Pengaturan Pengangkatan Anak Di Indonesia Proses Pengangkatan Anak

pendidikan dan pembesaran anak tersebut, kelingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan Pasal 1 butir 9. 37 Pengangkatan anak dalam praktik dapat terjadi antar warga negara Indonesia, artinya baik anak angkat maupun orang tua angkatnya adalah WNI atau antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia, misalnya anak warga negara Indonesia sedangkan orang tua angkatnya warga negara asing, atau sebaliknya anak warga negara asing sedangkan orang tua angkatnya warga negara Indonesia. Antara orang tua angkat dengan anak angkatnya minimal harus terdapat selisih umur 25 tahun dan maksimal 45 tahun. Untuk itu setiap orang dewasa dapat mengangkat anak. Apabila calon orang tua dalam perkawinan, maka usia perkawinan orang tua angkat minimal telah berlangsung selama 5 lima tahun, sehingga ada selisih antara usia perkawinan calon orang tua angkat dengan usia calon anak angkat minimal lima tahun. 38

2. Pengaturan Pengangkatan Anak Di Indonesia

Dewasa ini sejumlah peraturan yang berkenaan dengan pengangkatan anak di Indonesia, yang berdasarkan urutan waktu terbitnya dapat dikemukakan sebagai berikut : 39 - Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak. 37 Rusli Pandika, Op. cit, hal. 105-106. 38 Darwan Prinst, Op. cit, hal. 94-95. 39 Rusli Pandika, Op. cit, 104-105. - Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. - Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979. - Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak. - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak - Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak. - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. - Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. - Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110HUK2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. Selanjutnya akan ditinjau peraturan pengangkatan anak yang dewasa ini berlaku di Indonesia berdasarkan produk-produk hukum tersebut di atas.

3. Proses Pengangkatan Anak

Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Pengadilan Negeri ditempat domisili anak yang akan diangkat tersebut. Adapun alasan permohonan diajukan adalah untuk kepentingan anak, kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental serta perlindungan anak itu sendiri. Untuk mengabulkan permohonan tersebut, hakim wajib mengadakan penilaian tentang motif dan latar belakang yang mendasari orang tua melepaskan anaknya, dan di sisi lain keinginan calon orang tua angkat untuk mengangkat anak. Keadaan ekonomi dan rumah tangga orang yang akan mengangkat anak, apakah harmonis atau tidak. Di samping itu juga kesungguhan, ketulusan dan kerelaan dari pihak yang melepaskan anak maupun yang mengangkatnya, serta kesadaran para pihak akan akibatnya. Stb. 1917 No. 129 jo SEMA No. 2 1979. Dan juga dipertimbangkan hari depan anak pada keluarga orang tua angkatnya. Adapun kelengkapan untuk permohonan itu, harus dilampirkan sebagai berikut : 40 a. Dari calon orang tua angkat : 1 Akta perkawinan; 2 Akta kelahiran; 3 Surat keterangan kesehatan dan kesehatan jiwa; 4 Surat keterangan berkelakuan baik; 5 Surat keterangan penghasilan. b. Dari calon anak angkat : a Orang tua kandung dibuat akta notaris; b Ibu kandung bila orang tua tidak kawin sah; c Mereka yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. c. Dari pemerintah : Surat persetujuan menteri sosial bagi : a Calon orang tua angkat; 40 Ibid, hal. 95-96. b Calon anak angkat. 4. Pengasuhan Anak Berdasarkan Hukum Perdata Indonesia Dalam kehidupan masyarakat Indonesia hanya dikenal pembedaan antara Warga Negara Indonesia dan orang asing, di samping perbedaan antara penduduk dan bukan penduduk. Tetapi tidak demikian halnya dengan kehidupan hukum dalam bidang hukum perdata dimana untuk sebagian besar masih dalam keadaan pluralistik yang merupakan sisa-sisa politik hukum pemerintah kolonial Belanda dulu dan dengan terpaksa masih berlaku atau diberlakukan hingga sekarang melalui berbagai hukum transitoir. Bagi negara Republik Indonesia seperti pada negara-negara lain yang baru merdeka setelah perang dunia kedua dan sedang berkembang, sikap yang diambil terhadap hukum adalah bersifat progresif karena didorong oleh dua faktor, yaitu keinginan untuk dengan secepatnya menghapuskan hukum peninggalan kolonial dan harapan-harapan yang timbul dalam masyarakat setelah tercapai kemerdekaan. Tetapi usaha semacam itu tidaklah sederhana, karena tiap-tiap penghapusan sistem hukum lama kolonial memerlukan pengisian atau kekosongan yang ditimbulkan oleh penghapusan tadi. Jika tidak, maka kekacauan dan ketidakpastian dalam hukum tidak bisa dihindari. Pangkal dari sistem hukum perdata Indonesia sekarang ini dapat dilihat pada peraturan kolonial Belanda yang bernama Indische Staatsregeling atau IS Stbl. 1927 No. 415 yang sejak tanggal 1 Januari 1926 menjadi Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch-Indie. Dari peraturan tersebut dapat dirujuk ketentuan penting dalam dua pasal yang menjadi sumber dari sistem hukum perdata yang kita kenal sekarang di Indonesia, yaitu ketentuan dalam Pasal 163 dan Pasal 131 IS, isi Pasal 163 IS tersebut adalah sama dengan isi ketentuan Pasal 109 Regeringsreglement baru mulai berlaku 1 Januari 1920 yang merupakan hasil penyempurnaan atas ketentuan Pasal 109 Regeringsreglement lama tahun 1854. Dari bunyi pasal tersebut tidak dengan nyata membagi golongan penduduk dan tidak menyatakan siapa yang termasuk orang Eropa, orang Bumiputera dan orang Timur Asing, melainkan hanya menentukan siapa yang tunduk pada peraturan-peraturan untuk golongan Eropa, peraturan untuk golongan Bumiputera dan peraturan untuk golongan Timur Asing. Ditilik dari bunyi Pasal 131 IS maka nyatalah bahwa ketentuan dalam pasal ini menentukan atau memuat “dasar politik hukum mengenai hukum perdata, hukum pidana, serta hukum acara perdata dan pidana” Hindia Belanda. 41 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW tidak ditemukan satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat. BW hanya mengatur ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku 1 Bab 12 bagian ketiga BW, tepatnya pada Pasal 280 sampai Pasal 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak-anak di luar kawin. Dalam lembaga pengangkatan anak tidak ada batasan pada ayah biologisnya, tetapi orang perempuan atau lelaki lain yang sama sekali tidak ada hubungan biologis dengan anak itu dapat melakukan permohonan pengangkatan anak sepanjang memenuhi persyaratan hukum. 41 Ibid, hal.13-14. Mengingat kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak telah menunjukkan angka yang meningkat, di samping kultur budaya masyarakat Indonesia asli dan masyarakat keturunan Tionghoa telah lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi Hukum Perdata Barat BW. 42 Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak secara khusus mengatur ketentuan-ketentuan khusus bagi anak angkat guna menghindari penyalahgunaan dan penyelewengan terhadap anak yang diangkatnya. Ketentuan-ketentuan ini diatur pada Pasal 39 sampai dengan Pasal 41, yaitu : 1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya; 3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat; 4. Pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir; 5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat; 42 Ahmad Kamil, Op. cit, hal. 19-20. 6. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya; 7. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya, dilakukan dengan memerhatikan kesiapan anak yang bersangkutan; 8. Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak;

5. Pengasuhan Anak dalam Perspektif Hukum Adat

Dokumen yang terkait

HAK-HAK ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002 UNTUK MEMPEROLEH Hak-hak anak dalam undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif islam.

0 2 13

HAK-HAK ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002 UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN DALAM Hak-hak anak dalam undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif islam.

0 2 23

TINJAUAN YURIDIS KRIMINOLOGI TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK ASUH DI PANTI ASUHAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK ANGKAT NGABUJANG DI MASYARAKAT KAMPUNG NAGA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 1

SINKRONISASI HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 16

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

0 0 27

Tinjaun Yuridis Mengenai Perlindungan Hak Cipta Terhadap Potret di Internet di Tinjau Dari Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

0 0 3

IMPLEMENTASI HAK-HAK ANAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK - Unika Repository

0 0 12

PEMENUHAN HAK ANAK ATAS PEMELIHARAAN DI PANTI ASUHAN YATAAMA AL FIRDAUSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 9

KAJIAN TERHADAP PUTUSAN HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang) - Unika Repository

0 0 13