KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA THE STATUS OF THE MEMBERS OF THE POLICE FORCE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN UNDANG UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA
KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA THE STATUS OF THE MEMBERS OF THE POLICE FORCE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN UNDANG UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA
Dwi Andayani Budisetyowati Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jl. S. Parman No.1 Jakarta Barat 11440 e-mail: [email protected]
(Diterima 11 April 2017, Direvisi 21 April 2017, Disetujui 15 Juni 2017) Abstrak
Masalah administrasi kelembagaan di lembaga kepolisian nasional seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon bersifat dinamis, merupakan bagian dari pembangunan yang berjalan secara sistematis, berkelanjutan dan terus berlanjut secara internal sebagai pertanda perkembangan institusi kepolisian nasional indonesia. Penulisan ini bertujuan untuk bagaimana mengidentiikasi Kedudukan Pegawai Negeri Polisi dalam UU ASN. Metodenya penelitian hukum normatif dengan menggunakan teori harmonisasi yang mengacu pada prinsip- prinsip preferensi hukum seperti prinsip Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat legi generali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan Pegawai Negeri Polisi adalah berdasarkan UU ASN, yaitu tentang pemberhentiannya, pengangkatan, mutasi dan aturan eselon, tidak lagi mengacu pada UU Kepolisian dan Peraturan Kapolri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai peraturan institusi administratif di Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon harus didasarkan pada UU ASN.
Kata kunci: Kedudukan Hukum, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, UU-ASN
Abstract
Institutional administration such as pension, appointment, mutation, and echelon, are parts of the systematic ongoing development and as the sign of the growth of the Indonesian police institution. The purpose of the article is to identify the status of the members of the Police Force of the Republic of Indonesia in UU ASN. Normative law method was conducted using harmonization theory that refers to law priciples such as Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat legi generali. The results shown that the status of the members of the
Police Force of the Republic of Indonesia as civil servant, such as pension, appointment, mutation, and echelon, was no longer referred to UU Kepolisian UU and Peraturan Kapolri, but to UU ASN. This study concluded that peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia in regards with institution administrations have to be referred to UU ASN.
Keywords: law status, ASN, police force, UU ASN
PENDAHULUAN
rintahan yang ada disetiap lembaga negara. Setidaknya dengan adanya pembangunan
Salah satu ukuran keberhasilan pem- yang baik terhadap menajemen-manajemen bangunan nasional adalah ditentukan oleh
administrasi pemerintahan dilembaga banyaknya pembangunan infrastruktur.
negara, maka tujuan negara khususnya Pembangunan infrastruktur yang dimaksud
untuk menciptakan “pelayanan publik disini bukanlah pembangunan infrastruktur
(public service)” yang berkualitas seperti jalan atau gedung gedung tinggi yang
yang dikumukakan oleh Deming dalam ada, akan tetapi yang dimaksud penulis
Razak (2013) serta menciptakan “aparatur adalah pembangunan infrastruktur terhadap
sipil negara/pejabat administrasi negara” manajemen-manajemen administrasi peme-
yang profesional dalam menjalankan
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
tugas, fungsi dan wewenang akan lebih mudah terealisasi. Menurut Hartini (2008), pentingnya keberadaan kepegawaian dalam fungsinya sebagai bagian dari pemerintah yang membawa komponen kebijaksanaan kebijaksanaan atau peraturan peraturan.
Indonesia merupakan negara ber- kembang yang juga saat ini tengah melakukan pembangunan infrastruktur terhadap manajemen-manajemen administrasi peme- rintahan untuk menciptakan peningkatan kualitas pelayanan publik dan menciptakan aparatur sipil negara/pejabat administrasi negara yang profesional dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan cara membuat dan mengesahkan Undang- Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Diharapkan dengan adanya undang-undang tersebut maka kedepannya masalah-masalah administrasi pemerintahan yang tumpang tinding kewenangan antara lembaga negara atau masalah-masalah teknis administrasi seperti pengangkatan serta mutasi pejabat administrasi negara sudah tidak menjadi masalah lagi. Akan tetapi, hal tersebut menurut penulis tidak dapat terealisasi sepenuhnya dikarenakan pasca lahirnya UU ASN tersebut banyak menimbulkan masalah hukum baru yang salah satunya terkait “kedudukan polisi sebagai aparatur sipil negara yang berada dalam ruang lingkup institusi kepolisian apakah tunduk pada UU ASN atau akan tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian).”
Dari aspek hukum administrasi negara, polisi sebagai aparatur sipil negara yang ada di institusi kepolisian merupakan hal yang menarik penulis teliti khususnya terkait kedudukannya sebagai aparatur sipil negara dikarekan pasca perubahan kedua UUD 45 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No.VI/ MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/ MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan wewenang Institusi Kepolisian serta pemisahan kelembagaan TNI dan Kepolisian sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. UUD 45 ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan wewenang serta pelaksanaan tugas Kepolisian sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang
adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Pasca Orde Baru Negara menurut Sutrisno (2016) berupaya menempatkan Kepolisian pada posisi kompatabel dengan tuntutan demokrasi. Sesuai dengan UUD 45 pada perubahan kedua, Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Polri secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi.
Oleh karena berdasarkan hal tersebut diatas, maka sangat wajar jika setelah pasca reformasi ada sebuah harapan baru yang diinginkan terjadi di lingkungan kepolisian pasca adanya pemisahan antara Kepolisian dan TNI yaitu adanya perbaikan tata kelola manajemen administrasi pemerintahan yang tidak tumpang tindih antara aturan- aturan hukum, sumber sumber hukum administrasinya jelas.
Salah satu permasalahan yang muncul pasca lahirnya UU ASN di lingkungan institusi kepolisian adalah terkait mutasi jabatan. Menurut Yusuf (2016) didalam internal kepolisian permasalahan mutasi jabatan adalah merupakan dinamika organisasi sebagai dari pembinaan yang senantiasa berlangsung secara sistematis dan berlanjut serta dilaksanakan secara konsisten pada lingkup internal kepolisian yang dilaksanakan sebagai wujud pengembangan sebuah organisasi. Mutasi atau pergeseran tempat penugasan merupakan bentuk pengembangan karir para perwira, karena para perwira perlu penyegaran atau promosi jabatan sehingga karir dapat meningkat sesuai dengan kinerja dan kepangkatan yang disandangnya. Sedangkan menurut Abdullahsalam (2014) mutasi jabatan merupakan dinamika organisasi, sebagai bagian dari pembinaan yang senantiasa berlangsung secara sistematis dan ber- kelanjutan serta dilaksanakan secara konsisten pada lingkup internal kepolisian yang dilaksanakan sebagi wujud pengem- bangan sebuah organisasi. Guna menyikapi berbagai tantangan, tuntutan dan harapan
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Dwi Andayani Budisetyowati)
masyarakat tersebut, maka semakin jelas bahwa tugas kepolisian kedepan tidaklah ringan, baik dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta masalah hukum yang harus dikelola dengan seksama, sehingga tidak menimbulkan ekses ter- jadinya gangguan kamtibmas, maka dari itu diperlukan langkah-langkah serta penanganan yang cepat dan tepat dalam satuan operasional kepolisian di wilayah yang mengedepankan komitmen polri dengan masyarakat dalam rangka pemecahan dan penanggulangan masalah sosial. Menurut Suyono (2013), adanya pergantian jabatan dalam lingkup Kepolisian diharapkan akan tetap terpelihara daya manajerial dan daya operasional yang handal dalam organisasi Polri sehingga mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai fungsi dan peranannya selaku Pelindung, Pengayom dan Pelayanan Masyarakat serta sebagai penegak Hukum yang professional. Terkait dengan upaya mengubah paradigma tata pemerintahan atau birokrasi, Thoha (2009) menyatakan ada tiga hal yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia yakni dengan mewujudkan perpaduan tiga unsur pokok, yaitu: pertama, kelembagaan, dalam hal ini perlu adanya pengaturan kelembagaan (structural setting) dalam birokrasi di Indonesia. Perencanaan kelembagaan birokrasi Indonesia perlu ditata dan diperbaiki, terutama terkait dengan jumlah lembaga dan jumlah pegawai sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu, perlu telaahan terhadap kelembagaan agar tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) diantara lembaga-lembaga yang dibentuk. Kedua, sistem, yakni sistem yang digunakan dalam menjalankan fungsi-fungsi lembaga- lembaga pemerintahan. Dan, ketiga, sumber daya manusia atau aparatur pemerintah, dalam hal ini adalah kualitas aparaturnya dan juga pola perekrutan aparatur yang harus mendasarkan pada standar kebutuhan pegawai .
Permasalahan terkait mutasi tersebut semakin menimbulkan suatu kepastian hukum apabila dikaitkan dengan UU ASN, apakah Kepolisian sebagai Institusi Negara tunduk pada UU ASN atau tunduk kepada UU Kepolisian serta peraturan Kapolri terkait dengan Administrasi di lingkungan Institusi kepolisian. Ada yang beranggapan jika seseorang menjadi anggota kepolisian maka secara hukum administrasi negara terkait pengangkatan, pemberhentian serta mutasinya sebagai anggota kepolisian ter-
sebut yang berlaku kepadanya adalah UU ASN, meskipun untuk menjadi anggota Kepolisian ada mekanisme admnistrasi internal dilingkungan institusi kepolisian itu sendiri. Berbeda hal tersebut apabila dikaitkan dengan administrasi jenjang kepangkatan dari anggota kepolisian tersebut yang dimana tetap tunduk dan patuh dengan hukum internal yang berada pada kepolisian itu sendiri dan UU Kepolisian. Oleh karena hal tersebut, maka melalui tulisan ini, penulis mencoba melakukan penelitian terkait dengan bagaimana kedudukan kepolisian dalam UU ASN dikarenakan apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU Kepegawaian) maka Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dalam hal ini merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu (1) Pegawai Negeri Sipil (PNS), (2) Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan termasuk juga (3) Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Dari latar belakang yang diuarikan diatas, maka penulis mengajukan per- masalahan dalam penulisan ini, yaitu Bagaimanakan kedudukan hukum aparatur Kepolisian Republik Indonesia setelah berlakunya UU ASN?
PEMBAHASAN Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang dimaksud disini adalah teori-teori serta asas-asas yang digunakan oleh penulis dalam mengolah dan menganalisa penelitian terkait kedudukan kepolisian dalam UU ASN yang diuraikan sebagai berikut:
1. Teori Peraturan Perundang-Undangan Teori peraturan perundang-undangan adalah sebuah teori yang digunakan penulis untuk menganalisis apakah UU ASN tersebut telah memenuhi aspek formil dan aspek materiil terkait pembentukan peraturan perundang- undangan sehingga dapat dikatakan sebagai peraturan yang mengingat secara sah dan memenuhi kaidah-kaidah asas- asas pembentukan peratutan perundang- undangan. Peraturan Perundang-undangan menurut Indrati (2007) adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
Menurut Vlies dalam Yuliandri (2009) en duidelijke systematiek), dalam pembentukan peraturan per-
(2) Asas tentang dapat dikenali (het undang-undangan ada beberapa asas
beginselen van dekenbaarheid) formal dan material yang harus perhatikan
(3) Asas kepastian hukum (het antara lain sebagai berikut:
rechts zekerheidsbeginselen)
a. Asas Formal (4) Asas pelaksanaan hukum, (5) asas
1) Asas tujuan yang jelas; perlakuan yang sama dalam hokum
2) Asas lembaga yang tepat; (het rechtsgelijkheids beginsel) sesuai
3) Asas perlunya pengaturan; keadaan individu (het beginselen van
4) Asas dapat dilaksanakan; individuele rechtsbedeling).
5) Asas konsensus.
c. Adapun Kremes dalam Fahmal
b. Asas Material (2008), menemukakan bahwa
1) Asas terminologi dan sistematika asas-asas pembentukan peraturan yang benar;
perundang-undangan meliputi:
2) Asas dapat dikenali; (a) Susunan peraturan (Form der
3) Asas perlakuan yang sama di regelung) (b) Metode pembentukan depan hukum;
peraturan (Metode der ausorbeitung
4) Asas kepastian hukum; der regelung); (c) Bentuk dan isi
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai peraturan (Inhalt der regelung); dengan keadaan individu.
(d) Prosedur dan proses pembentukan Sedangkan menurut Hadjon dalam
peraturan ( Verforen der Ausarbeitung Yuliandri (2009) menjelaskan jika pem-
der regelung).
bentukan peraturan perundang-undangan Sedangkan apabila mengacu pada asas- harus dilakukan berdasarkan asas-asas
asas pembentukan peraturan perundang- pembentukan peraturan perundang-
undangan telah diatur dalam Pasal undangan yang baik (algemene
5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun beginselen van behoorlijke regelgeving).
2011 tentang Pembentukan Peraturan Menurut Attamimi (1990) asas-asas
perundang-undangan yang menyatakan yang melandasi pembentukan suatu
dalam membentuk peraturan perundang- peraturan perundang-undangan yang
undangan harus dilakukan berdasarkan dapat mewujudkan hakikat perundang-
pada asas pembentukan peraturan per- undangan dikemukakan oleh beberapa
undang-undangan yang baik, yang ahli antara lain:
meliputi: (a) Kejelasan tujuan;
a. Attamimi, berpendapat bahwa (b) Kelembagaan atau organ pembentuk asas-asas pembentukan peraturan
yang tepat; (c) Kesesuaian antara perundang-undangan yang patut
jenis dan materi muatan; (d) Dapat terdiri atas, cita hukum Indonesia,
dilaksanakan; (e) Kedayagunaan dan Asas Negara berdasar atas hukum,
kehasilgunaan; (f) Kejelasan rumusan; asas pemerintahan berdasar sistem
dan (g) Keterbukaan. konstitusi dan asas-asas lainnya.
Dengan memperhatikan asas-asas
b. Vlies, membedakan asas-asas pem- pembentukan peraturan perundang- bentukan peraturan perundang-
undangan yang merupakan dasar atau undangan atas asas formal dan asas
landasan yang telah dijelaskan diatas, materil. Asas-asas yang formal
maka dapat disimpulkan jika apabila meliputi: (1) Asas tujuan yang
UU ASN telah memenuhi aspek formil jelas (beginselen van duidelijke
dan aspek materiil dari apa yang telah doelstelling), (2) Asas organ/lembaga
dikemukakan diatas, maka UU ASN sah yang tepat (beginselen van het juiste
dan mengikat menurut hukum. organ); (3) Asas perlunya pengaturan ( het noodzakelijkheids beginselen);
2. Teori Harmonisasi Peraturan Perundang-
(4) Asas dapatnya dilaksanakan (het
Undangan
beginselen van uitvoerbaarheid); dan Teori harmonisasi peraturan perundang- (5) Asas konsensus (het beginselen
undangan digunakan penulis untuk van de consensus).
mengetahui apakah penerapan UU Adapun Asas-asas yang materil
ASN tidak bertentangan dengan UU meliputi: (1) Asas tentang terminologi
Kepolisian yang mana ke-2 (dua) dan sistematika yang benar (het
undang-undang tersebut sehirarki dan beginselen van duidelijketerminologie
untuk menganalisis apabila terjadi
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Dwi Andayani Budisetyowati)
pertentangan maka undang-undang mengalahkan peraturan perundang- mana yang perlu didahulukan untuk
undangan yang lebih rendah, dilaksanakan.
sehingga dalam penyusunannya Harmonisasi hukum menurut penulis
pembentuk peraturan perundang- cukuplah penting khususnya negara yang
undangan harus memastikan bahwa memiliki sistem hukum yang perpegang
materi yang diatur dalam peraturan teguh pada hukum tertulis seperti
perundang-undangan yang dibawah negara-negara yang menganut civil law
tidak bertentangan dengan peraturan seperti Indonesia. Banyaknya hukum
perundang-undangan di atasnya; tertulis yang dibuat tersebut dengan
b. Asas Lex specialis derogat legi situasi politik yang sering berganti
generali adalah asas penaf- membawa konsekuensi rawan terjadinya
siran hukum yang menyatakan disharmonisasi hukum. Menurut
bahwa hukum yang bersifat khusus Goesniadhie (2010) menjelaskan potensi
(lex specialis) mengesampingkan terjadinya disharmonisasi tercermin oleh
hukum yang bersifat umum (lex adanya faktor-faktor sebagai berikut :
generalis);
a. Jumlah peraturan perundang-
c. Asas Lex Posterior Derogat Legi undangan terlalu banyak yang di-
Priori adalah asas yang berlaku pada berlakukan;
peraturan yang sederajat, peraturan
b. Perbedaan kepentingan dan penaf- yang paling baru melumpuhkan siran;
peraturan yang lama. Jadi peraturan
c. Kesenjangan antara pemahaman yang telah diganti dengan peraturan teknis dan pemahaman hukum
yang baru, secara otomatis dengan tentang tata pemerintahan yang baik;
asas ini peraturan yang lama tidak
d. Kendala hukum yang dihadapai
berlaku lagi.
dalam penerapan peraturan per- Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, undangundangan, yang terdiri dari
maka untuk menentukan bagaimana cara mekanisme pengaturan, administrasi
mengharmoniskan penerapan UU ASN agar pengaturan, antisipasi terhadap per-
tidak bertentangan dengan UU Kepolisian ubahan, dan penegakan hukum;
maka akan digunakan asas preverensi hukum
e. Hambatan hukum yang dihadapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. dalam penerapan peraturan per-
Penelitian ini merupakan penelitian undangundangan, yaitu yang berupa
hukum pendekatan doktrinal yang bersifat tumpang tindih kewenangan dan
normative seperti apa yang dikutip penulis benturan kepentingan;
dari Soekanto dan Mamudji (1990). Adapun Untuk mengatasi terjadinya disharmoni-
yang dapat dijadikan objek dalam penelitian sasi peraturan perundang-undangan
dengan pendekatan doktrinal yang bersifat maka dalam teori harmonisasi peraturan
normatif ini adalah data-data yang berupa perundang-undangan dikenal beberapa
bahan primer dan bahan hukum sekunder. asas yang dapat digunakan untuk
Penelitian ini dilakukan melalui studi mengatasi terjadinya disharmonisasi
kepustakaan (library research), penelitian norma yang biasa disebut dengan asas
studi kepustakaan atau yang bersifat preverensi yang dimana berarti bahwa
normatif hanya dengan membaca ataupun kehadiran asas tersebut bertujuan untuk
menganalisa bahan-bahan yang tertulis. mengatasi adanya (1) kekosongan
Adapun bahan hukum primer menurut hukum (leemten in het recht ), konlik
Marzuki (2011) yang digunakan terdiri dari antar norma hukum (antinomi hukum)
peraturan perundang-undangan, catatan dan norma yang kabur (vage normen)
resmi, risalah dalam pembuatan perundang- atau norma tidak jelas. Adapun dalam
undangan dan putusan hakim. Dalam menghadapi konlik antar norma hukum
penulisan ini penulis menggunakan bahan (antinomi hukum), maka berlakulah
hukum primer berupa UU ASN dan UU asas-asas penyelesaian konflik (asas
Kepolisian serta bahan hukum sekunder preverensi) yang dimana dijelaskan
seperti buku-buku yang menjelaskan terkait penulis sebagai berikut:
dengan hukum administrasi Negara, hukum
a. Asas lex superiori delogat legi kepegawaian dan hukum administrasi inferiori adalah asas yang menyatakan
kepolisian.
peraturan perundang-undangan yang Sedangkan Analisis data yang di- lebih tinggi mengesampingkan/
gunakan dalam penelitian ini adalah analisis
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
data kualitatif normatif, yaitu data yang diperoleh setelah disusun secara sistematis, untuk kemudian dianalisis secara kualitatif normatif dalam bentuk uraian, agar dapat ditarik kesimpulan untuk dapat dicapai kejelasan mengenai permasalahan yang akan diteliti. Hasil penelitian kepustakaan akan dipergunakan untuk menganalisis data, kemudian data dianalisis secara kualitatif normatif untuk menjawab permasalahan dalam penulisan penelitian ini.
Analisis Data dan Hasil Penelitian Kedudukan Hukum AparaturKepolisian
Republik Indonesia Setelah Berlakunya UU ASN
Reformasi 1998 sebenarnya cukup memberikan dampak besar terhadap perubahan sistem yang ada disetiap lembaga negara yang masih ada. Salah satu lembaga negara yang merasakan dampak perubahan yang besar terhadap sistemnya adalah Institusi Kepolisian yang mana pasca reformasi baik itu dari sisi kedudukan (status), kewenangan dan administrasi lembaganya mengalami perbuhan yang cukup besar yang mana ditandari dengan disahkan dan diberlakukannya UU Kepolisian dalam Undang-Undang Kepolisian dijelaskan untuk kedudukan (status) hukumnya institusi Kepolisian tidak lagi ada dibawah TNI, kemudian dari aspek kewenangan institusi kepolisian saat ini mempunyai kewenangan dalam memelihara keamanan dan keter- tiban masyarakat, penegakan hukum, per- lindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat jauh lebih independen (mandiri) dan bebas dari intervensi manapun karena dalam menjalankan wewenangnya institusi kepolisian tidak tunduk pada presiden sebagai pihak yang mengangkat serta bertanggungjawab kepadanya akan tetapi tunduk dan patuh terhadap hukum yang berlaku. Sedangkan dari aspek administrasi yaitu pengangkatan, pemberhentian, mutasi serta kepangkatan diserahkan sepenuhnya kepada institusi kepolisian dalam hal ini pimpinan institusi kepolisian yaitu kapolri.
Terkait kedudukan hukum institusi kepolisian dalan hal masalah administrasi kelembagaan ditangani langsung oleh kapolri dengan mengeluarkan Peraturan Kapolri terkait dengan pengangkatan, pemberhentian, mutasi serta kepangkatan aparaturnya sehingga hal tersebut menjadi wewenang dari kapolri sebagai pimpinan tertinggi pada ruang lingkup kepolisian.
akan tetapi pasca lahirnya UU ASN tersebut maka seharusnya ruang lingkup administrasi seluruh lembaga negara termasuk institusi kepolisian tunduk dan patuh kepada undang-undang aparatur sipil negara, karena bagaimanapun aparatur kepolisian masuk dalam kategori PNS yang mana secara tidak langsung dapat ditafsirkan masuk dalam ranah ASN yang tunduk pada UU ASN. Oleh karena itu maka terhadap wewenang administrasi tersebut seharusnya tidak lagi menjadi wewenang diskresi dari institusi kepolisian, akan tetapi wajib mengacu pada UU ASN , namun hal tersebut belum terealisasi sepenuhnya karena saat ini masih banyak peraturan kapolri yang berdasar pada UU Kepolisian masih berlaku dan belum dicabut sehingga menurut penulis dapat berpotensi bertentangan dengan UU ASN.
Salah satu aturan pada wilayah administrasi yaitu terkait mutasi jabatan dilingkungan polri saat ini diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia.dalam peraturan kapolri tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 9 disebutkan “Mutasi Jabatan adalah pemindahan Anggota dari suatu jabatan ke jabatan yang lain, baik yang sifatnya promosi, setara maupun demosi.” Kemudian disebutkan dalam Pasal
4 disebutkan mutasi dilaksanakan dengan pertimbangan (a) penempatan Anggota yang tepat pada jabatan yang tepat sesuai kompetensi dan prestasi tugas yang dimiliki ( Merit System); (b) arah pemanfaatan pembinaan karier Anggota; (c) reward and punishment; (d) keseimbangan antara kepentingan organisasi dan Anggota; dan (e) Senioritas tanpa mengorbankan kualitas. Serta yang perlu dijelaskan adalah Prinsip- prinsip mutasi sebelum melakukan mutasi yang tertera dalam Pasal 3 yaitu (a) Prinsip Legalitas, yaitu proses mutasi jabatan di- laksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku; (b) Prinsip Akuntabel, yaitu proses pelaksanaan mutasi anggota dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku; (c) Prinsip Keadilan, yaitu proses mutasi dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan dan hak yang sama bagi setiap anggota tanpa adanya diskriminasi; (d) Transparan, yaitu proses mutasi anggota dilaksanakan secara jelas mulai dari perencanaan sampai dengan sidang dewan pertimbangan karier; (e) Prinsip Objektif, yaitu proses mutasi anggota dilaksanakan dengan mengedepankan kompetensi individu anggota, kompetensi
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Dwi Andayani Budisetyowati)
jabatan, dan persyaratan yang ditetapkan; dan (f) Prinsip Anti KKN, yaitu proses mutasi dilaksanakan tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dikarenakan proses mutasi tersebut masih merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 16 tahun 2012 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia sebagai- mana penjelasan diatas, maka yang menjadi pertanyaan saat ini adalah bagaimana jika secara administrasi aparatur kepolisian tersebut wajib dimutasi berdasarkan UU ASN karena melakukan pelanggaran aturan dalam ASN sedangkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia tersebut ditafsirkan tidak melakukan pelanggaran atau tidak masuk dalam kate- gori pelanggaran. Menurut hukum yang manakah yang didahulukan apakah aturan UU ASN ataukah Peraturan Kapolri Nomor
16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia yang berdasarkan UU Kepolisian.
Menurut penulis, seharusnya pasca diberlakukannya UU ASN segala peraturan kapolri terkait dengan pengangkatan, pem- berhentian, mutasi serta kepangkatan disesuaikan dengan UU ASN karena dikhawatirkan kedepannya terjadi dishar- monisasi (pertentangan norma hukum). Oleh karena itu, memalui tulisan ini penulis mencoba menerangkan jika ter- jadi pertentangan norma hukum atau dis- harmonisasi hukum antara UU ASN dengan UU Kepolisian dengan Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia yang manakah didahulukan dan diutamakan. Sudah dijelaskan melalui teori dan asas- asas yang digambarkan penulis sebelumnya, bahwa apabila terjadi pertentangan norma (disharmonisasi) maka menurut hukum asas preverensi merupakan asas yang di- berlakukan untuk mengatasi pertentangan norma atau kekosongan hukum tersebut. Asas preverensi tersebut terdiri dari 3 (tiga) asas yang mana terkait permasalahan ini memakai 2 (dua) asas yaitu (a) Asas lex superiori delogat legi inferiori, dan Asas Lex specialis derogat legi generali.
Apabila mengacu pada Asas lex superiori delogat legi inferiori yang me- ngandung pengertian merupakan asas yang menyatakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka berdasarkan hal
tersebut maka semua peraturan Kapolri terkait dengan pengangkatan, pemberhentian, mutasi dan pengangkatan termasuk Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia sepanjang peraturan tersebut bertentangan dengan norma hukum yang ada dalam UU ASN, maka menurut hukum Peraturan Kapolri terkait dengan pengangkatan, pemberhentian, mutasi dan pengangkatan termasuk Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik dikesampingkan karena berdasarkan teori peraturan perundang-undangan serta hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan menyatakan Undang-Undang merupakan produk hukum yang lebih tinggi daripada peraturan kapolri.
Sedangkan apabila mengacu pada Asas Lex specialis derogat legi generali yang merupakan asas yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), maka dapat ditarik kesimpulan jika UU ASN lebih khusus (lex specialis) apabila dibandingkan dengan UU Kepolisian yang dapat ditafsirkan merupakan peraturan hukum yang sifatnya umum (lex generalis) khususnya terkait pengaturan wilayah peraturan administrasi kelembagaan sehingga berdasarkan hal tersebut maka UU ASN mengesampingkan UU Kepolisian khususnya mengenai pengaturan wilayah peraturan administrasi kelembagaan.
Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu ada perubahan khususnya terkait penyesuaian peraturan- peraturan Kapolri mengenai masalah pengangkatan, pemberhentian, mutasi dan kepangkatan yang perlu disesuaikan dengan UU ASN sehingga tidak menimbulkan multi tafsir terkait peraturan mana yang didahulukan. Karena apabila selalu terjadi multi tafsir terhadap peraturan tersebut maka dikhawatirkan akan mudah terjadi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) nantinya yang dilakukan oleh Aparatur Kepolisian itu sendiri yang mengajukan gugatan terhadap institusinya apabila proses mutasinya atau pengangkatan atau pemberhentiannya menurutnya tidak bertentangan dengan UU ASN sedangkan menurut Institusi Kepolisiannya bertentangan dengan UU Kepolisian dan Peraturan-Peraturan Kapolri terkait pengangkatan, pemberhantian dan mutasi.
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
Sebenarnya apabila ditafsirkan maksud dan tujuan UU ASN pada prinsipnya menyatakan kedudukan Institusi Kepolisian khususnya wilayah administrasi seperti mekanisme pengangkatan, pemberhentian serta mutasinya sebagai anggota kepolisian tersebut yang berlaku kepadanya adalah UU ASN, meskipun untuk menjadi anggota Kepolisian ada mekanisme admnistrasi internal dilingkungan institusi kepolisian itu sendiri. Berbeda hal tersebut apabila dikaitkan dengan administrasi jenjang kepangkatan dari anggota kepolisian ter- sebut yang dimana tetap tunduk dan patuh dengan UU Kepolisian serta dengan hukum internal (peraturan kapolri) yang berada pada kepolisian itu sendiri.
PENUTUP Simpulan
Penulis berkesimpulan kedudukan hukum kepolisian pasca lahirnya UU ASN adalah tetap berpatokan serta mengacu pada UU ASN khususnya mengenai wilayah administrasi kelembagaan seperti terkait dengan pengangkatan, pemberhentian serta mutasi yang mana berdasarkan asas preverensi hukum yaitu (a) apabila mengacu pada Asas lex superiori delogat legi inferiori, maka segala peraturan kapolri yang terkait masalah administrasi seperti pengangkatan, pemberhentian serta kepangkatan sepanjang bertentangan dengan UU ASN maka peraturan kapolri tersebut dikesampingkan dan dinyatakan tidak ber- laku. Sedangkan (b) apabila mengacu pada Asas Lex specialis derogat legi generali maka dapat disimpulkan jika UU ASN lebih khusus (lex specialis) apabila dibandingkan dengan UU Kepolisian yang dapat ditafsirkan merupakan peraturan hukum yang sifatnya umum (lex generalis) khususnya terkait pengaturan wilayah peraturan administrasi kelembagaan.
Saran
Adapun saran dari penulis yaitu agar seluruh peraturan kapolri terkait dengan administrasi kelembagaan seperti peraturan mengenai pengangkatan, pemberhentian, mutasi serta kepangkatan agar segera direvisi dan disesuaikan dengan UU ASN agar kedepannya tidak menimbulkan per- tentangaan norma yang dimana dapat meminalisir terjadinya gugatan di PTUN yang dilakukan oleh aparatur kepolisian
terhadap institusi kepolisian karena masalah penafsiran hukum yang mana didahulukan apakah UU ASN ataukan peraturan- peraturan kapolri.