Pengertian Perilaku dan Perilaku Ekonomi

2.4.1. Pengertian Perilaku dan Perilaku Ekonomi

Perilaku merupakan manifestasi hidup kejiwaan dan intelektual yang didorong oleh motif tertentu, sehingga manusia itu berbuat atau melakukan sesuatu tindakan untuk tujuan tertentu. Pengertian ini didasarkan pada kerangka pemikiran Al - Ghazali yang memandang perilaku sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan agama dan kemanusiaan. Menurut Al - Ghazali (Langgulung, 1987:274-275), bahwa (1) perilaku mempunyai penggerak dan pendorong (motivasi) serta tujuan. (2) Motivasi bersifat dari dalam yang muncul dari diri manusia sendiri, tetapi ia dirangsang oleh stimulus dari luar ataupun dari dalam yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani dan kecenderungan alamiah, seperti rasa lapar, cinta, takut dan lainnya. Menghadapi motivasi tersebut, maka manusia mendapati dirinya terdorong untuk mengerjakan sesuatu. (3) Perilaku mengandung rasa kebutuhan dengan perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap suasana tersebut. (4) Perilaku bersifat individual yang berbeda menurut perbedaan faktor bawaan dan perolehan atau proses belajar. (5) Perilaku ada dua tingkatan, yaitu tingkat pertama perilaku dikuasai oleh motivasi-motivasi dan faktor-faktor kegopohan, sedangkan tingkat kedua perilaku dikuasai oleh kemampuan dan akal.

Di samping itu, perilaku bukanlah karakteristik yang kekal sifatnya melainkan dapat berubah, diubah dan berkembang sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya (Sadiman, 1999). Hal ini sesuai dengan pendapat Mc.Conell, bahwa perilaku merupakan karakteristik individu dalam menyesuaikan diri Di samping itu, perilaku bukanlah karakteristik yang kekal sifatnya melainkan dapat berubah, diubah dan berkembang sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya (Sadiman, 1999). Hal ini sesuai dengan pendapat Mc.Conell, bahwa perilaku merupakan karakteristik individu dalam menyesuaikan diri

Tetapi, menurut Solomon (Sumarwan, 2003:147), perilaku (behavior) merupakan komponen sikap yang menggambarkan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan obyek sikap. Oleh karena itu, perilaku seseorang dapat diramalkan dari sikap yang ditampilkannya, meskipun dalam kenyataan tidak selalu sikap tertentu berakhir dengan perilaku yang sesuai dengan sikap tersebut. Misalnya, tentang perilaku membuang sampah, diketahui bahwa sikap terhadap membuang sampah di kalangan sejumlah responden di Jakarta berkorelasi positif dengan taraf pendidikan (semakin tinggi tingkat pendidikan semakin positif sikapnya pada membuang sampah secara benar), akan tetapi dalam praktiknya, tidak ada perbedaan antara yang berpendidikan dan yang kurang berpendidikan dalam hal perilaku membuang sampah. Kedua golongan itu sama-sama membuang sampah sembarangan (Sarwono, 1999: 237).

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku seseorang tidak selalu identik dengan sikap terhadap obyek tertentu. Namun demikian bukan berarti temuan tersebut menunjukkan bukti tidak adanya keeratan hubungan antara perilaku dan sikap. Sebab, masih ada temuan lain yang menunjukkan bahwa sikap dapat menentukan perilaku jika ia muncul atau dimunculkan dalam kesadaran seseorang (Sarwono (1999:240).

Lagi pula, seseorang merasa, berpikir, bersikap dan bertindak karena Lagi pula, seseorang merasa, berpikir, bersikap dan bertindak karena

Adapun perilaku ekonomi (keluarga dan masyarakat) merupakan obyek kajian ilmu ekonomi, yaitu untuk memperoleh jawaban dari persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan antara kebutuhan manusia dan alat pemuasnya. Kebutuhan manusia itu timbul dari hasrat manusia, semakin tinggi tingkat budaya manusia semakin besar dan bervariasi pula kebutuhannya. Oleh karena itu, Sulistyo dan Widayat (1986:5) mendefinisikan perilaku ekonomi adalah perilaku yang timbul sebagai tanggapan terhadap dorongan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan yang bersifat kebendaan.

Menurut Sulistyo dan Widayat (1986:6), sebagian kebutuhan kebendaan tersebut berakar pada kebutuhan manusia sebagai makhluk biologis, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sedang yang lain lagi berakar pada kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan lingkungan dan budaya masyarakatnya. Jadi kebutuhan itu mula-mula tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri, baru kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakatnya.

Dengan demikian perilaku ekonomi keluarga pada dasarnya menyangkut kegiatan ekonomi anggota keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup Dengan demikian perilaku ekonomi keluarga pada dasarnya menyangkut kegiatan ekonomi anggota keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup

Adapun yang dimaksud dengan barang adalah barang ekonomi, yaitu barang yang memerlukan usaha untuk memperolehnya, seperti sembako dan barang-barang industri yang tidak bisa dinikmati secara gratis seperti udara atau sinar matahari. Barang-barang ekonomi dapat pula dibedakan antara barang konsumsi (makanan, pakaian dan sepeda motor), dan barang modal (mesin, peralatan bengkel). Di samping itu terdapat pula penggolongan lain berdasarkan kepentingan barang tersebut dalam kehidupan manusia, yaitu barang inferior (seperti ikan asin dan ubi kayu), barang esensial (seperti sembako), barang normal (baju dan buku), dan barang mewah (mobil dan emas). Sedangkan jasa tidak berbentuk benda, ia merupakan layanan seseorang atau sesuatu barang yang akan memenuhi kebutuhan keluarga, seperti jasa pengasuhan anak, jasa angkutan, jasa kebersihan, jasa tukang cukur, tukang rias, dan siaran televisi yang memberikan hiburan (Sukirno, 1994:5-6).

Dengan demikian, perilaku ekonomi akan selalu dihadapkan pula pada masalah pokok ekonomi, yaitu masalah kelangkaan (scarcity), baik barang dan jasa yang tersedia maupun sumber daya untuk memperoleh barang dan jasa tersebut. Sebab, keinginan dan kebutuhan manusia relatif tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan tersebut relatif terbatas (Sukirno, 1994:5).

Oleh sebab itu, setiap individu ataupun keluarga tidak mungkin bisa mendapatkan semua yang diinginkan, atau bahkan yang dibutuhkan, maka dalam setiap kegiatan ekonomi pelaku harus membuat pilihan atau perioritas agar sumber-sumber daya yang tersedia dapat digunakan secara efisien untuk mewujudkan kesejahteraan (kepuasan) maksimum. Dengan kata lain, persoalan yang harus diselesaikan adalah dengan menggunakan pendapatan mereka, barang-barang apakah yang perlu dibeli dan berapakah jumlahnya agar pembelian dan penggunaan barang-barang tersebut akan memberikan kepuasan yang maksimum kepada diri dan keluarganya (Sukirno, 1994:8).

Namun harus pula dipahami, bahwa menurut Katona (Sjabadhyni & Wutun, 1999:22), perilaku ekonomi keluarga tidak hanya didorong oleh stimulus ekonomi semata, akan tetapi juga oleh peristiwa-peristiwa sosial lainnya. Ini artinya, Katona (sang tokoh utama yang mengembangkan psikologi ekonomi dan konsumen) memberikan wacana bahwa ruang lingkup perilaku ekonomi sangat luas, tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan yang secara jelas berlabel ekonomi, seperti belanja barang atau membayar ongkos jasa angkutan, tetapi kegiatan- kegiatan berlabel sosial pun selama mengandung konsekuensi ekonomi juga merupakan bentuk-bentuk perilaku ekonomi, seperti merayakan ulang tahun kelahiran, arisan, memberi kado pada perkawinan anak tetangga, pendidikan anak, dan lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini yang dimaksud dengan perilaku ekonomi keluarga adalah kegiatan anggota keluarga sebagai tindakan atas dorongan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidup keluarganya.

2.4.2.1. Perilaku Ekonomi Keluarga Berdasarkan Teori Peluang Bersaing

Teori peluang bersaing (comparative advantage) ini dikembangkan oleh Becker (1991:30-32) yang bertolak dari ide dasar bahwa penyatuan potensi suami dan istri dapat memberi keuntungan maksimal bagi keluarga melalui spesialisasi dalam pembagian kerja, pembelian barang (belanja), dan skala ekonomi. Karenanya menurut teori ini kesejahteraan (well-being) keluarga tergantung pada jumlah penghasilan dan komoditi yang dikonsumsi. Tetapi, Becker tidak hanya mengacu pada aneka macam barang yang dapat dikonsumsi, tetapi juga kelompok barang yang lebih luas seperti mainan anak-anak, barang- barang mewah, penataan ruangan, kesehatan, serta barang-barang untuk hadiah (kado), dan lainnya.

Menurut teori ini, anggota keluarga seharusnya menginvestasi jenis human capital yang mengarah pada spesialisasi yang berbeda sesuai dengan skill dan sumberdaya masing-masing. Spesialisasi ini akan sangat efisien dan meningkatkan investasi yang berdampak pada semakin efektif dan efisien dalam penggunaan waktu dan uang (Webley et al., 2001:79). Misalnya, jika istri memperoleh peluang bersaing (comparative advantage) dalam akses ekonomi (penghasilan istri jauh lebih tinggi daripada penghasilan suami), maka pekerjaan mengasuh anak maupun tugas-tugas domestik lainnya akan lebih efektif dan efisien bila dikerjakan oleh suami. Dengan perkataan lain bahwa salah satu dari suami atau istri meningkatkan pendapatan dengan mengembangkan ketrampilan lainnya agar semakin ahli dan produktif, sedangkan yang lainnya konsentrasi pada tugas-tugas rumah tangga.

Meskipun demikian, diakui bahwa banyak perilaku dalam keluarga yang berkarakter ekspresif sekaligus instrumental. Misalnya, memasak bagi keluarga adalah tugas penting tetapi juga sekaligus berarti ungkapan cinta. Bentuk ekpressif dan instrumental ini terkadang sulit diterima sebagai implikasi perilaku ekonomi dalam keluarga. Semua permasalahan keluarga seringkali dikaitkan dengan masalah uang. Padahal faktanya, uang merupakan sumber potensial dari ambiguity dan ambivalence (Webley et al., 2001:76).

Oleh karena itu teori “Peluang Bersaing” ini mendapat banyak kritik yang pada intinya juga mengabaikan tingkat keterbatasan yang lain. Seperti yang ditunjukkan oleh Belk (1995:62), bahwa keluarga bukan hanya sebagai unit pengambil keputusan konsumsi meskipun kehidupan keluarga itu ‘disibukkan’ oleh persoalan konsumsi. Belum lagi adanya tekanan normatif bahwa istri/ibu secara alami berperan dalam rumah tangga, sedangkan suami sebagai pemimpin dan pencari nafkah. Bahkan bukan rahasia lagi bahwa (di Inggris pun) masih terjadi diskriminasi gender di pasar kerja serta tekanan ideologi yang membuat laki-laki tidak mau melakukan tugas-tugas rumah tangga (Webley et al., 2001: 81). Oleh karena itu dalam konteks sosial dan ekonomi, tak heran jika suami memilih bekerja di luar rumah dan istri memilih untuk mengasuh anak, sehingga ketika istri memperoleh penghasilan yang lebih besar pun suami masih sulit merubah peran tradisionalnya. Meskipun demikian Berk & Berk (Webley et al., 2001:81) mengakui bahwa Becker dengan “model pembaharuan ekonomi rumah tangga” telah memberi sumbangan positif, yaitu keluarga bisa mencapai alokasi waktu dan sumber dana secara maksimal.

2.4.2.2. Perilaku Ekonomi Keluarga Berdasarkan Teori Utilitas

Pada hakikatnya seseorang membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa karena barang dan jasa yang dibelinya itu akan memberi kepuasan, manfaat atau guna. Kepuasan atau manfaat barang dan jasa tersebut dapat diperoleh secara langsung dari barang atau jasa itu sendiri, ataupun secara tidak langsung melalui orang lain. Seperti belanja makanan bisa memberikan kepuasan dan manfaat secara langsung, yaitu ketika dimakan rasanya lezat dan perutnya kenyang. Tetapi belanja perhiasan emas atau berlian baru memberi kepuasan bila dipuji dan dikagumi orang lain. Lagi pula kepuasan ini bersifat subyektif atau dalam ranah psikologis sehingga tidak dapat diukur secara kuntitatif kecuali dibandingkannya dengan nilai uang (Partadiredja, 1985:161). Jadi kepuasan yang diperoleh seseorang dari membelanjakan uangnya atau mengkonsumsi barang atau jasa itulah yang dinamakan nilaiguna atau utilitas (utility).

Menurut Sukirno (1994:152), nilaiguna (utilitas) tersebut dibedakan antara nilaiguna total (total utility) dan nilaiguna marginal (marginal utility). Nilaiguna total mengandung arti jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi sejumlah barang atau jasa tertentu. Sedangkan nilaiguna marginal berarti pertambahan atau pengurangan kepuasan sebagai akibat dari pertambahan (atau pengurangan) penggunaan satu unit barang tertentu.

Komparasi antara kedua macam nilaiguna tersebut melahirkan hipotesis utama dari teori utilitas, atau yang dikenal sebagai “hukum nilaiguna marginal yang semakin menurun”, yaitu bahwa tambahan nilaiguna yang akan diperoleh seseorang dari mengkonsumsi suatu barang akan menjadi semakin sedikit Komparasi antara kedua macam nilaiguna tersebut melahirkan hipotesis utama dari teori utilitas, atau yang dikenal sebagai “hukum nilaiguna marginal yang semakin menurun”, yaitu bahwa tambahan nilaiguna yang akan diperoleh seseorang dari mengkonsumsi suatu barang akan menjadi semakin sedikit

Hipotesis lain yang tidak kalah menariknya adalah bahwa “setiap orang (konsumen) akan memaksimumkan utilitasnya dengan tunduk kepada kendala anggaran (pendapatan) yang ada” (Arsyad, 2000:99). Karenanya dalam teori kurva indiferens (ordinal utility) salah satu hipotesisnya ada yang mengatakan bahwa “konsumen mempunyai suatu skala preferensi”, yaitu suatu sistem atau serangkaian kaidah dalam menentukan pilihan (Arsyad, 2000:102). Oleh karena itu, menurut teori ekonomi, orang akan membeli atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa sesuai dengan garis anggaran (budget line), yaitu garis yang menunjukkan jumlah dan mutu barang/jasa yang dapat dibeli dengan sejumlah pendapatan atau anggaran tertentu.

Dengan demikian, apabila kedua hipotesis tersebut selalu menjadi dasar dalam pengelolaan keuangan keluarga, terutama dalam penggunaan keuangan untuk membeli atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa, berarti perilaku ekonomi keluarga tersebut didasarkan pada teori utilitas. Keuntungannya adalah dalam kehidupan sehari-hari keluarga itu akan bisa membuat keputusan tentang Dengan demikian, apabila kedua hipotesis tersebut selalu menjadi dasar dalam pengelolaan keuangan keluarga, terutama dalam penggunaan keuangan untuk membeli atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa, berarti perilaku ekonomi keluarga tersebut didasarkan pada teori utilitas. Keuntungannya adalah dalam kehidupan sehari-hari keluarga itu akan bisa membuat keputusan tentang

Namun demikian pada praktiknya teori utilitas ini tidak sejalan dengan teori kepuasan yang menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara kepuasan yang diharapkan dengan kepuasan yang senyatanya diperoleh (Sumarwan, 2003:322), sekalipun keduanya sama dalam hal pemaksimuman kepuasan. Oleh sebab itulah model perilaku ekonomi yang mendasarkan pada kepuasan (utility) banyak mendapat kritik. Contoh Sen (Webley et al., 2001:81) mengkritik bahwa perilaku tersebut tidak realistis. Lagi pula, kepuasan itu bersifat subyektif (pada ranah psikologis) sehingga seseorang konsumen akan sulit membedakan antara barang atau jasa yang dibutuhkan dengan yang diinginkan.