Permasalahan dalam Penggunaan Aksara Arab

D. Permasalahan dalam Penggunaan Aksara Arab

Sistem bahasa tulis untuk bunyi-bunyi bahasa Arab dibentuk dan berlandaskan pada satuan bunyi (fonem) bahasanya. 455 Standar pembentukannya

adalah lafal suatu bunyi yang dipisahkan dari bunyi-bunyi lain, yang ada dan bersandingan dengannya dalam konteks kata. Cara seperti ini dilakukan untuk

mempermudah penetapan bunyi yang akan dijadikan acuan dalam pemilihan simbol. 456 Penetapan simbol untuk setiap bunyi, kemudian dilengkapi oleh kaidah

ejaan dalam penggunaannya sebagai bahasa tulis. Kaidah ini harus diikuti dalam setiap penggunaan simbol, sehingga tidak memunculkan permasalahan. 457 Pada hakikatnya permasalahan yang terjadi –sebenarnya- bukan hanya disebabkan oleh sistem aksara Arab saja, tapi ada faktor lain yang juga dapat menjadikan sistem ini sulit dalam tataran penggunaannya. 458 Permasalahan tersebut -dapat dipastikan- terjadi pada penulisan huruf dan tanda untuk semua klasifikasi bunyi bahasa Arab, hal semacam ini -tentunya- harus segera diatasi sehingga tidak memunculkan kesalahan-kesalahan dalam penggunaan aksara Arab.

1. Permasalahan dalam penulisan bunyi vokal Sebenarnya bunyi vokal bahasa Arab dapat dituliskan dengan baik, karena

aksara Arab telah dilengkapi dengan tanda diakritik ( ُـ ،ِـ ،َـ ) untuk vokal

ﻱ 459 ،ﻭ ،ﺍ ) untuk vokal panjang. Dengan keberadaan simbol

pendek, dan huruf (

vokal ini, seseorang hanya perlu untuk mempelajari beberapa varian (alofon)

456 al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 251-252. 457 Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 146. 458 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , h. 15.

al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 137. 459 Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 73; David Cowan,

An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 4.

vokal Arab dalam konteks kata, sehingga dapat terhindar dari kesalahan dalam pelafalan bunyi ini. Persoalannya, tanda diakritik ini tidak ditemukan dalam tulisan-tulisan Arab yang sebenarnya. Tulisan-tulisan Arab yang ada dan beredar luas, seperti: dalam koran, media, buku, dan lainnya, biasanya tidak dilengkapi tanda diakritik. Kata-kata Arab tanpa tanda diakritik memang mudah untuk dituliskan, namun dapat melahirkan masalah, mengingat tanda ini tidak hanya berperan sebagai penanda bunyi vokal saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi lain dalam bahasa Arab.

Tulisan Arab yang tidak dilengkapi dengan tanda diakritik dapat menjadi kendala dan permasalahan, seperti: 460

a. Tulisan Arab menjadi sulit untuk dibaca dengan baik dan benar, karena beberapa bunyinya tidak ditulis. Dalam hal ini, perlu ditekankan kembali dua aspek penting berkaitan dengan keterampilan membaca: Pertama, untuk dapat membaca suatu tulisan dengan benar harus terlebih dahulu didukung oleh beberapa faktor, salah satunya adalah simbol-simbol sebagai penanda bunyi dapat terlihat dengan jelas. Bagaimana mungkin seseorang dapat membaca sebuah kata dengan benar, jika ada beberapa bunyinya yang tidak tertulis? Karena pengertian dari kata membaca itu adalah dapat melafalkan bunyi melalui simbol-simbol yang tertulis (terlihat), kemudian dapat

memahaminya. 461 Kedua, bunyi adalah unsur terkecil dalam pembentukan kata, dan akan berubah-ubah cara pelafalannya ketika berdampingan dengan

bunyi-bunyi lain yang ada dalam kata tersebut. 462 Sehingga tidak mungkin seseorang dapat melafalkan bunyi secara baik dan benar, jika bunyi itu sendiri tidak dapat dilihat. Apalagi untuk membaca kata, kalimat, atau sebuah ujaran bahasa. Kondisi seperti ini dapat dijadikan bukti bahwa bunyi-bunyi pada kata-kata Arab belumlah lengkap, jika tidak dilengkapi oleh tanda diakritik ini.

461 Wâfî, Fiqh al-Lughah, h. 259-260. Samîr Yûnus Salâh dan Sa’ad M. al-Rasyîdî, al-Tadrîs al-‘Âm wa Tadrîs al-Lughah al-

‘Arabiyyah (Kuwait: Maktabah al-Fallâh, 1999), h. 157. 462 Sudarno, Kata Serapan dari Bahasa Arab (Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990), h. 22;

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 192.

b. Satu kata atau kalimat Arab yang tidak dilengkapi dengan tanda ini, pastinya akan dibaca dengan cara yang berbeda-beda. Keadaan seperti ini pasti terjadi mengingat fungsi tanda diakritik bukan hanya sebagai penanda vokal pendek saja, akan tetapi berperan pula sebagai tanda i’râb bagi kata-kata yang membentuk kalimat bahasa Arab. 463 Dengan adanya tanda ini, kata-kata yang menjadi unsur pembentuk kalimat Arab tidak saja mudah untuk dilafalkan, tetapi juga dapat diketahui jenis-jenisnya dalam tataran morfologi, seperti:

( ﺮﺼﻧ ) apakah harus dibaca ( ... ﱁﺇ ،ﺮﺼﻧ ،ﺮِﺼﻧ ،ﺮﺼﻧ )? Selain itu dapat pula

diketahui urutan dan jabatan kata-kata dalam suatu kalimat, sehingga tidak

terjadi kesalahan-kesalahan dalam tataran sintaksis, contohnya: ( ،ﺱﺭﺪﳌﺍ ﺀﺎﺟ ... ﱁﺇ ، ِﺱﺭﺪﳌﺎﺑ ﺕﺭﺮﻣ ،ﺱﺭﺪﳌﺍ ﺖﻳﺃﺭ ), dan pada ayat-ayat Alquran, seperti: ( ﷲﺍ ﻥﺇ

ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﲔﻛﺮﺸﳌﺍ ﻦﻣ ﺀﻱﺮﺑ ), ( ﱃﺇ ﻢﻜﻠﺟﺭﺃﻭ ﻢﻜﺳﻭﺅﺮﺑ ﺍﻮﺤﺴﻣﺍﻭ ﻢﻜﻫﻮﺟﻭ ﺍﻮﻠﺴﻏﺎﻓ ... ﲔﺒﻌﻜﻟﺍ ). Tanda ini memberi kemudahan bagi seseorang untuk membaca

tulisan Arab, dan dapat membantunya untuk menghindari kesalahan- kesalahan baik dari sisi morfologi atau sintaksis. Sehingga yang dibutuhkan seorang pembaca hanya mencari cara agar apa yang dibacanya dapat dipahami dengan baik, seperti yang terjadi pada aksara Latin.

c. Kata-kata yang digunakan untuk menunjukkan nama (orang, kota, gunung, dan lainnya) akan sulit untuk dibaca tanpa adanya tanda diakritik, seperti:

( ... ،ﱯﻇ ﻮﺑﺃ ،ﻞﻴﻨﻟﺍ ). Kesulitan ini pastinya dapat menimbulkan kesalahan

pelafalan pada kata-kata tersebut, karena tidak ada petunjuk untuk itu. Seseorang mungkin dapat membaca dengan benar, jika sebelumnya telah mengetahui dan mengenal kata tersebut. Oleh sebab itu, beberapa kamus bahasa telah memuat petunjuk dan cara pelafalan kata-kata, untuk menghindari kesalahan pelafalan. 464 Keadaan tulisan seperti ini pastinya bertambah sulit lagi, apabila digunakan untuk menuliskan nama-nama asing,

seperti: ( ... ،ﻙﺭﻮﻳ ﻮﻴﻧ ،ﺕﺭﺎﻜﻳﺩ ). Hal ini yang dapat dijadikan bukti bahwa

464 Tamâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa , h. 72. Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 268.

sistem tulisan suatu bahasa, belum tentu baik (cocok) untuk melambangkan bunyi bahasa lain.

d. Tulisan seperti ini akan menimbulkan lahn (kesalahan) yang begitu luas, karena tidak ada batasan-batasan sebagai acuan dalam membaca kata-kata Arab. Persoalan ini tentu sangat bertolak belakang dengan fungsi sesungguhnya dari tanda ini, ketika ditetapkan oleh Abû al-Aswad al-Dualî

beberapa masa yang telah silam. 465 Fungsi tanda diakritik -ketika itu- adalah untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam membaca

Alquran. 466 Kesalahan-kesalahan pada saat itu terjadi akibat pengaruh dari unsur dialek dan daerah umat Islam yang sangat beragam, seiring dengan

luasnya wilayah Islam. Dengan adanya tanda ini, umat Islam hanya tinggal mempelajari cara pelafalan Alquran yang sesungguhnya, dan berusaha untuk menghindari unsur-unsur yang berasal dari daerahnya masing-masing.

Empat hal yang telah disebutkan di atas dapat dijadikan tolok ukur, fungsi penting keberadaan tanda diakritik dalam tulisan Arab. Meskipun di sisi lain, penulisan tanda diakritik juga dapat menjadi permasalahan, dikarenakan letak dan posisinya dalam sebuah kata. Posisi tanda ini dalam tulisan Arab –dapat dikatakan- tidak berada di dalam struktur kata, namun terpisah dari struktur kata. Hal ini sangat rentan dan dapat mengakibatkan kesalahan-kesalahan, baik dalam

peletakkan atau kesalahan tanda. 467 Penulisan tanda diakritik membutuhkan kehati-hatian dan ketelitian dari masyarakat bahasa Arab, agar tidak terjadi

kesalahan-kesalahan dalam pelafalan atau pemahaman tulisan Arab. Selain tidak adanya tanda diakritik, beberapa karakter dan kaidah ejaan aksara Arab dalam pelambangan bunyi vokal, dapat melahirkan kesulitan-kesulitan. Bukti semua itu dapat dilihat dalam karakter dan kaidah aksara Arab dalam dua aspek: Pertama, penulisan fathah tawîlah, dan kedua, karakter khusus aksara Arab yang

M. M. al-‘Azmî, Sejarah Teks Alquran dari Wahyu sampai Kompilasi (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 155.

467 Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 147. Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 153..

melahirkan ketidak harmonisan antara bunyi dan simbol, seperti: bunyi tanpa simbol atau sebaliknya ada simbol tetapi tidak ada bunyi.

a. Fathah tawîlah

Bunyi vokal panjang ini ditulis dengan dua simbol ( ﻯ ﻭﺃ ﺍ ), hal ini

membuat aksara Arab tidak dapat memenuhi aspek keharmonisan yang menjadi salah satu standar sistem aksara yang baik. Kedua simbol itu masing-masing

memiliki posisi dan berbeda satu sama lainnya, seperti: ( 468 ﻰﺴﻴﻋ ،ﺎﻴﻧﺎﳌﺃ ،ﻰﻣﺭ ،ﺎﻋﺩ

). Sebenarnya kedua simbol ini digunakan untuk menunjukkan huruf asal pada beberapa kata tertentu, misalnya: alif yang ditulis dalam kata kerja berasal dari

wâw, dan alîf maqsûrah berasal dari yâ’. 469 Untuk dapat membuktikannya,

seseorang dapat melihat pada bentuk masdar atau mudâri’nya, seperti: ( ﻮﻋﺪﻳ – ﺎﻋﺩ

ﺓﻮﻋﺩ - ) dan ( ﺔﻴﻣﺭ - ﻲﻣﺮﻳ – ﻰﻣﺭ ).

Kedua simbol untuk menandakan fathah tawîlah ini tentunya dapat menimbulkan kesulitan, jika tidak diimbangi pemahaman yang memadai baik kaidah aksara ataupun kaidah bahasa Arab. Penguasaan yang baik terhadap keduanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam aksara Arab, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam penggunaannya.

b. Simbol tertulis bunyi tidak diucapkan atau sebaliknya Dalam tulisan Arab terdapat unsur ketidak harmonisan antara simbol dan bunyi dalam suatu kata, dan menjadi bagian dari karakter dan kaidah khusus

aksara Arab, contoh: ( ... ﱁﺇ ،ﻭﺮﻤﻋ ،ﺍﻮﺟﺮﺧ ،ﻚﺌﻟﻭﺃ ،ﺔﺋﺎﻣ ) dan ( ﱁﺇ ،ﻦﻜﻟ ،ﻦﲪﺮﻟﺍ ،ﷲﺍ ... 470 ). Bagian pertama menunjukkan ketidak harmonisan antara keduanya, karena

ada simbol yang tidak diucapkan. Sementara bagian kedua sebaliknya, bunyi dilafalkan tanpa ada simbol tertulis. Penggunaan simbol pada beberapa kata ini mungkin memiliki alasan yang dapat diterima, seperti: wâw pada ( ﻭﺮﻤﻋ )

Mustafâ Ghalâyaynî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah , h. 155-156; Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâssah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 111-112.

470 M. Rajab al-Najjâr dkk., al-kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 109-110. M. Rajab al-Najjâr dkk, al-Kitâh al-‘Arabiyyah, h. 103, 105.

digunakan untuk membedakannya dari kata ( ﺮﻤﻋ ), dan alif pada ( ﺍﻮﺟﺮﺧ ) digunakan untuk membedakan wâw jamâ’ah (subyek) dengan wâw asli pada (

ﻮﻋﺩﺃ 471 ). Walaupun dengan alasan yang dapat dimaklumi, dalam tataran praktisnya penggunaan huruf ini tetap saja menimbulkan kesulitan, karena pada

hakikatnya kedua simbol itu tidak dilafalkan. Kedua persoalan di atas sebenarnya menjadi karakter khusus atau ciri dari

aksara Arab, 472 dan penggunaanya didasarkan pada alasan-alasan yang dapat diterima. Akan tetapi semua itu membutuhkan pemahaman yang memadai tentang

karakter dan kaidah aksara atau kaidah bahasa Arab, agar dapat mengatasi kesulitan pada penggunaan aksara Arab. Sebaliknya tanpa pemahaman yang baik,

karakter dan kaidah seperti ini justru dapat menjadi kesulitan yang mengakibatkan kesalahan-kesalahan dalam penggunaan aksara Arab. Bukti semua itu dapat

dilihat dari pernyataan dan pandangan para ahli, menurut M. ‘Alî al-Khûlî di antara kesalahan-kesalahan aspek imlâ’i yang sering terjadi dalam pembelajaran

keterampilan menulis terletak pada penulisan simbol alif pada kata ( ،ﺀﻻﺆﻫ ،ﻚﻟﺫ ... ﱁﺇ ﻦﻜﻟ ،ﻪﻟﺇ ), sebaliknya pada kata ( ... ﱁﺇ ﻭﺮﻤﻋ ،ﺍﻮﺟﺮﺧ ،ﺍﻮﺒﻫﺫ ) siswa tidak

menuliskan alif karena tidak terdengar bunyinya. 473 Segala bentuk dan macam kesalahan dalam penulisan kata-kata yang telah disebutkan di atas, secara jelas dapat disimpulkan seperti yang terlihat pada tabel berikut:

Tabel 6 Kesalahan Penulisan

Penulisan Alif

Benar

Salah

Dengan huruf (ا)

Dengan huruf (ى)

Tidak ditulis

Tertulis

472 Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâss ah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 113-115. Rusydî A. Tu’aimah, Ta’lîm al-‘Arabiyyah li Ghayr al-Nât iqîn bihâ (al-Rabât:

ISESCO, 1989), h. 39. 473 al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 136.

Dari uraian tentang pelambangan bunyi vokal di atas dapat disimpulkan, sebenarnya semua bunyi vokal dalam bahasa Arab telah berhasil dipindahkan dalam bentuk simbol, tetapi masih saja timbul kesulitan-kesulitan. Hal itu akibat kebiasaan tulisan Arab, karakter khusus, dan kaidah aksara yang terlalu rumit untuk beberapa kalangan. 474 Kesulitan ini dapat menjadi penyebab kesalahan- kesalahan, baik dalam pelafalan ataupun penulisan kata-kata Arab. Mungkin benar pendapat beberapa ahli yang menyatakan, bahwa tulisan Arab dapat dibaca dengan baik apabila -terlebih dahulu- telah memahami kaidah aksara dan bahasa Arab. Berbeda dengan aksara Latin, di mana membaca merupakan jalan untuk memahami makna yang dikandung oleh suatu tulisan. 475 Inilah beberapa kesulitan

dalam pelambangan vokal Arab yang terjadi akibat karakter, dan kaidah aksara Arab, yang dapat melahirkan kesalahan dalam penggunaannya sebagai pelambang bunyi bahasa Arab.

2. Permasalahan dalam penulisan bunyi konsonan Pelafalan konsonan Arab -sebelum dialihkan dalam simbol-, merupakan persoalan yang sulit bagi orang Arab sendiri. Kesulitan itu terjadi karena adanya

beberapa bunyi yang hampir mirip satu sama lainnya, seperti: / ﻅ ،ﺫ /, / ﺫ ،ﺙ /, / ،ﺕ ﻁ 476

/, / ﻩ ،ﺡ /, / ﻕ ،ﻙ / dan lainnya. Menurut ‘Abd al-Latîf A. Al-Syuwayrif,

kesalahan yang paling sering terjadi dalam pelafalan huruf Arab dan penulisannya, terletak pada: /

ﺙ 477 ،ﺕ /, / ﺫ ،ﺩ /, dan / ﻅ ،ﺽ /. Dengan sendirinya,

kesulitan ini akan bertambah untuk siswa yang belajar bahasa Arab sebagai bahasa asing. Hal itu disebabkan karena pasti ada perbedaan antara bunyi bahasa siswa dengan bunyi bahasa Arab. Perbedaan tersebut tentu dapat menjadi tingkat kesulitan yang dihadapi oleh siswa dalam belajar bahasa Arab, sehingga dapat mengakibatkan kesalahan dalam pelafalan bunyi-bunyi bahasa Arab.

475 Wâfî, Fiqh al-Lughah, h. 258-259. 476 al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 245.

al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 133. 477 ‘Abd al-Latîf A. Al-Syuwayrif, al-Tadrîbât al-Luhgawiyyah li al-Sanah al-Ûlâ (T.k:

Kulliyyah al-Da’wah al-Islâmiyyah, 1997), h. 43.

Perbedaan bunyi antara bahasa Arab dan bahasa Inggris –menurut ‘Alî A.

Madkûr dan Îmân Huraydî -, dapat dilihat dengan tidak adanya bunyi / ﺡ /, / ﺥ /, / /, / /, / /, / /, / /, / /, dan / / pada bahasa Inggris. 478 ﺹ ﺽ ﻁ ﻅ ﻉ ﻍ ﻕ Bunyi-bunyi ini tentu dapat menjadi persoalan, jika ingin dilafalkan oleh orang Inggris. Sementara jika dilakukan perbandingan antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia, terdapat beberapa persamaan antara keduanya, sehingga tidak menimbulkan kesulitan untuk melafalkan beberapa bunyi bahasa Arab yang sama dengan bunyi bahasa Indonesia, mungkin kesalahan hanya dapat terjadi karena pelafalannya tertukar dengan bahasa Indonesia, seperti: / ﺽ / dengan /d/, / ﻍ / dengan /g/, / ﺫ / dengan /z/, dan / ﺙ / dengan /s/. 479 Pastinya pelafalan bunyi Arab yang sulit bagi siswa Indonesia adalah bunyi yang tidak ada pada bahasa Indonesia, seperti: / ﺙ /, / ﺡ /, / ﺽ /, / ﻑ /, / ﻍ /, / ﻉ /, / ﻅ /, dan sebagainya. Perbedaan ini dapat dijadikan landasan dalam dunia pendidikan, sehingga siswa tidak mengalami kesulitan dalam melafalkan bunyi-bunyi tersebut.

Aksara Arab sebenarnya sudah mendekati aspek kesempurnaan yang merupakan salah satu standar untuk melihat kemampuan sistem aksara suatu bahasa. Hal ini disebabkan semua bunyi konsonan bahasa Arab, dapat dilambangkan dengan jelas melalui simbol. Aksara Arab melambangkan

konsonan bahasanya dengan huruf primer yang tersusun dalam abjadnya ( ،ﺏ ،ﺀ ... ﱁﺇ ،ﺝ ، ﺙ ،ﺕ ) dan ditambah dengan penggunaan tanda lain sebagai

pelengkap, seperti: (tâ’ marbûtah, syaddah, dan sukûn ). Hanya saja kesempurnaan tersebut masih kurang, karena dalam tataran praktisnya masih ada kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh kelemahan aksara Arab itu sendiri, seperti:

a. Setiap huruf primer memiliki ragam bentuk perubahan Huruf primer Arab memiliki bentuk-bentuk perubahan, yang disesuaikan

dengan posisi bunyinya pada suatu kata. 480 Hampir semua huruf memiliki empat

478 ‘Alî A. Madkûr dan Îmân Huraydî, Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghayr al- Nâtiqîn bihâ: al-Naz ariyyah wa al-Tatbîq (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 2006), h. 300. 479

Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 41. 480 David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 1-2; Clive Holes, Modern

Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 316-317.

macam bentuk perubahan, kecuali huruf-huruf yang tidak dapat dihubungkan

dengan huruf berikutnya ( ﻭ ،ﺯ ،ﺭ ،ﺫ ،ﺩ ،ﺍ ). Perubahan ini pada hakikatnya dapat

dimaklumi dan sangat dinamis, mengingat struktur dan bentuk huruf-huruf Arab yang geometris. Bentuk tersebut mampu menunjukkan karakter khusus untuk masing-masing huruf, seperti: huruf yang hanya dapat dihubungkan dengan huruf sebelumnya, selebihnya adalah huruf yang dapat dihubungkan dengan huruf

sebelum dan sesudahnya. 481 Akan tetapi dengan segala karakter yang dimilikinya ini, aksara Arab terlalu sulit untuk digunakan jika dibandingkan dengan

penggunaan aksara Latin berkenaan dengan aspek bentuk ini. Perubahan bentuk huruf semacam ini dapat menyulitkan siswa dalam

pembelajaran kemahiran menulis, karena dihadapkan dengan jumlah yang begitu banyak baik bentuk, karakter dan perubahan huruf-huruf Arab. 482 Hal seperti ini

tentunya tidak dapat diberikan secara langsung terhadap siswa terutama tingkat dasar, karena akan menimbulkan kesan yang kurang baik pada diri siswa terhadap aksara Arab. Mungkin langkah yang baik dalam pengajaran aksara Arab adalah dengan terlebih dahulu memperkenalkan bentuk umum huruf-huruf ini, kemudian dilanjutkan dengan mengajarkan bentuk-bentuk perubahannya dalam penulisan kata. Cara ini sesuai dengan sistem pengajaran yang dikenal dengan gradasi, 483 sehingga siswa tidak langsung dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang ada dalam aksara Arab. Karakter huruf Arab ini juga dapat menjadi permasalahan dalam pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing seperti di Indonesia, karena bertolak belakang dengan sistem tulis Latin yang biasa digunakan sehari-harinya.

b. Beberapa huruf primer memiliki bentuk yang sama Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada aspek ini, yaitu: Pertama, kesamaan bentuk sebagian besar huruf Arab, kedua, peran tanda titik (nuqat al- i’jâm) bagi huruf-huruf tersebut. Hal yang pertama –pastinya- dapat menimbulkan

482 Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab , h. 181. 483 al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 245.

Gradasi adalah dimulai dari yang mudah kemudian dilanjutkan kepada yang lebih sulit. Lihat, Rusydî A. Tu’aymah, Ta’lîm al-‘Arabiyyah li Ghayr al-Nât iqîn bihâ, h. 189; Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab , h. 183.

kesulitan dalam penggunaannya, karena huruf-huruf ini digunakan untuk bunyi- bunyi yang berbeda. Hal tersebut dapat melahirkan kesalahan-kesalahan, baik dalam aspek penulisan ataupun makna. Menurut ‘Abd al-Latîf A. Al-Syuwayrif, kesalahan penulisan yang sering terjadi terletak pada penempatan beberapa huruf,

seperti: penggunaan huruf tâ’ dan tsâ’ ( ﺚﺤﺒﻟﺍ ﻭ ﺖﺤﺒﻟﺍ ،ﺚﻜﻧ ﻭ ﺖﻜﻧ ،ﹼﺚﺑ ﻭ ﺖﺑ ... 484 ), huruf dâl dan dzâl ( ﺏﺬﳉﺍ ﻭ ﺏﺪﳉﺍ ،ﺃﺭﺫ ﻭ ﺃﺭﺩ ), dan beberapa huruf lainnya.

Kesalahan dalam pelajaran imlâ’ –menurut al-Khûlî- sering terjadi pada penulisan huruf dzâl pada tempat zâ’ atau sebaliknya. 485 Kesalahan-kesalahan tadi tidak

dapat dibiarkan begitu saja, mengingat pengaruhnya terhadap makna suatu kata atau kalimat.

Kesamaan bentuk huruf primer di atas -secara tidak langsung- menjadi bukti pentingnya tanda titik, karena dengan adanya tanda titik maka huruf-huruf

tersebut dapat dibedakan, seperti: ( ﱁﺇ ... ﺵ ،ﺱ ... ﺯ ،ﺭ ... ﺥ ،ﺡ ،ﺝ ... ﺙ ،ﺕ ،ﺏ ).

Penggunaan tanda ini -pada awalnya- memang untuk membedakan huruf-huruf tersebut, agar tidak terjadi kesalahan (al-lahn) dalam membaca Alquran. 486 Akan

tetapi posisi tanda ini –sama seperti tanda syakl- di luar struktur kata, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa penulisannya sudah tepat, baik posisi atau jumlah. Hal ini sangat rentan terutama dalam tulisan tangan, karena butuh ketelitian dan kesabaran dari seseorang yang ingin menulis dengan huruf Arab. Kesabaran itu dibutuhkan terutama pada saat memeriksa ulang tulisannya, untuk memastikan kesahihan posisi dan jumlah tanda ini. 487 Kondisi semacam ini –sebetulnya- baik bagi kepribadian siswa, karena melalui cara ini dirinya telah terlatih dan terbiasa untuk lebih berhati-hati dan teliti. Tanpa itu semua, kesalahan dalam aspek penulisan dan pemahaman sulit untuk dihindari.

Selain dua hal yang telah disebutkan di atas, kesulitan dalam penulisan bunyi konsonan juga dapat terjadi karena beberapa karakter khusus dan kaidah

484 ‘Abd al-Latîf A. Al-Syuwayrif, al-Tadrîbât al-Luhgawiyyah li al-Sanah al-Ûlâ , h. 43- 49. 485 486 al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 135.

Wâfî, Fiqh al-Lughah , h. 255; M. M. al-‘Azmî, Sejarah Teks Alquran dari Wahyu sampai Kompilasi, h. 151. 487 Wâfî, Fiqh al-Lughah, h. 261.

ejaan aksara Arab, seperti: penulisan bunyi hamzah, tanda syaddah, ( ﻝﺃ ) al- Syamsiyah dan al-Qamariyah, tâ’ maftûhah dan tâ’ marbûtah. 488 Karakter dan kaidah ejaan ini harus benar-benar dipahami oleh masyarakat bahasa Arab, karena jika tidak diimbangi dengan hal itu dapat menjadi kesulitan yang melahirkan kesalahan-kesalahan dalam aspek penulisan kata-kata Arab.

a. Penulisan hamzah Penulisan bunyi hamzah dengan kaidah aksara Arab, merupakan tingkat kesulitan tersendiri bagi semua kalangan penutur bahasa Arab. Kesulitan ini sudah sering dibahas oleh beberapa ahli, mengingat banyaknya kesalahan yang muncul

dalam penulisan hamzah. al-Syuwayrif mengemukakan, penulisan hamzah merupakan bagian yang paling sulit dalam kaidah imlâ’. 489 Kesalahan-kesalahan

pada penulisan huruf hamzah, terjadi secara merata pada setiap posisinya dalam suatu kata. Menurut al-Khûlî, penyebab kesalahan penulisan hamzah adalah seseorang tidak memahami kaidah penulisan huruf ini, baik di awal, di tengah,

atau di akhir kata. 490 Kesalahan-kesalahan yang telah diungkapkan menunjukkan tingkat kesulitan yang terdapat pada penulisan hamzah, oleh sebab itu harus betul-

betul menjadi perhatian semua kalangan, untuk segera menemukan solusi agar kesalahan tersebut dapat dihindari..

Hamzah seperti huruf lainnya memiliki bentuk-bentuk yang beragam,

namun bentuk huruf ini lebih banyak dari yang lain. Huruf ini ditulis dengan ( ﺃ ،ﺍ ﺇ ﻭﺃ ) apabila di awal kata, ditulis dengan ( ﺆـ ،ﺀ ،ﺄـ ،ﺊـ ) apabila ada di antara

) untuk akhir kata. ﺀ 491 ،ﺉ ،ﺅ ،ﺄـ Yang menambah

dua huruf, dan ditulis dengan (

sulit lagi, setiap simbol pada tiap-tiap posisi memiliki karakter yang berbeda, dan tidak dapat digunakan untuk mengisi satu sama lainnya. 492 Karakter itu telah

diatur dan dijelaskan secara gamblang oleh kaidah aksara Arab (kaidah imlâ’i),

Rusydî A. Tu’aymah dan M. al-Sayyid Mannâ’, Tadrîs al-‘Arabiyyah fi al-Ta’lîm al- ‘Âm (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 2001), h. 43-45; Rusydî A. Tu’aymah, Ta’lîm al-‘Arabiyyah li Ghayr al-Nâtiqîn bihâ, h. 37-39. 489

‘Abd al-Latîf A. Al-Syuwayrif, al-Tadrîbât al-Luhgawiyyah li al-Sanah al-Ûlâ , h. 8.

491 al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 135. ‘Abd al-Salâm M. Hârûn, Qawâid al-Imlâ’, h. 5-17; M. Rajjâb al-Najjâr, al-Kitâbah al-

‘Arabiyyah, h. 97-102. 492 al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 245.

akan tetapi tetap saja terjadi kesalahan-kesalahan. hal itu terjadi –seperti yang telah dikemukakan oleh al-Khûlî-, berangkat dari ketidak mengertian akan kaidah aksara Arab khususnya cara penulisan hamzah.

Untuk menghindari itu semua, seseorang harus dapat mamahami kaidah dan mengerti alasan di balik penggunaan setiap simbol, kemudian juga harus dapat menemukan cara yang tepat agar mudah mengingat posisi tiap simbol. Pada

awal kata, huruf ini ditulis dengan hamzah al-qat’ ( ﺇ ﻭﺃ ﺃ ) hamzah di atas atau di bawah alif, atau dengan hamzah al-wasl ( 493 ﺍ

) tanpa hamzah. Keduanya sama- sama sulit dan punya aturan, sehingga dapat terjadi kesalahan letak. Untuk menghindari hal tersebut, seseorang harus mengerti dan memiliki cara yang tepat

untuk mengingat kaidah masing-masing simbol. Mungkin salah satu caranya adalah dengan hanya mengingat ciri-ciri salah satu hamzah saja, dengan begitu kedua-duanya dapat dibedakan, seperti: ciri-ciri dari hamzah al-wasl biasanya

dibaca kasrah dan setelahnya sukûn ( ﺪﻬﺘﺟﺍ ،ﺮﻔﻐﺘﺳﺍ ،ﻢﺳﺍ ،ﻦﺑﺍ ), kecuali pada posisi ( ﻝﺍ ) untuk kata benda definitif dan fi’il al-amr dari al-mâdî al-tsulâtsî ( ،ﻞﺟﺮﻟﺍ ﺐﺘﻛﺍ ). Semua itu terjadi dan dapat dibuktikan dengan satu syarat, yaitu tidak

didahului oleh kata lain. Sementara jika didahului oleh kata lain, bunyi hamzah ini

tidak terdengar, seperti: ( ﻢﺳ ﻻﺍ ﺲﺌﺑ ،ﺐﺘﻛﺎﻓ ،ﺍﻭﺮﻔﻐﺘﺳﺎﻓ ). Bahkan ada juga simbolnya ikut hilang, namun hanya pada kata-kata tertentu saja, seperti: ( ﻦﺑ ﺪﻟﺎﺧ ،ﷲﺍ ﻢﺴﺑ ﺔﻬﻛﺎﻔﻠﻟ ،ﺪﻴﻟﻭ ). Selebihnya sudah pasti hamzah al-qat’, hal ini lebih mudah dari

pada harus mengingat kedua-duanya. Sementara untuk penulisan hamzah di tengah kata, seseorang perlu untuk menghafal beberapa kaidahnya, antara lain: (1) ditulis di atas nabrah, apabila maksûrah atau sebelumnya kasrah. (2) ditulis di atas alif, apabila maftûhah dan sebelumnya fathah atau sukûn, dan juga apabila sâkinah dan sebelumnya fathah. (3) ditulis di atas wâw, apabila madmûmah atau huruf sebelumnya madmûmah. Dan (4) ditulis sendiri, apabila maftûhah, dan sebelumnya huruf al-madd (alif dan

wâw). 494 Kaidah-kaidah ini sangat membantu dan tidak sulit untuk diingat, jika

494 Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâss ah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 108-109. ‘Abd A. Al-Syuwayrif, al-Tadrîbât al-Luhgawiyyah li al-Sanah al-Ûlâ , h.28-30.

dibandingkan dengan kesalahan-kesalahan yang akan terjadi. Selain dengan menghafal kaidah, mungkin kesulitan ini dapat diatasi dengan melakukan sebuah

analogi pelafalan kata dengan menghilangkan bunyi hamzah, 495 seperti: ( ،ﺱﺃﺭ ﺭﺍﺆﺟ ،ﺏﺎﺋﺫ ،ﺮﺌﺑ ،ﻝﺆﺳ ) jika dihilangkan hamzahnya maka akan menjadi ( ،ﻝﻮﺳ ،ﺱﺍﺭ

ﺭﺍﻮﺟ ،ﺏﺎﻳﺫ ،ﲑﺑ ). Akan tetapi cara ini tidak dapat mencakup semua hamzah yang

ditulis di tengah kata, sehingga langkah yang tepat untuk menghindari kesalahan menulis adalah dengan menghafal dan berlatih lebih banyak lagi.

Kaidah untuk hamzah di akhir kata merupakan bagian yang paling mudah, jika dibandingkan dengan kedua macam yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga tidak dapat dijadikan alasan bagi seseorang untuk tidak menguasainya.

Kaidah hamzah di akhir kata adalah: ditulis di atas ( ﻭ ،ﻱ ،ﺍ ) disesuaikan dengan

harakahnya, sementara jika sebelumnya huruf sâkinah maka ditulis dengan berdiri sendiri. 496 Dari pembahasan hamzah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bagian yang tersulit dalam penulisannya terjadi pada posisi awal kata, sehingga sering memunculkan kesalahan-kesalahan. Namun kesalahan tersebut tidak hanya terjadi karena kaidah penulisan yang sulit, dalam arti kesalahan tidak dapat dibebankan begitu saja pada sistem aksara Arab. Kesalahan juga dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan seseorang dalam kaidah penulisan hamzah, hal ini patut diperhatikan dalam pengajaran kemahiran menulis bahasa Arab terutama pembelajaran imlâ’.

b. Tâ’ maftûhah dan tâ’ marbûtah Kedua simbol ini dalam aksara Arab digunakan untuk menunjukkan bunyi konsonan /tâ’/, inilah yang menghalangi aksara Arab dapat meraih aspek keharmonisan. Sebenarnya tâ’ marbûtah ( ﺓ ) memiliki fungsi i’râb, yaitu sebagai penanda ta’nîs (feminization) untuk beberapa nomina dalam bahasa Arab. 497 Alasan penggunaan dua simbol ini dapat dimengerti, namun tetap saja

Penjelasan lebih banyak tentang ini terdapat pada bab i’lâl al-hamzah. Lihat, Mustafâ Ghalâyaynî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, h. 1117-119.

497 Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâss ah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 109. David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 13.

menimbulkan kesulitan atau permasalahan dalam penulisannya. Secara otomatis dapat dikatakan bahwa penggunaan dua simbol untuk bunyi yang sama, dapat mengakibatkan kesalahan dalam penulisan antara keduanya. Hal ini terbukti, karena ternyata ada kesalahan-kesalahan dalam penulisan bunyi /tâ’/ di akhir sebuah kata. 498 Selain dalam penulisan kedua simbol, kesalahan juga dapat terjadi pada pelafalan keduanya. 499 Perlu diketahui kedua simbol ini berbeda cara pelafalannya ketika waqf, cara melafalkan tâ’ marbûtah harus seperti hâ’ sâkinah , sementara tâ’ maftûhah seperti aslinya yaitu bunyi tâ’. Kesulitan-kesulitan ini tentu akan menjadi persoalan dan kendala, terlebih lagi dalam pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing seperti di Indonesia.

Kesalahan seperti ini sebetulnya dapat dihindari, mengingat posisinya hanya pada akhir kata dan juga perbedaan pelafalan keduanya. Sehingga seseorang yang sudah sering menggunakan bahasa Arab, dapat dengan mudah

membedakannya, seperti: ( ﺔ ﻳﻮﻧﺎﺜﻟﺍ ،ﺔﻴﺋﺍﺪﺘﺑﻻﺍ ،ﺔﺳﺭﺪﳌﺍ ) biasa dilafalkan dengan ( ﻪﻳﻮﻧﺎﺜﻟﺍ ،ﻪﻴﺋﺍﺪﺘﺑﻻﺍ ،ﻪﺳﺭﺪﳌﺍ ). Akan tetapi ini juga membawa permasalahan baru,

karena ada juga kesalahan antara tâ’ marbûtah dengan hâ’ al-damîr. 500 Kesalahan ini malah lebih jauh lagi, karena dapat memunculkan kesalahan dari sisi morfologi

dan sintaksis.

c. ( ﻝﺃ ) al-Syamsiyyah dan al-Qamariyyah Permasalahan pada kedua ( ﻝﺃ ) ini disebabkan perbedaan pelafalan, hal itu dapat terjadi dan berpengaruh pada saat siswa sedang belajar imlâ’istimâ’î atau

ikhtibârî. 501 Perbedaan pelafalan keduanya berpengaruh besar pada tulisan siswa, kesalahan-kesalahan akan terjadi apabila tidak betul-betul memahami cara

pelafalannya. Hal ini harus menjadi perhatian, dan diingat oleh semua penutur

498 Kesalahan dalam meletakkan kedua simbol pada akhir suatu kata, terkadang terbalik. Lihat, ‘Alî al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 136.

500 ‘Abd A. Al-Syuwayrif, al-Tadrîbât al-Luhgawiyyah li al-Sanah al-Tsâniyah , h.37-38. 501 M. Rajjâb al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 112.

Imlâ’istimâ’î adalah salah satu jenis imlâ’ di mana teks terlebih dahulu diperdengarkan pada siswa, dilafalkan kata-kata susah, kemudian didiktekan tanpa melihat teks. Sementara ikhtibârî langsung didiktekan tanpa melafalkan kata-kata yang susah. Lihat, Samîr Yûnus Salâh dan Sa’ad M. al-Rasyîdî, al-Tadrîs al-‘Âm wa Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 237.

bahasa Arab. Kesalahan lain yang sering terjadi adalah tidak menghilangkan simbol ( ﻝﺃ ), ketika didahului oleh lâm pada kata-kata yang huruf awalnya lâm,

seperti: ( ... ﻮﻬﻠﻟ ، ﻆﺤﻠﻟ ، ﻦﺤﹼﻠﻟ 502 ) sebenarnya terdiri dari lâm + ( ﻝﺃ ) + kata. Cara

yang baik untuk menghindari kesalahan-kesalahan ini dalam pengajaran adalah dimulai dengan mengajarkan ( ﻝﺃ ) al-qamariyyah, sebelum mengajarkan al- syamsiyyah. 503 Mengingat tidak adanya perubahan dalam pelafalan pada ( ﻝﺃ ) al- qamariyyah, apabila dibandingkan dengan yang terjadi pada al-syamsiyyah. Kemudian sebelum diajarkan al-Syamsiyyah harus terlebih dahulu diberikan materi tentang syaddah dan cara pelafalannya, karena sangat baik untuk persiapan siswa. Hal lain yang dapat digunakan untuk mengurangi kesulitan palafalan

keduanya, dengan mengingat cara pelafalan beberapa kata ( ،ﺭﺎﻬﻨﻟﺍ ،ﺮﻤﻘﻟﺍ ،ﺲﻤﺸﻟﺍ ... ،ﺽﺭﻷﺍ ) yang biasa dibaca oleh siswa pada ayat-ayat pendek dalam juz akhir

Alquran.

d. Syaddah (konsonan ganda) Tanda diakritik ini merupakan salah satu karakter khusus tulisan Arab, digunakan untuk menunjukkan dua bunyi yang datang beriringan dan tidak

diselingi vokal, seperti: ( ... ﻢﹼﻠﻌﻣ ،ﻡﺮﻛ ،ﻢﹼﻠﻋ ). Keadaan seperti ini sudah pasti dapat

menimbulkan kesulitan dalam penggunaanya, dapat dipastikan sebagian orang ada

yang menuliskan dua bunyi tersebut dengan dua simbol, contoh: ( ﺩﺪﺟ ،ﺱﺭﺭﺩ )

ﺪﺟ 504 ،ﺱﺭﺩ ). Kesalahan ini dapat dimaklumi, mengingat asal

seharusnya ditulis (

bunyi pada kata-kata tersebut –sebenarnya- seperti itu. Persoalan lain yang perlu ditegaskan bahwa tanda ini seperti tanda diakritik lainnya, tidak digunakan dalam

tulisan Arab yang sesungguhnya. 505 Untuk itu kebiasaan seperti ini harus segera ditinggalkan, sehingga penutur bahasa Arab tidak mengalami kesulitan-kesulitan

dalam semua aspek kebahasaan.

‘Alî al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 136. 503 Rusydî A. Tu’aymah dan M. al-Sayyid Mannâ’, Tadrîs al-‘Arabiyyah fi al-Ta’lîm al-

‘Âm, h. 44. 504 505 ‘Alî al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 136.

Wâfî, fiqh al-Lughah , h. 258.

Dari semua permasalahan dalam penulisan bunyi konsonan yang telah dijelaskan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sebenarnya semua bunyi konsonan bahasa Arab telah dilambangkan dengan simbol. Bunyi-bunyi tersebut dilambangkan dengan huruf primer dan tanda lain yang memiliki kelemahan dalam kesamaan dan perubahan pada bentuknya, selain itu juga aksara Arab memiliki karakter khusus dan kaidah penulisan sebagai pelengkapnya. Kedua hal ini dapat melahirkan kesulitan-kesulitan dalam tataran penggunaanya, terutama jika tidak diimbangi dengan penguasaan dan pemahaman yang memadai dari masyarakat bahasa terhadap keduanya. Kesulitan-kesulitan akibat keduanya dapat menimbulkan kesalahan dalam aspek-aspek kemahiran berbahasa, baik pelafalan,

penulisan, ataupun pemahaman makna.

3. Permasalahan dalam penulisan unsur suprasegmental Unsur ini dapat didengar atau dilihat dengan baik pada saat komunikasi terjadi secara langsung, karena seorang penutur tidak hanya mengucapkan kata- kata saja, terkadang juga menggunakan tekanan atau intonasi pada suaranya, bahkan juga gerak tubuh. 506 Unsur-unsur ini digunakan agar pendengar dapat mengerti apa yang diinginkan oleh penutur, pada tujuan-tujuan tertentu. Tekanan dan intonasi biasa digunakan untuk maksud-maksud tertentu dalam suatu ujaran

bahasa, misalnya: al-ta’kîd (penegas) atau al-mufâraqah (kontras). 507 Untuk maksud-maksud ini seorang penutur menambahkan tekanan atau intonasi pada

ucapannya, sehingga dapat ditangkap dengan baik oleh pendengarnya. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa makna kata-kata dalam suatu ujaran akan berbeda dari makna aslinya seiring dengan penggunaan unsur suprasegmental.

Unsur suprasegmental ini pun memainkan peran penting dalam ujaran bahasa Arab. Peran tersebut diakui oleh para ahli, meskipun sebagian besar dari mereka tidak menganggap sebagai pembeda makna. Makna yang dimaksud di sini

507 Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 120. Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 515.

adalah makna umum suatu ujaran, sementara itu penggunaannya hanya untuk mengutarakan beberapa tujuan tertentu.

a. Fungsi tekanan (nabr/stress) Tekanan sebagai salah satu unsur suprasegmental memiliki fungsi penting baik dalam suatu kata, kalimat, atau ujaran bahasa Arab. Letak dan posisinya telah

diatur dan ditetapkan melalui kaidah-kaidah yang sangat baku, seperti: ( ،ﺏﺮﺿ ﻪﺘﺑﺮﺿ 508 ،ﺖﺑﺮﺿ

). Posisi ini tidak berubah-ubah pada sebagian besar kata dan kalimat Arab, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui jenis kata dari sisi morfologi. Dalam tataran kalimat, bahasa Arab cenderung seperti bahasa lain

yang menggunakan tekanan sebagai pembeda makna (stress languages). Hal ini, dapat diperhatikan melalui pembagian unsur ini dan tingkat-tingkatnya yang

sangat baik dan sesuai dengan maksud suatu ujaran. Biasanya kata yang memiliki nilai penting selalu diberi tekanan lebih tinggi dari kata yang lain, misalnya: kata benda, kata sifat,ism al-isyârah, partikel untuk istifhâm, dan lain-lain. 509 Selain itu dalam bahasa Arab terdapat pula penggunaan unsur ini untuk menyatakan al- ta’kîd (emphasis), al-mufâraqah (contrast), atau al-tarkîz (intensity), misalnya:

kalimat ( ﺓﺩﺎﻋ ﺡﺎﺒﺼﻟﺍ ﰲ ﻞﻛﺁ ﻻ ﺎﻧﺃ ) akan berubah-ubah maknanya seiring perubahan

unsur tekanan. 510 Untuk menyatakan al-ta’kîd maka tekanan diletakkan pada kata ( ﺎﻧﺃ ), untuk menghilangkan keraguan digunakan tekanan pada ( ﻻ ), atau penekanan pada ( ﺓﺩﺎﻋ ) untuk menyatakan kebiasaan penutur meskipun hal itu dia lakukan

juga. Selain penempatan unsur tekanan yang baik dalam beberapa kalimat di atas, sebenarnya bahasa Arab sendiri memiliki uslûb (pola) kalimat yang menunjukkan keberadaan tekanan di dalamnya, seperti: uslûb al-ta’ajjub , al- tahdjîr, al-ighrâ’, dan al-ikhtisas. Keadaan ini menjadi bukti, bahwa bahasa Arab memiliki karakter seperti bahasa yang menggunakan tekanan sebagai pembeda

makna (stress languages). 511 Meskipun dalam pandangan bahasa Arab makna

508 Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-Lughawî, h. 257-260; M. Fahmi Hijâzî, Madkhal ‘ilâ ‘Ilm al-Lughah , h. 81-82. 509

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 519.

511 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 519-520. Kamâl Badrî, ‘Ilm al-Lughah al-Mubarmaj , h. 154.

umum suatu ujaran adalah sama, dan unsur ini hanya untuk maksud-maksud di atas. Persoalannya adalah aksara Arab belum mampu mengalihkan unsur tekanan ke dalam simbol tertulis pada tulisannya, sehingga seseorang yang belum memiliki pemahaman yang baik akan kaidah bahasa Arab akan mengalami kesulitan untuk menemukan unsur ini. 512 Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tulisan-tulisan Arab –pada aspek ini- belum menampilkan bunyi yang sesungguhnya. Dalam arti, seseorang yang membaca tulisan Arab belum tentu memahami makna yang sebenarnya, untuk itu semua masih diperlukan pemahaman yang kompleks tentang beberapa aspek kebahasaan, dimulai dari bunyi, gramatika, sampai Balâghah.

b. Fungsi intonasi (tanghîm/intonation) Intonasi merupakan realitas yang sesungguhnya bagi ujaran bahasa, karena unsur ini menyelimuti ujaran dari awal hingga akhir. Menurut Gorys Keraf, intonasi terbentuk karena adanya kerja sama antara nada, tekanan, durasi dan

perhentian-perhentian yang menyertai suatu tutur dari awal sampai akhir ujaran. 513 Intonasi ini sangat bervariasi dalam suatu ujaran bahasa, sehingga menyebabkan

makna-makna baru muncul dari ujaran yang sama, contohnya: ( ﻩﺬﻫ ﰲ ﺐﻟﺎﻃ ﻮﻫ ﺔﺳﺭﺪﳌﺍ ). Kalimat itu dapat memiliki makna berbeda, disebabkan cara pelafalannya:

(1) dapat berarti kalimat berita, apabila diucapkan dengan suara datar. (2) dapat berarti kalimat tanya, jika diucapkan dengan intonasi tinggi. (3) juga dapat berarti kagum atau ejekan, apabila diucapkan dengan intonasi lebih tinggi dan disertai

dengan mimik wajah. 514 Fakta ini membuktikan bahwa intonasi dapat digunakan untuk menyatakan maksud dan makna yang berbeda dari suatu ungkapan.

Makna yang beragam itu hanya dapat ditangkap dalam bahasa lisan, sementara dalam bahasa tulis sulit diketahui tanpa mengetahui tujuan dari penutur

melalui petunjuk-petunjuk yang terkandung dari konteks kalimat. 515 Untuk itu

513 al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah , h. 243. Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia (Flores: Nusa Indah, 1987), h. 40; Kamâl Bisyr,

‘Ilm al-Ashwât, h. 533, 552.

515 M. Matsna HS., Orientasi Semantik al-Zamakhsyari , h. 82. M. Matsna HS., Orientasi Semantik al-Zamakhsyari , h. 82.

dalam tulisan-tulisan Arab saat ini, digunakan beberapa tanda baca untuk membantu seorang pembaca mengetahui posisi dan macam intonasi. 516 Tanda titik (.) digunakan untuk menyatakan intonasi turun, karena kalimat telah lengkap baik dari sisi makna ataupun bentuk. Biasanya tanda ini digunakan pada kalimat-

kalimat deklaratif, seperti: ( ﺖﻴﺒﻟﺍ ﰲ ﺪﻟﺎﺧ ). Tanda koma (,) dituliskan untuk

intonasi tinggi, karena kalimat belum lengkap dan masih berkaitan erat dengan kalimat sesudahnya. Tanda ini tepat digunakan pada kalimat al-syartiyyah (klausa kondisional) atau al-istifhâmiyyah (interogatif) yang masih menungggu jawaban,

contohnya: ( . ﻲﻘﻳﺪﺻ ﺖﻠﺑﺎﻗ ،ﻖﻳﺮﻄﻟﺍ ﰲ ﺮﺋﺎﺳ ﺎﻧﺃ ﺎﻨﻴﺑ ) dan ( . ﻻ ﻭﺃ ﻢﻌﻧ ؟ﺱﺭﺪﻟﺍ ﺖﻤﻬﻓﺃ ).

Penggunaan tanda-tanda ini telah diatur sedemikian rupa, dan bertujuan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa tulis.

Sebetulnya fungsi tanda-tanda tersebut apabila dicermati lagi, dapat dijalankan dengan baik oleh beberapa partikel pada pola kalimat syart dalam

bahasa Arab, seperti: fâ’ pada jawâb syart ( ﱐ ﻮﻌﺒﺗﺎﻓ ﷲﺍ ﻥﻮﺒﲢ ﻢﺘﻨﻛ ﻥﺇ ) dan lâm sebagai jawâb syart dari ( 517 ﻢﳍ ﺍﲑﺧ ﻥﺎﻜﻟ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﻦﻣﺁ ﻮﻟ

Kedua partikel ini, dapat dengan baik menjalankan fungsi tanda koma pada klausa kondisional. Selain itu dapat disebutkan pula, dalam hal klausa kondisional seseorang mungkin mudah untuk mengetahui posisi intonasi, dengan bantuan partikel-partikel yang sangat jelas. Akan tetapi kalimat bahasa Arab bukan hanya berbentuk klausa kondisional, namun masih banyak kalimat yang berbentuk lain. Sehingga keberadaan tanda baca memang sudah sewajarnya ada pada kalimat-kalimat bahasa Arab.

Dari uraian di atas tak dapat dipungkiri, bahwa sebenarnya penggunaan tanda baca dapat menunjukkan letak dan macam intonasi, baik tinggi atau pun rendah. 518 Akan tetapi perlu juga diperhatikan, intonasi suatu ujaran tidak hanya dua macam saja seperti yang telah dijelaskan di awal. Ada bermacam-macam intonasi dengan disertai gerak dan mimik wajah dalam suatu ujaran, sehingga makna yang sebenarnya tidak dapat dipahami kecuali dengan mendengar

517 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 535-536. 518 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 566,569.

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 534-239.

langsung dari penutur. 519 Contoh untuk semua itu, kalimat ( ! ﻲﳍﺇ ﺎﻳ

) dapat menunjukkan kesedihan, tidak terima, terkejut, atau seruan sesuai perbedaan untaian nada padanya. 520 Dari sini dapat disimpulkan, peran tanda koma sudah dapat menunjukkan macam intonasi, namun makna yang sebenarnya pada beberapa kalimat belum tentu dapat dibedakan. Cara yang terbaik untuk mengatasi semua itu, dengan suatu pemahaman yang baik dan menyeluruh terhadap beberapa uslûb gramatika dan Balâghah, serta konteks, ketika ujaran tersebut dikeluarkan oleh penutur.

Permasalahan dalam penulisan bunyi bahasa Arab terjadi pada semua tataran, baik vokal, konsonan, atau suprasegmental. Permasalahan ini –dapat

dikatakan- terjadi karena dua faktor; Pertama, kesulitan karena karakter, kelemahan, dan kaidah penggunaanya. Kedua, didukung juga oleh ketidak mengertian seseorang dalam menggunakan aksara ini. Dari situ dapat disimpulkan bahwa penggunaan huruf Arab harus betul-betul diimbangi dengan pemahaman dan ingatan (hafalan) akan kaidah-kaidahnya.