Bahasa Tulis dan Sistem Aksara

C. Bahasa Tulis dan Sistem Aksara

Bahasa lisan –menurut Kamâl Bisyr- telah ada lebih dahulu berabad-abad lamanya dari pada bahasa tulis, hal senada juga diungkapkan oleh Samsuri. 141 Dengan demikian, manusia telah mengenal dan menggunakan bahasa lisan yang terbentuk dari bunyi sebagai satuan terkecilnya sebelum mengenal sistem tulis. Bahasa tulis muncul dan berkembang untuk menjembatani kebutuhan manusia

dalam kehidupannya sehari-hari terutama pada era modern ini, di mana manusia membutuhkan suatu alat bantu untuk menyampaikan ide-idenya kepada orang lain. Bahasa tulis lebih mampu untuk bertahan lama dibandingkan dengan bahasa lisan yang cepat hilang, sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya. 142 Untuk itu dapat disimpulkan bahwa bahasa tulis merupakan turunan dari bahasa lisan, sehingga tidak heran apabila linguistik melihat bahasa itu adalah bahasa lisan (yang diucapkan), bukan yang dituliskan. Sebenarnya –menurut Abdul Chaer- linguistik juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis, sebab seperti sudah disebutkan bahwa apa pun yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek linguistik. 143 Dalam hal ini sistem tulisan dapat membantu linguistik untuk menyelidiki bunyi bahasa, karena keterkaitan keduanya dalam suatu bahasa yang memiliki sistem tulis.

1. Perkembangan bahasa tulis Bahasa tulis dibuat dan digunakan untuk merekam ujaran-ujaran bahasanya, yang terdiri dari bunyi-bunyi sebagai satuan terkecil dalam pembentukannya. Bahasa tulis merupakan lambang grafis yang digunakan untuk

141 Kamâl Bisyr, Ilm al-Aswât, h, 630; Samsuri adalah seorang Guru Besar Linguistik yang pernah bertugas di Fakultas Pascasarjana IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri

Malang), dilahirkan di Mojokerto Jawa Timur, meraih MA dan Ph.D. bidang Linguistik dari Indianan University USA pada tahun 1958 dan 1965. Jabatan-jabatan yang pernah dipegangnya adalah: Dekan FK SS IKIP Malang, Rektor IKIP Malang, dan anggora Steering Committee untuk Departemen P dan K, tahun 1967-1972. 142

Martha C. Pennington, Phonology in English Language Teaching , h. 186; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 630. 143

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 82.

menunjukkan ide-ide seseorang, sehingga dapat dimanfaatkan dalam suatu komunikasi yang terjadi secara tidak langsung. Peranannya sangat besar bagi manusia, meskipun hanya alat pencatat yang terkadang memiliki kelemahan- kelemahan jika dibandingkan dengan bunyi-bunyi bahasa yang sangat luas. Bahasa tulis –menurut ‘Alî M. al-Qâsimî- telah melalui beberapa fase perkembangan, hingga sampai pada sistem tulisan yang ada saat ini. 144 Fase perkembangan bahasa tulis itu, dapat dikategorikan menjadi empat bagian, yaitu:

tulisan piktograf, tulisan ideograf, tulisan silabis, dan tulisan fonemis. 145 Masing- masing sistem merupakan langkah awal untuk perkembangan sistem selanjutnya,

hingga sampai pada tulisan yang bersifat fonemis. Tulisan piktograf merupakan istilah untuk gambar-gambar dengan bentuknya yang sederhana dan digunakan untuk menyatakan maksud atau konsep yang ingin disampaikan. Gambar-gambar ini –menurut para ahli- berawal dan tumbuh dari gambar-gambar yang terdapat di gua-gua Altamira di Spanyol Utara, dan beberapa tempat lain. 146 Tulisan dengan konsep ini, setiap gambarnya melambangkan satu makna, seperti: gambar gunung, burung, dan manusia untuk masing-masing makna tersebut. Tulisan semacam ini banyak digunakan oleh orang Indian di Amerika (Mexico), orang Yukagir di Siberia, dan pulai Paska (Pasifik Timur). 147 Konsep ini kemudian berkembang dan memunculkan sistem tulisan yang lebih rinci lagi yang dinamakan dengan ideograf, di mana setiap makna dilambangkan dengan sebuah gambar atau logo. Tulisan dalam konsep ini

‘Alî M. al-Qâsimî adalah seorang dosen di Fakultas Tarbiyah Universitas Riyâd, dia adalah salah satu murid dari Kamâl Bisyr. Buku karangannya adalah linguistics and Bilingual Dictionaries, yang diterbitkan pada tahun 1977 di Leiden. Bukunya yang lain adalah Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah li al-Nât iqîn bi al-Lughât al-Ukrâ , yang diterbitkan pada tahun 1979 di universitas Riyâd. Kategori tulisan di atas diambil dari ‘Alî M. al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah li al-Nât iqîn bi al-Lughât al-Ukrâ (Riyâd: ‘Imâdah Syu’ûn al- Maktabât, 1979), h. 239. 145

Piktograf (piktogram) adalah aksara yang berupa gambar untuk mengungkapkan amanat tertentu, misalnya: tanda lalu lintas. Ideograf (ideogram) ialah tanda grafis yang dipakai untuk menggambarkan bagian ujaran, baik berupa logogram atau piktogram. Aksara Silabis yaitu sistem tulisan yang mempergunakan satu lambang untuk tiap suku kata. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 7, 80, 174. Dan aksara fonemis adalah satu tanda untuk satu bunyi. Lihat, Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia , h. 46; Hasan Zâzâ, al-Lisân wa al-Insân (Damaskus: Dâr al- Qalam, 1990), h. 127-128. 146

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 85. 147 Samsuri, Analisis Bahasa, h. 22; Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia , h. 46; Abdul

Chaer, Linguistik Umum, h. 86.

mulai membedakan lambang untuk makna yang jelas, seperti: rumah, gedung, gubuk dilambangkan dengan logo berbeda. 148 Terkadang gambar tersebut

digunakan untuk konsep tertentu, seperti: dalam tulisan Hieroglif di Mesir (+ 4.000 SM), gambar tongkat untuk makna perintah dan gambar kendi untuk makna segar atau dingin. 149 Kedua sistem tulis tersebut –jika diperhatikan lagi- masih digunakan di era modern ini, seperti: gambar untuk larangan merokok, gambar untuk tempat ibadah, dan lain-lain.

Kemudian sistem tulis berkembang dari lambang untuk satu konsep, menjadi lambang untuk satu suku kata. Dalam hal ini suatu tanda digunakan untuk menyatakan bagian yang lebih kecil dari sebelumnya, sehingga satu konsep dinyatakan dengan beberapa lambang. Tulisan yang semacam ini disebut aksara silabis, yang pertama kali dikembangkan oleh orang Persia pada zaman Darius I (522-468 SM) dan juga oleh orang Mesir yang kemudian diambil dan dikembangkan oleh orang Fenesia. 150 Tulisan semacam ini sangat baik, terutama untuk bahasa-bahasa yang suku katanya sederhana, seperti bahasa Jepang. Aksara silabis Jepang yang disebut Katakana hingga saat ini masih digunakan, di

samping aksara Kanji yang masih menggunakan konsep ideograf. 151 Tulisan Arab –menurut Samsuri- mula-mula menggunakan konsep ini, hal itu terlihat dari

konsonannya yang lebih diutamakan dari pada vokal. Sementara untuk menandakan vokal-vokalnya –menurut Gorys Keraf-, digunakan tanda-tanda lain dalam aksara Arab. 152 Hal ini dapat dimaklumi, mengingat kebiasaan dan

149 al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 239.

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 87. 150 Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 87; aksara Fenesia adalah aksara Semit Utara yang

dipakai orang Fenesia (Lebanon sekarang) yang sisa-sisa tertuanya berasal dari abad XI SM., bersifat alfabetis, dan yang merupakan moyang langsung dari semua aksara Eropa. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 6.

151 Samsuri, Analisis Bahasa, h. 22; Katakana adalah aksara silabis yang dipakai di Jepang yang lebih sederhana dari aksara Kanji, terutama untuk menuliskan kata-kata asing, onomatope,

dipakai dalam telegram dan surat-surat dinas. Sementara Kanji adalah huruf Jepang yang berasal dari tulisan Sinika yang mulai dipakai sekitar abad-abad pertama Masehi, tiap huruf menggambarkan kata atau morfem. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 96, 99. 152

Samsuri, Analisis Bahasa, h. 22; Gorys Keraf lahir di Lamalera Lembata NTT, memperoleh gelar Sarjana Sastra di Universitas Indonesia tahun 1964. Dosen Fakultas Sastra di Universitas Indonesia, pernah menjabat Registrar di Unika Atma Jaya Jakarta. Buku-bukunya adalah Tatabahasa Indonesia, Komposisi , dan eksposisi dan Deskripsi.

pandangan bahasa-bahasa rumpun Semit yang lebih mengutamakan bunyi-bunyi konsonannya yang dianggap sebagai struktur pembentuk kata.

Tulisan silabis yang dikembangkan oleh orang Fenesia untuk selanjutnya diambil oleh orang Yunani, kemudian dikembangkan menjadi tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan menggambarkan setiap konsonan dan vokal dengan satu huruf. 153 Tulisan semacam ini juga dikenal dengan istilah tulisan fonemis, yang kemudian berkembang menjadi sistem-sistem aksara yang ada di dunia, seperti: aksara Latin, Yunani, Jerman, Arab, dan lain-lain. Sistem terakhir inilah yang pada hakikatnya banyak digunakan oleh bahasa-bahasa di dunia,

untuk menjadi alat tulis ujaran-ujarannya. Begitulah bagaimana perkembangan bahasa tulis, dari masa pertama kemunculannya hingga sampai pada sistem aksara yang bersifat fonemis.

2. Tulisan ortografi (aksara) Dalam linguistik dikenal tiga macam sistem tulisan, yaitu fonetik,

fonemik, dan ortografik. 154 Tulisan fonetik berlandaskan pada setiap fon dilambangkan dengan satu lambang, sementara tulisan fonemik hanya

melambangkan bunyi-bunyi bahasa yang termasuk kategori fonem. Kedua sistem tulisan ini sangatlah sulit untuk digunakan dalam penulisan secara lebih luas, hal ini berkaitan pada prinsip bahwa penyusunan sistem tulisan tidak hanya didasarkan pada hal-hal ilmiah saja, melainkan juga kepada kepraktisan dan

tradisi ejaan di dalam masyarakat. 155 Sementara tulisan ortografi adalah penulisan fonem-fonem menurut sistem ejaan yang dibuat untuk digunakan secara umum di

dalam masyarakat suatu bahasa. 156 Sistem ketiga ini paling banyak digunakan oleh bahasa-bahasa saat ini, seperti: aksara Latin dan aksara Arab. Sistem tulisan ini biasanya dilengkapi dengan tanda-tanda yang tersusun dalam alfabetnya

153 al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 239; Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 89. 154 155 Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 110.

Samsuri, Analisis Bahasa, h. 146. 156 Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 110; al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical

Linguistics, h. 196.

(abjad), dan dilengkapi oleh aturan-aturan penggunaannya yang disebut dengan ejaan.

a. Abjad Pembahasan tentang bahasa tulis dan tulisan tidak terlepas dari istilah- istilah, seperti: huruf, abjad, alfabet, aksara, graf, grafem, dan alograf. 157 Huruf – menurut Kridalaksana- adalah istilah umum untuk graf dan grafem. 158 Abjad atau alfabet adalah urutan huruf-huruf dalam suatu sistem aksara, contoh: dalam aksara Latin, abjad itu dimulai dari huruf A sampai dengan huruf Z. Sementara aksara Arab, alfabetnya dimulai dari huruf alif sampai dengan huruf ya. 159 Aksara adalah

keseluruhan sistem tulisan, misalnya aksara Latin dan aksara Arab. 160 Dari istilah- istilah tersebut dapat disimpulkan, bahwa aksara Arab merupakan istilah umum untuk sistem tulisan terdiri dari huruf dan tanda lain yang tersusun secara berurutan sehingga membentuk suatu abjad, dan penggunaannya diatur oleh kaidah-kaidah yang terdapat dalam ejaan aksara Arab.

Huruf dan tanda dalam abjad Arab kemudian melahirkan beberapa bentuk, seiring dengan posisi bunyi yang dilambangkannya dalam suatu kata. Bentuk- bentuk huruf ini –menurut Muhammad ‘Alî al-Khûlî- dikenal dengan istilah alograf, 161 misalnya dalam aksara Arab untuk huruf ﻉ kita dapati alograf: ( ﻉ ) apabila berdiri sendiri, ( ـﻋ ) apabila berada di depan grafem lain, ( ـﻌـ ) apabila berada di antara dua grafem lain, dan ( ﻊـ ) apabila berada di akhir kata. Alograf huruf Arab –jika diperhatikan- lebih banyak dari huruf Latin yang hanya memiliki dua alograf, yaitu: huruf besar (A) dan huruf kecil (a). Perbedaan ini menjadi karakter tersendiri dari huruf-huruf Arab.

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 93. 158 Graf adalah huruf atau simbol yang pada hakikatnya digunakan untuk menggambarkan

satu bunyi, namun, terkadang digunakan pula untuk beberapa bunyi. Seperti, huruf (s) dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk bunyi [s] books, [z] doors, dan [ż] occasions. Sedangkan, grafem adalah satuan terkecil yang distingtif dalam suatu sistem aksara, atau juga dapat disebut alograf. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 66; al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics, h. 111. 159

al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 240.

161 Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 93. ‘Alî al-Khûlî adalah seorang Doktor di bidang bahasa Arab, karya-karyanya antara

lain, al-Mahârât al-Dirâsiyyah , Qâmûs al-Tarbiyah (Inggris-Arab), English as a Foreign Language, A Contrastive Transformational Grammar: Arabic and English , A Dictionary of Theoretical Linguistics, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , dan lain-lain. Lihat, al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics , h. 112; Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 93.

b. Ejaan aksara ortografi Ejaan –menurut ‘Alî al-Qâsimî-, adalah kesesuaian antara bunyi-bunyi bahasa dan lambang-lambang yang dimiliki oleh aksara. 162 Sementara -menurut Lamuddin Finoza-, ejaan adalah seperangkat aturan atau kaidah pelambangan bunyi dalam suatu bahasa, yang mencakup pemisahan, penggabungan, dan

penulisannya. 163 Kedua pengertian ini memberikan batasan bahwa ejaan aksara harus ada kesesuaian antara bunyi dan simbol, untuk itu diperlukan kaidah-kaidah

yang mengatur penggunaan simbol agar tujuan (kesesuaian) tersebut dapat diraih. Pada hakikatnya ejaan itu –menurut Abdul Chaer- tidak lain dari konvensi grafis, perjanjian di antara anggota masyarakat pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasanya. Bunyi bahasa yang seharusnya diucapkan diganti dengan huruf-huruf dan lambang-lambang lainnya. 164 Selain pelambangan bunyi, ejaan juga mengatur cara menuliskan huruf, kata, dan penggunaan tanda baca. Dalam hal ini, ejaan merupakan suatu sistem aturan pelambangan bunyi bahasa, baik dengan huruf dan tanda-tanda lain. Aturan penggunaannya dibuat dan disepakati oleh masyarakat bahasa, sehingga setiap bahasa memiliki ejaannya sendiri meskipun aksara yang digunakan sama dengan aksara bahasa lain, seperti: ejaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, meskipun sama-sama menggunakan aksara Latin.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pengaksaraan bunyi bahasa Arab dengan huruf dan tanda abjad Arab merupakan salah satu bagian dari ejaan aksaranya. Pengaksaraan bunyi itu harus mengikuti aturan-aturan ejaan aksara Arab, yang telah disepakati penggunaannya oleh masyarakat bahasa Arab. Aturan- aturan itu dimaksudkan untuk keteraturan dan keseragaman bentuk, yang berimplikasi pada ketepatan dan kejelasan makna.

al-Qâsimî, Ittijâhât fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 240. 163 Lamuddin Finoza seorang dosen sastra, meraih gelar sarjana dari Fakultas Sastra UI

(1997). Jabatan pertamanya adalah asisten dosen sebagai pengajar Komposisi di UI, selain itu sebagai dosen di beberapa PTS terkemuka di Jakarta. Sementara aktivitas lainnya adalah sebagai penyiar tamu dalam acara Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia melalui TVRI. Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , Cet. XIII (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2007), h. 15. 164

Abdul Chaer, Tata Bahasa Bahasa Indonesia , (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 36.

3. Standar (ukuran) aksara Aksara setiap bahasa dibuat dan digunakan untuk merekam bunyi-bunyi bahasanya, baik segmental atau pun suprasegmental. Untuk tujuan tersebut aksara tidak hanya menggunakan huruf dan tanda, namun dilengkapi dengan beberapa kaidah dalam penggunaannya. Sementara untuk menilai kemampuan suatu aksara, para ahli di bidang komunikasi menetapkan beberapa aspek yang harus

dimilikinya, yaitu: kesempurnaan, keharmonisan, dan kesederhanaan. 165 Ketiga aspek ini harus semuanya ada pada suatu aksara, sehingga dapat dinyatakan

sebagai aksara yang baik terutama apabila dibandingkan dengan sistem aksara lainnya. Kesempurnaan suatu aksara ditentukan dengan kemampuannya dalam merekam bunyi (fonem), yaitu semua bunyi yang digunakan dalam ujaran bahasanya dapat dialihkan dalam bentuk lambang. 166 Keharmonisan suatu aksara dilihat melalui dua cara: Pertama, setiap bunyi dilambangkan dengan satu simbol. Kedua, satu simbol hanya digunakan untuk satu bunyi. Sementara kesederhanaan suatu aksara ditinjau dari kemudahaan secara umum dalam pengunaan dan

pemahamannya, di samping juga harus mencakup kedua aspek sebelumnya. 167 Ketiga aspek ini saling berkaitan satu sama lainnya, dan sulit untuk diraih oleh

aksara-aksara bahasa yang ada saat ini. Aspek pertama mengharuskan semua semua bunyi bahasa dapat dialihkan ke dalam simbol, namun harus mematuhi aturan yang ditetapkan aspek kedua. Hal ini sangat sulit, mengingat banyak aksara yang dapat menuliskan bunyi bahasanya, akan tetapi ada beberapa bunyi yang ditulis oleh beberapa simbol, atau sebaliknya simbol untuk beberapa bunyi. Kegagalan aksara dalam meraih kedua aspek di atas, secara otomatis gagal untuk memenuhi aspek terakhir. Dikarenakan hanya dengan keduanya, aspek terakhir dapat diwujudkan.

Pada kenyataannya –menurut para ahli-, sistem aksara belum mampu mengakomodir semua bunyi-bunyi ujaran secara sempurna. Kenyataan tersebut – menurut Kamâl Bisyr- diakibatkan oleh dua faktor: Pertama, bahasa berkembang

al-Qâsimî, Ittijâhât fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 241.

167 Samsuri, Analisis Bahasa, h. 23; Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia , h. 46-47.

al-Qâsimî, Ittijâhât fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 241-244.

pesat, sedangkan aksara tetap baku tanpa ada perbaikan dan perubahan. Kedua, perbedaan dialek dalam suatu bahasa, sehingga aksara tidak dapat mengimbangi perbedaan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh perbedaan dialek. 168 Sementara – menurut Clive Holes-, sistem aksara bahasa Arab sangat konsisten dalam menggambarkan bunyi-bunyi ujaran bahasanya. 169 Setiap huruf menggambarkan satu fonem berikut alofon-alofonnya, namun dengan segala konsistensinya aksara ini tidak luput dari kelemahan. Pada akhirnya menimbulkan usulan-usulan dari beberapa kalangan, baik perbaikan atau penggantian sistem aksara yang digunakan untuk menuliskan bunyi-bunyi bahasa Arab.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sistem bahasa tulis yang banyak digunakan bahasa-bahasa yang ada saat ini adalah sistem ortografi (aksara), yang berlandaskan pada pelambangan fonem bahasa dengan huruf atau tanda pada abjadnya. Penggunaan lambang-lambang abjad tersebut diatur dengan baik oleh ejaan aksara, sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam tataran praktisnya. Dan pada akhirnya, semua sistem aksara yang digunakan banyak memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan bunyi-bunyi bahasanya yang berkembang dengan pesat, sehingga terjadilah persoalan-persoalan yang tidak dapat dihindari dalam penggunaannya oleh masyarakat suatu bahasa, termasuk bahasa Arab.

169 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 632. Clive Holes, Modern Arabic Structures, Functions and Varieties , h. 73.