Kekuasaan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir

2.2.3. Kekuasaan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir

Hampir di semua masyarakat, kekuasaan di dalam keluarga berada di tangan laki-laki, sehingga hak pengambilan keputusan penting pun berada dalam kekuasaan suami. Bahkan rasa hormat pun hanya ada dari pihak istri kepada suami (Abdullah, 2000), kecuali di Amerika dan negara-negara Barat yang sudah langka sosok suami/ayah yang diidamkan, tetapi kenyataannya laki-laki (suami/ ayah) masih tetap dapat memaksakan kemauannya secara berhasil dalam persoalan keluarga (Goode, 2002:151).

Kekuasaan suami atau istri sangat erat kaitannya dengan pola hubungan antar suami-istri dalam keluarga. Sedangkan pola hubungan itu dapat dibedakan menurut pola perkawinannya. Dalam perkembangan sejarah, hubungan antar suami-istri dalam keluarga atau rumah tangga, menurut Scanzoni & Scanzoni (Suleeman, 1999:100-101), dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) macam pola perkawinan, yaitu (1) owner property, yang mengganggap istri milik suami, (2) head complement, yang melihat istri sebagai pelengkap suami, (3) senior junior partner, yang memposisikan istri sebagai teman, dan (4) equal partner, yang memposisikan istri sebagai mitra sejajar.

Apabila istri dianggap sebagai milik, bukan sebagai pribadi, maka kekuasaan dalam keluarga mutlak pada suami, bahkan kekuasaan ini dikuatkan

ekonomis. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Oleh karenanya tugas utama istri hanyalah mengurus keluarga, membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami, melahirkan dan mendidik anak-anaknya, sehingga dapat membawa nama baik suami. Jadi posisi istri dalam keluarga hanya sebagai perpanjangan dari kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita-cita suami (Suleeman, 1999:101). Dengan perkataan lain, bahwa status sosial istri mengikuti status sosial suami, atau yang dalam masyarakat Jawa disebut sebagai “swaga nunut neraka katut” (kemuliaan istri numpang suami, tetapi kehinaan suami istri pun ikut terbebani). Celakanya, seperti kaum elit Jawa di masa lalu, suami bisa saja menceraikan istrinya sesuka hatinya bila ia sudah tidak menyukainya lagi, sedangkan istri tidak punya hak sedikitpun untuk protes.

Berbeda dengan pola head complement, istri tidak lagi sekadar “swarga nunut neraka katut” melainkan sebagai “kanca wingking” (pendamping) dalam pengertian istri dianggap sebagai pelengkap suami. Tugas suami masih tetap mencari nafkah dan tugas istri masih tetap mengurus rumah tangga, tetapi suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama- sama, meskipun keputusan akhir tetap di tangan suami. Bahkan secara sosial, istri menjadi atribut sosial suami, karenanya istri harus mencerminkan posisi dan martabat suaminya, baik dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan fisik material. Misalnya, istri pejabat harus bisa menjadi panutan bagi para istri anak buah suaminya. Perhatikan gejala Dharma Wanita, ketuanya secara otomatis adalah istri pimpinan instansi yang bersangkutan. Ini artinya, bahwa Berbeda dengan pola head complement, istri tidak lagi sekadar “swarga nunut neraka katut” melainkan sebagai “kanca wingking” (pendamping) dalam pengertian istri dianggap sebagai pelengkap suami. Tugas suami masih tetap mencari nafkah dan tugas istri masih tetap mengurus rumah tangga, tetapi suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama- sama, meskipun keputusan akhir tetap di tangan suami. Bahkan secara sosial, istri menjadi atribut sosial suami, karenanya istri harus mencerminkan posisi dan martabat suaminya, baik dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan fisik material. Misalnya, istri pejabat harus bisa menjadi panutan bagi para istri anak buah suaminya. Perhatikan gejala Dharma Wanita, ketuanya secara otomatis adalah istri pimpinan instansi yang bersangkutan. Ini artinya, bahwa

Sedangkan pada pola senior junior partner, posisi istri tidak lagi sebagai pelengkap suami tetapi sudah menjadi teman atau patner. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan kontribusi secara ekonomi, meski pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, secara ekonomis tidak lagi sepenuhnya bergantung pada suami, sehingga istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan sebagian kekuasaannya. Namun demikian suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar daripada suami. Karenanya istri terkadang harus mengorbankan karirnya demi karir suaminya. Begitu pula dalam hal status sosial, meskipun istri berasal dari status sosial yang lebih tinggi terpaksa harus turun status sosialnya karena mengikuti status sosial suami. Pola perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini (Suleeman, 1999:104).

Lain lagi dengan pola equal partner, suami-istri berada pada posisi yang setara, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau lebih rendah. Istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri dan melakukan tugas- tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan begitu istri bisa menjadi pencari nafkah utama dan berpenghasilan lebih tinggi daripada suami. Karena dalam pola ini norma yang dianut adalah kemitra- sejajaran, sehingga suami dan istri mempunyai kesempatan yang sama untuk Lain lagi dengan pola equal partner, suami-istri berada pada posisi yang setara, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau lebih rendah. Istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri dan melakukan tugas- tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan begitu istri bisa menjadi pencari nafkah utama dan berpenghasilan lebih tinggi daripada suami. Karena dalam pola ini norma yang dianut adalah kemitra- sejajaran, sehingga suami dan istri mempunyai kesempatan yang sama untuk

Dari keempat pola perkawinan (keluarga) tersebut nampak bahwa kekuasaan suami-istri dalam keluarga karir banyak dipengaruhi oleh pola hubungan suami-istri yang terkait langsung dengan hak-hak istri untuk akses ekonomi. Oleh karena itu semakin tinggi karir istri semakin bertambah hak-hak istri dalam keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Goode (2002:150), bahwa bertambahnya hak-hak istri di Barat selama setengah abad yang lalu pada kenyataannya telah mengurangi kekuasaan suami dalam keluarga. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena posisi tawar (bargaining posisition) istri meningkat seiring dengan akses pendapatan yang diterima dari pekerjaannya (Sayer & Bianchi, 2000:907). Berbeda dengan sistem keluarga yang menganut prinsip patriarkhal konvensional, yang memposisikan istri sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan, maka suami lebih berkuasa daripada istri (Effendi, 1995:47), kecuali jika keluarga itu mempunyai cara pandang Parsonian atau Beckerian yang lebih menekankan pada spesialisasi peran fungsional dalam rumah tangga (Sayer & Bianchi, 2000:907).

Sebenarnya, menurut Webley et al. (2001:82), ketidaksetaraan struktural yang terjadi dalam keluarga selama ini terkait dengan ketidaksetaraan gender dalam keluarga. Karenanya wajar ketika istri pada posisi tawar yang kuat mereka menuntut untuk berperan aktif dalam control income dan asset, menentukan kebutuhan konsumsi rumah tangga, kekuasaan pengambilan keputusan, serta pembagian kerja rumah tangga yang setara. Namun, menurut Megawangi Sebenarnya, menurut Webley et al. (2001:82), ketidaksetaraan struktural yang terjadi dalam keluarga selama ini terkait dengan ketidaksetaraan gender dalam keluarga. Karenanya wajar ketika istri pada posisi tawar yang kuat mereka menuntut untuk berperan aktif dalam control income dan asset, menentukan kebutuhan konsumsi rumah tangga, kekuasaan pengambilan keputusan, serta pembagian kerja rumah tangga yang setara. Namun, menurut Megawangi

Oleh karena itu apabila para perempuan karir mengikuti pola keluarga Barat, maka tidak mustahil mereka akan menuntut hak yang lebih besar terhadap suami seiring dengan status ekonominya, sehingga peran istri secara tradisional semakin berkurang. Bahkan tidak jarang pula terdapat istri yang bersikap dominan dalam keluarga. Padahal, menurut Kaminer (Megawangi, 2000:212), banyak perempuan di Barat, termasuk kaum feminisme, yang mengkritik konsep kebebasan perempuan yang justru telah menjadi konsep yang ‘menakutkan’. Menurut mereka, konsep ini dapat membuat para laki-laki bebas dari beban dan tanggungjawabnya, di mana sistem tradisional mengharuskan laki-laki bertanggungjawab terhadap nafkah dan kesejahteraan istri dan anaknya. Selain itu juga timbul tuduhan-tuduhan bahwa feminisme telah merusak keluarga, karena secara teori, feminisme moderen adalah anti keluarga. Dampaknya antara tahun 1963 dan 1975 angka perceraian di AS meningkat 100% dan masalah kesejahteraan anak-anak semakin mengkhawatirkan.