Pengertian dan Dasar Hukum Ekonomi Syariah

BAB II KERANGKA TEORI

A. EKONOMI SYARIAH

1. Pengertian dan Dasar Hukum Ekonomi Syariah

Makna etimologi ekonomi berasal dari oikonomeia Greek atau Yunani. Kata oikonomeia berasal dari dua kata oicos yang berarti rumah dan nomos yang berarti aturan. Jadi, ekonomi ialah aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga, baik rumah tangga rakyat volkshuishouding, maupun rumah tangga Negara staathuishouding, yang dalam bahasa Inggris disebutnya sebagai economics. 11 Secara terminologi, oleh Samuelson 1973, ilmu ekonomi didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. 12 Seorang pakar ekonomi dunia terkemuka sekaligus peraih nobel dalam bidang ekonomi ditahun 1970 Paul A. Samuelson mengartikan, bahwa ekonomi merupakan studi mengenai bagaimana orang-orang dan masyarakat 11 Abdullah Zaky al-Kaaf, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Pustaka Setia, pertama, Maret 2002, cet.I, h.18 12 Murasa Sarkaniputra, Pengantar Ekonomi Islam; Bahan kuliah pada Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 1999, h.6 membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi sekarang dan dimasa yang akan datang, kepada berbagai orang dan golongan masyarakat. 13 Sedangkan Lionel Robins mendefinisikan, bahwa ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai dan sumber daya langka yang mempunyai berbagai kemungkinan penggunaan. 14 Jadi menurut sistem ekonomi konvensional terdapat kelangkaan dari sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas, sehingga timbul pilihan-pilihan atas penggunaan sumber daya yang bisa dimiliki. 15 Dari berbagai definisi yang diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi adalah sesuatu yang menyangkut tentang perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan materialnya dengan sumber daya yang terbatas. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan seperti produksi, distribusi 13 Murasa Sarkaniputra dan Agus Krisriawan, Ilmu Ekonomi Pengantar Ekonomi Moneter: Suatu Awalan, Bahan Pengajaran Ekonomi Perbankan dan Asuransi Islam, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000, cet.I, h.2 14 Carla Poli, dkk, Pengantar Ilmu Ekonomi I, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, h.20-22 15 Tim Penyusun, Prinsip Syariah Dalam Ekonomi, Jakarta: MES, 2001, h.47 dan konsumsi. Tiga model kegiatan inilah yang menjadi pokok kegiatan dalam ekonomi. Jika definisi tersebut dijadikan acuan, maka Islam bisa memberikan komentar tentang apa yang seharusnya tujuan aktivitas itu. Yang tentunya tercermin dalam tujuan hidup muslim itu sendiri, yang tidak hanya mencakup segi-segi material, tetapi juga spiritual. Apakah seorang muslim hendak merubah definisi kegiatan ekonomi? Pertanyaan itulah yang hendak dijawab oleh beberapa pemikir ekonomi muslim. Apa yang dimaksud ekonomi Islam itu? Dengan mencantumkan label Islam, berarti ada sebuah akar teoritis yang dijadikan acuan untuk mendefinisikan ilmu tersebut. Dalam bahasa arab ekonomi dinamakan mu’amalah maddiyah, yaitu aturan-aturan tentang pergaulan dan perhubungan manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Lebih tepat lagi dinamakan iqtishad, yaitu mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat- cermatnya. 16 Dalam al-Qur’an Allah memberikan contoh tegas mengenai ajaran-ajaran para Rasul, dalam kaitannya dengan masalah-masalah ekonomi yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu bidang perhatian agama. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah mengenai risalah kenabian Ibrahim as. dan putra-putranya. Allah berfirman: 16 Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Perspektif Islam,h.19 ی ;IJ K L M N O- ﻥ ﻡ9 B ی PQ H R S ; T ﻥ یB F : 2ﻥ. U A Artinya: “Kami telah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk manusia dengan perintah kami, dan kami turunkan wahyu kepada mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, melaksanakan sholat dan zakat, dan mereka senantiasa beribadah kepada-Ku”. QS. al-Anbiya’: 73 Ekonomi Islam yang dibangun diatas –atau paling tidak diwarnai- oleh prinsip-prinsip religius yang punya orientasi kehidupan dunia dan juga akhirat. Ekonomi Islam merupakan paradigma baru dalam sistem ekonomi dunia saat ini. Paradigma ini bagi ekonom-ekonom muslim bukan merupakan hal yang perlu ditakuti, akan tetapi menjadi sebuah tantangan untuk dapat lebih mengembangkan ekonomi Islam sehingga ia menjadi sebuah jawaban atas berbagai permasalahan ekonomi dunia dewasa ini. Semangat fastabiqul khairat berlomba-lomba dalam kebaikan yang melandasi ekonom-ekonom muslim bahkan non muslim dalam mendalami ekonomi Islam berdampak pada perbedaan pendapat tentang definisi ekonomi Islam itu sendiri. Perbedaan ini ‘lumrah’ terjadi selama tidak keluar dari jalur Islam. Sebagaimana beragamnya definisi mengenai ekonomi secara umum yang dikemukakan oleh para pakar ekonomi, maka ekonomi Islam pun didefinisikan secara beragam pula oleh para pakar ekonomi Islam, diantaranya oleh Muhammad Abdul Manan seorang pakar ekonomi Islam, menurutnya yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. 17 Menurut Abdullah al-Arabi ekonomi Islam adalah sekumpulan dasar- dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas dasar-dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masyarakat. 18 Definisi lain juga disampaikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah. Aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, import dan eksport tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan. 19 Ekonomi Islam yang dikemukakan S.M. Hasanuzzaman adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidak adilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat. 20 17 Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Potan Arif Harahap terj, Jakarta: Internusa, 1992, cet.I, h.19 18 Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Jakarta: Kalam Mulia, 1994, cet.I, h.245 19 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, cet.II, h.31 20 Rustam Effendi, Produksi Dalam Islam, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003, cet.I, h.2-3 Sedangkan menurut H. Halide yang menjabat sebagai Kepala Pusat Pengelolaan Data Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al- Qur’an dan as-Sunnah yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi. Menurutnya sebagai suatu sistem, ekonomi Islam menarik untuk dikaji karena pertama, diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah yang melanda ekonomi dunia. Timbulnya berbagai kepincangan dalam neraca pembayaran negara-negara, resesi dan sebagainya pada masa akhir-akhir ini, semakin terasa bahwa teori dan sistem ekonomi yang ada mungkin tidak berdaya lagi menemukan alternatif penyelesaian. Kedua, ekonomi Islam sebagai suatu sistem adalah cabang ilmu pengetahuan yang dijiwai oleh ajaran agama Islam. 21 Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian dari ekonomi Islam adalah studi tentang problema-problema ekonomi dan institusi yang berkaitan dengannya. Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari tentang tata kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan untuk mencapai ridha Allah. Dalam definisi ini terdapat tiga cakupan utama dalam ekonomi Islam yaitu, tata kehidupan, pemenuhan kebutuhan dan ridha Allah yang kesemuanya diilhami oleh nilai-nilai Islam yang bersumber dari al- Qur’an dan as-Sunnah, yang akhirnya menunjukkan konsistensi antara niat 21 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1998, cet.I, h.3-4 karena Allah, kaifiat atau cara-cara dan ghayah atau tujuan dari setiap manusia. 22 Sebenarnya definisi ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam tidak jauh berbeda, hanya saja dalam ekonomi Islam lebih dititik beratkan pada penetapan syariah dalam perilaku ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa kebahagiaan dunia merupakan modal untuk meraih kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan akhirat. 23 Sedangkan dasar hukum ekonomi Islam itu sendiri terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijtihad, Ijma, qiyas, ‘urf, istihsan, istishlah, istishab dan mashlaha al-mursalah . a. Al-Qur’an, adalah kallam Allah, merupakan mu’jizat yang diturunkan diwahyukan kepada Rasulullah SAW yang di tulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Abd al- Wahhab al-Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul al-Fiqh lebih jauh mendefinisikan al-Qur’an adalah perkataan Allah yang diturunkan oleh ruhul amin kedalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafadz bahasa arab berikut artinya. Agar supaya menjadi hujjah bagi 22 Sarkaniputra, Pengantar Ekonomi Islam, h.5 23 M. Daman Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, cet.I, h.7 Rasulullah SAW bahwa dia adalah seorang utusan Allah, menjadi undang- undang dasar bagi orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah. 24 b. Al-Hadits, adalah berita yang berasal dari Nabi. Boleh jadi berita itu berwujud perkataan qauliyah, perbuatan fi’liyah, dan pengakuan atau persetujuan terhadap perkataan orang lain taqrir. Sedangkan sunnah adalah perilaku Rasulullah yang berdimensi hukum; dengan demikian dalam kapasitasnya sebagai Rasul. Hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya. Jika hadits menurut kaidah dan akan menjadi asas prektek bagi kaum muslimin. Sementara sunnah merupakan sebagian besar dan terutama fenomena praktik yang dilengkapi dengan norma- norma perilaku. Hadits dan sunnah berfungsi sebagai petunjuk-petunjuk praktis yang tidak dijelaskan secara lengkap dalam al-Qur’an. 25 Justifikasi sunnah dan hadits sebagai dasar hukum Islam termuat dalam al- Qur’an, Allah berfirman: ,- 0 ﻡ ﻡV E Wﺱ X X ﻡ ی ی ی Wﺱ E YZ - 5E[ - F\ K ﻡ PIی9 ﺥ ﺥV : _ A Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Apabila terjadi pertengkaran dalam sesuatu masalah maka pulanglah kepada Allah dan Rasul, jika 24 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, cet.III, h.26 25 Ibid., h.35-36 kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. QS. An- Nisa’: 59 c. Ijtihad, adalah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci yang bersifat operasional dengan cara istimbat. 26 Secara teknis, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin benar, walaupun mungkin saja keliru. Jelaslah, asas-asas agama Islam seperti ke-Esaan Allah, diutusnya para Nabi dan seterusnya tidak tepat merupakan subjek ijtihad. Menurut al-Mawardi, ruang lingkup ijtihad sesudah wafatnya Nabi meliputi delapan judul yang terpisah. Tujuh diantaranya terdiri dari penafsiran terhadap ayat-ayat yang diwahyukan dengan suatu metode seperti analogi, sedangkan yang kedelapan adalah kesimpulan arti lain dari ayat-ayat yang diwahyukan, umpamanya dengan penalaran. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis dengan penalaran. Dengan majunya peradaban manusia, kehidupan kita pada satu pihak, hari demi hari menjadi lebih rumit, dan masalah-masalah sosial dan moral baru yang timbul dalam masyarakat dari waktu kewaktu memerlukan pemecahan. Di pihak lain, cakrawala mental dan intelektual juga meluas dengan kemajuan 26 Ibid., h.45 pengetahuan manusia. Akibatnya hokum Islam berkembang bersamaan dengan munculnya masalah-masalah baru sejak zaman Nabi, dan diciptakan serta diciptakan kembali, ditafsirkan dan ditafsirkan kembali sesuai dengan keadaan-keadaan yang berubah. Karena itu, pandangan kalangan Mu’tazilah bahwa ijtihad itu selalu benar hamper-hampir tidak dapat diterima. Karena ijtihad terutama menghadapi persoalan syariat yang timbul dalam masyarakat dari waktu kewaktu, maka ketentuan- ketentuannya tidak sama untuk segala zaman mendatang. Dengan berlalunya waktu, konsep kebutuhan hidup masyarakat, bila hal-hal lain tetap sama, dituntut untuk berubah. Karena itu proses pemikiran kembali dan penafsiran kembali harus diperkenankan tanpa gangguan, dengan tetap memperhatikan perintah-perintah al-Qur’an dan as-Sunnah. 27 Keberadaan ijtihad sebagai sebuah hukum dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 83, yang berbunyi: Wﺱ E YZ 3 F `N ﻡV ﻡ ﻡ R S 0 F Oa- . ﻡ 3ﻥb2 ی ی 3 ﻡ ﻡV E E PI L . b c 2. 3 : ?U A Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka Rasul dan Ulil Amri. Kalau tidaklah karena 27 Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, M. Nastangin terj, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, h.35-36 karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja di antaramu”. QS. An-Nisa’: 83 d. Ijma’, menurut istilah ushul ialah kesepakatan para mujtahid memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i pada suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan keadaan semua mujtahid di saat terjadinya. Para mujtahid itu sepakat memutuskan menentukan hukumnya. Ketentuan hukum mengenai ijma’, dikatakan Rasulullah SAW: “Umatku tidak akan sepakat untuk membuat kekeliruan”. HR. Ibnu Majah Ditinjau dari sudut menghasilkan hukum ini, maka ijma’ dapat dibagi dua: 1 Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa dan dalam memutuskan suatu perkara. Tiap-tiap mujtahid itu merupakan sumber hukum. Menurut jumhur ulama disebut juga ijma haqiqi dan menjadi sumber hukum syariat. 2 Ijma’ Sukuti, sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan pendapatnya dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu masalah. Menurut jumhur ulama ijma sukuti disebut juga dengan ijma I’tibari, sumber hukum yang kedudukannya relative. 28 e. Qiyas, adalah istilah ushul, yaitu mempersamakan peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hokum ini. Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid untuk meng-istimbath-kan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling jelas. f. ‘Urf, yaitu apa yang saling diketahui dan saling dijalani orang. Apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. ‘Urf disebut juga adat kebiasaan. g. Istihsan, berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah memperbandingkan yang dilakukan oleh mujtahid dari qiyas jalli jelas kepada qiyas khaffi yang tersembunyi. Atau dari hukum kulli kepada hukum istisna’i. Disini terdapat kecendrungan yang lebih kuat untuk mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak didasarkan nash. 29 Istihsan ternyata merupakan suatu sarana yang lebih efektif dari pada qiyas dalam memasukkan unsur- unsur baru, karena dalam hal ini ketentuan-ketentuan untuk menetapkan persoalan adalah lebih mudah dari pada dalam qiyas, maka ia memberi 28 Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, h.47-48 29 Ibid., h.49-50 kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar. Hal yang diperlukan adalah untuk melihat dalam unsur baru yang penggunaannya menghendaki adanya suatu sifat yang dimiliki oleh suatu persoalan yang telah disetujui atau dilarang oleh sumber-sumber dan sasaran yang tercapai. 30 h. Istishlah, berarti melarang atau mengizinkan suatu hal semata-mata karena ia memenuhi suatu “maksud yang baik” walaupun tidak ada bukti jelas pada sumber yang diwahyukan untuk mendukung tindakan semacam itu. 31 Istishlah menurut ulama ushul adalah menetapkan hukum suatu peristiwa hukum yang tidak disebut nash, dan ijma, berlandaskan pada pemeliharaan mashlahat al-mursalah, yaitu mashlahat yang tak ada dalil dari syara’ yang menunjukkan diakuinya atau ditolaknya. 32 i. Istishhab, artinya pelajaran yang diambil dari sahabat Rasulullah SAW. Menurut istilah para ulama ushul, yaitu hokum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya; sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan itu. Atau menjadikan hukum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil untuk mengubahnya. j. Mashlahatul al-mursalah, ialah yang mutlak. Menurut istilah ahli ushul, kemaslahatan yang tidak di-syariat-kan oleh syari’ dalam wujud hukum didalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah al-mursalah 30 Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, h.38 31 Ibid., h.38 32 Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, h.50 itu disebut mutlak, lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah. 33

2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah

Dokumen yang terkait

Studi Komparatif Peran Koperasi Simpan Pinjam Bina Bersama dan BMT Insani Dalam Pengembangan UMK di Kota Padangsidimpuan

1 49 107

Peranan Perbankan Syariah terhadap Pengembangan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di Kota Medan

4 89 84

Analisis Peranan Koperasi Simpan Pinjam BMT Terhadap Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah Di Kota Padangsidimpuan.

9 105 81

FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM PENETAPAN BESARNYA NISBAH BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) (Studi pada Baitul Maal Wattamwil (BMT) di Kabupaten Situbondo)

3 46 80

FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM PENETAPAN BESARNYA NISBAH BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) (Studi pada Baitul Maal Wattamwil (BMT) di Kabupaten Situbondo)

3 13 18

FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM PENETAPAN BESARNYA NISBAH BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) (Studi pada Baitul Maal Wattamwil (BMT) di Kabupaten Situbondo)

0 4 18

Rancang bangun sistem informasi pemasaran berbasis web pada BMT (Baitul Maal Wattamwil) Cita Sejahtera

0 26 249

Rancang bangun sistem informasi simpan pinjam Mudharabah pada koperasi baitul Maal wat Tamwil Ar-Rum

0 9 258

Evaluasi penerapan metode penentuan harga jual beli murabahah pada BMT Prima Syariah

10 87 97

BAB I PENDAHULUAN - Peranan kopentensi simpan pinjam dan pembiayaan syari'ah Baitul Maal Wattamwil KSPPS BMT Fajar Kota Metro,dalam mengembangkan msyarakat islam melalui kegiatan ekonomi syari'ah - Raden Intan Repository

0 0 19