Hambatan Perencanaan Pegawai Negeri Sipil

Hambatan Perencanaan Pegawai Negeri Sipil

Banyak regulasi yang tumpang tindih mengenai perencanaan PNS, menyebabkan informasi dari pemerintah pusat kurang tersosialisasi ke daerah dan ada regulasi dari pusat yang tidak sesuai/bertolak belakang dengan regulasi yang ada di daerah. Selain itu regulasi yang diambil pemerintah pusat dinilai menghambat upaya perencanaan PNS di instansi pemerintah yaitu adanya kebijakan moratorium CPNS, karena dengan diberlakukannya moratorium CPNS, maka instansi pemerintah mengalami kesulitan dalam merencanakan PNS, apalagi pada saat yang bersamaan gelombang PNS yang pensiun terus berkurang secara alami.

Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Study Kasus Jabatan Fungsional Tertentu (Novi Savarianti Fahrani)

Adanya bebarapa regulasi yang tidak sinergi antara satu dengan yang lainnya, seperti Permenpan RB Nomor 26 Tahun 2011 dengan permendikanas dan permenkes tentang Perhitungan Kebutuhan Tenaga Pendidik dan Tenaga Kesehatan. Dalam Permenpan tersebut dikatakan bahwa ke- butuhan guru SD (guru kelas) berdasarkan Rombongan Belajar (rombel), sedangkan kebutuhan kepala sekolah, guru agama dan guru sekolah dihitung berdasarkan jumlah sekolah, ketika jumlah rombelnya besar seperti di BPP ada dalam 1 SD memiliki rombel sampai 18 (kelas I s.d. VI) tidak mungkin membutuhkan 1 guru agama + 1 guru olahraga, sehingga dalam perhitungan kebutuhan guru dan tenaga kesehatan tetap menggunakan acuan permendiknas dan permenkes.

Adanya perbedaan format perencanaan (Anjab dan ABK) antara yang ditetapkan oleh Menpan dengan yang ditetapkan oleh BKN dan Kemendagri, menyebabkan ketiga belas instansi pemerintah yang men- jadi lokus penelitian ini menjadi terbebani dalam menyusun perencanaan PNS. Karena mereka harus membuat perencanaan PNS dengan ketiga format tersebut, yaitu format yang dikeluarkan oleh Menpan, BKN dan juga Kemendagri.

Format yang ditetapkan oleh Kemen- dagri merupakan suatu keharusan bagi instansi pemerintah khususnya pemerintah daerah (Pemda), karena aturan dalam per- mendagri mengenai analisa jabatan yang mengharuskan instansi daerah melaporkan hasil Anjab dan ABK dengan menggunakan format yang telah ditetapkan oleh Kemendagri.

Sedangkan untuk format yang di- tetapkan oleh Kemenpan dan juga BKN, terkait dengan pengajuan formasi PNS ke BKN dan Menpan. Pengajuan formasi ke BKN tentunya menggunakan format yang telah ditetapkan oleh BKN dan untuk pengajuan formasi ke Menpan tentunya juga menggunakan format yang telah ditetapkan oleh Menpan, karena apabila tidak meng- gunakan format yang telah ditentukan oleh ketiga instansi tersebut maka pada saat

pengajuan dan pelaporan formasi ke masing- masing instansi akan ditolak oleh masing- masing instansi tersebut.

Hal ini tentu saja memberatkan, namun harus dilakukan apabila ingin mendapatkan formasi CPNS.

Penentuan jumlah formasi CPNS yang ditetapkan, Menpan memberikan jumlah formasi yang tidak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Selain itu Menpan juga memberikan suatu “saran” untuk mengajukan formasi dan jumlah tertentu sedangkan instansi pemerintah tidak membutuhkan formasi dan sejumlah yang disarankan tersebut. Hal ini terjadi di Kota Palembang, pada tahun 2011 mengajukan formasi Operator Komputer namun di “sarankan” mengajukan formasi Pranata Komputer sebanyak 50 formasi. Saat ini Kota Palembang kebingungan dikarenakan jumlah PNS yang menduduki formasi Pranata Komputer tersebut, setelah dilakukan Anjab dan ABK, Kota Palembang tidak membutuhkan Pranata Komputer sebanyak itu. Pada akhirnya menimbulkan suatu permasalahan lain di kemudian hari, yaitu Pranata Komputer tersebut tidak bisa ditempatkan di unit yang sesuai dengan formasinya sehingga pegawai tersebut tidak bisa naik pangkat karena kesulitan mencari angka kredit.

Selain itu terdapat juga formasi yang dibutuhkan instansi pemerintah kadang tidak ada pelamarnya, contoh: dokter spesialis, tetapi tidak ada pelamar namun tidak dapat dialihkan untuk formasi yang lain.

Minimnya kualitas pegawai dan komunikasi antara pegawai yang diberikan tanggung jawab dan BKD dalam melakukan perencanaan PNS terutama pendidikan dan kompetensi pegawai tersebut sehingga penyusunan Anjab dan ABK tidak dapat diimplementasikan secara baik di setiap SKPD walaupun pegawai tersebut telah didiklatkan mengenai Anjab dan ABK. Hal tersebut juga terlihat dari kurangnya pemahaman dari pegawai yang melakukan perencanaan PNS khususnya pada jabatan JFT seperti urgensi dari perencanaan, diklat, angka kredit dan tunjangan JFT, sehingga

Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 63 - 76

dianggap tidak SKPD tersebut tidak mem- butuhkan JFT.

Seperti yang terjadi di kota Bogor yang menyebabkan jumlah JFT selain guru dan dokter sangatlah minim. Sebagai contoh minimnya jumlah analis kepegawaian di BKPP Kota Bogor, yaitu baru satu orang untuk mengurusi permasalahan kepegawaian se-kota Bogor. Sedangkan beban pekerjaan yang dilakukan dengan jumlah pegawainya sangat terlihat gap-nya. Oleh karenanya kemampuan SDM dalam melakukan perencanaan PNS harus menjadi program prioritas bagi pengembangan perencanaan pegawai, karena kemampuan itu harus dapat diimplementasikan dalam hal perencanaan kepegawaian yang berjenjang.

Kurangnya perhatian pimpinan pada unit kerja pada saat penyusunan Anjab dan ABK sehingga hasil anjab dan ABK banyak yang tidak sesuai. Oleh karenanya Kepala SKPD terkadang secara internal memindahkan PNS sehingga tidak sesuai dengan formasi awal, yang lebih fatal ada formasi baru namun tidak sesuai dengan kualiikasi pendidikan dari pegawai yang bersangkutan. Selain itu masih kurangnya dukungan/komitmen dari pimpinan SKPD dan kepala daerah atau PPK dalam merencanakan PNS terutama JFT. Seperti halnya untuk mengisi formasi yang berjenjang yang sudah disusun berdasarkan aturan tidak dijalankan dengan baik dikarenakan syarat muatan politk, contohnya terdapat PNS yang sudah lulus sertiikasi JFT tetapi diusulkan untuk menduduki jabatan P2UPD.

Hal tersebut juga terlihat dari besaran tunjangan kinerja yang ditetapkan oleh PPK antara JFU dengan JFT tidak terlalu jauh dibandingkan Jabatan Administrasi, sehingga pegawai tersebut lebih memilih jabatan Administrasi atau JFU. Pemilihan JFU terkait dengan perbedaan tunjangan kinerja yang tidak terlalu jauh namun beban pekerjaan tidak seberat JFT.

Oleh karena itu dukungan pimpinan juga menjadi faktor tersendiri yang menghambat perencanaan PNS. Hal itu disebabkan adanya maksud politik dan juga karakter pimpinan itu sendiri, namun ada juga

kepala daerah atau PPK yang menentukan kebutuhan PNS yang sangat baik sesuai kompetensi (assesment) yang berjenjang agar pelayanan kepada masyarakat berjalan baik dan lancar.

Adanya keterbatasan dalam anggaran dikarenakan kemampuan belanja pegawai masing-masing instansi berbeda-beda dalam hal melakukan pengembangan pegawai khususnya JFT dan juga membayar tunjangan jabatannya. Banyaknya instansi dalam melakukan diklat JFT kurang anggarannya, sehingga untuk melaksanakan diklat tersebut menjadi terkendala.

Dalam menyikapi permasalahan ini terdapat dua solusi, yaitu pertama kekurangan anggaran untuk melakukan diklat fungsional ditanggung oleh calon JFT, atau calon JFT tersebut yang menutupi semua anggaran diklat fungsional tersebut. Hal ini dilakukan oleh para calon JFT terkait dengan pengembangan karir seorang calon JFT tersebut.

Selain permasalahan anggaran juga terdappat mengenai adanya kuota bagi peserta diklat disetiap tahunnya oleh instansi Pembina. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, instansi pemerintah dapat melakukan diklat mandiri yang penganggarannya tersebut dibebankan ke instansi pemerintah tersebut. Seperti halnya yang dilakukan oleh ketiga belas instansi pemerintah tersebut, untuk mendiklatkan JFT terkendala dengan anggaran diklat. Selain hal tersebut, diklat JFT belum menjadi prioritas karena masih mengutamakan diklat struktural, sehingga para JFT ini lebih diarahkan pada sebatas diklat secara singkat yaitu seminar, sosialisasi, bimtek, workshop dan lain sebagai bagian dari pengembangan pegawai khususnya JFT.

Dalam hal membayar tunjangan JFT juga menjadi permasalahan tersendiri apabila jumlah JFT banyak, hal ini akan berakibat pada keterbatasan belanja pegawai, dimana setiap tahun belanja pegawai selalu bertambah sedangkan DAU dari Pusat besarannya tetap sama/berkurang, sehingga belanja pegawai tergantung pada APBD, yang mengakibatkan kebutuhan belanja pegawai tidak dapat terwujud karena keterbatasan anggaran.

Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Study Kasus Jabatan Fungsional Tertentu (Novi Savarianti Fahrani)

Selain itu juga terdapat regulasi/ peraturan tentang yang mewajibkan untuk JFT harus lulus dalam diklat JFT baru bisa diangkat dalam JFT, sementara kesempatan melaksanakan diklat JFT tersebut di daerah sangat terbatas atau bisa dikatakan tidak diberikan peluang.