Birokrasi dan Politik
Birokrasi dan Politik
Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi me- rupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi. Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi. Sehingga karenanya, kemudian muncul pernyataan bahwa supremasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. Tawaran ideal pernah juga ditawarkan bahwa manakala fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai (when politic end, administration begin). Sehingga birokrasi murni menjalankan kebijakan politik namun tak terlibat sama sekali dalam pembentukan kebijakan itu. Dikotomi antara politik dan administrasi ini juga diakibatkan karena adanya kesalahan perubahan referensi dari fungsi ke struktur, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (policy making) dan implementasi kebijakan, antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi.
Telah dibahas sebelumnya bahwa penyebab ketidaknetralan birokrasi adalah
Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi (Eko Noer Kristiyanto)
politik dalam hal ini partai politik, partai politik sangat berkepentingan untuk me- nempatkan kader-kadernya dalam birokrasi, dalam tataran praktis kepentingan ini berwujud menjadikan birokrasi sebagai penghasil uang bagi partai politik sang kader, tentu saja uang-uang yang berasal dari birokrasi ini dihasilkan dengan cara- cara yang tidak patut dan melanggar aturan, bukti nyata dapat kita lihat ketika elit-elit partai yang memimpin birokrasi terlibat korupsi bahkan sebagian besar diantaranya telah dijatuhi vonis. Dalam sebuah berita di KOMPAS yang ditulis oleh Syafiq (2016), tertera judul: “Birokrasi mesin uang untuk kepentingan politik”. Dalam berita tersebut tampak munculnya gejala politisasi birokrasi. Seorang narasumber misalnya, mengatakan dalam salah satu riset ICW yang dikutip KOMPAS bahwa sumber pendapatan parpol antara lain berasal dari penempatan pejabat eselon 1.Pejabat eselon 1 sebagai pembantu menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada menteri termasuk menteri yang berasal dari partai politik tentulah akan canggung jika harus tidak melaksanakan kehendak pimpinan menteri, atau dalam konteks yang mirip maka sang meneteri memang menempatkan orang-orang kepercayaannya di posisi ini. Salah satu kegiatan rutin kementerian adalah terkait pengadaan barang dan jasa yang tentunya memerlukan legitimasi dari para pejabat tinggi. Dan jika mengamati beberapa kasus korupsi besar di Indonesia yang ditangani KPK sebagian besar atau lebih tepatnya 77% adalah terkait pengadaan barang dan jasa yang berhubungan dengan pihak pengusaha dan politisi.
Apa yang terjadi dalam beberapa peristiwa di atas adalah bentuk nyata dimana korupsi adalah suatu keniscayaan ketika penyalahgunaan kekuasaan oleh kekuatan politik menyentuh ranah birokrasi. Pengalaman masa lampau menunjukkan bahwa kementerian-kementerian di era awal kemerdekaan sangatlah kental nuansa politiknya karena menteri yang menjabat berasal dari partai tertentu, katakanlah betapa Kementerian Dalam Negeri saat
itu menempatkan orang-orang PNI (Partai Nasional Indonesia) dari mulai menteri hingga lurah di desa. Demikian pula Kementerian Agama yang dipimpin oleh menteri dari NU, dari mulai menteri hingga kepala KUA kecamatan dijabat oleh orang- orang NU. Ketidaknetralan birokrasi ini berlanjut di era orde baru, semua menteri adalah orang-orang Golkar baik sipil maupun militer. Birokrasi pemerintah telah terang- terangan berpihak kepada Golkar, dan ini berlangsung lama sekitar 32 tahun di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto. Dalam rentang waktu itu pula korupsi merajalela dalam birokrasi. Netralitas birokrasi mendapat masalah manakala kepentingan politik yang diwakili oleh partai politik mulai memengaruhi birokrasi sebagai institusi yang bertugas untuk men- jalankan amanat rakyat secara teknis. Birokrasi menurut Silalahi (2015) memang menjadi sangat strategis dalam kancah perpolitikan karena birokrasi dianggap mampu menjembatani kepentingan partai politik dengan konstituennya.