Urgensi Netralitas Birokrasi

Urgensi Netralitas Birokrasi

Kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang absolut sudah pasti di- salahgunakan ucap Lord Acton dalam Budiarjo (2015), ungkapan klasik itu secara nyata dan kasat mata masih terjadi di Indonesia, bahkan di era keterbukaan seperti sekarang ini, tak terkecuali di tingkat daerah sebagai ekses dari otonomi daerah yang membuat penguasa daerah menjadi semakin kuat. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut terjadi pula di ranah birokrasi, jika sebelumnya diuraikan bahwa politik sangat berpotensi untuk mengintervensi birokrasi, maka sesungguhnya birokrasi pun memiliki daya tawar dan sangat berpengaruh kepada sistem politik.

Jika di tingkat pusat kementerian- kementerian yang menjadi sangat riskan karena menteri-menterinya yang dipilih berdasar kontribusi suara dan koalisi parpol tertentu dalam pemilu nasional maka di daerah posisi sekretaris daerah yang notabene adalah pejabat karir birokrasi

Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 25 - 35

tertinggi di lingkungan pemerintah daerah menjadi rentan terkena imbas karena seorang sekda adalah bawahan dari kepala daerah yang terpilih melalui proses-proses politik, untuk mengamankan posisinya seringkali sekretaris daerah pun turut serta sebagai tim sukses (walau tentunya tidak secara terbuka) yang secara otomatis akan juga memengaruhi kepala dinas-kepala dinas dan pimpinan SKPD di bawahnya. Pengkubuan secara politis pun seringkali terjadi manakala pemerintahan terpilih sudah melaksanakan masa tugas, sebagai contoh ini terjadi di lingkungan pemerintah kota Bandung. Wakil walikota Bandung Oded M Danial bahkan secara lugas mengakui masih ada kubu-kubu yang terbentuk akibat ekses politis masa lalu di lingkungan pemkot Bandung, kubu-kubu yang dimaksud ini tentunya melibatkan para PNS pemkot Bandung.

Hal ini menunjukkan bahwa ternyata dugaan mobilisasi secara politis terhadap PNS di daerah terjadi tak hanya dalam proses menjelang pilkada saja, namun juga saat pemerintahan telah berjalan. Disamping itu juga memiliki dampak dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dan juga menghambat upaya pemberantasan korupsi dalam biro- krasi, hal ini terlihat dari pengaruh status quo yang terlalu kuat sehingga pejabat- pejabat yang terkait dugaan korupsi bansos 2009-2010 pun masih eksis sebagai birokrat.

Netralitas dalam suatu pelayanan kepada masyarakat jelas diperlukan, karena menurut Hardiawan (2014) dengan terwujudnya netralitas maka kepercayaan dari berbagai pihak (publik) pun akan terjaga. Hal penting lainnya adalah ketika birokrasi pemerintah berada dalam posisi netral dan tak berpihak maka rakyat secara keseluruhan akan dapat dilayani oleh pemerintah secara baik. Birokrasi seharusnya memiliki sistem yang tetap dan pelayanan yang tak bergantung pada variabel politik.

Ada faktor internal yang mempe- ngaruhi netralitas birokrasi yaitu sentimen primordialisme, logika kekuasaan. Secara eksternal adalah adanya ambiguitas regulasi yang membuat birokrasi menjadi tidak netral

dan independen. Faktor primordialisme lebih kepada kedekatan etnisitas, kesukuan dan agama. Sedangkan faktor logika kekuasaan dikarenakan adanya ketidakpastian sistem dalam penjenjangan karir seorang PNS. Pada satu sisi PNS diharapkan bersikap profesional, akan tetapi dalam penjenjangan karirnya, karir PNS sangat ditentukan oleh pejabat Pembina PNS, dalam hal ini Gubernur, Bupati atau Walikota. Sementara mereka kepala daerah adalah pejabat politik yang dipilih melalui mekanisme politik. Oleh sebab itulah kepala daerah terpilih dari partai politik, memiliki kekuasaan yang sangat kuat (power full authority) untuk menarik PNS dalam politik praktis. Ada sebuah spekulasi politik dan kekuasaan yang diharapkan dari PNS yang memberikan dukungan politik kepada kontestan pilkada, yaitu akan meningkatkan karir di birokrasi ketika calon yang didukung menang. Pola hubungan patron-client serta politik balas jasa, membuat posisi PNS menjadi lebih mudah terkooptasi oleh kepentingan politik rezim tingkat lokal.

Netralitas birokrasi di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam beberapa peraturan seperti: (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; (2) Undang-Undang Nomor

34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia; (3) Peraturan Pemerintah Nomor

5 Tahun 1999 Tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menjadi Anggota Partai Politik, (4) Surat Edaran Menpan No. SE/08.A/M. PAN/3/2005 Tentang Netralitas Birokrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah. Hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Namun dari sekian banyak aturan tersebut, ketentuan terkait netralitas birokrat terasa semu dan sekedar kata-kata formil normatif saja, misalnya tidak satupun yang menyentuh netralitas seorang menteri yang berasal dari partai politik. Padahal menteri adalah pembina PNS yang berada di masing-masing kementerian yang dipimpinnya, contoh lain tumpulnya regulasi terkait netralitas birokrasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 5 dan 12 Tahun 1999 yang melarang

Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi (Eko Noer Kristiyanto)

PNS tak menjadi anggota dan pengurus partai politik, akan tetapi jika ada upaya dari partai politik seorang menteri yang memimpin kementerian untuk melakukan intervensimaka peraturan pemerintah itu tak akan efektif. Sebelumnya dibahas pula betapa menteri sebagai elit politik adalah orang-orang penting di partainya sehingga kepentingan partai tertumpu pada dirinya, ini tentu saja menjadi masalah dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan ketika seseorang memegang jabatan strategis di dua institusi yaitu institusi birokrasi dan institusi politik.

Apa yang dipaparkan di atas me- nunjukkan bahwa birokrasi (pegawai negeri) akan cenderung melayani dan memberi kinerja berdasarkan atas suatu jabatan atau setidaknya bertahan pada suatu jabatan tertentu, pola pikir seperti ini akan terus berjalan manakala birokrasi masih menerapkan kepemimpinan transaksional, yaitu kepemimpinan politik yang berdasar kepada tukar menukar pekerjaan, subsidi, dan kontrak-kontrak pemerintah yang menguntungkan, juga promosi-promosi jabatan yang ditawarkan ketika proses pemilihan eksekutif. Jika melihat kasus- kasus korupsi yang terungkap ternyata memang itulah yang terjadi, kontrak- kontrak, proyek-proyek, semuanya hanya menjadi garapan segelintir orang saja, tentu ini bertentangan dengan konsep demokrasi.