Perilaku Ekonomi dalam Penggunaan Keuangan Keluarga

2.4.3. Perilaku Ekonomi dalam Penggunaan Keuangan Keluarga

2.4.3.1. Perilaku Konsumtif dan Konsumeristik

Perilaku ekonomi keluarga di Indonesia nampaknya telah terkontaminasi oleh pandangan ekonomi liberal neoklasik (neoliberalisme), yang sejak awal rezim Orde Baru. ‘dibudidayakan’ sebagai mesin pencepat kemajuan ekonomi. Manusia dipandang semata-mata sebagai homo economicus yang berperilaku seperti ‘mesin pemaksimal keuntungan’. Yang lebih menarik lagi pandangan mereka tentang keluarga (rumah tangga) yang dianggapnya sebagai lembaga sosial yang berperan ganda. Pertama berperan sebagai mesin yang diprogram Perilaku ekonomi keluarga di Indonesia nampaknya telah terkontaminasi oleh pandangan ekonomi liberal neoklasik (neoliberalisme), yang sejak awal rezim Orde Baru. ‘dibudidayakan’ sebagai mesin pencepat kemajuan ekonomi. Manusia dipandang semata-mata sebagai homo economicus yang berperilaku seperti ‘mesin pemaksimal keuntungan’. Yang lebih menarik lagi pandangan mereka tentang keluarga (rumah tangga) yang dianggapnya sebagai lembaga sosial yang berperan ganda. Pertama berperan sebagai mesin yang diprogram

Budiman (Sigit Sidi & Setiadi, 2000) mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan.

Dari penelitian Evanita dkk. (2003) diperoleh keterangan bahwa iklan televisi, motivasi, umur, pendidikan, pendapatan, kelompok acuan, dan sikap pada produk secara bersama-sama berpengaruh terhadap perilaku konsumtif ibu rumah tangga. Hasil penelitian Zebua (2001) juga memberikan keterangan bahwa konformitas (mengikuti dengan pasrah pada tekanan kelompok) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku konsumtif remaja.

Menurut Tambunan (2001), istilah konsumtif (sebagai kata sifat) sering diartikan sama dengan kata konsumerisme. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang- Menurut Tambunan (2001), istilah konsumtif (sebagai kata sifat) sering diartikan sama dengan kata konsumerisme. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-

Sedangkan kebutuhan pokok (primary needs) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis atau biologis yang berfungsi untuk mempertahankan hidup, seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan. Selain itu, ada kebutuhan sekunder atau kebutuhan yang diciptakan (innate needs), yaitu kebutuhan yang muncul sebagai reaksi terhadap lingkungan dan budayanya. Kebutuhan ini biasanya bersifat psikologis karena berasal dari sikap subyektif, seperti kebutuhan self-esteem, prestige, affection, dan power. Misalnya, rumah adalah kebutuhan primer, tetapi sebagian orang membangun rumah yang sangat mewah, karena ingin dipandang sebagai orang yang sukses, maka rumah mewah ini bisa disebut sebagai kebutuhan sekunder, atau bahkan tersier, karena merupakan kebutuhan yang tingkat keperluannya relatif rendah (Sumarwan, 2003:36).

Di samping itu ada jenis kebutuhan yang dirasakan (felt needs), Jenis kebutuhan ini, menurut Sumarwan (2003:36), dibedakan berdasarkan manfaat yang diharapkan. Pertama, kebutuhan utilitarian, yaitu kebutuhan yang didasarkan pada manfaat fungsional, seperti “obeng” untuk membuka dan memasang “mur”, obeng dibutuhkan karena mur tidak bisa dibuka dan dipasang dengan tangan kosong. Kedua, kebutuhan ekspresif atau hedonik, yaitu kebutuhan yang bersifat psikologis seperti rasa puas, gengsi, emosi, dan perasaan Di samping itu ada jenis kebutuhan yang dirasakan (felt needs), Jenis kebutuhan ini, menurut Sumarwan (2003:36), dibedakan berdasarkan manfaat yang diharapkan. Pertama, kebutuhan utilitarian, yaitu kebutuhan yang didasarkan pada manfaat fungsional, seperti “obeng” untuk membuka dan memasang “mur”, obeng dibutuhkan karena mur tidak bisa dibuka dan dipasang dengan tangan kosong. Kedua, kebutuhan ekspresif atau hedonik, yaitu kebutuhan yang bersifat psikologis seperti rasa puas, gengsi, emosi, dan perasaan

Jadi perilaku konsumeristik maupun perilaku konsumtif adalah perilaku ekonomi yang tidak rasional, karena cenderung berorientasi pada keinginan untuk memenuhi kebutuhan ekspresif (hedonik) daripada kebutuhan fungsional, dan untuk memenuhi kebutuhan hedonik ini biasanya dibutuhkan pengorbanan (cost) yang lebih tinggi daripada kebutuhan fungsional. Padahal untuk bisa mendapatkan kepuasan dari pengkonsumsian atribut, konsumen harus membeli produk untuk memperoleh atribut tersebut. Dengan perkataan lain, produk itu merupakan alat untuk menyampaikan atribut dalam proses konsumsi (Arsyad, 2000:116).

Oleh karena itulah Organisasi Konsumen Internasional (CI-ROAP) dalam program “sustainable consumption” mengkampanyekan perilaku konsumsi yang selalu didasarkan pada kebutuhan, bukan keinginan. Sebab, menuruti keinginan tiada batasnya, bahkan langit pun tidak bisa menjadi batas. Yang jelas bahwa pola konsumsi yang berorientasi pada keinginan bukanlah perilaku konsumsi yang rasional (Prehati, 2001).

Namun dalam praktik, karena membanjirnya peluang, kesempatan dan pilihan untuk aktualisasi diri, maka akan bisa membuat orang ‘hanyut’ sehingga Namun dalam praktik, karena membanjirnya peluang, kesempatan dan pilihan untuk aktualisasi diri, maka akan bisa membuat orang ‘hanyut’ sehingga

2.4.3.2. Perilaku Menabung (Saving)

Tabungan (save) berarti pendapatan yang tidak dibelanjakan untuk keperluan konsumsi. Namun tabungan ini bukan suatu konsep sisa setelah semua keperluan konsumsi dipenuhi, melainkan suatu pilihan antara uang itu dibelanjakan atau tidak dibelanjakan (Partadiredja, 1985:64). Tetapi Sulistyo & Widayat (1986:125), menyatakan bahwa tabungan adalah sisa pendapatan yang tidak dikonsumsikan atau konsumsi yang ditunda.

Pendapat yang terakhir ini rupanya didasarkan pada hipotesis pendapatan absolut dari Keynes, bahwa tingginya tingkat tabungan rumah tangga (keluarga) tergantung pada besarnya pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Hasrat menabung dari pendapatan yang siap dibelanjakan tersebut akan meningkat sesuai dengan tingkat pendapatannya. Dengan perkataan lain, bahwa semakin tinggi tingkat pendapatannya, maka semakin tinggi pula tingkat tabungannya. Jadi menurut pandangan Keynesian, bahwa tabungan sangat erat hubungannya dengan pendapatan (Sulistyo & Widayat, 1986:125). Bahkan Pendapat yang terakhir ini rupanya didasarkan pada hipotesis pendapatan absolut dari Keynes, bahwa tingginya tingkat tabungan rumah tangga (keluarga) tergantung pada besarnya pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Hasrat menabung dari pendapatan yang siap dibelanjakan tersebut akan meningkat sesuai dengan tingkat pendapatannya. Dengan perkataan lain, bahwa semakin tinggi tingkat pendapatannya, maka semakin tinggi pula tingkat tabungannya. Jadi menurut pandangan Keynesian, bahwa tabungan sangat erat hubungannya dengan pendapatan (Sulistyo & Widayat, 1986:125). Bahkan

Menurut Sjabadhyni & Wutun (1999:21), subyek menilai penghasilan yang diperoleh bersifat tidak mantap yang disebabkan oleh faktor subyektif. Dengan jumlah penghasilan yang sama atau mungkin lebih tinggi oleh sebagian keluarga tetap merasa kurang memadai dan kurang memuaskan. Hal ini tidak disebabkan oleh penilaian individu membandingkan antara penghasilan dan meningkatnya harga barang kebutuhan hidup sehari-hari, akan tetapi lebih kepada seseorang melihat penghasilannya sebagai sumber rasa aman saat itu dan masa depan. Individu yang mempunyai rasa aman yang rendah cenderung lebih berhemat dan berusaha menabungkan penghasilannya.

Di samping itu, setiap keluarga tentu memiliki harapan yang tidak saja memanfaatkan uangnya saat ini, tetapi juga untuk memenuhi apa yang diharapkan di masa mendatang apabila terjadi kelangkaan masa depan. Harapan tersebut akan menentukan atau mempengaruhi keputusan untuk membelanjakan dan atau menabung (Sjabadhyni & Wutun, 1999:21-22).

Survey yang dilakukan oleh Sumarwan (2003:61-62) terhadap mahasiswa MMA-IPB tentang sikap atau pendapat atau opini mereka terhadap tabungan, ternyata semua responden sepakat bahwa menabung adalah perilaku yang baik dan harus ditanamkan kepada anak-anak. Hasil survey ini bila didekati dengan teori reasoned action dari Fishbein & Ajzen (Sarwono, 1999:243), maka dapat diprakirakan bahwa akan diikuti dengan tindakan (action), yakni berperilaku menabung, karena alasan (reason) telah terungkap, yakni bersikap positif

2.4.3.3. Perilaku Kredit/Hutang (Dissaving)

Dalam survey yang dilakukan Sumarwan (2003:62) tersebut, ditanyakan juga sikap responden tentang membeli kendaraan dan rumah dengan kredit. Dua produk ini harganya relatif mahal, sehingga sangat relevan jika pembelian produk ini dikaitkan dengan kredit. Kurang lebih 16% menyatakan bahwa mereka tidak perlu menunggu punya uang yang cukup untuk membeli mobil, dengan kata lain mereka setuju membeli mobil dengan kredit. Akan tetapi ada 46% yang tidak menyatakan pendapatnya. Sedang mengenai pembelian rumah, hampir 50% responden setuju membeli rumah dengan kredit, karena kredit rumah seringkali dianggap sebagai investasi bukan kredit konsumen, sehingga sangat logis jika banyak konsumen yang bersedia membeli rumah dengan kredit. Responden pun ternyata juga punya sikap yang positif terhadap kredit secara umum, 75% dari responden menyetujui bahwa bukanlah hal yang buruk untuk membeli sesuatu dengan kredit asalkan bisa membayarnya sesuai dengan kemampuan mereka.

Memang, bagi yang berpenghasilan tinggi akan dengan mudah membeli sesuatu produk yang mahal sekalipun dengan membayar secara tunai, bahkan bisa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menabung. Tetapi bagi yang berpenghasilan rendah, mungkin semua pendapatannya dihabiskan untuk konsumsi, terkadang justru pengeluarannya lebih besar daripada pendapatannya, sehingga harus berhutang untuk menutup anggaran biaya keluarganya. Keadaan Memang, bagi yang berpenghasilan tinggi akan dengan mudah membeli sesuatu produk yang mahal sekalipun dengan membayar secara tunai, bahkan bisa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menabung. Tetapi bagi yang berpenghasilan rendah, mungkin semua pendapatannya dihabiskan untuk konsumsi, terkadang justru pengeluarannya lebih besar daripada pendapatannya, sehingga harus berhutang untuk menutup anggaran biaya keluarganya. Keadaan