Fonemisasi Bunyi-bunyi Bahasa Arab

B. Fonemisasi Bunyi-bunyi Bahasa Arab

Fonemisasi bunyi bahasa merupakan suatu proses klasifikasi bunyi-bunyi yang sangat beragam, menjadi beberapa bunyi yang terpilih sebagai satuan bunyi (fonem). Proses ini dilakukan melalui beberapa prosedur, dan berlandaskan pada fungsi pembeda makna yang terjadi dalam suatu kata, yang diakibatkan keberadaan suatu bunyi. penetapan bunyi-bunyi dalam arti fonem ini bertujuan untuk memudahkan penyelidikan bunyi suatu bahasa, di samping itu fonem- fonem suatu bahasa lebih mudah diberikan dalam pengajaran dan penetapan suatu sistem aksara.

1. Pengertian fonem Runtutan bunyi-bunyi bahasa yang saling berdampingan dalam membentuk suatu ujaran, merupakan realitas yang sesungguhnya bagi bunyi suatu bahasa. Bunyi-bunyi yang terdengar itu –menurut Kamâl Bisyr-, sangat sulit untuk dibedakan atau diberi batasan jika berada dalam suatu ujaran. 110 Satu bunyi bahasa terkadang akan berubah-ubah ketika bersandingan dengan bunyi lain, contohnya: bunyi [tâ’] yang termasuk dalam klasifikasi bunyi tak bersuara, akan berubah menjadi bunyi bersuara apabila berdekatan dengan bunyi [dâl] seperti:

( ﺩﻭﺍﺩ ﺖﻌﻧﺍ ). Perubahan ini -dapat dipastikan- terjadi pada setiap bunyi bahasa Arab, baik bunyi konsonan ataupun bunyi vokal. Bahkan, satu bunyi bahasa akan mengalami banyak dan macam-macam perubahan dalam konteks yang berbeda, seperti: Bunyi [nûn] akan berubah menjadi beberapa [nûn] pada kata-kata berikut:

Perubahan yang beragam pada bunyi nûn tadi dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain yang datang sesudahnya dalam beberapa konteks kata.

Bunyi-bunyi bahasa dan segala perubahan (variasinya) tadi dianalisis dan dipilah-pilah menjadi satuan-satuan bunyi dalam proses fonemisasi, dengan

110 ‘Abd al-Mun’im M. Al-Najjâr, al-Hurûf wa al-Aswât (Kairo: Dâr al-Tibâ’ah al- Muhammadiyyah, 1982), h. 10; Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 161; Kamâl

Bisyr,‘Ilm al-Lughah al-‘Âm , h. 201. 111 Suatu bunyi akan berubah-rubah dari muraqqaq menjadi mufakhkham, dari tak

bersuara menjadi bersuara, contohnya bunyi al-sukûn ( ﻥﺇ ) akan dikasrahkan seperti dalam kalimat ( ﻢﺘﺒﺗﺭﺍ ﻥﺇ ) untuk menghindari pertemuan dua al-sukûn. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 478.

melihat pada fungsinya sebagai pembeda makna sebagai dasar analisis. 112 Bunyi- bunyi yang dapat membedakan makna disebut dengan fonem, sedangkan yang

tidak memiliki fungsi tersebut tidak termasuk fonem. 113 Bunyi [nûn] adalah satu bunyi jika dikaji oleh fonemik, sementara akan menjadi bermacam-macam [nûn] apabila ditinjau dari tataran fonetik (bunyi secara umum). Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa pengertian fonem –menurut Daniel Jones-, adalah kumpulan (keluarga) terdiri dari bunyi-bunyi yang saling berkaitan dalam sifatnya, tetapi masing-masing digunakan untuk posisi yang berbeda dalam suatu ujaran bahasa. 114 Sementara itu Bloomfield mendefinisikan fonem sebagai satuan bunyi

terkecil dalam sebuah ujaran bahasa, yang dapat membedakan makna. 115 Dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa fonem adalah satuan terkecil yang terdiri dari unsur-unsur (variasi) bunyi yang saling berkaitan dalam sifat-sifatnya, hal ini yang pertama kali diungkapkan oleh para ahli dari aliran Praha. 116 Satuan bunyi ini digunakan untuk membedakan makna, sementara variasi-variasi yang terhimpun di dalamnya disebut alofon atau varian. 117 Alofon-alofon ini terjadi karena pengaruh bunyi-bunyi lain yang berdampingan dengannya pada konteks kata, akan tetapi dalam bahasa Arab tidak dianggap sebagai pembeda makna.

Pengertian fonem di atas –jika diamati- merupakan salah satu makna dari istilah hurûf, yang digunakan oleh para ahli dari Arab. Salah satu fungsi istilah ini –menurut Tamâm Hassân-, adalah untuk membedakan antara satuan bunyi dan

112 Martha C. Pennington, Phonology in English Language Teaching: An International Approach (New York: Longmann, 1996), h. 23-24; Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 125. 113

al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics , h. 209; Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 55-56. 114 115 Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 485. L. Bloomfield (1887-1949) adalah seorang ahli linguistik dari Amerika, pengaruhnya sangat kuat dan masih terasa hingga kini. Karyanya meliputi bahasa-bahasa Indian, Tagalog, linguistik umum, dan kesusastraan. Bukunya yang paling berpengaruh ialah Language (1933). Lihat, JD. Parera, Fonetik dan Fonemik, h. 32. 116

Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882-1945). Tokoh-tokoh lainnya adalah Nikolai S. Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Pengaruh mereka sangat besar di sekitar tahun tiga puluhan, terutama dalam bidang fonologi. Dalam bidang fonologi, aliran Praha inilah yang pertama kali membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 351.

117 Roger Lass, Phonology (New York: Cambridge University Press, 1984), h. 18; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 486.

bunyi-bunyi secara umum. 118 Dalam hal ini istilah hurûf digunakan untuk satuan bunyi, sementara istilah saut digunakan untuk alofon-alofon yang dimiliki oleh

setiap bunyi bahasa. Sebenarnya ahli klasik seperti Sîbawaih juga menggunakan istilah hurûf untuk menunjukkan pengertian yang hampir sama dengan fonem,

seperti: “ ﻑﻭﺮﲝ ﺎﻓﺮﺣ ﲔﺛﻼﺛﻭ ﺔﺴﲬ ﻥﻮﻜﺗﻭ ... ﺎﻓﺮﺣ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﺔﻌﺴﺗ ﺔﻴﺑﺮﻌﻟﺍ ﻑﻭﺮﺣ ﻞﺻﺄﻓ ﱁﺇ .. ،ﺔﻟﺎﻤﳌﺍ ﻒﻟﻷﺍﻭ ،ﲔﺑ ﲔﺑ ﱵﻟﺍ ﺓﺰﻤﳍﺍﻭ ،ﺔﻔﻴﻔﳋﺍ ﻥﻮﻨﻟﺍ 119 ،ﻉﻭﺮﻓ ﻦﻫ ”. Akan tetapi

analisis Sîbawaih tidak sampai pada suatu kesimpulan yang memberi batasan atau klasifikasi antara fonem dan alofonnya, seperti yang dilakukan oleh ahli bahasa saat ini.

2. Identifikasi fonem Sebuah satuan bahasa (kata) merupakan alat yang tepat untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan? Biasanya digunakan sebuah kata yang mengandung bunyi tersebut, lalu dicarikan kata lain yang mirip dengan kata pertama untuk dilakukan perbandingan antara keduanya, hasilnya apabila terdapat perbedaan makna maka dapat dipastikan bahwa bunyi tersebut adalah sebuah fonem. Bunyi yang dianggap fonem harus dapat atau berfungsi membedakan

makna keduanya, misalnya: kata ( ﺏﺎﺗ ) dan kata ( ﺏﺎﺷ ) dalam bahasa Arab. 120 Kedua kata itu mirip, masing-masing terdiri dari empat bunyi, jika dibandingkan: [ َـ ], [ ﺏ ], [ ﺍ ], [ ﺵ ] dan [ َـ ], [ ﺏ ], [ ﺍ ], [ ﺕ ]. perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [ ﺵ ] dan bunyi [ ﺕ ]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunyi [ ﺵ ] dan bunyi [ ﺕ ], adalah dua buah fonem yang berbeda dalam

bahasa Arab.

Dua buah kata yang mirip, seperti kata ( ﺏﺎﺗ ) dan ( ﺏﺎﺷ ) atau kata-kata yang lain –menurut Roger Lass- disebut dengan kata-kata yang berkontras minimal, atau dua buah kata yang merupakan pasangan minimal (minimal

118 Tamâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ , h. 66; Istilah hurûf menurut Tamâm Hassân memiliki makna, seperti: (1) huruf abjad dan bunyi huruf. (2) huruf dalam

makna simbol tulis. (3) huruf dalam arti bacaan atau cara baca Alquran. Dan (4) huruf dalam arti istilah percetakan. Lihat Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 151.

120 Sîbawaih, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih , 431-432. Tamâm Hassân, al-Lughah al-“Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ , h. 76.

pair). 121 Identitas sebuah fonem hanya berlaku dalam satu bahasa tertentu saja, jumlah dan karakteristiknya berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan yang lain. 122 Dari uraian ini dapat disimpulkan, bahwa identifikasi fonem dilakukan dengan perbandingan dua kata yang memiliki kemiripan dari sisi struktur, untuk dicari bunyi yang memiliki fungsi pembeda. Bunyi-bunyi yang fonemis hanya berlaku untuk satu bahasa saja, sehingga tidak mungkin dilakukan perbandingan antara dua kata dari bahasa yang berbeda. Hal ini dapat dimaklumi mengingat masing-masing bahasa memiliki perbedaan dalam cara artikulasi dan pemanfaatan organ tertentu, sehingga secara otomatis dapat melahirkan bunyi-bunyi yang

berbeda dengan bahasa lainnya.

3. Tujuan fonemisasi Pengertian fonem boleh saja sangat variatif, hal tersebut kembali pada latar belakang dan disiplin ilmu para ahli. Perbedaan pandangan tentang makna fonem –jika diamati-, berakhir pada kesimpulan yang sama. Persamaan itu dapat

dilihat dari tujuan proses fonemisasi bunyi-bunyi bahasa. 123 Tujuan-tujuan para ahli melakukan fonemisasi, antara lain: Pertama, fonemisasi merupakan proses

untuk mengetahui bunyi (satuan bunyi) dari suatu bahasa, yang memiliki fungsi pembeda baik dari sisi fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. 124 Kedua, fonem merupakan media yang sangat penting untuk mempermudah pembelajaran

Roger Lass, Phonology, h. 19-20; J.D. Parera, Pengantar Linguistik Umum Fonetik dan Fonemik, h. 33; Kadang-kadang, pasangan minimal ini tidak mempunyai jumlah bunyi yang persis sama. Misalnya, kata muda dan mudah juga merupakan pasangan minimal, sebab tiadanya bunyi [h] pada kata pertama, dan adanya bunyi [h] pada kata kedua menyebabkan kedua kata itu berbeda maknanya. Jadi, dalam hal itu, buyi [h] adalah sebuah fonem. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 126. 122

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 495; Misalnya, dalam bahasa Inggris ada bunyi [t] seperti pada kata top dan bunyi [tʰ]seperti pada kata stop, tetapi kedua bunyi itu bukan merupakan fonem yang berbeda, melainkan sebuah fonem yang sama, sebab top dan stop bukan pasangan minimal. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 126. 123

Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 162-163; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al- Lughah al-‘Âm, h. 208-209; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 490-491; dan ‘Abd al-Mun’im M. Al- Najjâr, al-Hurûf wa al-Aswât, h. 23-24. 124

Kata ( ﻡﺎﻧ ) dan ( ﻡﺎﻗ ) berbeda makna karena perbedaan fonem pada masing-masing awal kata. Kemudian, kata ( ﻦﻣ ) dengan kasrah pada huruf [mîm] berbeda dengan ( ﻦﻣ ) dengan fathah pada huruf [mîm], baik dari sisi morfologi, sintaksis dan makna. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al- Aswât, h. 491.

bahasa asing. 125 Ketiga, fonem dapat membantu penggunaan bunyi-bunyi bahasa secara tepat, selain juga dapat digunakan untuk mempelajari tataran-tataran suatu

bahasa baik sintaksis, morfologi dan semantik. 126 Dan yang keempat, proses fonemisasi merupakan langkah awal -yang dilakukan para ahli bahasa- dalam membentuk ortografi (sistem alfabet) yang praktis untuk bahasa tertentu, dengan kata lain fonem dapat dipergunakan untuk menciptakan aksara suatu bahasa. 127 Keempat tujuan ini menunjukkan betapa pentingnya peran fonem, hal itu dikarenakan jumlah fonem jauh lebih sedikit dari jumlah bunyi bahasa secara umum, sehingga dapat digunakan dengan mudah dalam berbagai keperluan

terutama pembentukan sistem bahasa tulis. Hal ini menegaskan bahwa sistem aksara yang digunakan oleh setiap bahasa –termasuk bahasa Arab-, berlandaskan pada satuan bunyi (fonem).

4. Klasifikasi fonem Kriteria dan prosedur klasifikasi fonem, sebenarnya sama dengan cara klasifikasi bunyi secara umum dan telah dibahas sebelumnya. Fonem –menurut beberapa ahli- diklasifikasikan menjadi fonem segmental (primary phoneme) dan fonem suprasegmental (secondary phoneme ). 128 Fonem segmental disebut primer karena termasuk unsur penting dalam pembentukan struktur kata, seperti: konsonan dan vokal. Sementara fonem suprasegmental dianggap sekunder, karena

125 Bunyi ujaran suatu bahasa sangat banyak jika dibandingkan dengan bunyi yang termasuk kategori fonem. Oleh karena itu melalui fonem, pembelajaran bahasa asing lebih mudah

diserap. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm , h. 208-209; ‘Abd al-Mun’im M. Al-Najjâr, al-Hurûf wa al-Aswât, h. 24. 126

127 Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 163. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa satu fonem memiliki bunyi-bunyi yang variatif

(alofon). Contohnya, [bâ] dalam bahasa Arab yang pada hakikatnya bunyi bilabial bersuara letup, dapat berubah menjadi tak bersuara, bunyi nasal, atau frikatif. Hal ini, sangat mustahil bagi suatu ortografi untuk memuat semua bunyi dan alofon-alofonnya dalam sistem ejaan. Maka dengan adanya fonemisasi sangat membantu dalam pembentukkan sistem tulis bunyi-bunyi bahasa yang sangat variatif. Karena, sistem ejaan hanya menggunakan satu simbol untuk fonem dan alofon- alofonnya. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 491-492; ‘Abd al-Mun’im M. Al-Najjâr, al- Hurûf wa al-Aswât, h. 23-24; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm , h. 209. 128

Fonem segmental terdiri dari vokal dan konsonan, sedangkan fonem suprasegmental terdiri dari tekanan, intonasi dan jeda. Lihat, al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics , h. 209; Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 56.

bukan termasuk unsur pembentukan struktur kata, seperti: tekanan dan intonasi. 129 Klasifikasi keduanya berlandaskan posisi kedua fonem dalam tataran kata, fonem

segmental merupakan dasar pembentuk struktur kata, sementara unsur suprasegmental secara umum berada di luar unsur pembetukan kata.

Kedua kategori di atas -menurut Firth- menimbulkan kesan bahwa suatu fonem lebih berperan dari yang lainnya dalam suatu ujaran, padahal keduanya sama-sama penting karena tanpa keduanya suatu ujaran akan kehilangan

cirinya. 130 Unsur suprasegmental sangat penting dan dapat diibaratkan sebagai hakikat yang sesungguhnya, untuk mengungkapkan makna-makna tertentu dan

cara penyampaian ujaran bahasa yang benar. Oleh sebab itu unsur ini disebut oleh Firth dengan ciri prosodi (prosodic features), mengingat fungsinya dalam suatu

ujaran bahasa. 131 Istilah ini digunakan olehnya bukan hanya untuk unsur tekanan dan intonasi saja, akan tetapi perubahan (variasi) bunyi-bunyi dalam satuan bunyi

dan asimilasi juga masuk dalam istilah ini. Dari klasifikasi fonem di atas dapat dijelaskan, bahwa bahasa Arab - sebagai salah satu bahasa di dunia- memiliki dua kategori fonem, baik segmental atau pun suprasegmental. Fonem segmental bahasa Arab –menurut Tamâm Hassân- diklasifikasikan menjadi vokal (hurûf ‘illah) dan konsonan (hurûf sahîhah). 132 Vokal bahasa Arab terdiri dari: vokal pendek (fathah, kasrah, dammah) dan vokal panjang (fathah tawîlah, kasrah tawîlah, dan dammah tawîlah), sementara konsonannya terdiri dari: hamzah, bâ’, tâ’, tsâ’, jîm, h â’, khâ’, dâl, dzâl, râ’, zây, sîn, syîn, shâd, d âd, tâ’, dâ’,‘ain, ghîn, fâ’, qâf, kâf, lâm,

mîm, nûn, hâ, waw, yâ’. 133 Fonem-fonem inilah yang menjadi landasan dalam

129 Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 219; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 496.

130 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 496; John Rupert Firth (1890-1960) adalah sarjana linguistik bahasa Inggris. Bukunya The Tongues of Men and Speech (1964) dan Papers in

Linguistics 1934-1951, berpengaruh di Inggris. Sumbangannya terutama dalam teori semantik kontekstual dan fonologi prosodi. 131

Roger Lass, Phonology, h. 239-240; Ciri Prosodi -menurut Chomsky dan Halle- jenis ciri pembeda yang meliputi tekanan, nada, intonasi, dan sebagainya. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 36. 132

133 Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 152. Tamâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ , h. 73; Tamâm

Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 152. Bahasa Arab memiliki fonem yang jumlahnya 34, vokal terdiri dari lima, yaitu: kasrah, dammah, fathah (vokal tunggal), ai dan au (vokal rangkap).

pembentukan sistem ortografi yang digunakan oleh bahasa Arab, mengingat perannya yang penting dan terlihat dalam struktur kata.

Sementara itu unsur suprasegmental dimiliki juga oleh bahasa Arab, dan sangat diperlukan untuk mengungkapkan makna-makna tertentu untuk suatu ujaran bahasa Arab. Unsur-unsur yang biasa digunakan dalam ujarannya dapat berupa tekanan (stress/nabr) dan intonasi (intonation/tanghîm ) yang posisinya

terletak pada persendian (juncture/al-mafsal). 134 Tekanan merupakan istilah dari cara artikulasi suatu silabis (sylabel/maqta’) lebih kuat dari pada silabis lain

dalam suatu ujaran. 135 Unsur ini digunakan untuk menunjukkan bagian yang paling penting atau yang menjadi titik penekanan suatu ujaran, dan posisinya sudah demikian baku (tetap) dalam ujaran bahasa Arab, sehingga seorang yang memiliki kemampuan berbahasa Arab yang baik dapat menentukan posisi unsur ini. Unsur tekanan dalam bahasa Arab –menurut Kamâl Badrî- , terbagi menjadi: aulâ yang ditandai dengan [\], tsânawî [٨], mutawassit [/], dan da’îf [٧]. 136 Unsur tekanan dalam bahasa Arab hanya digunakan untuk makna-makna tertentu,

seperti: al-ta’kîd (emphasis), al-tarkîz (intensity), dan al-mufâraqah (contrast). 137 Selain itu juga bahasa Arab memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa yang

mempergunakan unsur ini sebagai pembeda makna (stress languages), hal itu dapat dilihat dari pembagian dan tingkat-tingkat unsur tekanan dalam beberapa ujaran bahasa Arab. Terlepas dari fungsi tekanan yang demikian besar dalam ujarannya, bahasa Arab tidak menggunakan unsur ini sebagai pembeda makna. Hal ini disebabkan bahwa makna suatu kata adalah sama dalam pandangan bahasa Arab, sementara penggunaan unsur tekanan hanya untuk makna dan maksud tertentu. Unsur ini juga belum dapat dialihkan ke bentuk lambang oleh sistem ortografi Arab, sehingga dapat dipastikan bahwa unsur ini tidak ada dalam tulisan

Sedangkan konsonan bahasa Arab sama seperti yang diungkapkan Tamâm Hassân. Lihat, Sudarno, Kata Serapan dari Bahasa Arab (Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990), h. 27-29. 134

Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 220; Martha C. Pennington, Phonology in English Language Teaching: An International Approach , h. 19; Samsuri, Analisis Bahasa, h. 145.

135 Kamâl Badrî, ‘Ilm al-Lughah al-Mubarmaj, h. 139; Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 211; Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 221.

137 Kamâl Badrî, ‘Ilm al-Lughah al-Mubarmaj, h. 151.

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 518.

Arab. Hal ini yang menjadi kelemahan dan ketidak sempurnaan dari fungsi aksara Arab, sebagai pelambang bunyi-bunyi bahasanya.

Unsur suprasegmental lain yang tak kalah penting dalam ujaran bahasa Arab adalah intonasi, yang dapat diartikan sebagai pola perubahan nada yang dibuat penutur (pembicara) ketika mengucapkan bunyi-bunyi ujaran. Intonasi juga dapat berarti ketepatan dalam menempatkan nada-nada dan sendi-sendi pada

bunyi-bunyi ujaran. 138 Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa unsur intonasi berada pada persendian-persendian yang terdapat dalam suatu ujaran bahasa.

Unsur ini dalam bahasa Arab terbagi menjadi dua, yaitu: tekanan tinggi (naik) dan tekanan rendah (turun). 139 Tekanan naik digunakan untuk menyatakan bahwa suatu kalimat ujaran belum lengkap karena masih berkaitan dengan kalimat setelahnya, dan biasanya ditandai dengan tanda koma (,) dalam kalimat klausa kondisional, dan tanda tanya (?) dalam kalimat interogatif. Sementara itu tekanan turun digunakan untuk menyatakan bahwa kalimat telah sempurna baik dari sisi bentuk atau pun makna, dan dilambangkan dengan tanda titik (.) pada kalimat deklaratif. Kedua macam unsur intonasi di atas telah berhasil dilambangkan oleh

aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda baca. 140 Beberapa kalimat bahasa Arab -sebenarnya- dapat menunjukkan dengan jelas keberadaan unsur intonasi,

karena penggunaannya hanya untuk makna dan maksud tertentu seperti unsur tekanan. Dalam arti bahwa makna umum suatu ujaran adalah sama, dan penggunaan unsur intonasi hanya diperuntukkan makna tertentu (sekunder).

Kedua unsur suprasegmental diakui keberadaannya dalam bahasa Arab, dan digunakan untuk menyatakan maksud-maksud tertentu. Penggunaannya terkait dengan maksud-maksud yang diinginkan penutur, dan hanya dapat diketahui secara baik pada komunikasi secara langsung (lisan). Aksara Arab belum mampu mengalihkan unsur tekanan, sementara unsur intonasi dapat dilambangkan melalui tanda baca. Tetapi penggunaan tanda baca belum cukup untuk memahami makna suatu kalimat, hal ini disebabkan kedua macam intonasi

Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 229.

140 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 534.

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 534-538.

masih memiliki variasi-variasi lain dan sangat berkaitan dengan makna-makna yang diinginkan penutur.