Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Di Asuh Di Panti Asuhan Di Tinjau Dari Undang-Undang NO. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan)

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DI ASUH DI PANTI ASUHAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN

2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ( STUDI PADA YAYASAN SOSIAL SAI PREMA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH : AGNES DESLINA

NIM : 100200201

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan rahmat yang tak terhingga yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Di Asuh Di Panti Asuhan Di Tinjau Dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan)”.

Setelah sekian lama akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Penulis menyadari sebagai manusia biasa tidak akan pernah luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilafan, baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan dari Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum USU baik secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dengan ini izinkanlah penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum USU.


(3)

2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

6. Ibu Aida Fitri Purba, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum USU.

7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum, selaku Dosen

Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.

8. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Dosen Pembimbing I. Terimakasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

9. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Terimakasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

10.Seluruh dosen, pegawai beserta staf di Fakultas Hukum USU.

11.Yang terkasih Ayahanda Hotman Sinaga dan Ibunda Rosmina

Simanjuntak. Terimakasih atas doa, dukungan dan kasih tiada batas yang diberikan sepanjang hidup penulis. Juga untuk abang, kakak, dan adik tercinta (Hendro Sinaga, dr. Alfa Juita Sinaga, Edison Gabriel


(4)

Sinaga, dan Frida Romauli Sinaga) yang selalu mendukung dan memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Semua ini ku persembahkan untuk kalian.

12.Yang teristimewa sahabat-sahabatku Ayu Ulina Siahaan, Dewi Arianti Nestianta Purba, Berthauli Dwi Yanti Ketaren dan Septa Lidya Purba. Terimakasih buat kebersamaan, doa, dukungan, serta semangat yang kalian berikan.

13.Kepada saudara-saudariku di Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) St. Albertus Magnus USU terkhusus KMK St. Fidelis Fakultas Hukum USU.

14.Kepada rekan-rekan Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia

(PERMAHI), khususnya DPC PERMAHI Medan.

Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bukan hanya kepada penulis , tetapi juga kepada masyarakat.

Medan, Maret 2014 Penulis

Agnes Deslina NIM. 100200201


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 15

C.Tujuan Penulisan ... 15

D.Manfaat Penulisan ... 16

E. Metode Penelitian ... 16

F. Keaslian Penulisan... 20

G.Sistematika Penulisan ... 21

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ... 24

A.Pengertian Anak ... 24

B.Asas-Asas Hukum Perlindungan Anak ... 27

C.Prinsip Perlindungan Hak-Hak Anak ... 29

D.Perlindungan Anak dalam Kedudukan Hukum ... 36

E. Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Anak ... 38

F. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Perlindungan Anak ... 42


(6)

G.Tanggung Jawab Masyarakat Terhadap

Perlindungan Anak ... 49

BAB III PENGANGKATAN ANAK MENJADI ANAK ASUH DALAM SISTEM HUKUM

PERDATA INDONESIA ... ... 62

A. Pengangkatan Anak dalam Sistem Hukum

Perdata Indonesia ... 62 B. Tata Cara Pengangkatan Anak Yatim

Piatu Menjadi Anak Asuh ... 77 C. Yayasan Sosial sebagai Tempat Perlindungan Anak ... 80

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DI ASUH DI PANTI ASUHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 ( STUDI PADA YAYASAN

SOSIAL SAI PREMA MEDAN ) ... ... 92

A. Deskripsi Umum Yayasan Sosial Sai Prema Medan ... 92 B. Siklus Kehidupan Keseharian Anak pada Yayasan

Sosial Sai Prema Medan ... 96 C. Implementasi Perlindungan Terhadap Hak-Hak

Anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan... 99 D. Analisis Perlindungan Anak pada Yayasan

Sosial Sai Prema Medan ... 104


(7)

A. Kesimpulan ... 108 B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DI ASUH DI PANTI ASUHAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN

2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ( STUDI PADA YAYASAN SOSIAL SAI PREMA MEDAN)

Perlindungan hukum bagi anak merupakan upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak anak. Tinjauan yuridis terhadap hak-hak anak yang di asuh di panti asuhan di tinjau dari undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan upaya hukum untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa perlindungan terhadap hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan sebagai salah satu lembaga sosial tempat perlindungan anak telah menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, pada yayasan tersebut anak-anak mendapat hak asuh mulai saat anak berada pada yayasan sampai anak tersebut menyelesaikan pendidikan pada tingkat Sekolah Menegah Atas (SMA) atau sampai anak tersebut dapat hidup mandiri, barulah yayasan melepaskan anak tersebut dari yayasan dan mengembalikannya pada orang tua atau wali dari anak tersebut.


(9)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DI ASUH DI PANTI ASUHAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN

2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ( STUDI PADA YAYASAN SOSIAL SAI PREMA MEDAN)

Perlindungan hukum bagi anak merupakan upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak anak. Tinjauan yuridis terhadap hak-hak anak yang di asuh di panti asuhan di tinjau dari undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan upaya hukum untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa perlindungan terhadap hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan sebagai salah satu lembaga sosial tempat perlindungan anak telah menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, pada yayasan tersebut anak-anak mendapat hak asuh mulai saat anak berada pada yayasan sampai anak tersebut menyelesaikan pendidikan pada tingkat Sekolah Menegah Atas (SMA) atau sampai anak tersebut dapat hidup mandiri, barulah yayasan melepaskan anak tersebut dari yayasan dan mengembalikannya pada orang tua atau wali dari anak tersebut.


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapat perlindungan dan kesejahteraan, dimana negara, masyarakat, dan orang tua maupun keluarga wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dalam diri setiap anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak asasi sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Dalam perspektif kenegaraan, komitmen negara untuk melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut tercermin dalam kalimat : “…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu…”.1

Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, menyebutkan : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 34 UUD 1945 hasil perubahan keempat, yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam Pasal 34 UUD 1945 tersebut disebutkan :

(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.


(11)

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.2

Pasal 52 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak-hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. 3

Hal tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang yang lebih khusus yaitu Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan : “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

a. Non-diskriminasi ;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak ;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan ; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

2Ibid, Pasal 28B dan Pasal 34.

3Undang Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 dan


(12)

kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera ( Pasal 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 ).4

Berdasarkan perkembangan di masyarakat dapat dilihat masih banyak anak-anak yang belum memperoleh hak-haknya sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh undang-undang perlindungan anak. Hal tersebut tampak bahwa masih banyak anak-anak yang seharusnya memperoleh pendidikan namun karena keadaan ekonomi yang sulit, anak tersebut harus bekerja. Faktor lain juga dari kondisi orang tua anak yang tidak memungkinkan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap anak yang dilahirkannya. Misalnya akibat permasalahan ekonomi, akibat perceraian, status anak dalam keadaan tidak memiliki orang tua (yatim piatu), penelantaran atau tindakan buruk lainnya. Kondisi ini menempatkan anak sebagai alasan dan keterbatasan orang-orang dewasa dalam menyelesaikan masalah dalam hidupnya. Alasan kesulitan ekonomi menjadikan anak diperalat atau dipekerjakan. Anak menjadi korban kegagalan orang dewasa dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada. Himpitan hidup dan peningkatan tuntutan hidup membuat semakin meluasnya kesempatan yang dilakukan dan mengorbankan anak-anak.

Penelantaran hak-hak anak atau pengabaian hak-hak anak dapat kita lihat pada tempat-tempat umum yaitu pengemis jalanan yang menggendong bayi dengan kasih sayang demi sesuap nasi, pembuangan bayi, gizi buruk hingga penularan HIV/Aids. Melihat pada situasi tersebut, maka negara sebagai penjamin

4 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


(13)

perlindungan hak-hak anak memiliki peran dan fungsi dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang belum memperoleh haknya sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang perlindungan anak. Kegiatan untuk melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak, diperlukan peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Kepedulian terhadap persoalan anak mulai tercatat semenjak tahun 1920an, seusai Perang Dunia I. Dalam perang tersebut, pihak yang paling banyak menderita adalah kaum perempuan dan anak. Laki-laki dewasa boleh saja terluka, tetapi dia masih bisa menegakkan kepala, membanggakan cerita kepahlawanannya ketika perang. Namun tidak demikian dengan perempuan dan anak-anak yang harus berlari, bersembunyi, terancam dan tertekan baik secara fisik maupun psikis ketika perang. Setelah perang, para perempuan dan anak-anak harus mendapati kenyataan pahit dimana suami atau saudaranya hilang bahkan juga ikut terluka. Para perempuan menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim-piatu, sehingga kehilangan sosok keluarga yang melindunginya. Akibat dari Perang Dunia I tersebut, muncullah keprihatinan terhadap nasib perempuan dan anak melalui berbagai macam aksi yang mendesak dunia memperhatikan secara serius nasib perempuan dan anak-anak setelah terjadinya perang.

Salah satu diantara para aktivis perempuan itu adalah Eglantyne Jebb, yang kemudian mengembangkan butir-butir pernyataan tentang hak anak yang pada


(14)

tahun 1923 diadopsi menjadi Save the Children Fund International Union, yang antara lain berupa :

1. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan ras, kebangsaan dan kepercayaan;

2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga;

3. Anak harus disediakan sarana-sarana yang diperlukan untuk

perkembangan secara normal, baik material, moral dan spiritual;

4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/ diberi pemahaman;

5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan/ pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan;

6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi ; dan

7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.

Hadi Supeno mengatakan bahwa sejatinya anak membutuhkan pihak-pihak tertentu, baik orangtua/ keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara selaku


(15)

pembuat regulasi (regulator body), pelaksana pemenuhan hak-hak anak (executive body), dan pengemban kewajiban negara (state obligation).5

Sementara itu, Peter Newel, seorang expert dalam perlindungan anak, mengemukakan beberapa alasan subjektif dari sisi keberadaan anak, sehingga anak membutuhkan perlindungan, antara lain :6

a. Biaya pemulihan (recovery) akibat kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi daripada biaya yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan;

b. Anak-anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas perbuatan (action) dari pemerintah dan kelompok lainnya;

c. Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam

pemberian pelayanan publik;

d. Anak-anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah;

e. Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan penataan hak-hak anak; dan

f. Anak-anak lebih berisiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.

Berbagai macam tuntutan yang meminta agar ada perhatian khusus pada anak, membuahkan hasilnya dengan memasukkan hak-hak anak dalam Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Misalnya dalam Pasal 25 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Ibu dan anak-anak berhak

5M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), hal. 24-25. 6Ibid, hal.25-26.


(16)

mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama.”

Selanjutnya upaya perlindungan anak juga direspon dalam Majelis Umum PBB yang kembali mengeluarkan pernyataan Deklarasi Hak Anak pada 20 November 1959 yang dapat dilihat Asas 1, Asas 2 dan Asas 9, yang pada prinsipnya antara lain mengatakan bahwa :

- Asas 1, “anak hendaknya menikmati semua hak yang dinyatakan dalam deklarasi ini. Setiap anak, tanpa pengecualian apapun, harus menerima hak-hak ini, tanpa perbedaan atau diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status sosial lainnya, baik dirinya maupun keluarganya.”

- Asas 2, “anak harus menikmati perlindungan khusus dan harus diberikan kesempatan dan fasilitas, oleh hukum atau peraturan lainnya, untuk memungkinkan tumbuh jasmaninya, rohaninya, budinya, kejiwaannya, dan kemasyarakatannya dalam keadaan sehat dan wajar dalam kondisi yang bebas dan bermartabat. Dalam penetapan hukum untuk tujuan ini, perhatian yang terbaik adalah pada saat anak harus menjadi pertimbangan pertama.”

- Asas 9, “anak harus dilindungi dari semua bentuk kelalaian, kekejaman dan eksploitasi. Anak tidak boleh menjadi sasaran perdagangan dalam segala bentuknya.”


(17)

Selanjutnya, upaya perlindungan anak akhirnya membuahkan hasil nyata dengan dideklarasikan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of The Child) secara bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 (Resolusi PBB No.44/25 tanggal 5 Desember 1989). Sejak saat itu, maka anak-anak seluruh dunia memperoleh perhatian khusus dalam standar Internasional.

Indonesia sendiri sebagai anggota PBB, meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak (

Convention on the Rights of the Child ) yang menandakan bahwa Indonesia secara nasional memiliki perhatian khusus terhadap hak-hak anak. Berkaitan dengan penjabaran hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak, telah dijabarkan sebelumnya yang pada prinsipnya memuat empat kategori hak anak, yakni hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh kembang (development rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights).7

Ratifikasi dalam bentuk Keputusan Presiden ini diterima oleh PBB pada tanggal 5 September 1990 sehingga Konvensi Hak Anak berlaku di Indonesia pada 5 Oktober pada tahun itu juga. Keprihatinan muncul terhadap cakupan dan luasnya reservasi saat Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak. Teks lengkap dari reservasi tersebut adalah sebagai berikut :


(18)

- Konstitusi Republik Indonesia 1945 menjamin hak-hak dasar anak tanpa memandang jenis kelamin, kesukuan dan ras. Konstitusi meminta hak-hak tersebut dilaksanakan melalui hukum-hukum nasional dan peraturan.

- Ratifikasi Konvensi Hak Anak oleh Republik Indonesia tidak secara langsung berarti penerimaan kewajiban-kewajiban di luar batas Konstitusional dan tidak juga berarti penerimaan kewajiban-kewajiban apapun untuk memperkenalkan hak apapun di luar yang telah diakui dalam Konstitusi.

- Terkait dengan aturan-aturan dalam Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22 dan 29 Konvensi ini, pemerintah Indonesia mendeklarasikan untuk mengaplikasikannya sepanjang sesuai dengan konstitusi.

- Kemudian, pada November 2005 pemerintah Indonesia mengeluarkan piagam penarikan pernyataan yaitu sebagai berikut :

Menimbang bahwa Republik Indonesia adalah Negara Peserta pada “United National Convention on the Rights of the Child” yang diterima di New York pada tanggal 20 November 1989.

Menimbang pula bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi tahun 1989 dimaksud, bersama dengan pernyataannya atas ketentuan-ketentuan Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 222 dan 29 dari Konvensi. Untuk itu, Pemerintah Republik Indonesia dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah dapat berpartisipasi penuh pada Konvensi tahun 1989 dimaksud.


(19)

Menyatakan menarik pernyataannya atas ketentuan-ketentuan Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22 dan 29 dari Konvensi tahun 1989 dimaksud.8

Adapun langkah-langkah implementasi umum Konvensi Hak Anak berisi ketentuan pasal-pasal 4, 42, dan 44 para.6. Isinya adalah kewajiban negara agar :

- Melakukan semua langkah legislatif, administratif dan langkah-langkah lainnya agar hak-hak yang diakui dalam Konvensi Hak Anak dilaksanakan. Dalam hal yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial dan budaya , negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah hingga batas maksimal sesuai sumber daya yang ada dan jika diperlukan dalam kerangka kerja sama internasional. Langkah-langkah yang seharusnya diambil adalah menarik reservasi, meratifikasi Instrumen Internasional HAM lainnya, menyesuaikan legislasi nasional dengan prinsip dan ketentuan Konvensi Hak Anak, merumuskan strategi nasional bagi anak yang secara komprehensif mengacu pada kerangka Konvensi Hak Anak berikut penetapan tujuan-tujuannya dan lain-lain.

- Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hak Anak bisa diketahui secara luas, dengan cara yang tepat dan aktif baik kepada masyarakat maupun anak-anak. Langkah yang diambil seharusnya dengan menerjemahkan Konvensi Hak Anak ke dalam bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah serta penyebarluasan Konvensi Hak Anak.

8Ahmad Taufan, Laporan Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak Di Indonesia


(20)

- Membuat laporan pemerintah berikut kesimpulan pengamatan Konvensi Hak Anak tersedia secara luas bagi publik di seluruh negeri.

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi

Misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik atau mental.

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual

Misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.

c. Penelantaran

Misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya. d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan

Misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/ atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.


(21)

Misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan yang lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

f. Perlakuan salah lainnya

Misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.

Sehingga dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan di atas maka perlu dikenakan pemberatan hukum.9

Usaha kesejahteraan anak merupakan usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak (Pasal 1 angka 1 huruf b PP No. 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah). Adapun usaha-usaha itu meliputi, pembinaan, pencegahan dan rehabilitasi. Pelaksanaannya adalah pemerintah dan/ atau masyarakat baik di dalam maupun di luar panti (Pasal 11 ayat (3) PP No. 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah). Pemerintah dalam hal ini memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.

Usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat ditujukan terutama kepada anak yang mempunyai masalah. Antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat. Usaha ini dimaksudkan

9 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal.


(22)

memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan, dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah.

Pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi dilaksanakan dalam bentuk asuhan, bantuan, dan pelayanan khusus. Asuhan ditujukan kepada anak yang mempunyai masalah antara lain, anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelakuan.

Asuhan sesuai Pasal 7 (2) PP No. 2 Tahun 1988 diberikan antara lain dalam bentuk :

a. Penyuluhan/ bimbingan dan bentuk lainnya yang diperlukan ; b. Penyantunan dan pengentasan anak ;

c. Pembinaan/ peningkatan derajat sosial ; d. Pemberian/ peningkatan kesempatan belajar ; e. Pembinaan/ peningkatan keterampilan ;

Pelaksanaan dilakukan baik di dalam maupun di luar panti sosial, yaitu lembaga/ kesatuan kerja yang merupakan prasarana dan sarana yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan profesi pekerja sosial maupun di luar panti ( Pasal 1 ayat (6) PP No. 2 Tahun 1988).

Sementara bantuan ditujukan kepada anak yang tidak mampu berupa bantuan materi dalam rangka usaha pemenuhan kebutuhan pokok anak, bantuan jasa dalam rangka usaha pembinaan dan pengembangan untuk mengarahkan bakat dan keterampilan, bantuan fasilitas, diberikan dalam rangka usaha mengatasi hambatan-hambatan sosial (Pasal 7). Bantuan ini dapat diberikan secara langsung


(23)

kepada anak melalui orang tua/ wali, yang tata cara pemberian dan penggunaannya diatur oleh menteri.10

Salah satu dari kelompok anak yang membutuhkan perlindungan secara khusus tersebut adalah anak yatim piatu yang berada di yayasan sosial. Hal ini akan dikaji secara yuridis, perlindungan hak-hak anak yang diasuh pada Yayasan Sosial. Yayasan Sosial sebagai salah satu lembaga perlindungan anak haruslah memperhatikan ketentuan mengenai perlindungan anak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Dalam Pasal 331a angka 4, menyebutkan “ Perwalian mulai berlaku bila suatu perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial, bukan atas permintaan sendiri atau pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali, pada saat menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu”. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 33 juga mengatur mengenai perwalian anak angkat. Perwalian terhadap anak angkat, dapat dikaji dari aspek defenisi anak sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”11

10Ibid, hal. 83-85.

11H.Ahmad Kamil, H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di


(24)

Anak-anak yang diasuh pada yayasan sosial tentunya memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Yayasan sosial sebagai salah satu lembaga perlindungan anak harus mampu memberikan kesejahteraan dan keseimbangan hidup dalam masa perkembangan anak. Anak harus memperoleh pendidikan, kehidupan yang layak, pertumbuhan sebagaimana anak-anak pada umumnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka hal tersebut menarik diteliti yaitu “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Diasuh Di Panti Asuhan Di tinjau Dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan )”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penulisan ini permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ?

2. Bagaimana proses pengangkatan anak yatim piatu menjadi anak asuh dalam sistem Hukum Perdata Indonesia ?

3. Bagaimana implementasi terhadap hak-hak anak dalam hukum

perlindungan anak?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.


(25)

2. Untuk mengetahui proses pengangkatan anak yatim piatu menjadi anak asuh dalam sistem Hukum Perdata Indonesia.

3. Untuk mengetahui implementasi terhadap hak-hak anak dalam

perlindungan anak yang dilakukan oleh yayasan sosial.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yaitu secara teoretis maupun praktis, yakni :

1. Secara Teoretis

Secara teoretis diharapkan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dapat menambah pengetahuan dan melahirkan pemahaman bahwa pentingnya memberikan perhatian khusus mengenai perlindungan terhadap hak-hak anak yang diasuh pada lembaga-lembaga sosial ditinjau berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sehingga hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya dapat terpenuhi.

2. Secara Praktis

Secara praktis dalam pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, lembaga-lembaga sosial, masyarakat, maupun para orang tua dalam memberikan perlindungan terhadap anak, khususnya dalam memberikan hak-hak anak sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Perlindungan Anak.


(26)

Suatu karya ilmiah selalu disusun berdasarkan data-data yang benar dan bersifat objektif sehingga dapat diuji kebenarannya, serta tunduk pada suatu metodologi. Demikian juga halnya dengan penulisan skripsi ini, mempergunakan metode ilmiah dalam dalam mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber data yang dibutuhkan, sehinggga penulisan skripsi ini dapat diuji objektivitasnya berdasarkan metode-metode ilmiah. Adapun metode penelitian hukum yang dipergunakan, yaitu :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah kombinasi penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.12

Pendekatan hukum normatif dilakukan dengan cara penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan anak, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, majalah, situs internet, dan sebagainya.

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa penelitian hukum normatif meliputi, penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,


(27)

penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.13

Sementara penelitian hukum empiris dilakukan melalui prosedur dan teknik wawancara kepada informan atau responden yang terkait dengan penelitian ini.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan deskriptif analitis yaitu penelitian didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.14

3. Sumber data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa, dan kamus serta data yang terdiri atas :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Norma-norma atau kaedah-kaedah dasar seperti Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang meliputi, Undang-Undang, Konvensi.

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu : Buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti

13Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2007), hal.41. 14Ibid. hal. 37-38.


(28)

artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Kamus, Ensklopedia, bahan dari Internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data, yaitu melalui observasi, wawancara, dan penyebaran kuesioner yaitu pada Yayasan Sosial Sai Prema.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-Undangan, dan untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan wawancara secara mendalam ( in depth interviewing).15

5. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.16

15Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Rieneka Cipta, 1996), hal. 59.

16 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia


(29)

Seluruh data sekunder dan data primer yang diperoleh dari pustaka dan penelitian lapangan diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Langkah selanjutnya, dari data sekunder dan data primer yang telah disusun dan ditetapkan sebagai sumber dalam penyusunan skripsi ini kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.

Analisis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yuridis normatif yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan. Sedangkan metode deksriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. 17

6. Penarikan Kesimpulan

Sebagai akhir, penarikan kesimpulan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret dihadapi. 18

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Diasuh Di Panti Asuhan Di tinjau Dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan ) belum pernah dilakukan dalam topik dan pembahasan yang sama. Penelitian terhadap

17Ibid, hal. 10.


(30)

judul skripsi ini juga telah diperiksa oleh pihak perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti.

Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain :

1. Perbandingan Ketentuan Pengangkatan Anak Dalam Staatsblad 1917 No. 129 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 2. Pengaruh Lingkungan Terhadap Kenakalan dan Kejahatan Anak Di tinjau

dari Aspek Hukum Perlindungan Anak.

3. Kekerasan Seksual ( Sexual Abuse ) Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( studi kasus putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3150/Pid B/2003 ).

Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, serta terbuka sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Suatu karya ilmiah yang baik harus disusun secara sistematis guna mempermudah uraian pembahasan karya ilmiah yang bersangkutan. Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab yang saling berhubungan satu sama lain. Skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut :


(31)

Bab I berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, permasalahan, kemudian dilanjutkan dengan tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.

Bab II merupakan bab yang memberikan penjelasan mengenai pengertian anak, asas-asas hukum perlindungan anak, prinsip perlindungan hak-hak anak, perlindungan anak dalam kedudukan hukum dan ruang lingkup hukum perlindungan anak.

Bab III, Bab ini merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan anak, menjelaskan tentang peran yayasan sosial sebagai tempat perlindungan anak, dan melihat kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak.

Bab IV, Bab ini merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang pengaturan perlindungan anak ditinjau berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak, menjelaskan tentang peran lembaga sosial dalam perlindungan hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan, Menjelaskan tentang implementasi perlindungan terhadap hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan.

Bab V adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini yang memaparkan garis besar dari karya tulis ilmiah ini dalam bagian kesimpulan dan bagian saran yang memuat pendapat-pendapat berkaitan dengan “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Di Asuh Di Panti Asuhan Di Tinjau Dari Undang-Undang No. 23


(32)

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan ).


(33)

BAB II

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

A. Pengertian Anak

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional.19

19 Unicef, Pengertian Konvensi Hak Anak, (Jakarta : PT Enka Parahiyangan, 2003), hal. 3.

Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.


(34)

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang-undangan, lain pula kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pokok Perburuhan (Undang-Undang No. 12 Tahun 1948) menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang dikatakan belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri sendiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua. Hukum Adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat, dapat mengurus kekayaan sendiri. 20

Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menentukan batas usia dalam hal defenisi anak, maka akan terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya defenisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya :

20 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung : PT Refika Aditama,


(35)

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

4. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

5. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

membolehkan usia bekerja 15 tahun.

6. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 (sembilan) tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.

7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menyebutkan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.

Berbagai macam defenisi tersebut, menunjukkan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada. Sehingga pada praktiknya di lapangan akan banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut.


(36)

Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child), maka defenisi anak : “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan defenisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.21

B. Asas-Asas Hukum Perlindungan Anak

Perlindungan anak berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta prinsip-prinsip konvensi Hak-Hak Anak, dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

a. Non diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Pengertian asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam suatu tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.


(37)

Pengertian asas untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Artinya pihak-pihak tersebut, wajib mewujudkan dan tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud (hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak berkembang).

Pengertian asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya penghormatan atas hak untuk mengambil keputusan, terutama terhadap hal yang berkaitan dengan kehidupannya.

Pasal 3, Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.22

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Hak-hak anak meliputi :23

1. Hak hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

2. Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi;

4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh atau diasuh oleh pihak lain apabila karena sesuatu hal orang tua tidak mewujudkannya; 5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani dan rohani, jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental spiritual dan sosial;

6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dan bagi yang cacat memperoleh pendidikan luar biasa;

22 Muhammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Rineka Cipta, 2013), hal.107-108.


(38)

7. Hak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan juga memberi informasi;

8. Hak berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang sebaya dan yang cacat berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan memelihara taraf kesejahteraan sosial;

9. Selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi atau seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya terhadap pelaku hal-hal yang tersebut dengan hukuman;

10.Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali apabila terdapat aturan hukum yang meniadakannya;

11.Hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kekerasan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan;

12.Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak menusiawi, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau hukuman penjara yang dapat dilakuakan sesuai hukum dan itu merupakan upaya terakhir;

13.Anak yang dirampas kebebasannya, berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang tua, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari setiap tahapan hukum, membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak;

14.Anak yang menjadi korban, berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya.

C. Prinsip Perlindungan Hak-Hak Anak

Sebagai negara yang Pancasilais, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia memiliki banyak peraturan yang secara tegas memberikan upaya perlindungan anak. Dalam konstitusi UUD 1945, disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, kemudian juga perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, masuk dalam Pasal 28B ayat (2), bahwa “setiap anak berhak atas


(39)

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Selanjutnya perlindungan hak anak di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang bersamaan dengan penetapan tahun 1979 sebagai “Tahun Anak Internasional”, selanjutnya Indonesia aktif terlibat dalam pembahasan Konvensi Hak Anak tahun 1989, yang kemudian diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak ( Convention on the Rights of the Child ).

Pada Tahun 2002, disahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara tidak langsung mengakomodir prinsip-prinsip hak anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak. Salah satu implementasinya adalah dengan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Undang-Undang Perlindungan Anak ini kemudian dilengkapi dengan memasukkan prinsip-prinsip hak anak pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keppres RI No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak,


(40)

Keppres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak.24

Dalam konteks perlindungan anak sebagai implementasi hak-hak anak, Irwanto menyebutkan beberapa prinsip perlindungan anak, yaitu :25

1) Anak Tidak dapat Berjuang Sendiri

Anak sebagai generasi penerus dan modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga sehingga hak-haknya harus dilindungi. Ironisnya bahwa ternyata anak tidak dapat melindungi hak-haknya secara sendirian begitu saja. Banyak pihak yang terlalu berkuasa yang harus dilawannya sendiri. Karena negara dan masyarakat berkepentingan akan mutu dan warganya, maka dengan demikian negara harus ikut campur dalam urusan perlindungan hak-hak anak.

2) Kepentingan Terbaik Anak (the Best Interest of the Child)

Agar perlindungan anak terselenggara dengan baik maka perlu dianut sebuah prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip the best Interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak adalah “korban”, termasuk korban ketidaktahuan (Ignorance) karena usia perkembangannya. Selain itu, tidak ada kekuatan yang dapat menghentikan tumbuh kembang anak. Jika prinsip ini diabaikan, maka

24Ibid. hal. 27-28.

25 Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam


(41)

masyarakat akan menciptakan monster-monster yang lebih buruk dikemudian hari.

3) Ancangan Daur Kehidupan (Life-circle Approach)

Perlindungan terhadap anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin yang berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik bagi ibunya. Jika ia telah lahir maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan kesehatan primer yang memberikannya pelayanan imunisasi dan lain-lain sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan penyakit. Masa-masa prasekolah dan sekolah diperlukan keluarga, lembaga pendidikan dan lembaga sosial, keagamaan yang bermutu. Inilah periode kritis dalam pembentukan kepribadian seseorang. Anak harus memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri. Pada saat anak berumur 15-18 tahun, dia memasuki masa transisi ke dalam dunia dewasa. Periode pendek ini memang penuh risiko karena secara kultural seseorang akan dianggap dewasa dan secara fisik memang telah cukup sempurna untuk menjalankan fungsi reproduksinya. Pengetahuan yang benar tentang reproduksi dan perlindungan dari berbagai diskriminasi dan perlakuan salah sehingga dapat memasuki perannya sebagai orang dewasa yang berbudi dan bertanggung jawab. Perlindungan hak-hak mendasar bagi para dewasa juga diperlukan agar generasi penerus mereka tetap bermutu. Orang tua yang terdidik akan mementingkan sekolah anak-anak mereka.


(42)

Orang tua yang sehat jasmani dan rohaninya akan selalu menjaga tingkah laku kebutuhan fisik maupun emosional anak-anak mereka.

4) Lintas Sektoral

Seperti diuraikan di atas, nasib anak bergantung dari berbagai faktor yang makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran yang terjadi, sistem pendidikan yang menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagiannya tidak dapat ditangani sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan.

Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada empat prinsip umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain :26

1. Prinsip Non diskriminasi

Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini ada dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak ayat (1), “Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada di wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa


(43)

memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua walinya yang sah.” Ayat (2) : “Negara-negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarganya.”

2. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interest of The Child)

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak : “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.”

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggaraan perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak.

3. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (The Rights of Life, Survial and Development)


(44)

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Hak Anak ayat (1) : “Negara-negara pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan.” Ayat (2) : “Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak.”

Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang perorang. Untuk menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar. Berkaitan dengan prinsip ini, telah juga dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya berkaitan dengan hak-hak anak.

4. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for the views of The Child)

Prinsip ini ada dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Hak Anak : “Negara-negara pihak akan menjamin anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh, menyatakan pandangan-pandangan secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.”

Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.


(45)

Perspektif perlindungan anak adalah cara pandang terhadap semua persoalan dengan menempatkan posisi anak sebagai yang pertama dan utama. Implementasinya cara pandang demikian adalah ketika kita selalu menempatkan urusan anak sebagai hal yang paling utama.

D. Perlindungan Anak Dalam Kedudukan Hukum

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu :

1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi : Perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan;


(46)

2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi : perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, dan bidang pendidikan.27

Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak-anak, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 34 telah ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini menunjukkan adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap hak-hak anak dan perlindungannya. Lebih lanjut pengaturan tentang hak-hak anak dan perlindungannya ini terpisah dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain :28

1. Dalam bidang perlindungan anak dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

2. Dalam bidang hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Peradilan Anak;

3. Dalam bidang kesehatan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2);

4. Dalam bidang pendidikan dengan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 17; 5. Dalam bidang tenaga kerja dengan ordonansi tanggal 17 Desember 1925

tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi wanita

27 Maidin Gultom, Op.cit, hal. 33.


(47)

jo. Ordonansi tanggal 27 Februari 1926 Stbl. Nomor 87 Tahun 1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan orang-orang Muda di atas Kapal jo. Undang-Undang Keselamatan Kerja stbl. 1947 Nomor 208 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 yang memberlakukan Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 di Republik Indonesia;

6. Dalam bidang Kesejahteraan Sosial, dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

E. Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Anak

Untuk mendefenisikan Hukum Perlindungan Anak sebagai bahan pegangan teoretis dalam meletakkan hak-hak anak sebagai subjek hukum, terlebih dahulu perlu dipahami pengertian hukum pada umumnya. Dalam ilmu hukum terdapat beberapa pengertian dari hukum yang dijadikan bahan rujukan yang konkret terhadap pengertian Hukum Perlindungan Anak, meliputi defenisi hukum, sifat dan tujuan Perlindungan Anak pada umumnya, sebagai berikut.

a. Menurut S.M. Amin, hukum adalah kempulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi hukum.

b. Menurut J.C.T. Simorangkir, hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi mengakibatkan timbulnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu.


(48)

c. Menurut Mr. E. M. Meyers, hukum adalah aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan di tujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam tugasnya.

Dari defenisi tersebut, didapat unsur-unsur hukum yang esensial sebagai berikut :

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; b. Peraturan dibuat oleh badan-badan resmi pemerintah;

c. Peraturan itu bersifat memaksa;

d. Terdapat sanksi dalam rumusan peraturan.

Kedudukan unsur ini menunjukkan pengertian yang lebih luas dari hukum itu sendiri yang menjadi ciri dan sifat hukum pada masyarakat, antara lain :

a. Adanya peraturan dan atau larangan secara tertulis;

b. Peraturan dan larangan harus dipatuhi oleh setiap orang dan atau subjek hukum.

Kedudukan hukum pada umumnya maupun Hukum Perlindungan Anak, memiliki tujuan hukum yang hendaknya didapat dari suatu kesamaan penafsiran. Tentang tujuan hukum oleh masing-masing Sarjana Hukum, baik pakar-pakar hukum dan praktisi hukum, seperti Subekti, menyebutkan tujuan hukum nasional kita adalah untuk memperoleh keadilan dan kebenaran. Berbeda dengan L.J. Van Apeldoorn, tujuan hukum mengatur pergaulan hidup manusia yang satu dengan manusia yang lain secara damai.


(49)

Meletakkan batasan ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak, Arif Gosita, berpendapat bahwa ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak meliputi “kegiatan perlindungan anak yang merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum”. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diingini dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.

Berbeda pandangan dengan Irma Setyowati Soemitro, yang menyebutkan bahwa ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak dikelompokkan dalam pengertian perlindungan anak. Perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian berikut ini :

a. Perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam : (1) Bidang hukum publik (pidana);

(2) Bidang hukum keperdataan (perdata).

b. Perlindungan yang bersifat nonyuridis yang meliputi : (1) Bidang sosial;

(2) Bidang kesehatan; (3) Bidang pendidikan.

Menurut Bismar Siregar, bahwa untuk mengelompokkan Hukum Perlindungan Anak dengan bentuk, yaitu Aspek Hukum Perlindungan Anak. Ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak lebih dipusatkan pada hak-hak anak


(50)

yang diatur dalam hukum dan bukan kewajiban, mengingat ketentuan hukum (yuridis) anak belum dibebani dengan kewajiban.29

Menurut Mr. H. De Bie, merumuskan sebagai kinderrecht yang diartikan sebagai Aspek Hukum Anak, yang dibatasi pada keseluruhan ketentuan hukum mengenai perlindungan bimbingan dan peradilan anak/ remaja, seperti yang diatur dalam BW, Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta peraturan pelaksanaannya.

Menurut Mr. J.E. Doek dan H. M. A. Drewes, memberikan pengertian hukum perlindungan anak/ remaja dengan pengertian jongerenrecht ( hukum perlindungan anak muda ) dan memberi pengelompokan ke dalam dua bagian, yaitu :30

a. Dalam pengertian luas

Hukum Perlindungan Anak adalah segala aturan hidup yang memberikan perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberikan kemungkinan bagi mereka untuk berkembang;

b. Dalam pengertian sempit

Hukum Perlindungan Anak meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam :

(1) Ketentuan hukum perdata (regels van civiel givilrecht); (2) Ketentuan hukum pidana (Regels van strafrecht)

29Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, ( Jakarta :

PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), hal. 38-40. 30Ibid. hal. 41.


(51)

(3) Ketentuan hukum acara (procesrechtlijke regels).

F. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Perlindungan Anak

Komitmen pemerintah terhadap perlindungan anak merupakan suatu elemen esensial bagi lingkungan yang bersifat melindungi. Ini mencakup jaminan bahwa sumber-sumber daya yang mencukupi harus tersedia bagi perlindungan anak, misalnya program untuk memerangi buruh anak. Ini mencakup pimpinan politik yang bersifat pro aktif dalam meningkatkan perlindungan pada agenda mereka dan bertindak sebagai advokat dalam perlindungan.

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 20 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).

Adapun kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah adalah sebagai berikut :

(1) Bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak (Pasal 21)

Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 :

“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/ atau mental anak”.

(2) Berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan, sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22) :

“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam


(52)

penyelenggaraan perlindungan anak. Dukungan sarana dan prasarana tersebut misalnya; lapangan bermain, lapangan olahraga, rumah ibadah, gedung kesenian, tempat rekreasi, tempat penitipan anak, dan rumah tahanan untuk anak”.

(3) Menjamin perlindungan pemeliharaan dan kesejahteraan anak (Pasal 23 ayat (1)) :

“Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak”.

(4) Mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23 ayat (2)) : “Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak”.

Fungsi negara dan pemerintah di sini adalah sebagai pengawas bukan sebagai pelaksana.

(5) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat (Pasal 24) :

“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”.

Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, masyarakat berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap terselenggaranya perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab tersebut dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Anak-anak memiliki hak-hak untuk diakui dalam hukum internasional semenjak tahun 1924, ketika Deklarasi tentang hak-hak anak internasional yang


(53)

pertama diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa. Instrumen-instrumen hak-hak azasi manusia berikutnya dari Perserikatan Bangsa-bangsa seperti Deklarasi Universal hak-hak azasi manusia 1948, dan instrument-instrumen regional seperti Deklarasi Amerika tentang hak-hak dan kewajiban manusia yang dibuat pada tahun yang sama mengakui secara lebih umum hak manusia untuk bebas dari kekerasan,

abuse, dan eksploitasi. Hak-hak ini berlaku bagi setiap orang, termasuk anak-anak, dan dikembangkan lebih jauh dalam instrumen-instrumen seperti Konvensi Internasional tentang Hak-hak Politik dan Hak-hak Sipil 1966.

Konsensus internasional yang dikembangkan mengenai perlunya suatu instrumen baru yang akan secara eksplisit meletakkan dasar-dasar mengenai hak-hak anak khusus dan istimewa. Pada tahun 1989, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak diadopsi oleh Sidang Majelis Umum. Konvensi ini dengan cepat menjadi perjanjian hak-hak azasi manusia yang paling luas diratifikasi dalam sejarah, diratifikasi hampir secara universal.

Konvensi Hak-hak Anak, dalam beberapa hal meningkatkan standar internasional mengenai hak-hak anak. Konvensi ini menjelaskan dan secara hukum mengikat beberapa hak-hak anak yang dicantumkan pada instrumen-instrumen sebelumnya. Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan baru yang berkaitan dengan anak, misalnya yang berkenaan dengan hak untuk berpartisipasi, dan prinsip bahwa dalam semua keputusan yang menyangkut anak, kepentingan terbaik bagi anak harus diutamakan. Konvensi juga untuk pertama kalinya membentuk suatu badan internasional yang bertanggung jawab untuk mengawasi penghormatan atas hak-hak anak, yakni Komite Hak-hak Anak (Committee on the Rights of the Child).31

31 Dan O’Donnel, Perlindungan Anak, Sebuah Buku Panduan Bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (Jakarta : UNICEF, 2006), hal.5.


(54)

Pengakuan hak anak atas perlindungan tidak hanya terbatas pada Konvensi Hak-hak Anak. Ada sejumlah instrumen, baik instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun instrumen dari badan internasional lainnya, yang juga memasukkan hak-hak ini. Instrumen-instrumen itu meliputi :32

1. Piagam Afrika tentang Hak-hak dan Kesejahteraan Anak, Organisasi Persatuan Afrika yang sekarang disebut Uni Afrika (The African Charter on the Rights and Welfare of the Child of the Organisation for African Unity) tahun 1993.

2. Konvensi-konvensi Jenewa mengenai Hukum Humaniter Internasional (1949) dan Protokol Tambahannya (1977).

3. Konvensi Buruh Internasional No. 138 (1973), yang menyatakan bahwa secara umum seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, tidak boleh dipekerjakan dalam bidang-bidang pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka, dan Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 182 (1999) mengenai pelanggaran dan tindakan segera untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.

4. Protokol bagi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak-anak.

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya. Sehubungan dengan itu pemerintah, negara, masyarakat, keluarga, orang tua wali harus memberikan perlindungan. Perlindungan tersebut berupa pembinaan, bimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).

Setiap anak berhak mendapatkan derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Untuk itu, pemerintah wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang


(55)

komprehensif berupa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. Terhadap anak yang tidak mampu, hak tersebut diberikan secara cuma-cuma. Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/ atau menimbulkan kecacatan (Pasal 44, 45, dan 46 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).

Pasal 47 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib melindungi anak dari transplantasi organ tubuh anak untuk pihak lain dan juga wajib melindungi dari perbuatan-perbuatan :

(a) Pengambilan organ tubuh anak dan/ atau jaringan tubuh tanpa memperhatikan kesehatan anak;

(b) Jual beli organ dan/ atau jaringan tubuh anak; dan

(c) Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai obyek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.

Pasal 49 dan 50 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, menyebutkan bahwa Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan yang dimaksud, diarahkan untuk :

(a) Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat,

kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi yang optimal; (b) Pengembangan, penghormatan terhadap hak asasi manusia;


(56)

(c) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di tempat anak itu tinggal dan asal mula anak itu berasal dan peradaban-peradabannya yang berbeda dari peradabannya sendiri;

(d) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan (e) Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan.

Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan anak yang tidak mampu, terlantar yang bertempat tinggal di daerah terpencil (Pasal 53 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002). Anak yang sekolah, wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya atau lembaga pendidikan lainnya (Pasal 54 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).

Pasal 55 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar. Kewajiban-kewajiban tersebut agar dimaksudkan :

(a) Anak bebas berpartisipasi;

(b) Anak bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;

(c) Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;

(d) Bebas berserikat, bermain, berkreasi, berkarya dan berseni budaya;

(e) Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.


(57)

Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada :

(a) Anak dalam situasi darurat;

(b) Anak yang berhadapan dengan hukuman dari kelompok minoritas dan terisolasi;

(c) Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual; (d) Anak yang diperdagangkan;

(e) Anak yang menjadi korban narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya;

(f) Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan; (g) Anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental;

(h) Anak yang menyandang cacat; dan (i) Anak korban perlakuan dan penelantaran.

Anak dalam situasi darurat adalah :

(a) Anak yang menjadi pengungsi; (b) Anak korban kerusuhan; (c) Anak korban bencana alam; (d) Anak dalam konflik bersenjata.

Perlindungan terhadap anak darurat tersebut, menggunakan hukum humaniter (Pasal 59, 60, 61 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).


(58)

Untuk meningkatkan efektivitas berlakunya undang-undang ini, maka perlu dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Komisi Perlindungan Anak Indonesia beranggotakan unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat/ dunia usaha dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah :

(a) Melaksanakan sosialisasi seluruh ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap perlindungan anak;

(b) Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak (Pasal 75 dan 76 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).33

G. Tanggung Jawab Masyarakat Terhadap Perlindungan Anak

Masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan anak, yaitu terdapat dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan.

Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua, Pasal 26 Ayat (1), orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara,


(59)

mendidik, melindungi, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Pada Pasal 26 Ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua, yaitu :

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur kewajiban orang tua untuk :

1. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;

2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuannya, bakat dan minatnya, dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena sesuatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dapat beralih kepada keluarga yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku.34

Orang tua yang karena sesuatu hal tidak dapat menjalankan “kepengasuhannya”, maka hak tersebut dapat dilakukan oleh lembaga sosial dan


(60)

non sosial yang dalam pelaksanaannya tidak membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/ atau mental (Pasal 37 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).

Pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan undang-undang. Pengangkatan tersebut tidak menyebabkan putusnya hubungan darah dengan orang tua kandung. Si pengangkat harus memberitahukan status anak tersebut dalam waktu yang memungkinkan. Pengangkatan anak oleh orang asing, harus menjadi alternatif terakhir (Pasal 39, 40, dan 41 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).

Yayasan Sosial sebagai tempat perlindungan anak pada prinsipnya harus mampu menjamin terwujudnya penyelenggaraan hak-hak anak terhadap :35

1. Agama (Pasal 42)

Maksudnya setiap anak mendapat penyelenggaraan untuk beribadah menurut agamanya. Jika anak tersebut belum dapat menentukan pilihannya, maka agama yang dipeluk anak adalah mengikuti agama orang tuanya. Seorang anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab serta memenuhi syarat-syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin perlindungan anak dalam memeluk agama, maka negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali dan lembaga sosial berkewajiban


(61)

untuk memberikan pembinaan, pembimbingan dan pengamalan agama bagi anak.

2. Kesehatan (Pasal 44)

Untuk menjamin perlindungan hak anak terhadap kesehatan, maka pemerintah menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif didukung oleh peran serta masyarakat. Upaya tersebut meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk kesehatan dasar maupun rujukan. Khusus bagi keluarga yang tidak mampu upaya tersebut diselenggarakan secara cuma-cuma dan pelaksanaan semua ketentuan tersebut disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Secara prinsip orang tua dan keluargalah yang bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Jika mereka tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka pemerintah yang wajib memeliharanya. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/ atau menimbulkan kecacatan serta wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain, seperti :

a. Pengambilan organ tubuh anak dan/ atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;


(1)

2.

Dalam proses pengangkatan anak menjadi anak asuh sebaiknya dipaparkan

secara jelas isi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak. Dalam suatu

perjanjian pengangkatan anak menjadi anak asuh harus dicantumkan

identitas para pihak secara lengkap, identitas anak yang diangkat, alasan

orang tua/ wali menitipkan anak untuk diasuh pada yayasan, berakhirnya

hak asuh anak pada yayasan dan sanksi yang diberikan kepada orang tua/

wali anak maupun pihak yayasan apabila melakukan pelanggaran dalam

hal pengasuhan anak. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian

hukum dari anak asuh.

3.

Bahwa pemerintah seharusnya memberikan perhatian khusus terhadap

anak-anak yang tinggal dalam pengasuhan keluarga namun keluarga

tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan anak untuk tumbuh dan

berkembang. Dengan adanya perhatian yang serius dari pemerintah

terhadap masyarakat atau keluarga yang tidak mampu, maka pengasuhan

terhadap anak pada yayasan sosial bukanlah menjadi alternatif yang

utama. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga maka orang tua

anak dapat memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan amanat

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A.

Buku

Ali, Zainudin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika : Jakarta. Ashofa, Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rieneka Cipta : Jakarta. Djamil, M. Nasir, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika : Jakarta. Gultom, Maidin, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, PT Refika Aditama

: Bandung.

Joni, Muhammad dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT Citra Aditya Bakti : Bandung.

Kamil, H.Ahmad dan H.M. Fauzan, 2008, Hukum Perlindungan dan

Pengangkatan Anak di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta.

Makarao, Muhammad Taufik, dkk, 2013, Hukum Perlindungan Anak dan

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Rineka Cipta : Jakarta. Muhammad, Bushar, 2006, Pokok-pokok hukum adat, PT Pradnya Paramita :

Jakarta.

Pandika, Rusli, 2012, Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika : Jakarta. Prinst, Darwan, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti : Bandung.

Sinulingga, Risnawati, 2008, Pendidikan Agama Kristen, Pustaka Bangsa Press : Medan.

Sunggono, Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia : Jakarta (UI-Press).


(3)

Sudarsono, 2004, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta : Jakarta.

Taufan, Ahmad, 2010, Laporan Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak Di Indonesia 1997-2009, Save the Children, Jakarta Selatan.

Unicef, 2003, Pengertian Konvensi Hak Anak, PT Enka Parahiyangan : Jakarta. Waluyadi, 2009, Hukum Perlindungan Anak, CV. Mandar Maju : Bandung. Wadong, Maulana Hasan, 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan

Anak, PT Gramedia Widiasarana Indonesia : Jakarta.

B.

Peraturan Perundang-Undangangan

Republik Indonesia, UUD 45 dan Amandemen I-IV, Jakarta : CV. Tamita Utama, 2007.

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 dan Undang-Undang HAM Tahun 1999, Bandung : Citra Umbara, 2009.

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

C.

Website

. Html,


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

HAK-HAK ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002 UNTUK MEMPEROLEH Hak-hak anak dalam undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif islam.

0 2 13

HAK-HAK ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002 UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN DALAM Hak-hak anak dalam undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif islam.

0 2 23

TINJAUAN YURIDIS KRIMINOLOGI TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK ASUH DI PANTI ASUHAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK ANGKAT NGABUJANG DI MASYARAKAT KAMPUNG NAGA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 1

SINKRONISASI HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 16

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

0 0 27

Tinjaun Yuridis Mengenai Perlindungan Hak Cipta Terhadap Potret di Internet di Tinjau Dari Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

0 0 3

IMPLEMENTASI HAK-HAK ANAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK - Unika Repository

0 0 12

PEMENUHAN HAK ANAK ATAS PEMELIHARAAN DI PANTI ASUHAN YATAAMA AL FIRDAUSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 9

KAJIAN TERHADAP PUTUSAN HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang) - Unika Repository

0 0 13