BAB II KERANGKA TEORI
A. EKONOMI SYARIAH
1. Pengertian dan Dasar Hukum Ekonomi Syariah
Makna  etimologi  ekonomi  berasal  dari  oikonomeia  Greek  atau  Yunani. Kata  oikonomeia  berasal  dari  dua  kata  oicos  yang  berarti  rumah  dan  nomos
yang berarti
aturan. Jadi,
ekonomi ialah
aturan-aturan untuk
menyelenggarakan  kebutuhan  hidup  manusia  dalam  rumah  tangga,  baik rumah  tangga  rakyat  volkshuishouding,  maupun  rumah  tangga  Negara
staathuishouding, yang  dalam  bahasa  Inggris  disebutnya  sebagai
economics.
11
Secara  terminologi,  oleh  Samuelson  1973,  ilmu  ekonomi  didefinisikan sebagai  kajian  tentang  perilaku  manusia  dalam  hubungannya  dengan
pemanfaatan  sumber-sumber  produktif  yang  langka  untuk  memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi.
12
Seorang  pakar  ekonomi  dunia  terkemuka  sekaligus  peraih  nobel  dalam bidang  ekonomi  ditahun  1970  Paul  A.  Samuelson  mengartikan,  bahwa
ekonomi  merupakan  studi  mengenai  bagaimana  orang-orang  dan  masyarakat
11
Abdullah  Zaky  al-Kaaf,  Ekonomi  dalam  Perspektif  Islam,  Bandung:  PT.  Pustaka  Setia, pertama, Maret 2002, cet.I, h.18
12
Murasa Sarkaniputra, Pengantar Ekonomi Islam; Bahan kuliah pada Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 1999, h.6
membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk
menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi sekarang dan dimasa yang akan datang, kepada berbagai
orang dan golongan masyarakat.
13
Sedangkan  Lionel  Robins  mendefinisikan,  bahwa  ekonomi  merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan tujuan
yang  ingin  dicapai  dan  sumber  daya  langka  yang  mempunyai  berbagai kemungkinan penggunaan.
14
Jadi  menurut  sistem  ekonomi  konvensional  terdapat  kelangkaan  dari sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak
terbatas,  sehingga  timbul  pilihan-pilihan  atas  penggunaan  sumber  daya  yang bisa dimiliki.
15
Dari  berbagai  definisi  yang  diuraikan  diatas  dapat  ditarik  kesimpulan bahwa  yang  dimaksud  dengan  ekonomi  adalah  sesuatu  yang  menyangkut
tentang  perilaku  manusia  dalam  memenuhi  kebutuhan  materialnya  dengan sumber  daya  yang  terbatas.  Dalam  rangka  memenuhi  kebutuhan  tersebut
manusia melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan seperti produksi, distribusi
13
Murasa  Sarkaniputra  dan  Agus  Krisriawan,  Ilmu Ekonomi  Pengantar  Ekonomi  Moneter: Suatu  Awalan,  Bahan  Pengajaran  Ekonomi  Perbankan  dan  Asuransi  Islam,
Jakarta:  Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000, cet.I, h.2
14
Carla Poli, dkk, Pengantar Ilmu Ekonomi I, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, h.20-22
15
Tim Penyusun, Prinsip Syariah Dalam Ekonomi, Jakarta: MES, 2001, h.47
dan  konsumsi.  Tiga  model  kegiatan  inilah  yang  menjadi  pokok  kegiatan dalam ekonomi.
Jika  definisi  tersebut  dijadikan  acuan,  maka  Islam  bisa  memberikan komentar  tentang  apa  yang  seharusnya  tujuan  aktivitas  itu.  Yang  tentunya
tercermin dalam tujuan hidup muslim itu sendiri, yang tidak hanya mencakup segi-segi  material,  tetapi  juga  spiritual.  Apakah  seorang  muslim  hendak
merubah  definisi  kegiatan  ekonomi?  Pertanyaan  itulah  yang  hendak  dijawab oleh  beberapa pemikir ekonomi  muslim.  Apa  yang dimaksud ekonomi Islam
itu? Dengan mencantumkan label Islam, berarti ada sebuah akar teoritis yang dijadikan acuan untuk mendefinisikan ilmu tersebut.
Dalam  bahasa  arab  ekonomi  dinamakan  mu’amalah  maddiyah,  yaitu aturan-aturan  tentang  pergaulan  dan  perhubungan  manusia  mengenai
kebutuhan  hidupnya.  Lebih  tepat  lagi  dinamakan  iqtishad,  yaitu  mengatur soal-soal  penghidupan  manusia  dengan  sehemat-hematnya  dan  secermat-
cermatnya.
16
Dalam al-Qur’an Allah memberikan contoh tegas mengenai ajaran-ajaran para  Rasul,  dalam  kaitannya  dengan  masalah-masalah  ekonomi  yang
menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu bidang perhatian agama.  Salah  satu  contoh  yang  dapat  dikemukakan  adalah  mengenai  risalah
kenabian Ibrahim as. dan putra-putranya. Allah berfirman:
16
Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Perspektif Islam,h.19
ی  ;IJ K L  M N O- ﻥ ﻡ9 B ی PQ H R S
; T ﻥ
یB F :
2ﻥ.
U
A
Artinya: “Kami telah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk  manusia  dengan  perintah  kami,  dan  kami  turunkan  wahyu  kepada
mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, melaksanakan sholat dan zakat, dan mereka senantiasa beribadah kepada-Ku”. QS. al-Anbiya’: 73
Ekonomi  Islam  yang  dibangun  diatas  –atau  paling  tidak  diwarnai-  oleh prinsip-prinsip  religius  yang  punya  orientasi  kehidupan  dunia  dan  juga
akhirat.  Ekonomi  Islam  merupakan  paradigma  baru  dalam  sistem  ekonomi dunia saat ini. Paradigma ini bagi ekonom-ekonom muslim bukan merupakan
hal  yang  perlu  ditakuti,  akan  tetapi  menjadi  sebuah  tantangan  untuk  dapat lebih  mengembangkan  ekonomi  Islam  sehingga  ia  menjadi  sebuah  jawaban
atas  berbagai  permasalahan  ekonomi  dunia  dewasa  ini.  Semangat  fastabiqul khairat
berlomba-lomba  dalam  kebaikan  yang  melandasi  ekonom-ekonom muslim  bahkan  non  muslim  dalam  mendalami  ekonomi  Islam  berdampak
pada  perbedaan  pendapat  tentang  definisi  ekonomi  Islam  itu  sendiri. Perbedaan ini ‘lumrah’ terjadi selama tidak keluar dari jalur Islam.
Sebagaimana beragamnya definisi  mengenai ekonomi secara umum  yang dikemukakan  oleh  para  pakar  ekonomi,  maka  ekonomi  Islam  pun
didefinisikan secara beragam pula oleh para pakar ekonomi Islam, diantaranya oleh  Muhammad  Abdul  Manan  seorang  pakar  ekonomi  Islam,  menurutnya
yang  dimaksud  dengan  ekonomi  Islam  adalah  pengetahuan  sosial  yang
mempelajari  masalah-masalah  ekonomi  rakyat  yang  diilhami  oleh  nilai-nilai Islam.
17
Menurut  Abdullah  al-Arabi  ekonomi  Islam  adalah  sekumpulan  dasar- dasar  umum  ekonomi  yang  disimpulkan  dari  al-Qur’an  dan  as-Sunnah  dan
merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas dasar-dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masyarakat.
18
Definisi lain juga disampaikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, bahwa ekonomi Islam  adalah  ekonomi  yang  berdasarkan  ketuhanan.  Sistem  ini  bertitik  tolak
dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas  dari  syariat  Allah.  Aktifitas  ekonomi  seperti  produksi,  distribusi,
konsumsi,  import  dan  eksport  tidak  lepas  dari  titik  tolak  ketuhanan  dan bertujuan akhir untuk Tuhan.
19
Ekonomi  Islam  yang  dikemukakan  S.M.  Hasanuzzaman  adalah pengetahuan  dan  aplikasi  ajaran-ajaran  dan  aturan-aturan  syariah  yang
mencegah  ketidak  adilan  dalam  pencarian  dan  pengeluaran  sumber-sumber daya  guna  memberikan  kepuasan  bagi  manusia  dan  memungkinkan  mereka
melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.
20
17
Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Potan Arif Harahap terj, Jakarta: Internusa, 1992, cet.I, h.19
18
Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Jakarta: Kalam Mulia, 1994, cet.I, h.245
19
Yusuf  Qardhawi,  Norma  dan  Etika  Ekonomi  Islam,  Jakarta:  Gema  Insani  Press,  1997, cet.II, h.31
20
Rustam Effendi, Produksi Dalam Islam, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003, cet.I, h.2-3
Sedangkan  menurut  H.  Halide  yang  menjabat  sebagai  Kepala  Pusat Pengelolaan  Data  Universitas  Hasanuddin  Ujung  Pandang,  bahwa  ekonomi
Islam adalah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al- Qur’an  dan  as-Sunnah  yang  ada  hubungannya  dengan  urusan  ekonomi.
Menurutnya sebagai suatu sistem, ekonomi Islam menarik untuk dikaji karena pertama,
diharapkan  dapat  memecahkan  masalah-masalah  yang  melanda ekonomi  dunia.  Timbulnya  berbagai  kepincangan  dalam  neraca  pembayaran
negara-negara,  resesi  dan  sebagainya  pada  masa  akhir-akhir  ini,  semakin terasa bahwa teori dan sistem ekonomi  yang ada mungkin tidak  berdaya  lagi
menemukan  alternatif  penyelesaian.  Kedua,  ekonomi  Islam  sebagai  suatu sistem  adalah  cabang  ilmu  pengetahuan  yang  dijiwai  oleh  ajaran  agama
Islam.
21
Dari  uraian  tersebut  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  pengertian  dari ekonomi Islam adalah studi tentang problema-problema ekonomi dan institusi
yang berkaitan dengannya. Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari tentang  tata  kehidupan  kemasyarakatan  dalam  memenuhi  kebutuhan  untuk
mencapai ridha  Allah. Dalam definisi  ini terdapat tiga  cakupan utama dalam ekonomi Islam  yaitu, tata kehidupan, pemenuhan kebutuhan dan ridha  Allah
yang  kesemuanya  diilhami  oleh  nilai-nilai  Islam  yang  bersumber  dari  al- Qur’an  dan  as-Sunnah,  yang  akhirnya  menunjukkan  konsistensi  antara  niat
21
Muhammad  Daud  Ali,  Sistem  Ekonomi  Islam  Zakat  dan  Wakaf,  Jakarta:  Universitas Indonesia Press, 1998, cet.I, h.3-4
karena  Allah,  kaifiat  atau  cara-cara  dan  ghayah  atau  tujuan  dari  setiap manusia.
22
Sebenarnya  definisi  ekonomi  konvensional  maupun  ekonomi  Islam  tidak jauh  berbeda,  hanya  saja  dalam  ekonomi  Islam  lebih  dititik  beratkan  pada
penetapan  syariah  dalam  perilaku  ekonomi  dan  dalam  pembentukan  sistem ekonomi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa kebahagiaan dunia merupakan
modal untuk meraih kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan akhirat.
23
Sedangkan dasar  hukum ekonomi Islam  itu sendiri terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijtihad, Ijma, qiyas, ‘urf, istihsan, istishlah, istishab dan mashlaha
al-mursalah .
a. Al-Qur’an,  adalah  kallam  Allah,  merupakan  mu’jizat  yang  diturunkan
diwahyukan  kepada  Rasulullah  SAW  yang  di  tulis  di  mushaf  dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Abd al-
Wahhab  al-Khallaf  dalam  bukunya  Ilmu  Ushul  al-Fiqh  lebih  jauh mendefinisikan  al-Qur’an  adalah  perkataan  Allah  yang  diturunkan  oleh
ruhul  amin kedalam  hati  Rasulullah  Muhammad  bin  Abdullah,  dengan
lafadz bahasa  arab  berikut  artinya.  Agar  supaya  menjadi  hujjah  bagi
22
Sarkaniputra, Pengantar Ekonomi Islam,  h.5
23
M. Daman Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, cet.I, h.7
Rasulullah SAW bahwa dia adalah seorang utusan Allah, menjadi undang- undang dasar bagi orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah.
24
b. Al-Hadits,  adalah  berita  yang  berasal  dari  Nabi.  Boleh  jadi  berita  itu
berwujud  perkataan  qauliyah,  perbuatan  fi’liyah,  dan  pengakuan  atau persetujuan  terhadap  perkataan  orang  lain  taqrir.  Sedangkan  sunnah
adalah  perilaku  Rasulullah  yang  berdimensi  hukum;  dengan  demikian dalam kapasitasnya sebagai Rasul.
Hadits  adalah  sesuatu  yang  bersifat  teoritik,  sedangkan  sunnah  adalah pemberitaan sesungguhnya. Jika hadits menurut kaidah dan akan menjadi
asas prektek bagi kaum muslimin. Sementara sunnah merupakan sebagian besar  dan  terutama  fenomena  praktik  yang  dilengkapi  dengan  norma-
norma  perilaku.  Hadits  dan  sunnah  berfungsi  sebagai  petunjuk-petunjuk praktis yang tidak dijelaskan secara lengkap dalam al-Qur’an.
25
Justifikasi sunnah dan hadits sebagai dasar hukum Islam termuat dalam al- Qur’an, Allah berfirman:
,- 0 ﻡ ﻡV E   Wﺱ X
X  ﻡ  ی ی ی
Wﺱ E YZ - 5E[ - F\
K ﻡ
PIی9 ﺥ   ﺥV
:
_
A
Artinya:  “Hai  orang-orang  yang  beriman,  ta’atilah  Allah  dan  ta’atilah Rasul-Nya  dan  Ulil  Amri  di  antara  kamu.  Apabila  terjadi  pertengkaran
dalam  sesuatu  masalah  maka  pulanglah  kepada  Allah  dan  Rasul,  jika
24
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, cet.III, h.26
25
Ibid., h.35-36
kamu  benar-benar  beriman  kepada  Allah  dan  hari  kemudian.  Yang demikian  itu  lebih  utama  bagimu  dan  lebih  baik  akibatnya”.  QS.  An-
Nisa’: 59
c. Ijtihad,  adalah  mencurahkan  daya  kemampuan  untuk  menghasilkan
hukum  syara’  dari  dalil-dalil  syara’  secara  terperinci  yang  bersifat operasional  dengan  cara  istimbat.
26
Secara  teknis,  ijtihad  berarti meneruskan  setiap  usaha  untuk  menentukan  sedikit  banyaknya
kemungkinan  suatu  persoalan  syariat.  Pengaruh  hukumnya  ialah  bahwa pendapat  yang  diberikannya  mungkin  benar,  walaupun  mungkin  saja
keliru. Jelaslah, asas-asas agama Islam  seperti ke-Esaan  Allah, diutusnya para  Nabi  dan  seterusnya  tidak  tepat  merupakan  subjek  ijtihad.  Menurut
al-Mawardi,  ruang  lingkup  ijtihad  sesudah  wafatnya  Nabi  meliputi delapan  judul  yang  terpisah.  Tujuh  diantaranya  terdiri  dari  penafsiran
terhadap ayat-ayat yang diwahyukan dengan suatu metode seperti analogi, sedangkan yang kedelapan adalah kesimpulan arti lain dari ayat-ayat yang
diwahyukan,  umpamanya  dengan  penalaran.  Maka  ijtihad    mempercayai sebagian  pada  proses  penafsiran  dan  penafsiran  kembali,  dan  sebagian
pada  deduksi  analogis  dengan  penalaran.  Dengan  majunya  peradaban manusia,  kehidupan  kita  pada  satu  pihak,  hari  demi  hari  menjadi  lebih
rumit,  dan  masalah-masalah  sosial  dan  moral  baru  yang  timbul  dalam masyarakat  dari  waktu  kewaktu  memerlukan  pemecahan.  Di  pihak  lain,
cakrawala  mental  dan  intelektual  juga  meluas  dengan  kemajuan
26
Ibid., h.45
pengetahuan  manusia.  Akibatnya  hokum  Islam  berkembang  bersamaan dengan  munculnya  masalah-masalah  baru  sejak  zaman  Nabi,  dan
diciptakan  serta  diciptakan  kembali,  ditafsirkan  dan  ditafsirkan  kembali sesuai  dengan  keadaan-keadaan  yang  berubah.  Karena  itu,  pandangan
kalangan  Mu’tazilah  bahwa  ijtihad  itu  selalu  benar  hamper-hampir  tidak dapat  diterima.  Karena  ijtihad  terutama  menghadapi  persoalan  syariat
yang  timbul  dalam  masyarakat  dari  waktu  kewaktu,  maka  ketentuan- ketentuannya  tidak  sama  untuk  segala  zaman  mendatang.  Dengan
berlalunya  waktu,  konsep  kebutuhan  hidup  masyarakat,  bila  hal-hal  lain tetap sama, dituntut untuk berubah.  Karena  itu proses pemikiran kembali
dan  penafsiran  kembali  harus  diperkenankan  tanpa  gangguan,  dengan tetap memperhatikan perintah-perintah al-Qur’an dan as-Sunnah.
27
Keberadaan  ijtihad  sebagai  sebuah  hukum  dinyatakan  dalam  al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 83, yang berbunyi:
Wﺱ E YZ   3 F  `N  ﻡV  ﻡ ﻡ R S
0 F Oa- .
ﻡ 3ﻥb2 ی ی 3 ﻡ ﻡV E  E
PI L . b c
2. 3 :
?U
A
Artinya:  “Dan  apabila  datang  kepada  mereka  suatu  berita  tentang keamanan  ataupun  ketakutan,  mereka  lalu  menyiarkannya.  Dan  kalau
mereka  menyerahkannya  kepada  Rasul  dan  Ulil  Amri  diantara  mereka, tentulah  orang-orang  yang  ingin  mengetahui  kebenarannya  akan  dapat
mengetahuinya dari mereka Rasul dan Ulil Amri. Kalau tidaklah karena
27
Muhammad  Abdul  Manan,  Teori  dan  Praktek  Ekonomi  Islam,  M.  Nastangin  terj, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, h.35-36
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja di antaramu”. QS. An-Nisa’: 83
d. Ijma’, menurut istilah ushul ialah kesepakatan para mujtahid memutuskan
suatu  masalah  sesudah  wafat  Rasulullah  SAW  terhadap  hukum  syar’i pada  suatu  peristiwa.  Apabila  terjadi  suatu  peristiwa,  maka  peristiwa  itu
dikemukakan  keadaan  semua  mujtahid  di  saat  terjadinya.  Para  mujtahid itu sepakat memutuskan  menentukan hukumnya.
Ketentuan hukum mengenai ijma’, dikatakan Rasulullah SAW: “Umatku  tidak  akan  sepakat  untuk  membuat  kekeliruan”.  HR.  Ibnu
Majah Ditinjau dari sudut menghasilkan hukum ini, maka ijma’ dapat dibagi dua:
1 Ijma’  Sharih,  yaitu  kesepakatan  mujtahid  terhadap  hukum  mengenai
suatu  peristiwa.  Masing-masing  bebas  mengeluarkan  pendapat.  Jelas terlihat  dalam  fatwa  dan  dalam  memutuskan  suatu  perkara.  Tiap-tiap
mujtahid itu  merupakan  sumber  hukum.  Menurut  jumhur  ulama
disebut juga ijma haqiqi dan menjadi sumber hukum syariat. 2
Ijma’ Sukuti,  sebagian  mujtahid  terang-terangan  menyatakan
pendapatnya dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Sebagian lagi  hanya  berdiam  diri.  Hal  ini  berarti  dia  menyetujui  atau  berbeda
pendapat  terhadap  yang  dikemukakan  itu  dalam  mengupas  suatu
masalah. Menurut jumhur ulama ijma sukuti disebut juga dengan ijma I’tibari,
sumber hukum yang kedudukannya relative.
28
e. Qiyas,  adalah  istilah  ushul,  yaitu  mempersamakan  peristiwa  yang  tidak
terdapat  nash  hukumnya  dengan  peristiwa  yang  terdapat  nash  bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua
peristiwa  pada  sebab  hokum  ini.  Qiyas  merupakan  metode  pertama  yang dipegang  para  mujtahid  untuk  meng-istimbath-kan  hukum  yang  tidak
diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling jelas. f.
‘Urf,  yaitu  apa  yang  saling  diketahui  dan  saling  dijalani  orang.  Apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik
berupa perkataan maupun perbuatan. ‘Urf disebut juga adat kebiasaan. g.
Istihsan, berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama ushul,  istihsan
adalah  memperbandingkan  yang  dilakukan  oleh  mujtahid dari  qiyas  jalli  jelas  kepada  qiyas  khaffi  yang  tersembunyi.  Atau  dari
hukum  kulli  kepada  hukum  istisna’i.  Disini  terdapat  kecendrungan  yang lebih kuat untuk mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang
suatu peristiwa yang tidak didasarkan nash.
29
Istihsan ternyata merupakan suatu sarana yang lebih efektif dari pada qiyas dalam memasukkan unsur-
unsur  baru,  karena  dalam  hal  ini  ketentuan-ketentuan  untuk  menetapkan persoalan  adalah  lebih  mudah  dari  pada  dalam  qiyas,  maka  ia  memberi
28
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, h.47-48
29
Ibid., h.49-50
kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar. Hal yang diperlukan adalah untuk  melihat  dalam  unsur  baru  yang  penggunaannya  menghendaki
adanya suatu sifat yang dimiliki oleh suatu persoalan yang telah disetujui atau dilarang oleh sumber-sumber dan sasaran yang tercapai.
30
h. Istishlah, berarti melarang atau mengizinkan suatu hal semata-mata karena
ia  memenuhi  suatu  “maksud  yang  baik”  walaupun  tidak  ada  bukti  jelas pada sumber yang diwahyukan untuk mendukung tindakan semacam itu.
31
Istishlah menurut ulama ushul adalah menetapkan hukum suatu peristiwa hukum  yang  tidak  disebut  nash,  dan  ijma,  berlandaskan  pada
pemeliharaan  mashlahat  al-mursalah,  yaitu  mashlahat  yang  tak  ada  dalil dari syara’ yang menunjukkan diakuinya atau ditolaknya.
32
i. Istishhab,  artinya  pelajaran  yang  diambil  dari  sahabat  Rasulullah  SAW.
Menurut  istilah  para  ulama  ushul,  yaitu  hokum  terhadap  sesuatu  dengan keadaan  yang  ada  sebelumnya;  sampai  adanya  dalil  untuk  mengubah
keadaan  itu.  Atau  menjadikan  hukum  yang  tetap  di  masa  yang  lalu  itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil untuk mengubahnya.
j. Mashlahatul  al-mursalah,  ialah  yang  mutlak.  Menurut  istilah  ahli  ushul,
kemaslahatan  yang  tidak  di-syariat-kan  oleh  syari’  dalam  wujud  hukum didalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil
yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah al-mursalah
30
Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, h.38
31
Ibid., h.38
32
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, h.50
itu  disebut  mutlak,  lantaran  tidak  terdapat  dalil  yang  menyatakan  benar dan salah.
33
2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah