Sejarah Aksara Arab

B. Sejarah Aksara Arab

Asal usul aksara Arab masih menjadi ajang perdebatan di antara para ilmuan, baik antara ilmuan Islam sendiri atau dengan ilmuan Barat. Perbedaan

antara ilmuan Islam disebabkan oleh perbedaan pandangan dan ideologi mereka. Sementara itu ilmuan Barat mengemukakan beberapa teori, bahwa asal usul aksara Arab berasal dari skrip bahasa-bahasa yang ada sebelum masa Islam. 207 Dalam hal ini ilmuan Islam berusaha membantah teori-teori tersebut tanpa arah yang jelas, sementara beberapa ada yang berusaha membela dan mengikuti teori

Barat ini tanpa memiliki kebebasan analisis. 208 Terlepas dengan spekulasi asal usulnya, aksara Arab telah memiliki peran yang besar bagi dunia Islam dalam

melestarikan peninggalan-peninggalan Islam klasik. Aksara ini juga telah melewati beberapa tahap penyempurnaan, yang bertujuan untuk melengkapi kemampuannya, di samping sebagai solusi untuk meminimalisir beberapa kesalahan dalam membaca Alquran.

1. Asal usul aksara Arab Ahli klasik memiliki pandangan bahwa asal usul al-Khatt al-‘Arabî merupakan tawqîf atau anugerah dari Allah swt. 209 Dalam hal ini, tulisan Arab dan

206 ‘alâmah al-tarqîm adalah tanda seperti (koma, titik, tanya, seru, dll.) digunakan dalam tulisan kontemporer melalui kaidah, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami teks bacaan.

Lihat, Riyâd Zakî Qâsim, Taqniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabî (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 2000), h. 163. 207 al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 129-130; diambil juga pada tanggal 28 Mei 2008 dari Arabic Alphabet dan Abjad Arab, 208 http://www.wikipedia.com . al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 132. 209 Pandangan ini pernah diriwayatkan oleh Ibn Asytah dari Sa’îd Ibn Jubayr dari Ibn

‘Abbâs, ( ﺩﺎﺟ ﻮﺑﺃ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﻦﻣ ﷲﺍ ﻪﻟﺰﻧﺃ ﺏﺎﺘﻛ ﻝﻭﺃ ). Dalam Pandangan ini, Allah berperan besar dalam ‘Abbâs, ( ﺩﺎﺟ ﻮﺑﺃ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﻦﻣ ﷲﺍ ﻪﻟﺰﻧﺃ ﺏﺎﺘﻛ ﻝﻭﺃ ). Dalam Pandangan ini, Allah berperan besar dalam

bahwa bahasa adalah hasil karya manusia (muwadda’ah). Pandangan-pandangan ini berkaitan erat dengan ideologi dan madzhab yang dianut oleh masing-masing ahli klasik.

Sementara itu jika dilihat dari pandangan para ahli kontemporer tentang asal usul tulisan Arab, nampaknya lebih bersifat ilmiah dan usaha-usaha untuk membangun suatu teori. Sebagian besar pandangan para ahli tentang tulisan Arab sangat terpengaruh oleh teori-teori yang diungkapkan oleh ilmuan Barat, fakta dan bukti yang menjadi landasan teori-teori tersebut sangat konkrit. Beatrice Gruendler mengutarakan bahwa aksara (skrip) Arab berasal dari aksara Fenisia (phoenician alphabet ), karena –menurutnya- bahasa Arab merupakan yang paling jauh terisolasi. 212 Ada pula yang mengungkapkan bahwa perkembangan skrip

pengetahuan manusia akan sistem tulis, dan diperkuat dengan dalil ( ﻥﺎﻴﺒﻟﺍ ﻪﻤﻠﻋ ) dan ( ﺎﻬﻠﻛ ﺀﺎﲰﻷﺍ ﻡﺩﺁ ﻢﻠﻋﻭ ).

Lihat, Jalâl al-Dîn al-Sayûti, al-Muzhir fi ‘Ulûm al-Lughah wa Anwâ’ihâ , Tahqîq: M. ‘Abd al- Rahîm (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), h. 711; Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 145. 210

Enam orang tersebut adalah Abjad, Hawwaz, Hattî, Kalamun, Sa’fas, Qurisyat yang sampai pada ‘Adnân Ibn Udid. Ketika menemukan bunyi-bunyi yang tidak terdapat pada nama- namanya, mereka menamakannya dengan Tsakhadz dan Dazgh. Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al- ‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 146 211

Istilah Naturalisme bahasa dapat disamakan dengan istilah tawqîfiyyah al-lughah yaitu pendapat yang beranggapan bahwa bahasa dari Allah swt., yang diilhamkan kepada Nabi saw. untuk selanjutnya diajarkan dan digunakan oleh pengikutnya. Sementara istilah konvensionalisme dapat disejajarkan dengan muwadda’ah al-lughah yaitu yang mempunyai pandangan bahwa sekelompok orang bijak telah bersepakat untuk menggunakan kata tertentu untuk menunjukkan arti tertentu, kemudian disebarkan kepada masyarakat. Lihat, Khairon Nahdiyyin ,”Sumber Bahasa dalam Proses Pembakuan Bahasa Arab.” Adabiyyat Vol. 1, No. 2 (Maret 2003): h. 35.

212 al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 129.

bahasa Arab dipengaruhi oleh skrip bahasa Nabatean Aramea dan Syriac. 213 Pandangan ini diungkapkan oleh Theodor Noldeke pada tahun 1865, dan diikuti

oleh beberapa ilmuan Barat lainnya. Akan tetapi pendapat ini mulai pudar, seiring dengan munculnya teori J. Starcky yang berisi bahwa bahasa Arab berasal dari tulisan bahasa Syriac yang berbentuk meruncing (Syriac Cursive). Bahkan ada juga yang menyatakan bahwa umat Islam bangsa Arab, tidak memiliki sistem

tulisan sejak zaman kehidupan Nabi Muhammad saw. 214 Teori-teori ini bukan semata ungkapan kosong, akan tetapi dibangun dan dilengkapi dengan bukti-bukti

yang cukup kuat. Kiranya teori-teori ini yang telah mempengaruhi pandangan sebagian

besar ilmuan tentang asal usul aksara Arab, bahkan ilmuan-ilmuan Islam pun ikut terpengaruh. Pengaruh ini begitu kuat dan sangat jelas, apabila dilihat dari beberapa literatur yang membahas asal usul aksara Arab. Umumnya ilmuan- ilmuan Islam berpendapat, bahwa bahasa-bahasa yang ada sebelum datangnya

Islam memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap munculnya aksara Arab. 215 Pendapat ilmuan ini tidak bisa dihiraukan begitu saja, karena didukung dengan

bukti-bukti dan data-data yang kuat baik berupa manuskrip, inskripsi, atau dokumen-dokumen kuno Arab lainnya. Selain itu adanya kedekatan bentuk huruf antara tulisan Arab dengan tulisan bahasa-bahasa di atas, yang menjadi salah satu kenyataan keterpengaruhan aksara Arab dari aksara-aksara yang ada sebelumnya.

213 Diambil pada tanggal 28 Mei 2008 dari Arabic Alphabet dan Abjad Arab, http://www.wikipedia.com ;

pronounciation and language, http://www.ethnologue.com/ . 214 al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 129; Aksara

Arabic

alphabet,

Fenisia adalah aksara Semit Utara yang dipakai orang Fenisia (yang tinggal di daerah yang sekarang kita sebut Lebanon) yang sisa-sisa tertuanya berasal dari abad XI s.M, bersifat alfabetis, dan yang merupakan moyang langsung dari semua aksara Eropa. Sementara, aksara Aramea adalah aksara yang dipakai dalam bahasa Aramea di daerah sekitar Siria sekarang dan Mesopotamia sejak sekitar abad X s.M, dan yang menurunkan aksara Arab dan aksara Brahmi; bersifat alfabetis dan terdiri dari 22 huruf konsonan. Lihat, Kridalasana, Kamus Linguistik, h. 5, 7. Sedangkan, Syriac adalah sebuah bahasa yang termasuk cabang dari bahasa Aramea bagian Timur dan digunakan di beberapa wilayah di Iran, Iraq, dan Turki. Lihat, M. ‘Alî al-Khûlî, A Theoritical Linguistics (Beirut: Librairie du Liban, 1982), h. 280. 215

dari Abjad Arab, http://www.wikipedia.com . Inskripsi adalah kalimat minor bukan klausa, biasanya persembahan atau penghormatan pada awal sebuah karya. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 84.

Wâfî,

Fiqh

al-Lughah ,

251-254;

Diambil

juga

Hal berbeda dan sangat menarik perhatian adalah pendapat M. M. al- ‘Azmî, yang tertuang dalam bukunya berjudul, The History of The Qur’anic Text: from Revelation to Compilation (A Comparative Study with the Old and New Testaments). Dalam bukunya ini, al-‘Azmî membantah pendapat-pendapat yang selama ini beredar seputar asal usul aksara Arab. Aksara Arab -menurutnya- adalah sebuah bukti keberhasilan bahasa dan bangsa Arab, sementara teori-teori yang ada seputar aksara Arab dibangun berdasarkan kepada penilaian yang sangat

subjektif atas keberhasilan tersebut. 216 Bantahan ini juga dilengkapi dengan bukti- bukti hasil temuannya, melalui berbagai studi-studi terhadap segala dokumen,

inskripsi atau peninggalan Arab kuno yang pernah ada. Menurutnya perbanding antara satu atau dua contoh Estrangelo (Syriac) dengan beberapa manuskrip Arab-

Kristen yang ditemukan pada pertengahan kedua abad ketiga Hijriyyah, tidak mungkin untuk dijadikan suatu pendapat bahwa bahasa Syriac mempengaruhi Alquran. Sementara ada ratusan kalau tidak ribuan manuskrip Alquran pada periode ini. Skrip Syriac –tambahnya- pada tahun 250 Hijrah (berbentuk kecil, tajam dan tidak lurus ke depan), dan secara umum tidak sama dengan semua huruf Arab pada periode itu yang cenderung bengkok dengan satu garis lurus. 217 Pandangan ini bertujuan untuk membantah bahwa aksara Arab sangat dipengaruhi oleh bahasa Syriac, mengingat bentuk dan karakternya memang sangat berdekatan. Pada hakikatnya, pandangan al-‘Azmî ini diungkapkan dalam rangka usahanya untuk menghilangkan keragu-raguan sistem tulisan yang digunakan dalam Alquran.

Inskripsi-inskripsi yang dijadikan bukti bahwa skrip Arab berasal dari Nabatean menurut al-‘Azmî, sebenarnya hanya satu yang dapat disebut Nabatean, empatnya lagi adalah tulisan bahasa Arab dalam bentuk primitifnya, karena pada dasarnya bahasa Nabatean itu adalah salah satu bentuk primitif dari bahasa

Arab. 218 Selanjutnya al-‘Azmî memperlihatkan beberapa inskripsi Arab dari abad

217 al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 132. 218 al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 130-131.

Lima inskripsi dalam buku Abbot, yang menjadi dasar kesimpulan skrip Arab berasal dari Nabatean: Pertama, Inskripsi Nabatean di atas batu Fihr: Ummu al-Jimâl, tahun 250 M. Kedua, Inskripsi Arab Imru’ al-Kais, Namârah, 328 M. Ketiga, Inskripsi Arab dari Zabad, 512 M.

6 M, bentuknya menyerupai tulisan Arab yang digunakan pada abad pertama Hijrah/abad ketujuh Masehi. 219 Semua ini dilakukan olehnya untuk membantah pendapat bahwa bahwa umat Islam (bangsa Arab) tidak memiliki sistem tulisan sejak zaman kehidupan Nabi Muhammad saw., sekaligus inskripsi-inskripsi tersebut dapat dijadikan bukti yang sangat kuat untuk membantah teori-teori Barat tentang alfabet bahasa Arab kuno.

Terlepas dari perbedaan dua pendapat di atas, sebenarnya harus diakui bahwa teori-teori Barat dapat dijadikan motivasi dan dasar pijakan bagi ilmuan- ilmuan generasi selanjutnya untuk membuktikan keberhasilan bangsa Arab,

terutama dalam melahirkan suatu sistem aksara yang hingga saat ini masih berlaku dan digunakan untuk menuliskan bunyi-bunyi bahasanya.

2. Peran aksara Arab Aksara Arab memiliki peran yang sangat besar dalam sejarah perkembangan Islam, dari masa Nabi Muhammad saw. hingga saat ini. Peran itu sebenarnya didasari oleh peranan bahasa Arab itu sendiri yang menjadi bahasa Alquran, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan oleh agama Islam. 220 Keadaan seperti ini menjadikan aksara Arab sangat berperan, seiring dengan peranan bahasa Arab itu sendiri dalam masyarakat Islam yang begitu luas.

Peran aksara Arab mulai nampak sejak kemunculan Islam, fakta tersebut dapat dilihat dari beberapa kenyataan yang pernah dilakukan oleh Nabi saw. 221

Keempat, Inskripsi Arab di Harrân, 568 M. Kelima, Inskripsi Arab di Umm al-Jimâl, abad ke 6. Menurut al-‘Azmî hanya satu yang disebut Nabatean sedangkan empat lagi dalam tulisan Arab, sehingga dia berkesimpulan bahwa ada bahasa yang dikenal dengan bahasa Nabatean. Lihat, al- ‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 131-136.

219 al-‘Azmî memperlihatkan enam inskripsi Arab yang membantah bahwa bahasa Arab kuno tidak memiliki alfabet, inskripsi-inskripsi itu antara lain: (1) Inskripsi tiga bahasa sebelum

Islam dalam bahasa Arab, Yunani dan Syriak di Zabad 512 M. (2) Inskripsi bahasa Arab sebelum Islam di Jabal Asîs Damaskus 528 M..... dst. Lihat, al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi, h. 136-137. 220

Ahmad Fauzan, “Bahasa Arab dari Masa ke Masa.” Adabiyyat Vol. 6, No. II (Juli- Desember 2007): h. 237. 221 Sâlah al-Tanqârî, “Taatstsur al-Lughah al-Malâyûwiyyah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah:

Qirâah fi al-Asbâb wa al-Natâij ”, h. 6.

Aksara Arab digunakan untuk menulis Alqur’an oleh para sahabat, seperti: Zaid bin Tsâbit, Utsmân bin ‘Affân, Mu’âwiyah bin Abî Sufyân dan lainnya, atas perintah Nabi saw. Dalam beberapa kesempatan, Nabi saw. membuat keputusan yang dapat dijadikan bukti perhatian beliau terhadap pentingnya peran aksara (bahasa tulis). 222 Berikut ini beberapa bukti perhatian beliau terhadap aksara, di antaranya:

a. Pada perang Badar, Nabi Muhammad saw. meminta tawanan perang yang dapat menulis untuk mengajarkan keterampilan menulis kepada sepuluh Muslim sebagai tebusan.

b. Nabi Muhammad saw. memberi dukungan dan semangat kepada isteri-isteri beliau untuk belajar membaca dan menulis. Beliau pernah meminta Syifâ

binti ‘Abd Allah al-‘Adwiyah untuk mengajarkan keterampilan menulis kepada Hafsah RA. 223

c. Nabi Muhammad saw. memilih penulis yang terbaik atau memiliki tulisan yang paling baik. Sehingga, para sahabatnya berlomba-lomba memperindah tulisan mereka agar terpilih oleh Nabi saw.

Peran aksara Arab tidak hanya terbatas dalam menuliskan Alquran, Hadits, dan karya-karya Islam klasik saja. Pada perkembangan selanjutnya, aksara ini digunakan pula –seperti bahasa Arab- sebagai alat untuk mencatat berbagai macam ilmu dan pengetahuan dari Yunani dan Persia. Penggunaan ini terjadi seiring dengan maraknya proses terjemah yang dilakukan umat Islam, terutama pada masa dinasti ‘Abbâsiyyah. 224 Pada masa ini, umat Islam berada pada era keemasan dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan. Selain dalam bidang keilmuan dan sosial masyarakat, aksara Arab juga mampu berperan dalam bidang seni. Peran tersebut dapat dilihat pada seni dan kreatifitas seniman-seniman

Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 144; Sâlah al-Tanqârî, “Taatstsur al-Lughah al-Malâyûwiyyah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah: Qirâah fi al-Asbâb wa al- Natâij”, h. 6. 223

Dalam buku al-Futûh, Nabi Muhammad saw. berkata kepada Syifâ binti ‘Abd Allah al-

‘Adwiyah: " ﺔﺑﺎﺘﻜﻟﺍ ﺎﻬﻴﺘﻤﻠﻋ ﺎﻤﻛ ﺔﻠﻤﻨﻟﺍ ﺔﻴﻗﺭ ﺔﺼﻔﺣ ﲔﻤﻠﻌﺗ ﻻﺃ " . Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah

wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 144. 224 Pada masa ini dikenal dengan abad terjemah, yaitu dilakukan penterjemahan buku- buku ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Lihat, Ahmad Fauzan, “Bahasa Arab dari Masa ke Masa.” Adabiyyat Vol. 6, No. II (Juli-Desember 2007): h. 238-241.

Muslim dalam mengolah bentuk huruf Arab menjadi suatu karya tulisan indah. 225 Seni kaligrafi dengan segala bentuknya, merupakan bukti bagaimana huruf Arab

memberi inspirasi pada jiwa seniman-seniman Muslim. 226 Perkembangan seni kaligrafi yang begitu cepat disebabkan oleh adanya paham dan ajaran dalam agama Islam yang melarang untuk melukis objek manusia dan binatang. Luasnya wilayah dan beraneka ragamnya bangsa, kultur, budaya, dan bahasa umat Islam, juga ikut memiliki andil terhadap perkembangan seni kaligrafi.

Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa gaya dan bentuk tulisan seni kaligrafi yang terdapat dalam dunia Islam, seperti: Kûfî, Naskhî, Tsulutsî, Fârisî, Dîwânî, Riq’î, dan lainnya. 227 Masing-masing jenis kaligrafi muncul pada masa-

masa tertentu seiring pergantian tampuk kekuasaan dalam masyarakat Islam, sehingga dapat dilihat dengan jelas pengaruh budaya yang begitu kental dari bentuk dan corak kaligrafi. Hal ini merupakan suatu fakta bahwa perubahan- perubahan kekuasaan yang telah tercatat dalam sejarah peradaban Islam, sangat mempengaruhi terhadap bidang-bidang lain dalam masyarakat Islam. dan berkaitan erat dengan kuatnya pengaruh. Berikut contoh seni kaligrafi yang dimiliki aksara Arab: 228

a. Skrip Kûfî: hurufnya berbentuk lurus dan berujung tajam, hampir menyerupai skrip Nibthî. Skrip ini biasa digunakan untuk menulis Mushaf dan prasasti. Skrip Kûfî khusus digunakan untuk menuliskan ayat-ayat Alquran dan ibarat-

ibarat (do’a) setelah munculnya skrip Naskhî.

225 Mahmûd ‘Arafah Mahmûd dkk., Dirâsât fi al-Hadârah al-‘Arabiyyah al-Islâmiyyah (Kuwait: Maktabah Ibn Katsîr, 1997), h. 268-269. 226

Kaligrafi adalah seni menulis indah. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 92. 227 Abdul Chaer, Lingustik Umum, h. 93; Mahmûd ‘Arafah dkk., Dirâsât fi al-Hadârah al-

‘Arabiyyah al-Islâmiyyah, h. 269-276. 228 Mahmûd ‘Arafah dkk., Dirâsât fi al-Hadârah al-‘Arabiyyah al-Islâmiyyah , h. 268-276; Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 149-151;Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties, h. 321; diambil juga pada tanggal 30/01/2008 dari Calligraphy, http://www.wikipedia.com .

b. Skrip Naskhî: skrip ini seperti Tsulutsî yang lebih simpel, digunakan untuk menulis Alquran dan buku-buku lainnya. Skrip ini digunakan semenjak abad

7 H, berkembang lebih simpel pada masa kini dan digunakan pada percetakan-percetakan secara umum.

c. Skrip Tsulutsî: skrip ini muncul pada masa ‘Abbâsiyyah, dan digunakan untuk menuliskan judul buku dan ayat awal surat-surat Alquran. Sangat sulit untuk dikuasai karena bentuknya yang saling berkaitan dan lebih besar tiga

kali dari huruf biasa.

d. Skrip Fârisî: berasal dari Persia dan digunakan untuk menulis surat-surat dan buku-buku mereka, sebagian berpendapat bahwa skrip ini paling indah di

antara skrip-skrip lainnya. 229 Hal itu dapat dimaklumi mengingat bentuknya yang bagus dan juga mudah untuk dipelajari.

e. Skrip Dîwânî: skrip ini berkembang pada masa ‘Utsmâniyyah, digunakan secara resmi dalam tulisan administrasi negara pada masa itu, juga sangat indah dan berkesan ekslusif. 230 Bentuk huruf-hurufnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa Turki.

f. 231 Skrip Riq’î : skrip yang sangat mudah dan simpel dan biasa digunakan untuk menulis cepat.

230 Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 150. Mahmûd ‘Arafah dkk., Dirâsât fi al-Hadârah al-‘Arabiyyah al-Islâmiyyah , h. 269. 231 Riq’ah secara bahasa berarti potongan (sobekan) kertas yang digunakan untuk menulis.

Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 151.

Seni kaligrafi di atas tidak saja digunakan pada tulisan-tulisan yang berukuran kecil pada Mushaf, buku-buku, atau lainnya, tetapi juga menjadi penghias masjid-masjid dan bangunan-bangunan lainnya. Peran lain aksara Arab, digunakan untuk menuliskan beberapa bunyi bahasa lain, seperti: Turki, Parsi, Urdu, dan juga Melayu. 232 Hingga saat ini, santri-santri di pondok-pondok pesantren tradisional di Indonesia masih menggunakan aksara Arab untuk menuliskan makna (arti) sebuah kata Arab. Meskipun, arti tersebut menggunakan bahasa Jawa atau Indonesia. Semua fungsi di atas dapat dijadikan bukti, bahwa penyebaran agama Islam sangat berpengaruh terhadap penggunaan aksara ini pada bangsa-bangsa non-Arab.

3. Penyempurnaan aksara Arab Sebenarnya ada dua sistem tulis yang digunakan dalam bahasa Arab, seperti telah dibahas di awal bab ini. Kedua sistem ini berbeda satu sama lain, dan digunakan untuk tujuan berbeda. Sistem pertama (Mushaf ‘Utsmânî) dipakai untuk menuliskan Alquran, sementara sistem yang kedua digunakan oleh masyarakat yang menggunakan bahasa Arab secara umum. 233 Sistem yang digunakan untuk Alquran memiliki pengaruh yang besar bagi sistem yang kedua. Perubahan-perubahan terhadap sistem Mushaf ‘Utsmânî, selalu diikuti dan digunakan pada sistem tulis yang bersifat umum.

Menulis merupakan keterampilan yang sangat individu, cara seseorang menyalin informasi yang didengarnya dapat berbeda dengan yang lainnya. Hal ini terjadi pada masa Nabi Muhammad saw., setiap sahabat memiliki sistem tulis yang berbeda dengan sahabat lainnya ketika mendengarkan ajaran-ajaran (wahyu) dari Nabi saw. 234 Perbedaan asal suku, tempat, dialek dan adat, yang menjadi

232 Sâlah Mahjûb M. al-Tanqârî, “Taatstsur al-Lughah al-Malâyûwiyyah bi al-Lughah al- ‘Arabiyyah: Qirâah fi al-Asbâb wa al-Natâij ”, proseding makalah Seminar Internasional

“Enhancing the level of Arabic and its role in Dealing with the Challenge of Globalization”, Kenari Hotel Makassar, 8-10 September 2005, h. 8; Diambil juga dari Arabic Alphabet dan Abjad Arab, http://www.wikipedia.com 233 .

Diambil pada tanggal 28 Mei 2008 dari Arabic alphabet, pronounciation and language, 234 http://www.ethnologue.com/ . al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 147.

faktor perbedaan sistem tulis para sahabat. Sebagai contoh, Yahya berkata bahwa dia melihat surat yang dibacakan oleh Nabi Muhammad saw. kepada Khâlid bin Sa’îd bin al-‘Âs yang memuat beberapa kejanggalan: ﻥﺎﻛ ditulis ﻥﻮﻛ, ﱴﺣ dieja ﺎﺘﺣ . Beberapa bukti lain menyebutkan, bahwa beberapa sahabat menulis ﻝﺄﺴﻓ dengan ﻞﺴﻓ , ﻝﺎﻗ dengan ﻞﻗ meskipun tidak ada kesalahan dalam membacanya. 235 Setelah Alquran disatukan dengan menggunakan sistem tulis yang biasa dikenal dengan Mushâf ‘Utsmânî, barulah ada keseragaman dalam menuliskan wahyu-

wahyu Alquran. 236 Meskipun masih ada beberapa sahabat yang menggunakan pola-pola berbeda, namun hanya digunakan bagi dirinya sendiri. Penyatuan sistem

tulisan Alquran pada hakikatnya bertujuan untuk meminimalisir keberagaman yang terjadi ketika itu, yang dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan.

Aksara Arab -baik yang digunakan untuk Alquran atau secara umum- pada awal kemunculan Islam berbeda dengan aksara Arab pada saat ini. Letak perbedaan yang sangat menonjol terdapat pada: Pertama, kerangka tanda titik pada huruf-huruf konsonan dalam aksara Arab. Kedua, tanda diakritikal untuk

vokal bahasa Arab. 237 Pada umumnya aksara Arab yang digunakan pada masa awal Islam, belum menggunakan kerangka tanda titik (nuqat al-i’jâm) untuk

membedakan huruf-huruf yang memiliki kerangka yang sama, seperti: ﺡ , ﺥ , dan ﺝ . Aksara Arab juga belum memiliki tanda diakritikal yang biasa dikenal dengan

tasykîl (nuqat al-i’râb), seperti: fathah, dammah, kasrah, dan lainnya. Alquran pada masa itu tidak memuat kedua tanda tersebut, meskipun ada bukti-bukti kukuh yang menunjukkan bahwa konsep tanda titik bukan suatu yang

baru untuk orang Arab, dan sudah diketahui sebelum Islam datang. 238 Bangsa Arab pada masa awal Islam tidak membutuhkan tanda titik atau pun tanda

al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 147. 236 Untuk lebih detil lihat ‘Alî A. Al-Wâhid Wâfî, Fiqh al-Lughah , h. 255; al-‘Azmî,

Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 147-151. 237 al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 151; ‘Alî A. Al- Wâhid Wâfî, Fiqh al-Lughah , h. 255. 238 Bukti-bukti yang menunjukkan konsep tanda titik sudah dikenal sebelum Islam adalah: (1) Batu nisan Raqûsy 267 M, memuat tanda titik di atas huruf dzâl, râ, dan syîn. (2) Inskripsi dari Sakâka (Arab Utara) ditulis dalam skrip yang rada aneh. (3) Inskripsi dekat Mekkah 46 H mencatat satu tanda titik di atas huruf ب . Untuk lebih detil lihat al-‘Azmî, Sejarah Teks Al- Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 151-154.

diakritikal untuk dapat membaca Alquran dengan benar. Kemampuan mereka dalam bahasa Arab dan sistem belajar secara lisan pada masa itu, merupakan suatu metodologi pengajaran yang dapat mengurangi kesalahan membaca Kitab Suci

(Alquran). 239 Metodologi seperti ini sangat baik, karena kesalahan yang terjadi dapat langsung dibetulkan oleh seorang guru.

Penyebaran Islam yang begitu pesat sehingga wilayahnya tersebar luas ke segala penjuru pada periode-periode berikutnya, mengakibatkan pemeluk Islam tidak hanya orang-orang Arab saja, tetapi bangsa-bangsa non-Arab pun banyak yang memeluk Islam. Pertukaran budaya, tradisi, dan bahasa pun terjadi antara

pemeluk Islam yang majemuk. Alquran sebagai Kitab Suci umat Islam tidak hanya dibaca oleh orang-orang yang dapat berbahasa Arab saja, tetapi seluruh

pemeluk Islam. Dampak dari pertukaran itu sering terjadi kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Arab (al-lahn), 240 dan yang mengkhawatirkan kesalahan- kesalahan itu terjadi pula pada saat membaca Alquran. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, ‘Alî tidak lagi bimbang dan kemudian meminta Abû al-Aswad al-Dualî (w. 69 H/688 M) untuk mengarang sebuah risalah tentang tata bahasa Arab. 241 Tata bahasa ini berfungsi sebagai aturan atau kaidah untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang semakin luas di antara pemeluk Islam.

Abû al-Aswad al-Dualî menetapkan empat tanda diakritikal yang diletakkan pada ujung huruf tiap kata. Tanda-tanda tersebut berbentuk titik-titik

Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 147; al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 147. 240 ‘Abd al-Karîm M. al-As’ad, al-Wasît fi Târîkh al-Nah wu al-‘Arabî (Riyad: Dâr al- Syawwâf, 1992), h. 22; Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 147; Contoh al-lahn adalah: (1) Tidak memberi tanda i’râb (taskîn) huruf akhir pada suatu kata. (2) Kesalahan pengucapan pada huruf-huruf yang berdekatan makhrajnya seperti zâ dan dâd. (3) kesalahan pada kaidah Nahwu. (4) kesalahan pada pembentukan kata. Lihat, Ahmad Mukhtâr ‘Umar, al-Bahts al- Lughawî ‘inda al-‘Arab , cet. VIII (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2003), h. 86-87.

241 al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 154; Abû al- Aswad al-Dualî (w. 69 H/688 M) dikenal sebagai orang pertama peletak dasar-dasar ilmu Nahwu.

Meskipun, beliau melakukannya atas arahan dan anjuran ‘Alî bin Abî Tâlib. Lihat, ‘Abd al-Karîm M. al-As’ad, al-Wasît fi Târîkh al-Nah wu al-‘Arabî, h. 27-32; Ada juga perbedaan antara ‘Umar atau ‘Alî sebagai orang yang menganjurkan al-Dualî melaksanakan penyempurnaan pada sistem aksara Arab, untuk lebih detil lihat Ahmad Mukhtâr ‘Umar, al-Bahts al-Lughawî ‘inda al-‘Arab ,

h. 83-87; Abû al-Aswad al-Dualî adalah peletak dasar ilmu bahasa Arab, yang berpendapat bahwa tujuan gramatika ialah menjaga agar bahasa Arab, terutama sebagai bahasa yang dipakai dalam Alquran tetap terpelihara dengan baik. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 46.

merah yang dapat membedakannya dari titik yang menjadi kerangka huruf. Titik di atas huruf sebagai fathah, di bawah huruf sebagai kasrah, dan titik sesudahnya sebagai dammah. Untuk tanwîn, al-Dualî menggunakan dua titik pada posisi

(letak) yang sama. 242 Kemudian al-Dualî mendapat perintah untuk melaksanakan sistem tanda titik ke dalam naskah Mushaf pada zaman pemerintahan Mu’âwiyah

(w. 60 H/679 M). Konsep al-Dualî ini kemudian diturunkan ke generasi penerusnya, sehingga sampai pada al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhîdî. 243 Konsep

tersebut disempurnakan oleh al-Khalîl dalam bentuk harakah (syakl), yang digunakan hingga saat ini.

Pada masa dinasti ‘Umawiyyah, ‘Abd al-Malik bin Marwân memberi perintah kepada al-Hajjâj bin Yûsuf al-Tsaqafî, Nashr bin ‘Âsim, dan Yahya bin

Ya’mar agar meletakkan tanda titik (nuqat al-i’jâm), tujuannya untuk membedakan huruf-huruf yang memiliki kemiripan dalam skemanya. 244 Lalu pada masa dinasti ‘Abbâsiyah, konsep yang diturunkan dari al-Dualî dirubah oleh al- Khalîl dengan menggantikan tanda titik merah berbentuk menyerupai karakter

seperti sekarang ini. 245 al-Khalîl menetapkan delapan tanda diakritikal untuk menandakan berbagai bunyi bahasa Arab, antara lain: fathah, dammah, kasrah,

sukûn, syaddah, maddah, s ilah, dan hamzah. 246 Penyempurnaan ini berkembang dengan cepat sehingga bukan hanya digunakan untuk menulis Alquran saja, tetapi digunakan secara umum. Begitulah beberapa penyempurnaan yang dilakukan terhadap aksara Arab untuk lebih melengkapi kemampuannya dalam merekam bunyi-bunyi bahasa Arab yang semakin hari semakin bertambah pesat. Penyempurnaan-penyempurnaan itu pada akhirnya membuat semua simbol yang dimiliki aksara Arab dapat ditulis dengan menggunakan satu warna tinta.

242 Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 147; al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 155.

244 al-‘Azmî, Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi , h. 155. 245 Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 147-148.

Khalîl bin Ahmad al-Farâhîdî (w. 170 H), ahli bahasa Arab yang pertama menyusun kamus bahasa Arab, dan yang pertama menyusun kaidah prosodi Arab. Kamusnya berjudul: Kitab al-‘Ain, buku lainnya adalah Kitâb al-‘Arûd. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 110. 246

Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 148.

Dari uraian tentang aksara Arab di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sistem aksara yang digunakan bahasa Arab dalam pelambangan bunyinya termasuk dalam klasifikasi jenis tulisan ortografis, terdiri dari huruf primer, huruf dan tanda tambahan, dan kaidah ejaan. Aksara ini memiliki asal usul yang beragam, seiring pandangan para ahli yang berbeda dalam konteks sejarah aksara Arab. Terlepas dari itu semua, aksara ini memainkan perannya sebagai pelambang bahasa dari mulai masa Islam klasik hingga saat ini. Penulisan Alquran, Hadits, karya klasik, dan penyempurnaan-penyempurnaan sistem aksara Arab dapat dijadikan bukti dari perannya selama ini.

BAB IV PENGAKSARAAN BUNYI BAHASA ARAB

Pengaksaraan bunyi merupakan suatu proses, di mana bunyi-bunyi bahasa dialihkan ke dalam bentuk simbol. Proses ini dilakukan melalui beberapa tahapan, dimulai dari pemilihan bunyi, pelafalan bunyi secara terpisah dari bunyi lain yang berdampingan dengannya dalam konteks kata, penetapan simbol, dan kaidah ejaan sebagai aturan penggunaan simbol tersebut. Pada dasarnya proses ini merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat bahasa, untuk memudahkan pemanfaatan bunyi-bunyi tersebut dalam berbagai aspek, baik sosial ataupun pendidikan. Akan

tetapi masih saja terdapat kesulitan-kesulitan dalam penggunaan sistem aksara, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: karakter simbol dan kaidah ejaannya, atau juga tingkat pemahaman masyarakat terhadap keduanya. Kesulitan ini tentunya merupakan suatu kendala, karena dapat melahirkan berbagai kesalahan dalam aspek kebahasaan, selain juga dapat dijadikan acuan untuk menilai suatu sistem aksara baik dari sisi keutamaan ataupun kelemahannya.