S e p u ta r Ca ra Me n gkritik
S e p u ta r Ca ra Me n gkritik
Dalam polem ik seputar acara ‘Mendobrak Hegemoni’ itu, hal yang paling mengedepan adalah soal cara m en gkritik yan g dalam an ggapan m ereka sebagai sesuatu yan g kebablasan , kasar, an arkis, barbar, dsb. Cara in i segera dicap sebagai perilaku kekan ak-kan akan , gaya Orde Baru dan prem an yan g tak berwawasan , dian ggap m elan ggar etika, m oral dan pelecehan terhadap kelom pok terten tu, in stitusi m aupun person al yan g terken a kritik.
Nam un an ehn ya tan ggapan m ereka tidak sedikit yan g terjebak dalam cara m en gkritik yan g sam a bahkan disertai an cam an . Bukan kah hal sem acam in i m en un jukkan realitas ‘kebarbaran’ yang ada pada tiap in dividu m aupun kelom pok bahkan pada setiap kebudayaan m aupun peradaban . Pen ilaian sem acam itu juga bisa m un cul akibat ada yan g m erasa dirugikan dari kem apan an yan g telah m ereka ciptakan .
Sebagai sebuah m etode m en gkritik yan g ten den sius bahkan vulgar m odel di atas ten tu sah-sah saja. H al in i ten tu didasari oleh alasan yan g setidakn ya bisa diterim a oleh akal sehat dan bukan sekedar kebablasan yan g m em babi buta. Persoalan akan m en jadi run yam ketika m etode sem acam in i diben turkan oleh persepsi yan g bersum ber dari etika, m oral m aupun tata n ilai yan g serin g kali an ti-kebebasan dan bersifat m em von is secara terburu-buru. Di sin ilah diperlukan keterbukaan un tuk m elihat suatu hal dan kon teks persoalan yan g hen dak dikritik. Disadari atau tidak, persoalan yan g hen dak didobrak oleh Kam asra sudah dalam tahap em ergen cy sehin gga diperlukan m etode yan g bersifat shock therapy yan g san gat efektif. Lagi pula bukan kah in i m erupakan ekspresi yan g m un cul akibat kem uakan yan g berlebihan . Men jelekkan belum ten tu sejelek yan g disan gka, walaupun m en gan dun g sen da gurau dan keakraban di dalam n ya dan m asih dalam bin gkai sen i bahasa kom un ikasi dalam suatu kom un itas. Soal kata yan g san gat
‘puitis’ seperti, “fuck you, bapak-bapak kok ngga paham sih bahasa anak muda, sekali-sekali den gerin don g m p3 Lim p Bizkit atau lagu kelom pok J am rud ”, di situ bertebaran kata atau idiom
yan g luar biasa ‘puitis’. Atau dalam salah satu puisinya Sutardji menyelipkan kata pukimay yang artin ya...
Dan setidakn ya sebagai trik un tuk m en gan gkat persoalan tern yata lum ayan efektif. Terlepas dari tujuan yan g berm aksud m erusak harm on i sosial. Ken apa kam i m em perm asalahkan oran g-oran g dan bukan n ya sistem ‘anonim’, yang menurut beberapa orang jauh lebih ‘elegan’? Karena kami an ggap m ereka adalah para ‘tokoh-tokoh kunci’ yang menjadi panutan banyak seniman. Sesun gguhn ya oran g-oran g seperti Erawan , Gun arsa dan Wian ta itu sudah m en jadi patron dalam kan cah sen i rupa Bali terutam a bagi beberapa sen im an m uda. Sam pai ada istilah ‘Erawan- ism e ’ yang berarti dia bahkan sudah bukan person lagi melainkan sudah menjadi suatu isme tersen diri. Figur Erawan sen diri sudah m en jadi sebuah ‘institusi’. Bisakah kita menampik keberadaan ‘faktor’ Gunarsa dari eksistensi Sanggar Dewata Indonesia (SDI)?
Sebagai ‘institusi’ dia bukan lagi menjadi wilayah personal belaka melainkan menjadi wilayah um um dan an on im . Dan itu artin ya dia bisa dikritik sebagai in stitusi dan terlepas dari person n ya. Men gkritik sebuah sistem yan g an on im akan m em beri ruan g tem pat ‘berkilah’ bagi person -person yan g m en jadi kom pon en dalam sistem itu. Salin g tun juk hidun g oran g lain dalam sistem yan g sam a dan m erasa ‘bukan saya’ akan menjadi jawaban yang klise. Metode memang tidak akan berhen ti cum a sebagai cara dan bisa saja m en im bulkan efek yan g berm acam -m acam terlebih hal in i berhadapan den gan kem apan an budaya (budaya Bali yan g m en em patkan etika dan m oral dalam posisi yan g istim ewa), sehin gga tak berlebihan apabila ada selen tin gan yan g m un cul, jika kegiatan in i tidak terjadi di Bali baran gkali ceritan ya tidak akan heboh.