tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
e Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan
manajemen bank syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
f Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena
pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang dapat diambil setiap saat. Perbedaannya, tabungan tidak dapat
ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan. Cara pengembangannya harus yang diakui oleh syariat, yaitu
berdasarkan keikutsertaan pemilik harta yang disimpan bank sebagai titipan sampai batas waktu tertentu, dalam soal laba yang
dihasilkan dari praktek-praktek pengembangan maupun kerugian secara teratur, sesuai dengan sistem perbankan kini dalam batas-
batas syariat Islam. Dan dalam masalah ini, transaksi secara Islam yang paling mirip adalah qiradh atau mudharabah.
2. Akad Murabahah
a. Pengertian Murabahah
Pengertian murabahah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang fiqh dan sudut pandang tehnis perbankan.
Dari sudut pandang fiqh, murabahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu dimana penjual menyebutkan harga pembelian barang
kepada pembeli, kemudian penjual mensyaratkan atas keuntungan dalam jumlah tertentu.
Adapun dari sudut pandang tehnik perbankan, murabahah merupakan akad penyediaan barang berdasarkan akad jual beli dimana bank
memberikan kebutuhan investasi nasabah ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati.
b. Landasan Hukum Murabahah
Dasar hukum akad murabahah adalah:
F P; h 0 . OX 2
0 ﻡ 9. ﻡ ی ی ی
0 ﻡ 5d …
:
=
A
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman Janganlah kalian saling memakan mengambil harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu…”. QS. Al-Nisa’: 29
c. Rukun dan Syarat Murabahah
Murabahah merupakan suatu transaksi jual beli, dengan demikian rukun-rukunnya pun sama dengan rukun jual beli, yaitu:
1 Sighat, yaitu ijab dan qabul.
2 Ada orang yang berakad al-muta’aqidain dalam hal ini penjual dan
pembeli. 3
Al-ma’qud alaih yaitu barang yang diperjualbelikan. 4
Harga barang yang diperjualbelikan.
48
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai rukun jual beli diatas adalah sebagai berikut:
1 Syarat yang terkait dengan ijab qabul.
Ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul adalah sebagai berikut:
a Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal menurut
jumhur ulama. b
Qabul sesuai dengan ijab. c
Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.
49
2 Syarat orang berakad.
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan aqad jual beli harus memenuhi syarat:
a Baligh dan berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan oleh
anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
b Yang melakukan aqad itu adalah orang yang berbeda.
48
Yusuf Qardhawi, Bai’ al-murabahah li al-amr bi’ al-syarra’I kama Tajriyah al-Masyarif al-Islamiyah,
Kairo: Maktabah Wahbah, 1995, h.19
49
Nasroen Haroen, Fiqh Muamalat, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, h.116
3 Syarat harga barang dan barang yang diperjualbelikan.
Para ulama membedakan syarat harga barang dengan barang yang diperjualbelikan. Menurut mereka, syarat harga barang adalah harga
pasar yang berlaku ditengah masyarakat secara aktual. Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat harga barang adalah:
a Harga
yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b Boleh diserahkan pada waktu aqad atau dibayarkan kemudian.
c Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan
barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar adalah bukan barang yang diharamkan syara’, seperti babi dan khamar, karena
kedua jenis benda ini tidak bernilai dalam syara’.
50
Sedangkan syarat-syarat barang yang diperjualbelikan adalah: a
Barang itu ada, atau tidak ada ditempat tetapi penjual menyatakan kesanggupan untuk menyediakan barang tersebut.
b Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c Milik seseorang.
d Boleh diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu
yang disepakati bersama ketika transaksi itu berlangsung. Adapun syarat-syarat khusus murabahah adalah sebagai berikut:
a Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.
50
Ibid., h.119
b Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c Kontrak harus bebas dari riba.
d Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat pada
barang sudah pembelian. e
Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
51
f Secara prinsip, jika syarat dalam point 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi
maka pembeli memiliki pilihan sebagai berikut: • Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
• Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
• Membatalkan kontrak. Jual beli secara murabahah diatas hanya untuk barang atau produk
yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Bila produk tidak dimiliki penjual, sistem yang digunakan
murabahah kepada pemesan pembelian, hal ini dinamakan demikian karena sipenjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi
kebutuhan sipembeli yang memesannya. d.
Jenis-Jenis Murabahah
51
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, Jakarta: Tazkia Institute, 1999, h.122
Seiring dengan perkembangan pemikiran tentang perbankan syariah, murabahah pun telah mengalami perluasan konsep. Jika sebelumnya
hanya terdapat satu jenis murabahah, maka kini telah berkembang menjadi dua jenis konsep mengenai murabahah.
Dua jenis konsep tersebut adalah sebagaimana penjelasan sebagai berikut ini:
1 Murabahah Murni
Murabahah ini adalah sebagaimana penjelasan diatas, yaitu dalam konteks jika barang yang dijual oleh penjual telah dimiliki oleh
penjual pada saat negosiasi dan akad. Adapun jika barang tersebut tidak sedang dimiliki oleh penjual, maka
dikenal bentuk lain yaitu murabahah kepada pemesan pembelian. 2
Murabahah kepada Pemesan Pembeli Murabahah kepada pemesan pembelian ini adalah bukan murabahah
murni tetapi merupakan kombinasi antara konsep bai’ murabahah dengan konsep bai’ salam.
52
e. Manfaat dan Resiko Murabahah
Setiap kegiatan dalam usaha perbankan selalu ada saja manfaat dan resiko yang harus dihadapi oleh seorang pelaku bisnis, dalam kegiatan
52
Ibid., h.123
murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi.
Murabahah memberi banyak manfaat bagi BMT. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang didapat dari selisih harga beli dari penjual
dengan harga jual kepada nasabah.
53
Diantara resiko yang harus dihadapi oleh sebuah lembaga keuangan dalam hal ini khususnya BMT antara lain:
1 Kelalaian dari pihak nasabah yang dengan sengaja tidak membayar
angsuran. 2
Fluktuasi harga komparatif; ini terjadi bila harga suatu barang dipasar naik setelah BMT membelikannya untuk nasabah. BMT tidak bisa
mengubah harga jual yang telah ditentukan diawal akad. 3
Penolakan yang dilakukan nasabah karena disebabkan oleh beberapa sebab. Bisa jadi karena barang yang diterima rusak dalam perjalanan
sehingga nasabah tidak mau menerima barang tersebut. Kemungkinan lain adalah spesifikasi barang tidak sesuai dengan keinginan nasabah.
Bila BMT telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, maka barang tersebut menjadi milik BMT. Dengan
demikian BMT mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
53
Ibid., h.127
4 Dijual, karena murabahah bersifat jual beli dengan hutang maka ketika
kontrak ditandatangani, maka barang tersebut menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut,
termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, maka resiko kelalaian akan makin besar
54
54
Ibid., h.127-128
BAB III GAMBARAN UMUM BMT
A. BMT
1. Pengertian BMT
BMT merupakan kependekan dari Baitul Maal Wat Tamwil atau dapat juga ditulis Baitul Maal wa Baitul Tanwil. Secara Harfiah lughowi Baitul
Maal berarti rumah dana dan Baitul Tamwil berarti rumah usaha.
55
Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa pola pengembangan institusi keuangan
ini di adopsi dari Bayt al-Maal yang pernah dan sempat tumbuh dan berkembang pada masa Nabi SAW dan Khulafa’ al-Rasyidin.
56
BMT yang dalam terminology disebut Balai Usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga usaha ekonomi kerakyatan yang dapat dan mampu menangani
masalah-masalah usaha kecil kebawah berdasarkan sistem bagi hasil dengan memanfaatkan potensi jaminan dalam lingkungannya sendiri.
57
Baitul Maal wat Tamwil BMT adalah Balai Usaha Mandiri Terpadu yang isinya Bayt Al-Maal wa Tamwil dengan kegiatan mengembangkan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan
55
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil BMT, Yogyakarta: UII Press, 2004, h.126
56
A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat Sebuah Pengenalan,
Jakarta: Raja Grafindo, 2002, h.183
57
Baihaqi Abd. Madjid dan Saefuddin A. Rasyid, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah, Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia,
Jakarta: PINBUK, 2000, h.182