunya seperti pinjaman wadi’ah yang dipraktekkan oleh BMT Cita Sejahtera. Dimana dibuktikan dengan adanya jaminan bahwa dana tabungan wadi’ah tersebut dapat ditarik setiap saat oleh pemilik rekening tabungan wadi’ah. Ini semua dimaksudkan agar salah satu pihak baik nasabah maupun penyimpan (BMT) tidak ada yang merasa dirugikan dan manfaat dari produk ini dapat dirasakan oleh semua pihak. Dan dana nasabah yang mengendap akan dikelola secara syariah oleh BMT Cita Sejahtera, sehingga nasabah akan merasa aman dunia dan akhirat. Dalam hal ini pihak BMT Cita Sejahtera dalam melaksanakan operasionalnya sesuai dengan ketentuan syariah dan juga sesuai berlandaskan Fatwa Dewan Syariah Nasional.


(2)

B. Saran-Saran

Hal yang disarankan penulis dalam skripsi ini antara lain:

1. BMT merupakan badan hukum yang berasaskan tolong menolong yang didasarkan sebagai manifestasi ibadah yang semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT, oleh karena itu hendaknya BMT harus terus digalakkan dikalangan masyarakat, agar masyarakat lebih mengetahui tentang kinerja BMT, terutama masyarakat kecil/menengah agar tujuan BMT dapat menjalankan fungsinya secara optimal sebagai salah satu lembaga penunjang perekonomian mikro menengah kebawah. Dan BMT dalam operasionalnya harus selalu sesuai dengan ketentuan ekonomi syariah.

2. Hendaknya kemauan masyarakat itu kuat untuk lebih mengetahui tentang BMT sehingga masyarakat itu sendiri benar-benar mengetahui operasional kinerja BMT, dan hendaknya masyarakat lebih jeli dalam memilih lembaga keuangan untuk menabung agar tidak salah pilih menitipkan uangnya, pilihlah lembaga keuangan yang berasaskan syariah seperti BMT yang tujuan didirikannya adalah untuk kebahagiaan umat manusia didunia dan akhirat.

3. Bagi kalangan Akademisi/Cendekiawan hendaknya memberikan pemikiran-pemikiran masukan yang bernilai baik bagi perkembangan BMT kedepan.


(3)

4. Dan bagi pemerintah sendiri hendaknya selalu mendukung, memberikan sarana dan memberikan motifasi bagi pihak BMT agar BMT selalu berkembang dan nantinya akan bertambah banyak muncul lembaga-lembaga keuangan yang berasaskan syariah. Sehingga kedepan lembaga-lembaga keuangan yang berasaskan syariah bisa selalu eksis dalam dunia perbankan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kaaf, Abdullah Zaky. Ekonomi dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Pustaka Setia, pertama, Maret 2002.

Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1998.

Asmuni, Yusron. Ilmu Tauhid, cet.II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan.

Jakarta: Tazkia Institute, 1999.

Akta Pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah “Baitul Mal Wattamwil Cita Sejahtera” (BMT Cita Sejahtera). Tangerang, 2007.

Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti, 1999.

---. Islam dan Tantangan Ekonomi, (terj) Ikhwan Abidin dari Judul Asli Islam and Economic Challenge. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Djazuli, A dan Janwari, Yadi. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan. Jakarta: Raja Grafindo, 2002.

Dimyati, Ahmad. Islam dan Koperasi: Telaah Peran Serta Umat Islam dalam Pengembangan Koperasi. Jakarta: Koperasi Jasa Informasi, 1989.

Effendi, Rustam. Produksi Dalam Islam. Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003. Kartasapoetra, G. Praktek Pengelolaan Koperasi, cet.II, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Kamal, Mustafa. Wawasan Islam dan Ekonomi: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:

Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997. Lubis, Ibrahim. Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Jakarta: Kalam Mulia, 1994. Madjid, Baihaqi Abdul dan Rasyid, Saifudin A. Paradigma Baru Ekonomi

Kerakyatan Sistem Syariah Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia. Jakarta: PINBUK, 2000.


(5)

Miles, Matthew B dan Huberman, A. Michael. Analisa Data Kualitatif: Buku Tentang Sumber Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press, 1992.

Muhammad. Lembaga Ekonomi Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Manan, Muhammad Abdul, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Penerjemah Potan Arif Harahap. Jakarta: Internusa, 1992.

---. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Penerjemah M. Nastangin. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.

Naqvi, Syed Nawab Haidar. Etika dan Ilmu Ekonomi: Sebuah Sintesa Islam. Penerjemah Husin Amis. Bandung: Mizan, 1985.

Poli, Carla. dkk. Pengantar Ilmu Ekonomi I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Perwataatmadja, Karnaen dan Antonio, M. Syafi’i. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1992.

Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, cet.II. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

---. Bai’ murabahah li amr bi’ syarra’I kama Tajriyah Masyarif al-Islamiyah. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.

Raharjo, M. Daman. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta: UII Press, 2004.

Ridwan, Ahmad Hasan. BMT dan Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Sjahdeni, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama, 1999.

Saefuddin, A.M. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1987.


(6)

Sulaiman bin al-Asy’ats al-Syistani, Abu Daud. Sunan Abu Daud. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: LP. Fakultas Ekonomi UI, 2001.

Sarkaniputra, Murasa. Pengantar Ekonomi Islam; Bahan kuliah pada Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: 1999.

Sarkaniputra, Murasa dan Krisriawan, Agus. Ilmu Ekonomi (Pengantar Ekonomi Moneter: Suatu Awalan), Bahan Pengajaran Ekonomi Perbankan dan

Asuransi Islam. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2000.

Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar, cet.III. Yogyakarta: Ekonisia, 2004.

Saladin, Djaslim. Konsep Dasar Ekonomi dan Lembaga Keuangan Islam. Bandung: Linda Karya, t.th.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. Bank Syari’ah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, cet.II. Jakarta: Djambatan, 2003.

Tim Penyusun. Prinsip Syariah Dalam Ekonomi. Jakarta: MES, 2001.

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007.


Dokumen yang terkait

Studi Komparatif Peran Koperasi Simpan Pinjam Bina Bersama dan BMT Insani Dalam Pengembangan UMK di Kota Padangsidimpuan

1 49 107

Peranan Perbankan Syariah terhadap Pengembangan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di Kota Medan

4 89 84

Analisis Peranan Koperasi Simpan Pinjam BMT Terhadap Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah Di Kota Padangsidimpuan.

9 105 81

FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM PENETAPAN BESARNYA NISBAH BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) (Studi pada Baitul Maal Wattamwil (BMT) di Kabupaten Situbondo)

3 46 80

FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM PENETAPAN BESARNYA NISBAH BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) (Studi pada Baitul Maal Wattamwil (BMT) di Kabupaten Situbondo)

3 13 18

FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM PENETAPAN BESARNYA NISBAH BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) (Studi pada Baitul Maal Wattamwil (BMT) di Kabupaten Situbondo)

0 4 18

Rancang bangun sistem informasi pemasaran berbasis web pada BMT (Baitul Maal Wattamwil) Cita Sejahtera

0 26 249

Rancang bangun sistem informasi simpan pinjam Mudharabah pada koperasi baitul Maal wat Tamwil Ar-Rum

0 9 258

Evaluasi penerapan metode penentuan harga jual beli murabahah pada BMT Prima Syariah

10 87 97

BAB I PENDAHULUAN - Peranan kopentensi simpan pinjam dan pembiayaan syari'ah Baitul Maal Wattamwil KSPPS BMT Fajar Kota Metro,dalam mengembangkan msyarakat islam melalui kegiatan ekonomi syari'ah - Raden Intan Repository

0 0 19