Penulisan Bunyi Bahasa Arab

C. Penulisan Bunyi Bahasa Arab

Pada hakikatnya penulisan (pelambangan) bunyi bahasa itu telah diatur sedemikian rupa dalam ejaan aksaranya, yang tidak lain merupakan konvensi grafis perjanjian di antara anggota masyarakat pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasanya. 247 Bunyi bahasa yang seharusnya diucapkan diganti dengan huruf-huruf dan simbol-simbol lainnya. Standar pelambangan itu adalah satuan bunyi (fonem) yang dilafalkan secara terpisah dari bunyi-bunyi lain yang berdampingan dengannya dalam konteks kata. Dasar yang baik dalam

247 Ejaan adalah seperangkat aturan atau kaidah pelambangan bunyi bahasa –pemisahan, penggabungan, dan penulisannya- dalam suatu bahasa. Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi

Bahasa Indonesia , cet. XIII (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2007), h. 15; Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, cet. II (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), h. 36; Ejaan lazimnya mempunyai tiga aspek, yakni: aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad, aspek morfogis yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis, aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran berupa tanda bacaan. Lihat, Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Edisi III (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 48.

melambangkan bunyi adalah satu fonem harus dilambangkan dengan satu simbol, dengan demikian pelambangan atas bahasa lisan akan mendekati kesempurnaan.

Fonem bahasa Arab terdiri dari vokal dan konsonan, yang dikenal dengan sebutan bunyi segmental (fonem primer). Selain bunyi segmental, bahasa Arab juga memiliki unsur suprasegmental yang terdiri dari intonasi, tekanan, jeda, dan lainnya. Selanjutnya aksara Arab adalah sebuah sistem abjad (alfabet), yang digunakan untuk melambangkan bunyi-bunyi yang dimiliki bahasa Arab. Aksara ini terdiri dari 29 huruf primer dan beberapa tanda-tanda (simbol) lainnya, yang menjadi ciri khusus (karakter) baginya. Aksara Arab -menurut beberapa ahli-

sangat mendekati aspek kesempurnaan, karena hampir semua bunyi bahasanya dapat dilambangkan atau dialihkan dalam bentuk huruf dan simbol. 248 Hal ini

yang menjadikannya tetap digunakan hingga saat ini sebagai alat rekam bunyi bahasa Arab.

Aturan-aturan penulisan huruf dan simbol aksara Arab telah ditetapkan oleh ejaan, sehingga harus dipatuhi oleh pemakai bahasa. Hal semacam ini perlu dilakukan agar ada keteraturan dan keseragaman bentuk, terutama dalam bahasa tulis. Keteraturan bentuk akan berpengaruh pada ketepatan dan kejelasan makna. 249 Biasanya ejaan juga menetapkan bunyi yang dijadikan standar, mengingat satu bunyi memiliki variasi-variasi dalam konteks kata. Selain juga mengatur tata cara penulisan kata dan penulisan kalimat, serta penggunaan tanda- tanda bacanya. Perlu ditegaskan, aturan-aturan dalam suatu ejaan itu tidak sama antara ejaan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. 250

Hal ini dikarenakan sebuah ejaan terbentuk karena adanya kesepakatan bersama dan berlandaskan asas kemudahan untuk semua masyarakat bahasa.

Pelambangan bunyi bahasa Arab dilakukan setelah terlebih dahulu dipilih bunyi yang memiliki fungsi pembeda, sebelumnya juga ditetapkan pelafalan bunyi itu dengan menghilangkan pengaruh bunyi-bunyi yang bersandingan dengannya

248 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât (Kairo: Dâr Gharîb, 2000), h. 633; ‘Abd al-Mun’im M. al- Najjâr, al-Hurûf wa al-Aswât fi Dau’ al-Dirâsât al-Sawtiyyah al-Hadîtsah (Kairo: Dâr al-Tibâ’ah

al-Muhammadiyah, 1982), h. 27.

250 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia , h. 15. Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia , h. 36.

pada konteks kata, juga pengaruh bahasa ‘Âmiyah (dialek) dari daerah masing- masing. Hal ini memang sulit, mengingat bahasa ‘Âmiyah adalah bahasa pertama bagi bangsa Arab. Namun untuk pembakuan suatu bahasa, tidak ada salahnya untuk meminimalisir ciri-ciri lafal bahasa ‘Âmiyah. Selanjutnya ditentukan huruf atau simbol yang dilengkapi dengan aturan-aturan penulisannya, baik di awal, di tengah, atau di akhir kata. Perlu juga ditegaskan, bahwa ejaan bahasa Arab tidak memiliki aturan berkenaan dengan penulisan huruf kapital, huruf miring, dan

pemenggalan kata. 251 Akan tetapi aksara Arab juga memiliki aturan yang berkaitan dengan penggunaan tanda baca.

1. Penulisan bunyi vokal Bunyi vokal bahasa Arab ada tiga, yaitu: fathah, kasrah, dan dammah. Ketiga bunyi ini masing-masing dibedakan menjadi vokal pendek dan vokal panjang. Sehingga –dapat disimpulkan-, bahwa bunyi vokal dalam bahasa Arab terdiri dari: fathah, fathah tawîlah, kasrah, kasrah tawîlah, dammah, dan dammah

tawîlah. 252 Klasifikasi ini berdasarkan fungsi pembeda makna yang dimiliki oleh vokal pendek dan vokal panjang. Oleh sebab itu, keenam vokal ini dapat

dikatakan fonem dalam bahasa Arab. Bunyi-bunyi vokal pendek bahasa Arab saat ini dilambangkan dengan

menggunakan tiga tanda diakritik (‘alâmat al-tasykîl), yaitu: ( ُـ ،ِـ ، َـ ).

Sementara bunyi vokal panjang disimbolkan oleh tiga huruf, yaitu: (

Tanda diakritik ini pada kenyataannya jarang sekali dijumpai dalam tulisan- tulisan Arab yang beredar luas, meskipun perannya sangat penting dalam bahasa

Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Teori dan Praktek) , Penyunting, Usin S. Artayasa (Bandung: Humaniora, 2005), h. 160-161; Hamid Nasuhi dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) , Cet. II (Jakarta: CeQDA UIN Jakarta, 2007), h. 28. 252

Pembagian setiap vokal menjadi pendek dan panjang, karena masing-masing memiliki

fungsi pembeda makna (fonem) dalam bahasa Arab, seperti: ( ﻞﺗﻮﹸﻗ - ﻞﺘﹸﻗ ، ﻢﻴﺣﺭ – ﻢِﺣﺭ ، ﻞﺗﺎﻗ – ﻞﺘﹶﻗ ).

Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 461; Ah mad Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî Cet. IV (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 2006), h. 329. 253

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 421; dan David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic (London: Cambridge University Press, 1958), h. 4; Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties (New York: Longman, 1995), h. 73.

Arab. Atas dasar peran penting tadi, penggunaan tanda ini pada setiap tulisan Arab sangat dibutuhkan.

a. Tanda vokal pendek bahasa Arab Fathah ( َـ ) digunakan untuk menuliskan vokal /a/ yang dilafalkan dengan cara menarik lidah ke belakang dan ke bawah, disertai dengan menghembuskan udara keluar, dengan mulut dibuka lebar-lebar. Bunyi /a/ termasuk vokal madya

tengah semi terbuka tak bulat dalam bahasa Arab. 254 Dalam konteks kata, bunyi vokal ini dapat berubah menjadi mufakhkham, muraqqaq, atau antara keduanya.

Hal ini dapat dijadikan bukti bahwa vokal /a/ dalam bahasa Arab adalah sebagai fonem, dan memiliki beberapa alofon, seperti: 255 [a] mufakhkham pada kata ( ﱪﺻ ),

[a] muraqqaq pada kata ( ﱪﺳ ), dan [a] antara keduanya pada kata ( ﱪﹶﻗ ). Jika diperhatikan perubahan-perubahan tersebut terjadi karena pengaruh bunyi yang berada sebelum bunyi vokal.

Kasrah ( ِـ ) adalah tanda diakritik yang digunakan untuk melambangkan vokal /i/ yang dilafalkan dengan cara menganjurkan lidah ke depan dan ke atas, dengan menghembuskan udara keluar, sementara mulut dilebarkan dan tidak bulat. Bunyi /i/ ini adalah vokal tinggi depan tertutup tak bulat, 256 sama juga dengan fathah dapat berubah menjadi mufakhkham, muraqqaq, atau antara keduanya tergantung pada konteks kata, contohnya: [i] diucapkan mufakhkham

pada ( ﻡﺎﻴِﺻ ), muraqqaq pada ( ﻡﺎﻴِﻟ ), atau di antara keduanya pada ( ﻡﺎﻴِﻗ ).

Dammah (ُـ) adalah simbol vokal /u/ yang termasuk vokal tinggi belakang tertutup bulat dalam bahasa Arab. 257 Bunyi ini dilafalkan dengan cara menarik lidah ke belakang dan ke atas, disertai dengan hembusan udara keluar, dan bentuk mulut bulat. Kemudian, vokal /u/ mengalami perubahan yang sama dengan kedua

vokal sebelumnya, seperti: [u] mufakhkham pada ( ﻢﺻ ), muraqqaq pada ( ﻡﺩ ), atau

254 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004), h. 72.

255 Vokal /a/ mufakhkham jika sebelumnya huruf mufakhkham ( ﻅ ، ﻁ ، ﺽ ، ﺹ ), antara mufakhkham dan muraqqaq bila sebelumnya huruf ( ﻍ ،ﺥ ،ﻕ ), atau muraqqaq apabila sebelumnya

huruf-huruf lainnya. Sementara, perbedaan bunyi [a] pada konteks kata tidak berpengaruh pada perbedaan makna kata. Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 462-463.

257 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 72. Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 72.

di antara keduanya pada ( ﻢﹸﻗ ). Ketiga tanda ini (fathah, kasrah, dan dammah) ditulis di luar struktur pembentuk kata, sehingga dapat saja terhapus dan terjadi kesalahan letak. Fathah dan dammah ditulis di atas huruf-huruf, sementara kasrah

di bawahnya. 258 Akan tetapi tulisan Arab yang menggunakan tanda diakritik ini hanyalah Alquran dan buku-buku pelajaran tingkat dasar saja, selebihnya tidak

dilengkapi tanda ini.

b. Huruf-huruf untuk melambangkan vokal panjang bahasa Arab Vokal panjang bahasa Arab ada tiga, yaitu: fathah tawîlah , kasrah tawîlah, dan dammah tawîlah. Perbedaannya dengan vokal pendek terletak pada durasi saja. Sementara huruf yang menjadi simbolnya adalah: alif ( ﺍ ), yâ’ ( ﻱ ), dan wâw ( ﻭ ), masing-masing tanda memiliki posisi dan karakter tersendiri.

1) Fathah tawîlah ( ﺍ )

Huruf ini digunakan untuk menuliskan bunyi vokal /aa/ yang termasuk vokal rendah depan terbuka tak bulat dalam bahasa Arab. 259 Vokal ini juga seperti

fathah qasîrah berubah-ubah ketika berada dalam konteks kata, seperti: [aa] mufakhkham pada ( ﻡﺎﺻ ), muraqqaq ( ﺭﺎﺳ ), atau antara keduanya pada ( ﻡﺎﻗ ). selain itu fathah tawîlah juga dilambangkan dengan huruf alif maqsûrah pada akhir

beberapa kata Arab, seperti: ( ﻰﺴﻴﻋ ،ﻰﻣﺭ ، ﻰﻠﻋ ). Penggunaan kedua huruf ini hanya

pada tengah atau akhir kata saja dan telah diatur oleh kaidah imlâ’, serta memiliki perbedaan satu sama lainnya. 260 Hal ini yang dapat menjadi permasalahan bagi penggunanya, karena penulisannya harus benar-benar tepat. Aturan-aturan

penulisan bunyi fathah tawîlah dengan kedua simbol ini adalah sebagai berikut: 261

259 David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 4. 260 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 72.

Imlâ’ adalah salah satu kegiatan dari pengajaran menulis bahasa, biasanya digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menuliskan apa yang didengarnya (dikte). Lihat, M. ‘Alî al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah Cet. III (Riyad: t.p., 1989), h. 133. Dapat juga berarti kaidah penulisan huruf Arab 261

Mustafâ Ghalâyaynî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1993), h. 155-156; Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâss ah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al- Tarbiyah al-Islâmiyyah Cet. II (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2000), h. 111-112.

a) Fathah tawîlah yang berada di tengah kata selalu ditulis dengan alif ( ﺍ ),

seperti: ( ه ﺎﺼﻋ ،ﺮﻣﺎﻋ ).

b) Sementara apabila berada di akhir kata, biasanya ditulis dengan alif ( ﺍ ) pada:

1. Huruf (partikel) seperti: ( ... ،ﺍﺫﺇ ،ﻼﻛ ،ﻻﺇ ،ﺎﻣﻮﻟ ،ﻻﻮﻟ ), kecuali empat huruf

yaitu: ( ﻰﻠﺑ ،ﱴﺣ ،ﻰﻠﻋ ،ﱃﺇ ).

2. Beberapa ism (nomina) seperti: ( ﺎﻨﻫ ،ﺎﻤﻬﻣ ،ﺍﺫ ،ﺎﻧﺃ ), kecuali lima yaitu: ( ،ﱏﺃ

3. Beberapa nama asing seperti: ( ﺎﻴﻧﺎﳌﺃ ،ﺎﻘﻴﺳﻮﻣ ،ﺎﺨﻴﻟﺯ ), kecuali empat nama

yaitu: ( ﻯﺭﺎﲞ ،ﻯﺮﺴﻛ ،ﻰﺴﻴﻋ ،ﻰﺳﻮﻣ ).

4. Beberapa faktor seperti: pada munâdâ ( ﺎﻣﻼﻏ ﺎﻳ ), sebelumnya yâ’ dan bukan sebuah nama ( ﺎﻳﺍﻭﺯ ،ﺎﻴﳛ ،ﺎﻴﺤﺘﺳﺍ ), atau asalnya wâw yang terdapat

pada ism dan fi’l tsulâtsî seperti: ( ﺎﲰ ،ﺍﺰﻏ ،ﺎﺼﻋ ).

c) Fathah tawîlah yang berada pada akhir kata dan ditulis dengan ( ى ), jika:

asalnya dari yâ’ pada ism dan fi’l, contohnya: ( ﻰﻋﺭ ،ﻰﻣﺭ ،ﻰﻌﺳ ), dan pada ism dan fi’l rubâ’î atau seterusnya, seperti: ( ﲎﻏﺃ ،ﻯﱪﻛ ،ﻯﺮﻐﺻ ).

Penggunaan dua simbol ini pada dasarnya memiliki alasan, yaitu untuk menunjukkan huruf asal pada kata Arab yang berbentuk verba. Penggunaan alif pada kata kerja (

ﺎﲰ 262 ،ﺍﺰﻏ ،ﺎﺼﻋ ), untuk akarnya yang berasal dari wâw. Sementara pada ( 263 ﻰﻋﺭ ،ﻰﻣﺭ ،ﻰﻌﺳ

), karena akarnya dari yâ’. Akan tetapi tidak semua penggunaan dua simbol tersebut memiliki alasan seperti pada dua kata kerja di atas, selebihnya sangat bergantung dengan kaidah-kaidah ejaan yang terdapat dalam aksara Arab. Selain penggunaan dua simbol, dalam penulisan fathah tawîlah juga terdapat kaidah yang merupakan karakter khusus dari aksara Arab. Karakter itu berupa huruf yang ditulis tapi tidak ada pelafalannya, atau sebaliknya bunyi dilafalkan tanpa keberadaan simbol, contohnya: 264

a) Tertulis dalam sebuah kata, tapi tidak diucapkan, contohnya: ( ﺍﻮﺟﺮﺧ ،ﺔﺋﺎﻣ ).

263 ‘Abd al-Salâm M. Hârûn, Qawâ’id al-Imlâ’(Kairo: Maktabah al-Khanjî, 1982), h. 21. Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâss ah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Tarbiyah

al-Islâmiyyah, h. 112. 264 M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah: Mahârâtuhâ wa Funûnuhâ (Kuwait: Maktabah Dâr al-‘Urûbah, 2001), h. 103,105; Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâss ah bi al- Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Tarbiyah al-Islâmiyyah , h. 113, 115.

Penggunaan alif pada kata kerja ( ﺍﻮﺟﺮﺧ ) untuk membedakan antara wâw al-jama’ah pada kata tersebut yang juga berfungsi sebagai subjek, dengan wâw

pada verba ( ﻮﺟﺮﻧ ،ﻮﻋﺩﺃ ،ﻮﻔﺻﺃ ) yang merupakan salah satu huruf pembentuk

kata. 265

b) Tidak tertulis pada kata, namun bunyinya terdengar, seperti: ( ،ﻦﻜﻟ ،ﻦﲪﺮﻟﺍ ،ﷲﺍ

Penggunaan dua simbol untuk fathah tawîlah menjadikan aksara Arab tidak dapat meraih aspek keharmonisan, yang merupakan ukuran aksara yang baik. Sementara meskipun penulisan kedua simbol ini memiliki alasan yang dapat

diterima dan menjadi bagian dari karakter khusus aksara Arab, tetap saja dapat melahirkan kesulitan-kesulitan dalam penulisannya. Kesulitan tersebut dapat

mengakibatkan kesalahan-kesalahan dalam hal imlâ’, karena tidak sesuai dengan kaidah ejaan yang berlaku dalam bahasa Arab.

2) Kasrah tawîlah ( ﻱ )

Huruf ini adalah simbol untuk menuliskan bunyi /ii/ yang termasuk vokal tinggi depan tertutup tak bulat. 266 Seperti juga vokal-vokal lain, bunyi /ii/ memiliki beberapa alofon, seperti: ( ﺢﻴﺼﻓ ) diucapkan dengan tafkhîm, ( ﱘﺮﻛ ) muraqqaq, dan ( ﲑﻘﻓ ) diucapkan antara keduanya. Vokal ini hanya berada dan ditulis pada tengah atau akhir sebuah kata. Selain itu kasrah tawîlah yang biasa disebut yâ’ al-manqûs pada beberapa nomina dengan ditandai ( ﻝﺃ ), saat terjadi

waqf (berhenti) maka bunyi ini terhapus, seperti: ( ﻕﻼﺘﻟﺍ ،ﺩﺎﻨﺘﻟﺍ ،ﻉﺍﺪﻟﺍ ،ﻝﺎﻌﺘﳌﺍ ) yang

asalnya adalah ( 267 ﻲﻗﻼﺘﻟﺍ ،ﻱﺩﺎﻨﺘﻟﺍ ،ﻲﻋﺍﺪﻟﺍ ،ﱄﺎﻌﺘﳌﺍ

Hal ini hanya pada kata-kata tersebut, namun harus tetap diperhatikan.

3) Dammah tawîlah ( ﻭ )

M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 103-104.

267 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 72. ‘Abd al-Salâm M. Hârûn, Qawâ’id al-Imlâ’, h. 42.

Huruf ini adalah tanda untuk vokal dammah tawîlah, yang merupakan vokal tinggi belakang tertutup bulat. 268 Perubahan-perubahan bunyi ini sama dengan vokal dammah, hanya durasinya saja yang berbeda, seperti: ( ﺍﻮﻣﻮﺻ ) diucapkan mufakhkham, ( ﺍﻮﻣﻭﺩ ) terdengar muraqqaq, dan ( ﺍﻮﻣﻮﻗ ) antara keduanya. Semua vokal panjang bahasa Arab -termasuk dammah tawîlah-, hanya memiliki posisi atau terdapat pada tengah atau akhir kata. Penulisan dammah tawîlah pada beberapa kata Arab, dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui karakter khusus

dan kaidah ejaan yang ada pada aksara Arab, yaitu: 269

1) Simbol tertulis tapi bunyinya tidak terdengar, seperti pada:

a) Di tengah kata, seperti: ( ﱃﻭﺃ ), ( ﺀﻻﻭﺃ ), ( ﻚﺌﻟﻭﺃ ), dan ( ﺕﻻﻭﺃ ).

b) 270

Di akhir kata, contohnya: ( ﻭﺮﻤﻋ ) untuk membedakan dengan ( ﺮﻤﻋ ).

2) Bunyi dilafalkan tapi tidak ada simbolnya, misalnya: ( ﺱﻭﺎﻃ ،ﺩﻭﺍﺩ ).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa penulisan bunyi-bunyi vokal bahasa Arab sebagian besar sangat konsisten. Hanya saja pada penulisan vokal panjang terdapat unsur tidak harmonis antara bunyi dan lambang, hal ini karena karakter khusus yang dimiliki aksara Arab. Penulisan setiap simbol juga dilengkapi dengan kaidah tulis, akan tetapi yang sungguh menyayangkan adalah kebiasaan tulisan Arab tidak dilengkapi dengan syakl.

2. Penulisan bunyi konsonan Bunyi konsonan merupakan bagian yang paling banyak mendapat perhatian dalam bahasa Arab, karena bunyi ini dianggap sebagai pembentuk struktur kata. Telah disinggung pada bagian awal, bahwa huruf-huruf primer aksara Arab terdiri dari 29 huruf. Huruf-huruf tersebut –kecuali alif- digunakan untuk menuliskan bunyi konsonan. 271 Setiap huruf dalam aksara Arab memiliki

269 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 72. Mustafâ Ghalâyaynî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, h. 139; M. Rajab al-Najjâr, al-

Kitâbah al-‘Arabiyyah: Mahârâtuhâ wa Funûnuhâ , h. 104-105.; Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al- Khâssah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 113, 114, 116. 270

Wâw tetap ditulis ketika posisi kata sebagai subyek dan genitive, sedangkan berubah mejadi alif ketika posisi kata sebagai obyek. M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah: Mahârâatuhâ wa Funûnuhâ , h. 104-105. 271

David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 1; David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 1;

huruf saja, yaitu: ( ﻱ ﻭ، ). 273 Keduanya digunakan untuk melambangkan dua

bunyi, vokal dan konsonan.

Selain dengan huruf primer, ada beberapa bunyi konsonan yang dilambangkan dengan tanda-tanda tambahan. Tanda-tanda tersebut –terkadang- diambil dari bentuk huruf primer, namun fungsinya diubah. Juga, dapat berupa

tanda diakritikal sebagai simbol dari beberapa bunyi konsonan, seperti: sukûn dan syaddah. 274 Jika diamati aksara Arab telah berhasil melambangkan semua bunyi

konsonannya, dalam hal ini sudah dapat meraih aspek kesempurnaan. Masing- masing huruf dan tanda diatur tata cara penggunaanya dengan baik oleh ejaan aksara Arab, sehingga tercapai keseragaman bentuk dan terhindar dari problem makna.

a. Huruf-huruf primer dalam aksara Arab Semua huruf yang terdapat dalam aksara Arab digunakan untuk

menuliskan bunyi konsonan, kecuali huruf alif. 275 Huruf alif –pada hakikatnya- adalah huruf yang digunakan untuk menuliskan bunyi vokal bahasa Arab, akan

tetapi alif juga digunakan untuk menuliskan bunyi konsonan hamzah. Selain itu, ada dua huruf primer yang memiliki dua fungsi. Kedua huruf itu dapat digunakan

Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 73; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-Ashwât (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971), h. 205. Alofon adalah varian fonem berdasarkan posisi; misalnya, fonem pertama pada kita dan kata secara fonetis berbeda, masing-masing adalah alofon dari fonem /k/. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 10. 273

Yâ dan wâw memiliki dua kegunaan, baik untuk menuliskan bunyi konsonan seperti

pada kata ( ﺪﻋﻭ ،ﺱﺭﺪﻳ ), juga untuk menuliskan bunyi vokal seperti pada kata ( ﺭﻮﺳ ،ﻱﺩﺎﳍﺍ ). Lihat,

Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, Cet. V (Beirut: Dâr al-nafâis, 1998), h. 153; dan juga, Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 166.

274 David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 5-6; Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 74-75; diambil juga pada tanggal

30/01/2008 dari Arabic Alphabet dan Abjad Arab, 275 http://www.wikipedia.com . Alif memiliki dua kegunaan: Pertama, untuk menuliskan bunyi vokal panjang bahasa Arab yang biasa dikenal dengan fathah tawîlah ( ﺍ ). Dan kedua, digunakan untuk menuliskan bunyi konsonan hamzah. Lihat, David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 3.

untuk menuliskan bunyi konsonan, juga untuk bunyi vokal. Dua huruf tersebut adalah huruf yâ’ dan wâw.

1) Huruf bâ’ ( ﺏ ) Huruf ini merupakan lambang untuk konsonan / ﺏ / yang pelafalannya dengan merapatkan kedua bibir sehingga arus udara terhambat secara sempurna, kemudian dilepaskan sehingga terdengar suara letupan. bunyi ini termasuk

konsonan hambat letup bilabial bersuara muraqqaq. 276 Konsonan jika diamati sama dengan konsonan /b/ dalam bahasa Indonesia. 277 Akan tetapi konsonan ini

tidak memiliki bunyi tak bersuara yang berlawanan dengannya, sementara dalam bahasa Indonesia ada lawannya yaitu konsonan /p/. Dari sini dapat dijawab,

bagaimana kesalahan-kesalahan selalu terjadi ketika orang Arab melafalkan bunyi /p/ dalam bahasa Inggris.

Bentuk umum huruf ini adalah ( ﺏ ), yang strukturnya digunakan pula untuk huruf tâ’ dan tsâ’, dengan dibedakan dengan posisi dan jumlah titik. 278

Bentuk umum ini akan berubah-ubah menjadi ( ﺐـ ، ـﺒـ ،ـﺑ ), seiring

perubahan posisinya pada konteks kata. 279 Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena karakter huruf ini yang dapat disambungkan (connector), 280 baik dengan

huruf sebelum dan sesudahnya, contohnya: ﺐﺒﺴﻟﺍ ﻭ ،ﻦﻳﺪﻟﺍﻮﻟﺍ ﺮﺑ ،ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻚﻟﺫ .

Pada hakikatnya konsonan ini selalu dilafalkan dengan bersuara (majhûr), tetapi dalam beberapa konteks kata cenderung tak bersuara ( mahmûs) seperti:

( ﺏﺎﻌﻟﻷﺍ ،ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ). Hal ini terjadi karena bunyi ini disertai oleh tanda sukûn (taskîn

276 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 248; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 128; dan lihat juga, al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 37.

278 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 83. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dalam aksara Arab, dan dapat menimbulkan

berbagai permasalahan jika penulis lupa menuliskan tanda titik. Lihat, ‘Alî A. Al-Wâhid Wâfî, Fiqh al-Lughah , Cet. VIII (Kairo: Dâr Nahzah, tt.), h. 261 dan Nâyif Ma’rûf, Khasâis al- ‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 153; Huruf ini dimodifikasi dengan tiga titik di bawahnya ( ﭖ ) ketika digunakan untuk mengalihkan bunyi /p/ dari kata-kata asing pada saat proses transliterasi. Diambil pada tanggal 28 Juli 2008 dari Arabic alphabet , http://www.wikipedia.com .

279 Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 316; David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 1; dan diambil juga pada tanggal

30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, http://www.wikipedia.com .

280 Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Bandung: Humaniora,2007), h. 181.

al-bâ’). 281 Berlandaskan keadaan ini, para ahli bahasa mewajibkan [ ﺏ

] diucapkan

dengan suara qalqalah, agar selalu terjadi letupan dan bersuara. Bunyi [ ﺏ ] juga dapat dilafalkan dengan idghâm pada beberapa kata, seperti: ( ﺎﻨﻌﻣ ﺐﻛﺭﺍ ). 282 Hal ini terjadi karena bunyi [ ﺏ ] dalam keadaan sukûn, sementara bunyi setelahnya adalah / ﻡ / yang cenderung lebih dominan. Beragamnya varian bunyi ini masih

dalam lingkup satuan bunyi yang sama, dan tidak dapat membedakan makna.

2) Huruf tâ’ ( ﺕ ) Huruf ini digunakan sebagai lambang konsonan / ﺕ / yang pelafalannya dengan menempelkan ujung lidah pada pangkal gigi bagian atas dekat dengan

gusi, kemuaian terjadi letupan ketika hambatan dilepaskan. Bunyi ini termasuk konsonan hambat letup apiko dental-alveolar tak bersuara muraqqaq. 283 Konsonan

ini memiliki persamaan dengan konsonan /t/ dalam bahasa Indonesia. 284 Sehingga dapat disimpulkan tidak ada kesulitan bagi orang Indonesia, untuk melafalkan bunyi ini.

Huruf ini memiliki bentuk umum dan strukrur yang sama dengan huruf bâ’ dan tsâ’, sehingga digunakan dua titik di atasnya untuk membedakannya ( ). 285 ﺕ Sementara bentuk-bentuk perubahan dan karakternya pun tidak berbeda

dengan keduanya yaitu ( 286 ﺖـ ،ـﺘـ ،ـ ﺗ

), contohnya: ﺖﻴﺒﻟﺍﻭ ،ﺐﺘﻛ ،ﺐﻌﺗ .

281 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 248-249; Qalqalah menurut bahasa adalah gerak dan gaduh (harakah dan idtirâb), sedangkan menurut istilah Tajwid berarti kegaduhan yang terjadi

pada makhraj ketika mengucapkan huruf-hurufnya ( ﺪﺟ ﺐﻄﻗ ). Lihat, Walîd M. ‘Abd al-‘Azîz al-

Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, Cet. II (Kuwait: t.p., 1999), h. 74. 282

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 248-249; Hukum idghâm / ﺏ / adalah jâiz dengan alasan bahwa huruf / ﺏ / dan / ﻡ / berdekatan makhrajnya. Lihat Muhammad bin Muhammad al-Jazrî, al- Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd, Penyunting: ‘Alî Husein al-Bawwâb (Riyâd: Maktabah al-Ma’ârif, 1985), h. 110; Idghâm adalah kesamaan dan kedekatan dari sisi makhraj dan sifat huruf. Lihat, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 74; Ayat QS. Hûd, 42. 283

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 249; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 129; dan lihat juga, al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 37. 284 285 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 83. Wâfî, Fiqh al-Lughah , h. 261 dan Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 153.

286 Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 316; David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 1

Bunyi / ﺕ / yang telah dibakukan pada hakikatnya dilafalkan dengan tak bersuara, akan tetapi pada beberapa konteks bunyi ini terkadang bersuara, seperti:

( ﺩﻭﺍﺩ ﺖﻌﻧﺍ ) yang diucapkan ( ﺩﻭﺍﺩ ﺪﻌﻧﺍ ). 287 Hal itu disebabkan bunyi [ ﺕ ] dalam keadaan sukûn dan sesudahnya konsonan / ﺩ /, yang dapat mempengaruhinya karena keduanya tidak ada perbedaan kecuali bersuara dan tak bersuara. 288 Terkadang bunyi [ ﺕ ] juga dilafalkan konsonan geseran (ihtikâk), apabila sesudahnya kasrah seperti pada kata: ( ﻲِﺘﺧﺃ ). Hal ini yang mungkin dapat

menjelaskan bagaimana Sîbawaih memasukkannya dalam kategori qalqalah, 289 karena dengan begitu bunyi ini terhindar dari pergeseran (frikatif). Sementara itu

–menurut ulama Tajwid- bunyi [ ﺕ ] harus tetap diucapkan dengan jelas (izhâr), apabila berada beriringan dengan bunyi-bunyi mufakhkham, seperti: ( 290 ﻥﻮﻌﻤﻄﺘﻓﺃ

). Hal ini perlu dilakukan, agar varian-varian bunyi ini tidak terlalu jauh berubah dari bunyi asalnya.

3) Huruf tsâ’ ( ﺙ ) Huruf tsâ’ adalah simbol untuk konsonan / ﺙ / yang pelafalannya dengan meletakkan ujung lidah antara gigi atas dan gigi bawah, dengan begitu udara dapat keluar dengan bergeser melalui sela-sela himpitan artikulator. Bunyi ini termasuk konsonan geseran inter-dental tak bersuara dan muraqqaq, perbandingan bunyi bersuaranya dalam bahasa Arab adalah konsonan / ﺫ /, dan mirip dengan konsonan /s/ dalam bahasa Indonesia, karena makhraj keduanya berdekatan. 291 Sehingga dapat saja timbul permasalahan dalam pelafalan / ﺙ / dan / ﺫ / untuk siswa

287 Al-Badrâwî Zahrân, fi ‘Ilm al-Aswât al-Lughawiyyah (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1994), h. 244; Dalam istilah Sîbawaih disebut idghâm karena keduanya dari satu makhraj, sama-sama kuat.

Lihat, Abû Bisyr ‘Amru Ibn ‘Utsmân bin Qanbur, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, Jilid IV, Cet. II, Penyunting: ‘Abd al-Salâm M. Hârûn, h. 460-461.

289 Abû Bisyr, al-Kitâb Kitâb Sîbawaih , h. 460. Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 129; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h.

249-250. 290 Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 112-113; contoh pertama QS. al-

Nahl, 28, dan kedua QS. al-Baqarah, 75; Izhâr adalah jelas dan terang yaitu mengucapkan huruf tanpa diikuti dengung (ghunnah). Lihat, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 107. 291

Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 79, 83; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 298; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 152; dan lihat juga, al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 37.

Arab, dan antara / ﺙ / dan /s/ bagi siswa Indonesia. Sementara huruf ini dalam aspek bentuk umum, bentuk-bentuk perubahan, dan karakternya sama dengan dua huruf sebelumnya, hanya dibedakan dengan tiga titik di atasnya ( ﺙ ), sehingga

bentuk-bentuknya ( 292 ﺚـ ،ـﺜـ ،ـﺛ

), contohnya: ﺚﻴﻏ ﻭ ،ﺮﺜﻧ ،ﺓﺮﲦ .

Konsonan ini tidak ada variasi bunyinya, hanya sering tertukar dengan konsonan / ﺫ / dalam bahasa Arab fushâ. Namun -menurut Kamâl Bisyr- konsonan ini dapat berubah menjadi bunyi [ ﺕ ], seperti: ( ﺐﻠﻌﺛ ) dibaca ( ﺐﻠﻌﺗ ), juga dapat berubah menjadi bunyi [ 293 ﺱ

], seperti: ( ﺔﺛﻼﺛ ) dilafalkan ( ﺔﺳﻼﺳ ). Kedua hal ini

terjadi pada bahasa ‘Âmiyah, dan menimbulkan permasalahan baik dari sisi bunyi atau makna. Sedangkan -menurut ulama Tajwid-, bunyi [ ﺙ ] harus tetap dibaca

muraqqaq meskipun setelahnya terdapat huruf alif, seperti: ( ﺚﻟﺎﺛ ). Dan harus tetap dilafalkan dengan jelas, walaupun setelahnya bunyi [ ﺙ ] atau huruf isti’lâ’,

seperti: ( ﺔﺛﻼﺛ ﺚﻟﺎﺛ ) dan ( ﻢﻛﻮﻔﻘﺜﻳ ﻥﺇ ). 294 Kedua hal ini begitu penting untuk

diperhatikan, agar dapat terhindar dari permasalahan pelafalannya yang telah dijelaskan di atas.

4) Huruf jîm ( ﺝ ) Huruf jîm adalah lambang konsonan / ﺝ / yang dilafalkan dengan menempatkan daun lidah pada langit-langit keras, akan tetapi pada bunyi ini hambatan tidak dilepaskan secara tiba-tiba namun dengan bergeser pelan-pelan. Sehingga bunyi ini termasuk konsonan paduan fronto-palatal bersuara, dengan sifat mufakhkham. 295 Kategori inilah yang telah ditetapkan ahli bahasa Arab saat ini, meskipun ada perbedaan pandangan baik dari sisi makhraj atau sifatnya.

292 Wâfî, Fiqh al-Lughah , h. 261 dan Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 153. 293

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 298; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 152.

294 Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 114-115; Walîd al-H amd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 100-101; Contoh I, II QS. al-Mâidah, 73. Dan contoh III QS. al-Mumtahanah,

2; Isti’lâ’ adalah tinggi atau naik yakni menaikkan seluruh atau sebagian lidah ke langit-langit

tertinggi, seperti: ( 295 ﻆﻗ ﻂﻐﺿ ﺺﺧ ). Lihat, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 72.

Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 83.

Bentuk umum huruf ini adalah ( ﺝ ), struktur bentuk ini juga digunakan sebagai simbol hâ’ dan khâ’. Sisi perbedaannya berada pada posisi titik dan jumlahnya, sehingga bentuk-bentuk perubahannya adalah (

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa huruf ini dapat disambungkan dengan huruf

sebelum dan sesudahnya, contohnya: ﺞﻠﺛ ﻭ ،ﺐﳚ ،ﻝﺎﲨ .

Konsonan ini telah ditetapkan kategorinya baik dari makhraj atau sifatnya, untuk dijadikan standar dalam pelafalan dan pembentukan hurufnya. Hal ini sangat penting, mengingat banyaknya ragam dan perubahan-perubahan yang terjadi pada bunyi ini dalam bahasa Arab, baik pengaruh dari masa lampau atau

penggunaan saat ini dalam bahasa ‘Âmiyah. Ragam pelafalan bunyi ini antara lain: 297

a) Dilafalkan seperti bunyi [g] pada kata (go) dalam bahasa Inggris, oleh karena itu simbolnya dalam International Phonetic Transcription adalah [g], seperti: ( ﻞﲨ ) dibaca gamal. Konsonan ini sama dengan bunyi / ﻙ /, perbedaannya hanya bunyi ini bersuara. Sehingga sering terjadi permasalahan antara keduanya, seperti: ( ﻞﲨ ) dilafalkan ( ﻞﻤﻛ ) atau sebaliknya ( ﱪﻛﺃ ) dilafalkan ( ﻞﲨﺃ ). Bunyi ini merupakan asal konsonan jîm pada masa silam, dan pernah diungkapkan oleh Sîbawaih sebagai bunyi yang tidak baik untuk membaca

Alquran, sebagaimana ungkapannya: 298

Hal tersebut memang tidak boleh terjadi dalam pelafalan Alquran, karena dapat merubah baik dari bunyi dan juga makna.

b) Dilafalkan dengan konsonan paduan fronto-palatal bersuara, yang telah dibakukan oleh para ahli untuk konsonan jîm. Simbolnya adalah [dj],

Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 153; Lihat juga Wâfî, Fiqh al-Lughah , h. 261. Huruf ini juga digunakan untuk mengalihkan bunyi /ch/ pada saat transliterasi kata asing ke dalam bahasa Arab, dengan menambahkan tiga titik pada badannya ( ﭺ ).Diambil pada tanggal 28 Juli 2008 dari Arabic alphabet , 297 http://www.wikipedia.com .

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 310-340; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al- Aswât, h. 161-166; Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, , h. 335-343. 298 Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih , h. 432.

merupakan perkembangan dari bunyi asalnya dan digunakan oleh para qurrâ (pembaca) Alquran.

c) Dilafalkan dengan konsonan hambat letup dental-alveolar bersuara, dengan simbol [d]. Bunyi semacam ini sudah ada sejak masa lalu, dan pengaruhnya dapat dilihat pada beberapa dialek di Mesir, contoh: Sa’îd melafalkan ( ﺎﺟﺮﺟ ) dengan ( ﺍﺩﺭﺩ ) dan ( ﺶﻴﺟ ) dengan ( ﺶﻳﺩ ).

d) Dilafalkan dengan konsonan geseran alveolar-palatal bersuara, sementara simbolnya adalah [j]. Bunyi ini dikenal dengan jîm syâmiyyah karena digunakan oleh orang-orang Syam. Bunyi ini juga pernah dibahas oleh

Sîbawaih, menurutnya di antara bunyi yang tidak baik adalah jîm seperti syîn,

contoh: ( 299 ﺭﺪﺟﻷﺍ

) dilafalkan ( ﺭﺪﺷﻷﺍ ).

e) Dilafalkan dengan konsonan (semi-vokal) tengah-tengah palatal bersuara dengan simbol [y], seperti bunyi pada kata ( ﺐﺘﻜﻳ ). Menurut para ahli, bunyi seperti ini keluar dari makhraj yang dekat dengan bunyi [dj]. Bunyi ini masih diucapkan di beberapa negara Teluk, terutama Kuwait.

f) Dilafalkan dengan konsonan palatal bersuara dengan simbol [z], bunyi ini diucapkan oleh sebagian besar masyarakat non-Arab, dan masih digunakan dalam beberapa dialek di Tunisia dan Palestina, contoh: ( ﺯﺎﺟ ) dilafalkan ( ﺍﺯﺍﺯ ).

Sementara -menurut ulama Tajwid-, bunyi konsonan ini harus tetap dijaga sifat qalqalahnya, terutama apabila sukûn dan syaddah, seperti: ( ﻪﺟﺎﺣ ) dan (

ﺍﺰﺟﺭ 300 ). Perubahan-perubahan semacam ini patut dimaklumi, karena luasnya wilayah dan bahasa umat Islam yang berbeda-beda. Sehingga terkadang kebiasaan

daerah masuk pada pelafalan Alquran, untuk menghindari itu dibutuhkan pembakuan pelafalan bunyi dan pelambangannya.

5) Huruf hâ’ ( ﺡ )

Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 432. 300 Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 115-116; Walîd al-H amd, al-Basît

fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 89; Contoh pertama QS. al-An’âm 80 dan kedua QS. al-Baqarah 59.

Huruf ini adalah simbol konsonan / ﺡ / yang dilafalkan dengan mendekatkan akar lidah ke dinding rongga kerongkongan, sehingga udara keluar dengan bergeser. Bunyi ini diklasifikasikan dalam konsonan geseran root-faringal

tak bersuara. 301 Bunyi ini merupakan letak kesulitan untuk orang-orang non-Arab seperti di Indonesia, karena tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Bentuk-bentuk dan karakter huruf ini sama dengan huruf jîm, hanya tanpa titik

Oleh karena itu, bentuk perubahannya adalah ( ﺢـ ،ـﺤـ ، ـﺣ ), seperti:

Seperti yang telah dijelaskan, bunyi ini cukup sulit untuk diucapkan oleh non-Arab, sehingga terkadang dilafalkan dengan bunyi khâ’ atau hâ’. Hal ini

dapat terjadi juga pada siswa Indonesia, mengingat tidak ada bunyi seperti ini dalam bahasa Indonesia. 303 Pada hakikatnya makhraj bunyi hâ’ sama dengan

bunyi ‘ain, perbedaannya bunyi hâ’ tidak bersuara sedangkan bunyi ‘ain bersuara. Oleh karena itu, jarang sekali terlihat kedua bunyi ini beriringan dalam suatu kata. Bunyi hâ’ juga harus tetap dilafalkan dengan jelas (izhâr) terutama jika setelahnya

ada bunyi ‘ain, seperti: ( 304 ﻢﻬﻨﻋ ﺢﻔﺻﺎﻓ

) dan ( ﻰﺴﻴﻋ ﺢﻴﺴﳌﺍ ). Hal itu perlu dilakukan,

agar tidak terjadi ikhfâ’ atau idghâm terhadap bunyi hâ’.

6) Huruf khâ’ ( ﺥ ) Huruf ini digunakan untuk melambangkan bunyi / ﺥ / yang dilafalkan dengan menekankan pangkal lidah ke langit-langit lunak, kemudian udara keluar dengan bergeser. Sehingga bunyi ini masuk kategori konsonan geseran dorso-

velar bersuara dan mufakhkham. 305 Bunyi [ ﺥ

] harus tetap dijaga sifatnya - tafkhîm

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 304; Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 319. 302 Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 153; Lihat juga Wâfî,

Fiqh al-Lughah, h. 261. 303 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 304; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 155; lihat juga, Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 83. 304

Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 117-118; Contoh I, QS. al-Zukhruf 89 dan II QS. âli ‘Imrân 45; Lihat juga, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 85-86. 305 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 303; A. Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 319; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 155; dan lihat juga, al-Badrâwî Zahrân, fi ‘Ilm al-Aswât al-Lughawiyah wa ‘Uyûb al-Nutq , h. 200-201.

dan isti’lâ’- terutama apabila sesudahnya terdapat alif, seperti pada: ( 306 ﲔﻔﺋﺎﺧ

). Hal itu disebabkan, tafkhîm konsonan ini berkaitan erat dengan bunyi-bunyi setelahnya. Apabila setelahnya fathah dan dammah, maka dilafalkan dengan mufakhkham. Sebaliknya diucapkan muraqqaq jika setelahnya kasrah.

Bunyi ini –menurut Abdul Mu’in- mirip dengan konsonan /kh/ dalam bahasa Indonesia, 307 sehingga orang Indonesia tinggal berhati-hati ketika melafalkannya, karena perbedaan keduanya terletak pada mufakhkham dalam bahasa Arab, sedangkan dalam bahasa Indonesia muraqqaq. Sementara bentuk umumnya sama dengan kedua huruf sebelumnya, sehingga bentuk-bentuk

perubahan dan karakternya pun sama dengan keduanya. Hanya saja digunakan satu titik di atasnya, untuk membedakannya dengan huruf khâ’. 308 Oleh sebab itu bentuk-bentuknya adalah ( ﺦـ ، ـﺨـ ، ـﺧ ), seperti:

Bentuk-bentuk huruf yang sama dalam aksara Arab ini merupakan bagian yang dapat menyebabkan permasalahan-permasalahan dalam tataran praktisnya. Oleh sebab itu, perlu ditekankan penggunaan tanda titik dan ketelitian saat meletakkannya dalam konteks kata, agar terhindar dari permasalahan yang akan terjadi.

7) Huruf dâl ( ﺩ ) Huruf ini adalah simbol untuk konsonan / ﺩ / yang pelafalannya sama dengan bunyi / ﺕ /, perbedaannya pada konsonan ini harus bersuara. Dalam bahasa Arab bunyi ini dikategorikan sebagai konsonan hambat letup apiko dental-

alveolar bersuara dan muraqqaq. 309 Oleh sebab itu apabila keduanya berdampingan, bunyi ini lebih kuat dan akan memperngaruhi bunyi tâ’.

306 Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 120-121; Contoh QS. al-Baqarah, 114; Lihat juga, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 87.

307 Kemiripannya pada tempat artikulasi yang sama, dan perbedaannya / ﺥ / mufakhkham sementara /kh/ muraqqaq. Lihat, Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa

Indonesia, h. 85. 308 Wâfî, Fiqh al-Lughah, h. 261. 309 Huruf dâl sama seperti huruf tâ’ dari sisi makhraj. Perbedaannya huruf dâl bersuara

dan pita suara turut bergetar pada saat artikulasi. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 205; Huruf

Bentuk umum huruf ini ( ﺩ ), dan bentuk perubahannya adalah ( ﺪـ ، ﺪـ ﺩ، ).

Karakter huruf ini adalah hanya dapat dihubungkan dengan huruf sesudahnya,

yang dikenal dengan sebutan nonconnector, 310 contohnya: ﺪﻟﺎﺧ ﻭ ،ﺭﺪﺑ ،ﺏﺭﺩ .

Bunyi ini dalam bahasa Arab pada hakikatnya adalah merupakan klasifikasi konsonan hambat, namun dapat berubah menjadi geseran dengan simbol [d

ȝ] pada aksen anak muda, seperti kata: ( 311 ﻱﺩﻻﻭ ﻱﺩﻻ ). Pelafalan

semacam ini adalah salah, terutama jika ditinjau dari sisi bunyi yang telah ditetapkan untuk huruf ini. Sementara itu bunyi ini juga harus tetap dijaga sifat

qalqalah dan jahrnya pada posisi apapun dalam konteks kata, seperti: ( ﻯﺮﻧ ﺪﻗ ) dan ( ﺩﺪﺗﺮﻳ ﻦﻣﻭ ), dan bunyi ini akan diidghâmkan apabila sesudahnya huruf tâ’, seperti:

( 312 ﻢﻜﺗﺪﻋﻭﻭ ) dan ( ﲔﺒﺗ ﺪﻗ ). Kedua hal itu harus diperhatikan, mengingat bunyi ini

termasuk bunyi qalqalah yang harus disuarakan pada kasus pertama, sementara jika bersandingan dengan tâ’ pasti terjadi idghâm karena keduanya tidak ada perbedaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

8) Huruf dzâl ( ﺫ ) Bunyi yang dilambangkan dengan simbol ini adalah / ﺫ / yang cara pelafalannya sama dengan pelafalan bunyi / ﺙ /, hanya saja bunyi ini bersuara

sehingga termasuk konsonan geseran inter dental bersuara dan muraqqaq. 313 Sementara bentuk hurufnya sama dengan huruf dâl, perbedaannya hanya terletak

dâl memiliki padanan dalam bahasa Indonesia yaitu bunyi /d/. Lihat, Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 80, 83.

310 Huruf-huruf hijâiyyah yang hanya dapat dihubungkan dengan huruf sebelumnya, dan tidak dapat disambung dengan huruf-huruf sesudahnya meskipun berada dalam satu kata yang

sama. Seperti: ( ﻭ ،ﺯ ،ﺭ ،ﺫ ،ﺩ ،ﺍ ). Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ ,

h. 157; Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab , h. 181. 311 Bunyi ini terdapat pada bahasa kaum muda, dan merupakan artikulasi yang salah.

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 205; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 129. 312

Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 121-122; contoh I, QS. al-Baqarah

144, contoh II, QS. Saba’ 32, contoh III, QS. Ibrâhîm 22, dan contoh IV, QS. al-Baqarah 256. 313

Makhraj huruf dzâl sama seperti huruf tsâ’, hanya saja pita suara bergetar saat mengartikulasikan huruf dzâl. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 298-299; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 152; huruf ini berdekatan makhraj dengan bunyi /z/ dalam bahasa Indonesia. Lihat, Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 79. Lihat juga, al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 37.

pada titik di atasnya. 314 Sehingga bentuk perubahannya adalah ( ﺬـ ، ﺬـ ،ﺫ

contoh: ﺬﻔﻧ ﻭ ،ﺏﺬﻋ ،ﻚﻟﺫ

Pelafalan bunyi ini dalam beberapa dialek berubah ke arah bunyi / ﺩ /, seperti: ( ﺐﻫﺫ dibaca ﺐﻫﺩ ). Kadang pula berubah menjadi bunyi / ﺯ /, seperti: ( ﻝﺫ dibaca

ﻝﺯ 315 ). Jika diperhatikan pelafalan tersebut benar-benar menyebabkan permasalahan, terutama jika terjadi dalam pelafan Alquran. Hal itu dapat dilihat

dari dua aspek, baik bunyi atau makna. Bukankah antara ( ﻝﺫ ) dan ( ﻝﺯ ) berbeda bunyi dan maknanya? Sementara itu juga bunyi / ﺫ / harus diperhatikan sifat tarqîqnya dan tetap diucapkan dengan bersuara, penyebabnya adalah karena jika

/ ﺫ / dibaca dengan tafkhîm maka akan serupa dengan bunyi / ﻅ /, begitu pula jika dibaca dengan tak bersuara maka akan sama dengan bunyi / 316 ﺙ

/. Karena masing-

masing keluar dari satu makhraj, sehingga memiliki persamaan-persamaan.

9) Huruf râ’ ( ﺭ ) Huruf ini digunakan untuk melambangkan konsonan / ﺭ / yang dilafalkan dengan mula-mula menempatkan ujung lidah ke gusi gigi atas berulang-ulang, sehingga udara yang dihembuskan bergetar. Bunyi ini termasuk kategori konsonan tengah-tengah apiko alveolar trill bersuara. 317 Bentuk umumnya

Huruf ini hanya dapat dihubungkan dengan huruf sebelumnya, namun tidak dapat disambungkan dengan huruf sesudahnya, meskipun dalam satu kata yang sama. Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 157; Diambil juga pada tanggal 30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, http://www.wikipedia.com ; David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 1; dan dan lihat juga, Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 316. 315

Kesalahan ini mengakibatkan perubahan makna, dan terjadi pada saat membaca Al- Qur’an. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 299. 316 317 Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 100. Lihat juga, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 166. Trill yaitu bunyi yang diucapkan berulang-ulang dan cepat. Pengulangan terjadi karena penyempitan striktur secara tidak tetap, yaitu lidah mendekati alveolum (gusi dalam/pangkal gigi) tetapi kemudian menjauh, dan seterusnya terjadi berulang-ulang dengan cepat. Sehingga, udara yang keluar digetarkan. Lihat, M. ‘Alî al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics (Beirut: Libraire Du Liban, 1982),

h. 292; A. ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 317 dan al-Badrâwî Zahrân, fi ‘Ilm al-Aswât al- Lughawiyah wa ‘Uyûb al-Nutq , h. 231-232.

disimbolkan dengan ( 318 ﺭ

), dan karakternya sama dengan dâl dan dzâl. Sehingga

bentuk-bentuknya ( ﺮـ ، ﺮـ ،ﺭ ), contoh: ﺮﻣ ﻭ ،ﺩﺮﺑ ،ﻰﺑﺭ .

Dalam kajian Sîbawaih, bunyi / ﺭ / juga dikategorikan bunyi tengah-tengah (bayniyyah) antara hambat dan geseran, sebagaimana perkataannya: 319

Pada hakikatnya bunyi [ ﺭ ] memiliki kecenderungan mufakhkham, namun ada dua hal di mana bunyi ini dapat menjadi muraqqaq: Pertama, apabila

sesudahnya kasrah seperti: ( ﻖﻳﺮﺑﻭ ،ﺪﻳﺮﺑ ،ﺏﺎﻗﺭ ،ﺏﺎﺣﺭ ،ﻝﺎﺟﺭ ). Kedua, apabila

bunyi ini dalam keadaan sukûn dan sebelumnya kasrah, namun ada dua syarat: (1)

kasrah asli (2) sesudahnya bukan huruf isti’lâ’, seperti: ( 320 ﻥﻮﻋﺮﻓﻭ ،ﺔﻳﺮﻣ ،ﺔﻳﺮﻓ

). Dalam hal ini dapat disimpulkan, bahwa sifat tafkhîm bunyi ini sangat bergantung dengan bunyi-bunyi yang datang sebelumnya.

10) Huruf zây ( ﺯ ) Bunyi yang dilambangkan oleh huruf ini adalah konsonan / ﺯ / yang dilafalkan dengan menempatkan ujung lidah kepada bagian gusi gigi atas, sehingga udara berhembus keluar dengan bergeser. Bunyi ini dikategorikan

konsonan apiko alveolar bersuara dan muraqqaq. 321 Bunyi ini sering tertukar dengan bunyi / ﺱ / karena satu makhraj, sementara dalam bahasa dialek sering

tertukar dengan bunyi / ﺫ /. Hal tersebut tidak boleh terjadi, karena akan mengakibatkan kesalahan dalam aspek makna. Sementara bunyi ini sama dengan

318 Huruf-huruf hijâiyyah yang hanya dapat dihubungkan dengan huruf sebelumnya, dan

tidak disambung dengan huruf-huruf sesudahnya, seperti: ( ﻭ ،ﺯ ،ﺭ ،ﺫ ،ﺩ ،ﺍ ). Lihat, Nâyif Ma’rûf,

Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 157. 319

Terjadi hambatan pada udara ketika artikulasi huruf bayniyyah ( ﺮﻧ ﱂ ), kemudian udara keluar dan tidak terjadi letupan. Perbedaan ( ﺭ ) dengan yang lainnya, hal tersebut terjadi berulang- ulang. Lihat, Abû Bisyr bin Qanbur, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih , h. 435; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al- Aswât, h. 351.

320 Apabila kasrahnya bukan asli (untuk menghindari bertemunya dua sukûn), seperti:

( ﻢﺘﺒﺗﺭﺍ ﻥﺇ ،ﺍ ﻮﻌﻛﺭﺍ ) harus mufakhkham. Sementara itu, bunyi ini harus mufakhkham jika sesudahnya huruf isti’lâ’, seperti: ( ﺱﺎﻃﺮﻗﻭ ،ﺔﻗﺮﻓ ،ﺩﺎﺻﺮﻣ ). Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 404-406; al-Badrâwî

Zahrân, fi ‘Ilm al-Aswât al-Lughawiyah wa ‘Uyûb al-Nutq , h. 232. 321 Huruf ini sama makhraj dengan huruf sîn, tetapi ia bersuara dan sîn tidak bersuara.

Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 153; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 301.

konsonan /z/ dalam bahasa Indonesia, sehingga tidak menjadi kendala dalam pelafalannya.

Simbol huruf zây memiliki bentuk-bentuk dan karakter yang sama dengan huruf râ’, sehingga perlu diperhatikan penggunaan tanda titik di atasnya. 322

ﺰـ 323 ، ﺰـ ،ﺯ ), misalnya: ﺰﻏ ﻭ ،ﻥﺰﺣ ،ﺓﺮﻫﺯ .

Bentuk-bentuk huruf ini adalah (

Dalam tataran praktisnya, bunyi ini harus dilafalkan dengan bersuara dan

tetap dijaga sifat muraqqaqnya pada konteks kata, contohnya: ( ﰎﱰﻛ ﺎﻣ ), ( ﺎﻧﺯﺰﻌﻓ ), ( 324 ﻢﻛﻭﺩﺍﺯﺎﻣ

Hal itu perlu dilakukan, agar perbedaannya dengan huruf / ﺱ /

terdengar dengan jelas.

11) Huruf sîn ( ﺱ ) Huruf sîn adalah lambang untuk konsonan / ﺱ / yang pelafalannya mula- mula dengan meletakkan ujung lidah ke gusi gigi atas, yang menimbulkan penyempitan jalan udara sehingga keluar dengan bergeser. Oleh sebab itu, bunyi ini termasuk konsonan geseran apiko alveolar tak bersuara yang memiliki sifat

muraqqaq. 325 Perbandingan bunyi bersuara untuk konsonan ini adalah bunyi / ﺯ

sehingga sering tertukar antara keduanya, seperti: ( ﻝﺪﺳﺃ yang diucapkan dengan ﻝﺩﺯﺃ ). 326 Hal ini dapat terjadi, mengingat keduanya keluar dari makhraj yang

sama. Sementara simbol huruf ini adalah ( ﺱ ), dan bentuk-bentuk perubahannya ( 327 ﺲـ ، ـﺴـ ،ـﺳ

Jika diamati dari struktur bentuknya, huruf ini memiliki

322 Huruf ini memiliki karakter sama seperti huruf dâl, dzâl, dan râ’, di mana tidak dapat dihubungkan (disambung) dengan huruf-huruf yang datang sesudahnya . Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-

‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 157. 323 David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 1. 324 Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 98; Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi

‘Ilm al-Tajwîd, h. 126. Contoh I, QS. al-Tawbah 35, II, QS. Yâsîn 14, dan III, QS. al-Tawbah 47. 325 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm , h. 153; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 301. 326 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 301; al-Badrâwî Zahrân, fi ‘Ilm al-Aswât al-

Lughawiyah wa ‘Uyûb al-Nutq , h. 237. 327 Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 317; David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 1; dan diambil juga pada tanggal 30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, http://www.wikipedia.com .

karakter yang sama dengan huruf bâ’, tâ’, dan tsâ’, yaitu dapat dihubungkan

dengan huruf sebelum dan sesudahnya. 328 Contohnya: ﺲﺒﻟ ﻭ ،ﻦﺴﺣ ،ﺮﻬﺳ .

Untuk menghindari perubahan pada bunyi ini akibat persamaannya dengan bunyi-bunyi bahasa Arab lainnya, ulama Tajwid menetapkan pelafalan bunyi ini harus tak bersuara. Kemudian harus diperhatikan pula sifat-sifatnya, contohnya: ( ﺔﻄﺴﺑ ) dan ( ﺭﻮﻄﺴﻣ ). 329 Hal itu perlu diperhatikan sehingga bunyi ini tidak tertukar dan berubah menjadi bunyi / ﺯ / dan / ﺹ /. Dalam bahasa Indonesia, konsonan ini

sama dengan konsonan /s/. 330 Sehingga dapat dipastikan tidak akan menjadi kendala dalam pelafalannya, karena ada persamaannya dengan bunyi bahasa

Indonesia.

12) Huruf syîn ( ﺵ ) Huruf ini dalam aksara Arab ditetapkan sebagai lambang konsonan / ﺵ / dan cara pelafalannya dengan meletakkan daun lidah pada langit-langit keras, kemudian udara berhembus keluar dengan bergeser. Para ahli bahasa saat ini mengkategorikan bunyi ini ke dalam konsonan geseran fronto-palatal tak bersuara dengan sifat muraqqaq. 331 Simbolnya sama dengan huruf sîn, sehingga karakternya pun sama dengan karakter huruf tersebut. 332 Namun harus diperhatikan fungsi titik, agar terhindar dari kesalahan dalam pernulisan

keduanya, contoh: ﺶﻌﻧ ﻭ ،ﺮﺸﻧ ،ﻝﺎﴰ .

Bunyi ini –menurut Kamâl Bisyr- hampir sama dengan bunyi jîm pada dialek Syria, sehingga sering terjadi kesalahan dalam pelafalannya, seperti:

328 Huruf sîn tidak mengalami perubahan apabila dihubungkan dengan huruf sebelumnya, dan akan kehilangan ujungnya jika dihubungkan dengan huruf sesudahnya. Lihat, Nâyif Ma’rûf,

Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 158. 329 Apabila sesudahnya huruf tafkhîm maka harus dibaca lebih dijelaskan safîrnya (suara

lebih yang keluar dari dua bibir) dan lebih tipis dari sâd, karena keduanya berdekatan makhraj. Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 127; contoh I, QS. al-Baqarah 247; dan II, QS. al-Isrâ’ 58. 330

331 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 80, 83. 332 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 303.

Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 317; diambil juga pada tanggal 30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, http://www.wikipedia.com .

( 333 ﻝﺎﻐﺷﺃ ) dibaca ( ﻝﺎﻐﺟﺃ ). Sementara bunyi yang sepadan dengannya dalam bahasa

Indonesia adalah bunyi yang disimbolkan dengan dua huruf (diagraf), yaitu konsonan /sy/. 334 Sehingga dapat dipastikan, pelafalan bunyi ini tidak dapat menjadi kendala untuk orang Indonesia. Kemudian bunyi [ ﺵ ] harus dilafalkan dengan jelas sifat tafasysyînya terutama pada saat berhenti, seperti pada ( ﺪﺷﺮﻟﺍ ). Selanjutnya jika setelahnya terdapat huruf ( ﺝ ), maka bunyi ini harus benar-benar

diucapkan dengan jelas, seperti pada: ( 335 ﻢﻬﻨﻴﺑ ﺮﺠﺷ

Semua ini harus dilakukan, mengingat persamaan yang terjadi antara keduanya dapat menimbulkan kesalahan dalam pelafalan antara keduanya.

13) Huruf sâd ( ﺹ ) Bunyi yang dilambangkan dengan huruf ini adalah konsonan / ﺹ / di mana cara pelafalannya sama dengan pelafalan konsonan / ﺱ /, hanya saja bunyi ini mufakhkham karena naiknya pangkal lidah ke langit-langit lunak, sehingga

termasuk konsonan geseran apiko alveolar tak bersuara. 336 Konsonan ini mirip dengan konsonan /s/ dalam bahasa Indonesia, kecuali pada sisi tafkhîm. 337

Keduanya telah dijelaskan pada pelafalan huruf sîn, sehingga penutur perlu berhati-hati dalam pelafalan dan penulisannya. Hal semacam itu juga ditegaskan oleh ilmu Tajwid, bahwa bunyi / ﺹ / harus selalu dijaga sifat tafkhîmnya agar tidak menjadi bunyi [ 338 ﺯ

] dan [ ﺱ ], seperti pada ( ﹰﺎ ﻗﺪﺻ ), ( ﻰﻔﻄﺻﺍ ), dan ( ﺖﺻﺮﺣ ﻮﻟﻭ ).

Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 302-303.

335 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 81, 83. Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 128; Tafasysyî adalah penyebaran

udara di dalam mulut saat mengucapkan bunyi, sehingga bersentuhan dengan makhraj-makhraj pangkal lidah. Lihat, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 76; Contoh I, QS. al-Baqarah 256; II, QS. al-Nisâ’ 65. 336

Bunyi ini terbentuk seperti terbentuknya bunyi sîn, perbedaanya hanya pada sifat tafkhîm yang dimiliki bunyi sâd. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 302. 337 Kemiripan dua bunyi tersebut disebabkan oleh persamaan makhraj (tempat artikulasi)

dan perbedaannya hanya sifat tafkhîm pada bunyi sâd. Lihat, Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 84.

338 Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah (al-Maghrib: Dâr al-Tsaqâfah, 1979), h. 128; Bunyi / ﺹ / harus tetap dipelihara sifat tafkhîmnya agar tidak berubah ke arah bunyi / ﺯ / apabila

sesudahnya huruf ( ﺩ ) dan ( ﺹ ). Sedangkan, bunyi ini akan berubah ke arah bunyi / ﺱ /, apabila sesudahnya huruf ( ﺕ ), karena sîn lebih dekat dengan tâ’ dibandingkan sâd. Lihat, Muhammad al- Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 129; Contoh I, QS. al-Nisâ’ 87; II, QS. al-Baqarah 132; III, QS. Yûsuf 103.

Sehingga dapat disimpulkan dengan jelas, untuk menghindari kesalahan dalam pelafalan sebaiknya bunyi ini tetap dilafalkan mufakhkham.

Sementara bentuk umumnya adalah ( ﺹ ), dan karakter huruf ini sama dengan dengan dua huruf sebelumnya, yaitu: huruf sîn dan syîn. 339 Hal semacam

ini merupakan kelemahan dari aksara Arab, karena bentuk huruf primernya ada

persamaan, contohnya: ﺺﺑﺭ ﻭ ،ﺮﺼﻧ ،ﱪﺻ .

14) Huruf dâd ( ﺽ )

Huruf dâd digunakan sebagai simbol bunyi yang dilafalkan dengan menempelkan ujung lidah pada pangkal gigi atas depan gusi, yaitu konsonan / ﺽ /

yang termasuk bunyi hambat letup apiko dental-alveolar bersuara, dan sifatnya

adalah mufakhkham. 340 Bunyi ini sama dengan / ﻁ

/ tak bersuara, sedangkan bunyi ini bersuara. Oleh sebab itu menurut ilmu Tajwid, bunyi ini sangat sulit dan hanya sedikit yang dapat mengucapkan dengan baik. 341 Terkadang bunyi ini diucapkan seperti bunyi / ﻅ /, / ﻁ /, dan / ﻝ /, maka bunyi ini harus dipelajari dengan baik. Sementara bentuk umum dan karakternya sama dengan huruf / ﺹ /, sehingga harus benar-benar diperhatikan tanda titik sebagai pembeda keduanya, 342 contoh:

Para ahli memiliki berbagai pendapat berkenaan dengan makhraj konsonan ini, perbedaan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: 343

a) Para ahli modern memasukkan bunyi / ﺽ / dalam klasifikasi konsonan hambat letup apiko dental-alveolar bersuara dengan simbol /đ/. Bunyi ini berbeda dari bunyi / ﺩ / pada sifat tafkhîm, contohnya: ( ﻞﺿ ) berbeda dengan ( ﻝﺩ ).

339 Huruf ini seperti huruf sîn dan syîn tidak mengalami perubahan apabila dihubungkan dengan huruf sebelumnya, dan akan kehilangan ujungnya jika dihubungkan dengan huruf

sesudahnya. Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 158. 340 Huruf dâd adalah sama dengan tâ’ dan dâl. Perbedaannya, dâd bersuara dan tâ’ tak

bersuara. Sedangkan dâl muraqqaq. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 253; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 132-133.

341 Huruf dâd diucapkan dengan bunyi / ﻅ / terdapat di beberapa negara Teluk, sementara dengan bunyi / ﻁ / adalah pengucapan orang Mesir dan Maroko, dan bunyi / ﻝ / adalah terdapat di

Hadramaut. Lihat, Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 130-131. 342 Wâfî, Fiqh al-Lughah, h. 261; Huruf ini seperti huruf sîn, syîn dan sâd. Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 158. 343 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 253-272.

b) Sebagian ahli klasik memasukkan bunyi / ﺽ / dapat seperti bunyi / ﻅ /, / ﻝ /, / ﺯ / mufakhkham, atau / ﺩ / mufakhkham dan muraqqaq. Hal ini –menurut Kamâl Bisyr- tidak dapat dianalisa baik bunyi atau pun sifatnya, tanpa mendengar secara langsung. Sehingga, sampai saat ini belum dapat diberikan simbol yang tepat. Mungkin, di beberapa negara Teluk masih terdapat sisa-sisanya, seperti: Kuwait, Iraq, dan beberapa suku di Yordania.

c) Para ahli klasik –termasuk Sîbawaih- memasukkan bunyi ini dalam konsonan geseran inter-dental bersuara dan mufakhkham. Sebagaimana ungkapan

Sîbawaih, “ ... ﺩﺎﻀﻟﺍﻭ ... ،ﺀﺎﳋﺍﻭ ،ﲔﻐﻟﺍﻭ ،ﺀﺎﳍﺍ : ﻲﻫﻭ ﺓﻮﺧﺮﻟﺍ ﺎﻬﻨﻣﻭ ” . Menurutnya

juga,

“ 344 ﺎﻫﲑﻋ ﺎﻬﻌﺿﻮﻣ ﻦﻣ ﺀﻲﺷ ﺲﻴﻟ ﻪﻧﻷ ،ﻡﻼﻜﻟﺍ ﻦﻣ ﺀﺎﻀﻟﺍ ﺖﺟﺮﳋﻭ ” . Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsonan / ﺽ / tidak memiliki persamaan dengan

bunyi-bunyi bahasa Arab lainnya.

Perbedaan bunyi / ﺽ / disebabkan adanya perbedaan dialek-dialek yang terdapat dalam bahasa Arab. Dialek ini timbul karena banyaknya suku, budaya, tradisi dan bahasa dalam wilayah Arab.

15) Huruf tâ’ ( ﻁ ) Bunyi huruf ini pelafalannya sama dengan konsonan / ﺕ / dengan perbedaan pada sifat tafkhîm, sehingga dalam kategori konsonan hambat letup

apiko dental-alveolar tak bersuara. 345 Dalam pandangan ulama klasik –termasuk

Sîbawaih-, bunyi / ﻁ / termasuk konsonan bersuara dan salah satu dari bunyi ( ﺐﻄﻗ ﺪﺟ 346 ). Seperti ungkapan Sîbawaih, “ ﻻﺍﺩ ﺀﺎﻄﻟﺍ ﺕﺭﺎﺼﻟ ﻕﺎﺒﻃﻹﺍ ﻻﻮﻟﻭ ” . Konsonan ini

dalam pandangan mereka termasuk konsonan hambat letup bersuara, pendapat ini

345 Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 434-436.

Bunyi ini hampir sama dengan bunyi / ﺕ /, bedanya ia mufakhkham dan / ﺕ / muraqqaq . Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm , h. 129-130; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 250.

346 Menurut Sîbawaih: “ ،ﻡﻼﻜﻟﺍ ﻦﻣ ﺩﺎﻀﻟﺍ ﺖ ﺟ ﺮﳋﻭ ،ﻻﺍ ﺫ ﺀﺎﻈﻟﺍﻭ ﺎﻨﻴﺳ ﺩﺎﺼﻟﺍﻭ ﻻﺍﺩ ﺀﺎﻄﻟﺍ ﺕﺭﺎﺼﻟ ﻕﺎﺒﻃﻹﺍ ﻻﻮﻟ ﺎﻫﲑﻏ ﺀﻲﺷ ﺎﻬﻌﺿﻮﻣ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ ﻪﻧﻷ ’. Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 436; Menurut Kamâl Bisyr,

pendapat ini memiliki tiga kemungkinan, yaitu: (1) Para ulama klasik tidak memperhatikan pita suara ketika terjadi artikulasi bunyi ini. (2) kemungkinan terjadi perubahan pada bunyi yang disimbolkan dengan [ ﻁ ], dan mereka mengucapkan bunyi tersebut seperti bunyi / ﺽ /, dengan bukti ucapan Sîbawaih di atas tentang / ﺽ /. Dan (3) kemungkinan juga mereka menyebut bunyi [ ﻁ ] yang bercampur dengan bunyi glotal [ ﺓﺰﳘ ], karena tertutupnya pita suara saat artikulasi. Namun, bunyi ini sukar untuk diklasifikasikan dengan bersuara atau tak bersuara. Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 250-253.

kemungkinan disebabkan oleh pengertian qalqalah –menurut mereka- yang identik dengan bunyi hambat dan bersuara. Bunyi ini tetap jelas dalam berbagai

konteks kata, seperti: ( ﺎﻄﻄﺷ ), ( ﺖﻄﺴﺑ ), dan ( ﻑﻮﹼﻄﻳ ﻥﺍ ). 347 Keadaan ini dapat

dimaklumi, karena konsonan ini salah satu bunyi al-syadîd dan al-itbâq.

Bunyi ini dilambangkan dengan huruf ( ﻁ ), dan bentuk perubahannya adalah ( ﻂـ ،ـﻄـ ،ـﻃ ). 348 Sementara karakternya adalah dapat dihubungkan dengan sebelum dan sesudahnya, 349 contohnya: ﻂﺋﺎﺣ ﻭ ،ﺮﻄﻣ ،ﺭﺎﻃ

16) Huruf zâ’ ( ﻅ ) Bunyi huruf ini cara pelafalannya sama dengan pelafalan bunyi / ﺙ / dan

/ ﺫ /, hanya saja bunyi ini mufakhkham akibat naiknya pangkal lidah ke langit-langit lunak atau naiknya dari dinding belakang ke faring. 350 Sehingga sering terjadi

kesalahan-kesalahan dalam pelafalan ketiganya, mengingat makhrajnya satu tempat. Huruf zâ’ dalam aksara Arab memiliki simbol yang sama dengan huruf

sebelumnya (tâ’), dengan titik di atasnya ( 351 ﻅ

Karakter dan bentuk perubahannya juga sama, sehingga harus betul-betul dibedakan dengan penulisan

tanda titik, seperti: ﹼﻆﻟ ﻭ ،ﺮﻈﻧ ،ﻢﻠﻇ .

Bunyi ini dalam bahasa Arab termasuk dalam klasifikasi konsonan geseran inter-dental bersuara dan memiliki sifat mufakhkham. 352 Pada konsonan ini sering

sekali terjadi kesalahan artikulasinya, seperti: kesalahan artikulasi dengan bunyi

347 Bunyi / ﻁ / harus dibaca jelas pada konteks apa pun; baik sesudahnya bunyi yang sama, sukûn dan sesudahnya / ﺕ /, atau pun musyaddadah. Lihat, Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm

al-Tajwîd, h. 132-134; Contoh I, QS. al-Kahf 14; II, QS. al-Mâidah 28; III, QS. al-Baqarah 158. 348 David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 2; Clive Holes, Modern

Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 317; dan diambil pada tanggal 30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, http://www.wikipedia.com .

349 Tidak ada perubahan yang mendasar ketika huruf ini dihubungkan dengan huruf-huruf yang datang sebelum dan sesudahnya. Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq

Tadrîsihâ, h. 157.

351 Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 126. Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 153, 157; juga, Wâfî,

Fiqh al-Lughah, h. 261. 352 al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 38; lihat pula, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 153; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 299. al-Badrâwî Zahrân, fi ‘Ilm al-Aswât al-Lughawiyah wa ‘Uyûb al-Nutq , h. 248.

zây mufakhkhamah , dzâl, dâd, dan tâ’. 353 Menurut ulama Tajwid, konsonan ini harus tetap diucapkan dengan suara tinggi agar tidak tertukar dengan bunyi / ﺫ /,

seperti: ( ﺍﺭﻮﻈﳏ ), selain juga harus diucapkan dengan jelas jika sesudahnya bunyi / ﺕ /, sehingga tidak terjadi idghâm, contohnya: ( ﺖﹾﻈﻋﻭﺃ ), dan apabila setelahnya fathah, maka harus diucapkan dengan sifat tafkhîmnya, seperti: ( ﲔﳌﺎﻈﻟﺍ ). 354 Semua ini dilakukan, untuk menjaga konsonan ini dari pengaruh-pengaruh bunyi lain yang sama makhraj atau lebih kuat darinya.

17) Huruf ‘ain ( ﻉ ) Huruf ‘ain adalah suatu lambang untuk konsonan / ﻉ / yang pelafalannya

sama dengan konsonan hâ’, hanya saja bunyi ini dilafalkan dengan bersuara, sehingga termasuk konsonan geseran root-faringal bersuara dengan sifat muraqqaq. 355 Pembentukan bunyi / ﻉ / hingga saat ini belum jelas, sehingga sebagian ahli memasukkannya dalam kategori tengah-tengah. 356 Seperti ungkapan

Sîbawaih, 357 “ ﺀﺎﳊﺎﺑ ﺎﻬﻬﺒﺸﻟ ﺎﻬﻴﻓ ﺪﻳﺩﺮﺘﻟﺍ ﱃﺇ ﻞﺼﺗ ،ﺓﺪﺸﻟﺍﻭ ﺓﻮﺧﺮﻟﺍ ﲔﺒﻓ ﲔﻌﻟﺍ ﺎﻣﺃﻭ ”

. Hal ini terjadi karena udara yang bergeser keluar sangat pelan dan tidak terlepas secara bebas (terputus-putus) seperti yang terjadi pada konsonan râ’, sementara konsonan geseran yang lain arus udara keluar secara bebas.

Simbol untuk huruf ini adalah ( ﻉ ), sedangkan bentuk-bentuknya ( ،ـﻋ ﻊـ ،ـﻌـ ). Dari bentuk-bentuknya dapat disimpulkan, bahwa bentuk huruf ini

paling banyak mengalami perubahan terutama jika dibandingkan dengan bentuk

huruf lain, 358 contohnya: ﻉﺮﺷ ﻭ ،ﻞﻤﻌﻣ ،ﻞﻣﺎﻋ .

Konsonan ini sama dengan konsonan hâ’ dari sisi makhraj, persamaan ini menunjukkan bahwa bunyi ini juga sama sulitnya untuk non-Arab. Hal tersebut

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 299-301. 354 Bunyi / ﻅ / memiliki makhraj yang berdekatan dengan / ﺫ /, perbedaannya hanya bunyi ini

mufkhkham. Lihat, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 99; ContohQS. al-Syu’arâ’ 136. 355 Bunyi ‘ain sama seperti bunyi hâ’, bahkan lebih pelan. Sehingga ulama Arab tidak memasukkannya dalam kategori geseran, tetapi bunyi tengah-tengah. Lihat, Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 351. 356

357 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 304. Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 435. 358 Wâfî, Fiqh al-Lughah, h. 261; Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq

Tadrîsihâ, h. 153, 157.

dapat menimbulkan permasalahan, akibat tingkat kesulitan dalam pembentukan keduanya. Dalam bahasan ilmu Tajwid juga disebutkan bahwa bunyi ‘ain harus dilafalkan dengan bersuara dalam konteks apa pun, meskipun setelahnya bunyi

tak bersuara atau bunyi yang sama (‘ain), seperti: ( 359 ﺍﻭﺪﺘﻌﺗ

), dan ( ﻦﻋ ﻊﺒﻄﻧﻭ ). Cara

pelafalan semacam ini harus dilakukan, agar tidak terjadi kesalahan dalam pelafalan keduanya.

18) Huruf ghîn ( ﻍ )

Pada hakikatnya konsonan yang ditulis dengan huruf ini memiliki kesamaan dengan konsonan khâ’, baik dari pelafalan atau sifat tafkhîmnya.

Perbedaannya bunyi ini dilafalkan dengan bersuara, sehingga masuk kategori konsonan konsonan geseran dorso-velar bersuara dan mufakhkham. 360 Bunyi ini

dilafalkan mufakhkham jika diikuti oleh fathah dan dammah, seperti: ( - ﺐﻠﻏ ﺐﻟﺎﻏ ) dan ( ﻥﻮﻐﻠﺒﻳ - ﻎﻠﺒﻳ ). Sementara itu akan dilafalkan muraqqaq apabila

setelahnya bunyi kasrah, seperti: ( 361 ﺪﻴﻏ - ﹼﻞِﻏ

Bunyi ini memiliki kemiripan dengan bunyi /g/ dalam bahasa Indonesia dari sisi makhraj, hanya saja berbeda pada kategori dan sifatnya. 362 Hal seperti ini di satu sisi dapat memudahkan karena persamaan makhraj, di sisi lain dapat menyulitkan karena dapat tertukar dalam pelafalan keduanya.

Sementara berkenaan dengan bentuk, perubahan, dan karakternya, huruf ini sama dengan huruf ‘ain. Persamaan ini merupakan sisi kelemahan yang kesekian kalinya pada aksara Arab, karena dapat saja terjadi permasalahan dalam

penulisan keduanya. Letak perbedaannya hanya tanda titik di atas huruf ghîn, 363

contohnya: ﻍﺮﻓ ﻭ ،ﻞﻐﺷ ، ﺮﻔﻏ .

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 304; Muh ammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 135-136; Contoh I, QS. al-Baqarah 190 dan II, QS. Saba’ 23. 360 361 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 303. Tetapi lebih baik menjaganya tetap mufakhkham dalam konteks apapun, untuk tetap menjaga ciri-ciri bunyi ini. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 400-401. 362

Bunyi / ﻍ / mirip dengan bunyi /g/ dalam bahasa Indonesia karena sama makhraj. Lihat,

Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 85. 363 Wâfî, Fiqh al-Lughah , h. 261; Diambil pada tanggal 30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, http://www.wikipedia.com .

19) Huruf fâ’ ( ﻑ ) Huruf ini digunakan sebagai lambang konsonan / ﻑ / yang dilafalkan dengan meletakkan ujung gigi atas pada bibir bawah, sehingga udara masih dapat keluar dari sela-selanya dengan bergeser. Para ahli bahasa Arab memasukkan bunyi ini dalam kategori konsonan geseran labio-dental tak bersuara dengan sifat

muraqqaq, dan tidak ada perbandingan bunyi bersuaranya dalam bahasa Arab. 364 Hal ini yang menyebabkan orang-orang Arab tidak bisa mengucapkan kata

(victory) dalam bahasa Inggris dengan baik dan benar. Bentuk huruf ini mengalami perubahan yang mendasar ketika ada di

tengah kata ( ـﻔـ ), sementara pada awal atau akhir kata huruf ini tidak

mengalami perubahan yang besar ( 365 ﻒـ ،ـﻓ

Hal ini menunjukkan, bahwa huruf fâ’ dapat dihubungkan dengan huruf sebelum dan sesudahnya, contohnya:

Konsonan fâ’ –dalam pembahasan Tajwid- harus dilafalkan dengan jelas

dalam konteks kata, meskipun setelahnya mîm atau wâw, contohnya: ( ﺎﻣ ﻒﻘﻠﺗ ) dan

ﻥﺰﲢ 366 ﻻﻭ ﻒﲣ ﻻ ). Hal itu perlu dilakukan agar tidak terjadi idghâm, terutama jika setelahnya huruf yang sama, seperti: ( ﻒﻔﻌﺘﺴﻴﻟﻭ ). Sementara jika diamati,

konsonan ini sama dengan konsonan /f/ dalam bahasa Indonesia. 367 Oleh karena itu, kemungkinan besar orang Indonesia tidak akan mengalami hambatan dalam

melafalkannya.

20) Huruf qâf ( ﻕ ) Huruf ini adalah lambang untuk bunyi / ﻕ / yang terjadi karena pertemuan pangkal lidah dan anak tekak, sehingga terjadi hambatan sempurna pada arus

365 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 151. Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 158; Huruf ini terkadang

dimodifikasi dengan tiga titik di atasnya ( ﭪ ), pada saat transliterasi bunyi /V/ dari kata asing. Diambil pada tanggal 28 Juli 2008 dari Arabic alphabet , 366 http://www.wikipedia.com .

Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 137-138; I. QS. al-A’râf 117, II. QS. al-‘Ankabût 33, dan III. QS. al-Nûr 33. 367 Persamaan keduanya baik dari sisi makhraj atau sifat-sifatnya. Lihat, Abdul Mu’in,

Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 83.

udara. Kemudian ketika dilepaskan dengan tiba-tiba terjadi letupan ringan, dan pita suara tidak bergetar. Sehingga –menurut ahli bahasa kontemporer- bunyi ini masuk kategori konsonan hambat letup dorso-uvular tak bersuara dengan sifat

mufakhkham. 368 Sementara dari sisi bentuk, perubahan, dan karakter, simbol huruf ini sama seperti yang digunakan untuk huruf fâ’. 369 Perbedaan keduanya hanya

pada jumlah titik yang digunakan, contohnya: ﻖﺋﺎﺳ ﻭ ،ﻞﻘﻧ ،ﺐﻠﻗ .

Konsonan ini termasuk bunyi qalqalah, dan sifat tafkhîmnya sama dengan konsonan ghîn. 370 Bunyi ini mufakhkham jika setelahnya fathah dan dammah,

seperti: ( ﻞﺗﺎﻗ - ﻞﺘﻗ ) dan ( ﻝﻮﻘﻳ - ﻞﻗ ). Sementara itu akan dilafalkan muraqqaq jika setelahnya kasrah, seperti: ( ﻞﻴﻗ - ﻲﻘﺑ ). Selain itu, ada perbedaan pendapat antara

para ahli kontemporer dengan ahli klasik berkenaan dengan kategori konsonan / ﻕ / ini. Perbedaan itu terlihat jelas dalam dua hal: Pertama, makhraj (tempat artikulasi). Kedua, sifat tafkhîmnya. Pendapat-pendapat itu dapat dikelompokkan menjadi: 371

a) Bunyi / ﻕ / merupakan konsonan hambat letup dorso-uvular tak bersuara, yang disimbolkan –dalam transkrip fonetik internasional- dengan [q]. Ini adalah pendapat para ahli bahasa kontemporer.

b) Bunyi ini masuk kategori konsonan hambat letup dorso-velar bersuara, dengan simbol [G]. Pendapat ini berasal dari para ahli klasik termasuk

Sîbawaih, “ ﻑﺎﻘﻟﺍ ﺝﺮﳐ ... ﻥﺎﺴﻠﻟﺍ ﻰﺼﻗﺃ ﻦﻣﻭ ” dan “ ،ﻑﺎﻘﻟﺍﻭ ،ﺓﺰﻤﳍﺍ ﺪﻳﺪﺸﻟﺍ ﻦﻣﻭ ﻑﺎﻜﻟﺍﻭ” . 372

c) Bunyi / ﻕ / yang dilafalkan seperti bunyi hamzah pada beberapa dialek di Mesir, yaitu konsonan hambat letup glottal dengan simbol [?].

d) Bunyi / ﻕ / yang dilafalkan seperti bunyi ghîn dalam dialek Iraq dan Sudan, yaitu konsonan geseran dorso-velar bersuara dengan simbol [Ƴ], seperti:

( ﺓﺮﻫﺎﻘﻟﺍ ، ﺭﺪﻘﻳ ، ﻝﻼﻘﺘﺳﻻﺍ ) dilafalkan dengan ( ﺓﺮﻫﺎﻐﻟﺍ ،ﺭﺪﻐﻳ ،ﻝﻼﻐﺘﺳﻻﺍ ).

369 A.‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 342-343; M. Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 276.

Wâfî, Fiqh al-Lughah, h. 261; D. Cowan, Modern Literary Arabic, h. 2.

371 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 400-401. Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 341-344; dan Mah mûd Fahmî Hijâzî,

Madkhal ‘ilâ ‘Ilm al-Lughah (Kairo: Dâr Qubâ’, 2004), h. 73. 372 Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih , h. 433-434.

Perbedaan itu timbul dan terjadi karena faktor metode yang digunakan oleh para ahli klasik dalam penetapan tempat artikulasi (makhraj) masih sangat tradisional, sehingga masih terjadi kekurangan-kekurangan. Selain itu juga, ada kemungkinan mereka mengartikulasikan bunyi ini berbeda dengan artikulasi saat kini. Sementara itu, dialek-dialek yang ada dapat mempengaruhi seseorang dalam melafalkan bunyi bahasa fushâ, sehingga proses penetapan cara pelafalan tentu sangat penting.

21) Huruf kâf ( ﻙ )

Bunyi konsonan yang dilambangkan dengan huruf ini dilafalkan dengan menekankan pangkal lidah pada langit-langit lunak sehingga terjadi hambatan

secara sempurna, kemudian ketika hambatan dilepas terjadi letupan. Bunyi ini masuk kategori konsonan hambat letup dorso-velar tak bersuara dengan sifat muraqqaq. 373 Sementara bentuk huruf ini adalah ( ﻙ ), dapat dihubungkan dengan

huruf sebelum dan sesudahnya. 374 Perubahan yang besar terjadi pada bentuk huruf

ini ketika berada di awal dan tengah kata ( ـﻜـ ،ـﻛ ), sedangkan jika di akhir kata bentuknya tidak mengalami perubahan ( ﻚـ ), contohnya: ﻚﻠﺳ ﻭ ،ﻢﻜﻟ ،ﺐﻠﻛ . Bunyi / ﻙ / pada hakikatnya dilafalkan dengan tak bersuara, tetapi terkadang juga dapat berubah menjadi bersuara seperti bunyi jîm yang diberi

simbol [g] pada beberapa konteks kata, seperti: ( 375 ﱪﻛﺃ

Terkadang pula dapat dilafalkan seperti bunyi geseran syîn jika setelahnya kasrah, hal semacam ini biasa dikenal dalam istilah Arab al-kasykasyah. 376 Hal pertama terjadi karena dipengaruhi oleh dialek wilayahnya, sedangkan yang kedua terjadi karena tidak mampu menguasai perpindahan lidah dari pelafalan bunyi kâf ke bunyi kasrah,

al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 38; Bisyr, al-Aswât, h. 138. 374 Simbol ini dalam aksara Arab hanya untuk huruf kâf, tidak ada yang menyerupainya.

Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 158; Lihat juga, Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 317; Huruf ini juga digunakan untuk menulisakan bunyi /G/ pada saat terjadinya transliterasi kata-kata asing ke dalam bahasa Arab. Diambil pada tanggal 28 Juli 2008 dari Arabic alphabet , 375 http://www.wikipedia.com .

376 Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 124. Kasykasyah maknanya mengucapkan bunyi kâf dengan bergeser sehingga mirip bunyi

syîn. Hal ini terjadi akibat perpindahan lidah dari makhraj kâf ke makhraj kasrah, sehingga terjadi geseran. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 273-276.

sehingga udara dapat keluar. Semua ini yang mendorong para ahli klasik untuk memasukkan konsonan ini pada bunyi qalqalah, dengan begitu dapat terhindar dari geseran.

22) Huruf lâm ( ﻝ )

Huruf lâm adalah lambang konsonan yang dilafalkan dengan sentuhan ujung lidah terhadap gigi atas dekat gusi, sehingga hambatan hanya terjadi di bagian sentuhan saja sehingga udara dapat keluar dari sela-sela lidah. Oleh sebab itu, bunyi ini masuk kategori konsonan tengah-tengah (lateral) apiko dental-

alveolar bersuara. 377 Bunyi ini jika diperhatikan memiliki kategori konsonan hambat di satu sisi, akan tetapi perbedaannya udara keluar melalui dua sisi

sehingga dinamakan lateral. Hal semacam ini disebut munharif dalam istilah

Sîbawaih, “ ﻊﻣ ﻥﺎﺴﻠﻟﺍ ﻑﺍﺮﳓﻻ ﺕﻮﺼﻟﺍ ﻪﻴﻓ ﻯﺮﺟ ﺪﻳﺪﺷ ﻑﺮﺣ ﻮﻫﻭ ،ﻑﺮﺤﻨﳌﺍ ﺎﻬﻨﻣﻭ ﻡﻼﻟﺍ 378 ﻮﻫﻭ ،ﺓﺪﻳﺪﺸﻟﺍ ﻑﻭﺮﳊﺍ ﺽﺍﺮﺘﻋﺎﻛ ﺽﺮﺘﻌﻳ ﱂﻭ ،ﺕﻮﺼﻟﺍ ” . Ungkapan ini

menandakan bahwa Sîbawaih mampu membedakan bunyi ini dari konsonan letup, dan tidak juga memasukkannya ke dalam konsonan geseran karena udara keluar bukan dari titik artikulasi namun dari sampingnya.

Bentuk umum huruf ini adalah ( ﻝ ), dapat dihubungkan dengan huruf sebelum dan sesudahnya. 379 Bentuknya tidak mengalami perubahan yang besar

ketika digunakan pada semua posisi dalam konteks kata, contoh:

Bunyi ini –menurut para ahli- termasuk ke dalam bunyi yang biasa disebut vowel – like consonants. 380 Istilah ini disematkan karena adanya hambatan pada

377 Pada awal artikulasi bunyi /ل/, terdapat hambatan pada tengah rongga mulut. Namun, kemudian udara keluar bergeser melalui kedua sisi lidah yang tidak bersentuhan dengan bagian

depan gusi. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 347-348; dan lihat juga, Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 68, 83. 378

379 Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 435. David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 2; dan diambil pada

tanggal 30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, 380 http://www.wikipedia.com .

Bunyi-bunyi yang termasuk bunyi vowel – like consonants adalah ( ﺮﻧ ﱂ ), karena pada

awal artikulasi terdapat hambatan pada masing-masing makhraj, tetapi kemudian udara mengalir keluar melalui sisi lidah pada bunyi ( ﻝ ), melalui hidung pada bunyi ( ﻡ ) dan ( ﻥ ), dan melalui mulut dengan bergeser dan berulang-ulang pada bunyi ( ﺭ ). Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 345-360.

awal artikulasi tetapi kemudian udara dapat mengalir dengan bebas. Pada hakikatnya bunyi lâm adalah muraqqaq, tetapi bunyi ini dapat memiliki dua sifat (mufakhkham dan muraqqaq). 381 Konsonan ini dilafalkan dengan tafkhîm jika

sesudahnya fathah dan dammah, seperti: pada lafz al-Jalâlah ( ﷲﺍ ) dan ( ﻢﻬﻠﻟﺍ ﺍﻮﻟﺎﻗ ). Sementara akan dilafalkan dengan tarqîq jika setelahnya kasrah, seperti: ( ﷲﺍ ﻢﺴﺑ ﻚﺷ ﷲﺍ ﰲﺃ – ). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa tafkhîm bunyi ini

bergantung dengan bunyi setelahnya, seperti halnya yang terjadi pada râ’, khâ’, dan ghîn. Selain itu bunyi lâm pada artikel ( ﻝﺃ ) (untuk kata benda definitif) harus menjadi perhatian, hal itu dikarenakan ada kaidah pelafalan yang telah ditetapkan

oleh ilmu Tajwid. 382 Bunyi lâm dapat dilafalkan dengan dua cara, yaitu: izhâr atau

idghâm. Pelafalan dengan izhâr apabila setelahnya huruf-huruf ( ،ﻉ ،ﺥ ،ﺡ ،ﺝ ، ﺏ ﻱ ،ﻭ ،ﻩ ،ﻡ ،ﺀ ،ﻙ ،ﻕ ،ﻑ ،ﻍ ), sedangkan sisanya harus idghâm. Kedua cara

pelafalan ini sangat berkaitan dengan kesahihan dalam aspek penulisan, karena pada salah satu (pelafalannya) terjadi bunyi yang tidak dilafalkan.

23) Huruf mîm ( ﻡ )

Huruf mîm adalah simbol konsonan yang dilafalkan dengan mengatupkan bibir sehingga terjadi hambatan pada arus udara, kemudian langit-langit lunak turun menutup udara sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Bunyi semacam ini diklasifikasikan dalam konsonan tengah-tengah bilabial nasal bersuara. 383 Dari sini dapat dilihat sisi perbedaannya dengan konsonan lâm, yaitu terletak pada rongga keluarnya udara. Sementara bentuk umum huruf ini adalah

Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 408; Namun bunyi ini harus tetap dibaca muraqqaq, kecuali pada lafz al-jalâlah. Lihat, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 92-93. 382 Artikel tentu (definite article) adalah artikel yang membatasi nomina yang telah diketahui sebelumnya. Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 17; Muh ammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 141; Izhâr lâm disebut juga lâm al-Qamariyah, sementara idghâm disebut lâm al-Syamsiyah. Lihat, David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 9-10; Riyâd Zakî Qâsim, Taqniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabî (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 2000), h. 110-114. 383

Bunyi ini –menurut para ahli- termasuk ke dalam bunyi yang biasa disebut vowel – like consonants, karena memiliki sifat keduanya. Udara keluar tanpa adanya hambatan (letup) dan juga bersuara pada bunyi mîm. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 348-349.

( 384 ﻡ ), dengan karakter yang sama dengan huruf ( ﺽ ،ﺹ ،ﺵ ،ﺱ ). Perubahan besar

terjadi pada bentuknya ketika berada di tengah kata, contohnya:

Konsonan ini sebenarnya muraqqaq, tetapi terkadang dapat berubah menjadi mufakhkham, seperti bunyi [m] pada: ( ﺮﻄﻣ ). 385 Hal itu terjadi karena pengaruh dialek, sehingga hanya dapat terjadi pada bahasa ‘Âmiyah. Sehingga - menurut ilmu Tajwid- untuk menghindari hal itu, bunyi ini harus tetap dibaca

muraqqaq terutama apabila setelahnya bunyi vokal. 386 Sementara itu jika bunyi mîm dalam keadaan sâkinah, maka pelafalannya ada tiga macam: Pertama, ikhfâ’

apabila setelahnya huruf bâ’. Kedua, idghâm apabila setelahnya huruf mîm. Dan ketiga, izhâr apabila setelahnya huruf-huruf selain bâ’ dan mîm. 387 Hal ini dapat

dimaklumi karena: pada poin pertama antara bâ’ dan mîm keluar dari satu makhraj, sukûnnya mîm dengan sendirinya tidak terdengar oleh kuatnya bunyi bâ’. Sementara poin kedua huruf yang sama, jika salah satunya sukûn maka masuk ke bunyi yang satunya lagi, seperti halnya huruf musyaddad.

24) Huruf nûn ( ﻥ )

Huruf nûn digunakan untuk konsonan bahasa Arab yang dilafalkan dengan menempelkan ujung lidah pada pangkal gigi atas, kemudian udara keluar dari rongga hidung seperti yang terjadi pada konsonan mîm. Dari sini bunyi ini diklasifikasikan sebagai konsonan tengah-tengah apiko dental-alveolar nasal

bersuara. Keduanya pernah disinggung oleh Sîbawaih, “ ﻪﻌﻣ ﻱﺮﳚ ﺪﻳﺪﺷ ﻑﺮﺣ ﺎﻬﻨﻣﻭ

384 Huruf ini tidak berubah dan hanya dihubungkan dengan sebelumnya dengan garis penghubung, dan akan kehilangan bagian belakangnya apabila disambung dengan huruf yang

datang sesudahnya. Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 158; dan diambil pada tanggal 30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, 385 http://www.wikipedia.com .

Bunyi ini juga dapat menjadi [ɱ], yang terbentuk karena persentuhan bibir atas dengan pangkal gigi atas sehingga diklasifikasikan konsonan bilabial nasal-dentals bersuara, seperti pada: bunyi mîm atau nûn yang sesudahnya bunyi fâ’, dalam ilmu Tajwid disebut idghâm bi ghunnah .

Contohnya: ( ﻥﻭﺪﻟﺎﺧ ﻢﻫ 386 ) dan ( ﻊﻔﻨﻳ ). Lihat, Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah , h. 133.

Ikhfâ’ yakni tertutup atau mengucapkan suatu bunyi antara idghâm dan izhâr dengan tetap menjaga suara dengung pada bunyi yang tertutup. Lihat, Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al- Tajwîd, h. 114. 387

Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 102-103.

Sehingga keduanya dikategorikan konsonan tengah-tengah seperti lâm, hanya saja perbedaannya terletak pada rongga yang menjadi jalan keluar udara. Bentuk umum huruf ini ( ﻥ ), dengan

karakter perubahan sama seperti huruf ( 389 ﺙ ،ﺕ ،ﺏ

). Hal ini dapat menunjukkan bahwa huruf ini dapat dihubungkan dengan huruf sebelum dan sesudahnya,

contohnya: ﻦﻄﻗ ،ﺲﻨﺟ ،ﺦﺴﻧ .

Konsonan nûn yang sebenarnya telah ditetapkan oleh para ahli adalah konsonan tengah-tengah apiko dental-alveolars nasal bersuara. Dalam tataran praktisnya, bunyi ini mengalami banyak perubahan yang dianggap sebagai varian-

variannya atau alofon. 390 Perubahan-perubahan bunyi ini adalah sebagai berikut:

a) Bunyi nûn yang diklasifikasikan menjadi konsonan tengah-tengah dental-

nasal bersuara dengan simbol [ ], terjadi apabila sesudahnya huruf ( ،ﺙ ،ﺫ

ﻅ ), seperti: ( ﺐﻫﺫ ﻥﺇ ), ( ﺏﺎﺛ ﻥﺇ ), dan ( ﻢﻠﻇ ﻥﺇ ).

b) Bunyi nûn yang telah dibahas sebelumnya yaitu konsonan tengah-tengah apiko dental-alveolar nasal bersuara dengan simbol [ɳ], terbentuk jika

setelahnya huruf ( ﺱ ،ﺹ ،ﺯ ،ﻁ ،ﺕ ،ﺩ ), seperti: ( ﺏﺃﺩ ﻥﺇ ), ( ﻊﺒﺗ ﻥﺇ ), ( ﺐﻠﻃ ﻥﺇ ),

( ﻉﺭﺯ ﻥﺇ ), ( ﺢﻠﺻ ﻥﺇ ), dan ( ﺖﻜﺳ ﻥﺇ ).

c) Bunyi yang termasuk konsonan tengah-tengah alveolar-nasal bersuara, dengan simbol [n], terbentuk apabila ia berdiri sendiri atau berada di antara dua huruf vokal, seperti: ( ﻊﻔﻧ ), ( ﺎﻧﺃ ), dan ( ﻥﺎﻣﺃ ).

d) Bunyi dengan simbol [ɲ] dan dikategorikan bunyi konsonan tengah-tengah palatal-nasal bersuara dan muraqqaq. Bunyi ini terbentuk apabila setelahnya

bunyi [ ﺵ ], [ ﺝ ], atau [ ﻱ ], seperti: ( ﺀﺎﺷ ﻦﻣ ), ( ﺀﺎﺟ ﻦﻣ ), dan ( ﻦﻜﻳ ﻦﻣ ).

e) Bunyi nûn dengan simbol [ɴ], yang merupakan konsonan tengah-tengah

uvular-nasal bersuara dan setelahnya bunyi [ ﻕ ], seperti: ( ﻝﺎﻗ ﻥﺇ ).

f) Bunyi nûn dengan simbol [ŋ], bunyi ini adalah konsonan velar-nasal bersuara

dan setelahnya bunyi [ ﻙ ] pada bahasa fushâ, seperti: ( ﻥﺎﻛ ﻥﺇ ).

389 Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 435. Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah, h. 157-158; Cowan, Modern Literary Arabic, h.

2. 390 Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 349; Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah , h. 133-135.

Dari ragam perubahan di atas dapat disimpulkan, konsonan nûn berubah seiring perubahan bunyi yang datang sesudahnya. Sehingga tidak salah jika bunyi ini memiliki banyak kaidah baca dalam ilmu Tajwid, apabila diikuti oleh sukûn. 391 Karena karakternya selalu ikut dan terpengaruh oleh huruf-huruf yang datang setelahnya, maka terjadilah perubahan-perubahan dalam jumlah yang banyak.

25) Huruf hâ’ ( ﻩ )

Huruf hâ’ digunakan untuk melambangkan konsonan bahasa Arab yang pembentukannya seperti hendak melafalkan vokal fathah, tetapi terjadi penyempitan arus udara karena merapatnya dua pita suara, sehingga keluar

dengan bergeser. Bunyi hâ’ dimasukkan sebagai konsonan geseran glotal tak

bersuara. 392 Kategori ini juga yang telah ditetapkan oleh Sîbawaih, “ ﺱﻮﻤﻬﳌﺍ ﺎﻣﺃﻭ ... 393 ،ﺀﺎﳊﺍﻭ ،ﺀﺎﳍﺍ ﻲﻫﻭ ﺓﻮﺧﺮﻟﺍ ﺎﻬﻨﻣﻭ .... ،ﺀﺎﳊﺍﻭ ،ﺀﺎﳍﺎﻓ ” . Sehingga dapat

disimpulkan tidak ada perbedaan dalam kategorisasi bunyi ini, kecuali titik artikulasinya saja. Sîbawaih menetapkan makhraj bunyi ini pada bagian pharynx, sementara ahli bahasa saat ini menetapkannya dari larynx. Perbedaan ini dapat saja terjadi, kemungkinan besar ahli klasik menganggap pharynx sebagai titik artikulasi yang mencakup bagian-bagian yang luas mulai dari pharynk, larynx, hingga langit-langit lunak.

Bentuk umum huruf ini dalam aksara Arab adalah ( ه ), sementara bentuk-

bentuk perubahannya adalah ( ﻪـ ،ـﻬـ ، ـﻫ ). 394 Huruf ini apabila diamati dari

bentuk-bentuknya, memiliki karakter yang dapat dihubungkan dengan huruf sebelum dan sesudahnya. Akan tetapi banyak mengalami perubahan yang

391 Jika setelahnya alif dan di akhir kata, maka harus tetap muraqqaq. Contohnya: ( ،ﺭﺎﻨﻟﺍ ﺮﺻ ﺎﻧ ) dan ( ﻥﻮﻨﻣﺆﻳ ،ﲔﳌﺎﻌﻟﺍ ). Juga harus dibaca secara jelas apabila berhenti tepat padanya dan apabila

setelahnya huruf yang sama, seperti: ( ﲔﳌﺎﻌﻟﺍ ) dan ( ﺎﻨﻨﻴﻋﺄﺑ ،ﻦﻨﺳ ). Dan, harus didengungkan apabila bunyi ini musyaddad, seperti: ( ﺱﺎﻨﻟﺍ ). Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 93-94;

Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd, h. 145-146. 392 al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 39; dan Kamâl Bisyr, ‘Ilm al- Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 156; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 305. 393 394 Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 434. Huruf hâ’ dapat dihubungkan dengan huruf-huruf sebelum dan sesudahnya, akan tetapi perubahan-perubahan pada bentuknya sangat berbeda-beda. Lihat, Nâyif Ma’rûf, Khasâis al- ‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 158; David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic, h. 2; Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 317.

berbeda-beda pada masing-masing bentuk, sehingga harus benar-benar

diperhatikan perubahan bentuk tersebut, contoh: ﻪﺒﺷ ﻭ ،ﻞﻬﺳ ،ﻡﺰﻫ .

Konsonan hâ’ –menurut ahli Tajwid-, harus tetap dilafalkankan dengan jelas pada konteks kata, terutama: (1) apabila terjadi pengulangan bunyi yang sama dalam sebuah kata, seperti: ( ﻢﻬﻫﻮﺟﻭ ). (2) apabila bunyi ini sâkinah dan setelahnya huruf-huruf yang lain, seperti: ( ﻯﺪﺘﻫﺍ ). Dan (3) apabila di antara dua alif, seperti: ( 395 ﺎﻫﺎﻨﺑ

Hal semacam ini diperlukan mengingat sifatnya yang muraqqaq dan tidak bersuara, sehingga dapat saja tidak terdengar ketika bersandingan dengan bunyi lain dalam suatu kata.

26) Huruf wâw ( ﻭ )

Huruf ini –dalam hal konsonan- digunakan untuk menuliskan bunyi bahasa Arab yang pembentukannya seperti hendak melafalkan vokal dammah, namun kemudian berubah dengan cepat dengan merapatkan dua bibir, dan menutup jalan ke hidung dengan naiknya langit-langit lunak. Konsonan ini di kategorikan konsonan semi-vokal bilabial bersuara, karena pelafalannya diawali dari titik artikulasi bunyi vokal. 396 Dalam pandangan Sîbawaih disebut dengan al-

layyinah, seperti ungkapannya, “ ﺀﺍﻮﳍ ﻊﺴﺘﻳ ﺎﻤﻬﺟﺮﳐ ﻥﻷ ،ﺀﺎﻴﻟﺍﻭ ﻭﺍﻮﻟﺍ ﻲﻫﻭ ﺔﻨﻴﻠﻟﺍ ﺎﻬﻨﻣﻭ ﺕﺪﳑﻭ 397 ﺕﻮﺼﻟﺍ ﺖﻳﺮﺟﺃ ﺖﺌﺷ ﻥﺇﻭ ... ﺎﳘﲑﻏ ﻉﺎﺴﺗﺍ ﻦﻣ ﺪﺷﺃ ﺕﻮﺼﻟﺍ ”

. Dengan begitu dapat disimpulkan, tidak ada perbedaan antara ahli klasik dan kontemporer berkaitan dengan kategori konsonan ini baik makhraj dan sifat. Huruf wâw dalam aksara Arab memiliki dua fungsi, digunakan untuk menuliskan bunyi konsonan

dan bunyi vokal. 398 Huruf ini seperti halnya huruf ( ﺯ ،ﺭ ،ﺫ ،ﺩ ،ﺍ

) tidak dapat dihubungkan dengan huruf-huruf sesudahnya, dan tidak mengalami perubahan

yang besar pada bentuk-bentuknya, contoh: ﻮﳍ ،ﻯﻮﺳ ،ﺪﻋﻭ .

395 Muhammad al-Jazrî, al-Tamhîd fi ‘Ilm al-Tajwîd , h. 146-147; Contoh I. QS. ‘Âli ‘Imrân 106. II. QS. Yûnus 108. Dan III. QS. al-Nâzi’ât 27.

396 Disebut semi-vokal karena sama dengan bunyi vokal pada proses artikulasinya. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 374; Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 135-136; 397 398 Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 435.

Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ, h. 153, 157; Perbedaannya dapat dilihat pada proses artikulasinya atau melalui fungsi kebahasaan dan juga dapat melalui pasangan minimal agar dapat diketahui sebagai fonem. Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 371-373.

Bunyi ini pada hakikatnya muraqqaq, sehingga harus dilafalkan dengan jelas pada setiap konteks kata. 399 Pelafalan dengan jelas tersebut harus dilakukan, sehingga tidak menimbulkan idghâm bunyi ini terhadap bunyi-bunyi lain. Sementara jika diperhatikan, konsonan ini sama dengan konsonan /w/ dalam bahasa Indonesia. 400 Persamaan ini mungkin dapat memudahkan orang Indonesia, sehingga tidak terjadi permasalahan dalam pelafalannya.

27) Huruf yâ’ ( ﻱ )

Huruf ini digunakan untuk melambangkan konsonan bahasa Arab yang pembentukannya seperti hendak melafalkan vokal kasrah, tetapi berubah dengan

cepat dengan merapatkan bagian tengah lidah kepada langit-langit tengah untuk menghalangi arus keluar dari hidung. Untuk itu bunyi ini dalam bahasa Arab, termasuk konsonan semi-vokal medio palatal bersuara. 401 Konsonan ini sama dengan konsonan wâw dalam kasifikasi semi-vokal, karena pada awal pelafalan

keduanya dimulai dari titik artikulasi bunyi vokal. 402 Kenyataan ini disebabkan bahwa kedua huruf digunakan pula untuk melambangkan bunyi vokal panjang

bahasa Arab, sehingga untuk mengetahui perbedaan bunyi pada konteks kata yang sebenarnya harus dilihat dari fungsi pembeda makna yang dimiliki keduanya.

Huruf yâ’ -sama seperti huruf wâw- memiliki dua fungsi baik sebagai simbol konsonan atau vokal. Bentuk-bentuknya pun mengalami perubahan yang lebih besar dari pada huruf wâw, perbedaannya huruf ini dapat dihubungkan

dengan huruf sebelum dan sesudahnya, 403 contohnya adalah: ﹼﱄﻭ ،ﺖﻴﺑ ،ﻲﻣﺮﻳ .

Walîd al-Hamd, al-Basît fi ‘Ilm al-Tajwîd, h.101-102; Muh ammad al-Jazrî, ‘Ilm al- Tajwîd, h. 148.

401 Abdul Mu’in, Analisis Kontrastif: Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia , h. 83. Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm: al-As wât, h. 171; Tamâm Hassân, Manâhij al-

Bahts fi al-Lughah, h. 135-136. 402 Kamâl Badrî menggunakan istilah syibh harakah untuk wâw, dan nisf harakah untuk

yâ’. Lihat, Kamâl Badrî Ibrâhîm, ‘Ilm al-Lughah al-Mubarmaj , Cet. II (Saudi Arabia: Matâbi’ Jâmi’ah al-Malik Su’ûd, 1998), h. 120-121. 403

Nâyif Ma’rûf, Khasâis al-‘Arabiyyah wa Tarâiq Tadrîsihâ , h. 157; diambil pada tanggal 30/01/2008 dari artikel yang berjudul Arabic Alphabet: Presentation of the alphabet dan artikel yang berjudul Abjad Arab: Persembahan Huruf, http://www.wikipedia.com .

Perubahan-perubahan yang terjadi pada bentuk huruf ini –jika diamati-

sama seperti yang terjadi pada huruf ( ـﺛ ،ـﺗ ،ـﺑ ), hal ini menunjukkan bahwa

ada keseragaman struktur bentuk pada huruf-huruf ini. Oleh sebab itu fungsi tanda titik semakin bertambah penting, karena digunakan untuk membedakan keseragaman bentuk huruf Arab.

28) Huruf hamzah ( ﺀ )

Huruf ini adalah simbol konsonan bahasa Arab yang terbentuk dengan merapatkan dua pita suara sehingga terjadi hambatan pada arus udara, kemudian terjadi letupan ketika hambatan dilepaskan. Oleh sebab itu bunyi ini

diklasifikasikan sebagai konsonan hambat letup glotal, dan dalam pandangan ahli bahasa sekarang bunyi ini tidak memiliki dua sifat (bersuara dan tidak bersuara). 404 Klasifikasi ini berbeda dengan para ahli klasik, baik dari titik artikulasi atau sifatnya. Makhraj hamzah sama dengan hâ’ dalam pandangan Sîbawaih, dalam hal ini alasan-alasannya telah dijelaskan sebelumnya. Sementara

itu sifat hamzah menurut Sîbawaih bersuara, 405 “ ... ،ﺓﺰﻤﳍﺎﻓ ﺓﺭﻮﻬﺍ ﺎﻣﺄﻓ ”

. Pendapat ini dapat dimaklumi, karena penetapan sifat bunyi berlandaskan metode yang digunakan saat itu. Metode penetapannya adalah setiap bunyi didahului oleh vokal fathah, dalam hal hamzah tentu terdengar suara apabila didahului oleh fathah. Sementara ahli bahasa kontemporer dapat melihat langsung keadaan pita suara, saat mengartikulasikan bunyi-bunyi bahasa Arab.

Huruf hamzah merupakan huruf yang paling banyak memiliki bentuk dan perubahan dalam aksara Arab. Simbol umum huruf hamzah adalah ( ﺀ ), akan tetapi huruf ini memiliki kaidah penulisan yang rumit, sehingga penulisan huruf ini sering menimbulkan permasalahan. Posisi huruf hamzah –seperti konsonan lain- dapat berada di awal, tengah, atau akhir sebuah kata. Perbedaan posisi ini diikuti pula oleh perubahan pada bentuk-bentuknya, bahkan masing-masing posisi

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 288; Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 344-347. Para ahli bahasa klasik berbeda pendapat dalam penentuan hamzah. Lihat, Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah , h. 125. 405

Abû Bisyr, al-Kitâb: Kitâb Sîbawaih, h. 434.

menampilkan beberapa bentuk hamzah. 406 Untuk membuktikan perbedaan tersebut, berikut bentuk-bentuk perubahan huruf hamzah:

a) Hamzah di awal kata ada dua macam, yaitu: hamzah al-qat’ dan hamzah al- wasl.

1. Hamzah al-qat’ (the cutting hamza) adalah hamzah yang tetap dilafalkan baik pada awal atau tengah-tengah kalâm (kata atau kalimat). Hamzah al-qat’ – dalam aksara Arab- ditulis di atas alif ( ﺃ ) apabila setelahnya diikuti oleh bunyi vokal fathah atau dammah, dan ditulis di bawah alif ( ﺇ ) apabila setelahnya vokal kasrah. Hamzah ini terdapat pada beberapa tempat (posisi), 407 seperti:

a. Hamzah pada al-fi’l al-mâd î al-tsulâtsî (verba berkala lampau triliteral)

apabila huruf awalnya adalah hamzah, juga bentuk masdarnya (verbal

noun), 408 seperti: ( ﻒﺳﺃ ،ﹸﺬّﺧﺃ ،ﺮﻣﹶﺃ - ﻒﺳﹶﺃ ،ﹶﺬﺧﹶﺃ ، ﺮﻣﹶﺃ

b. Hamzah pada al-fi’l al- mâd î al-rubâ’î (verba lampau quadriliteral), juga

bentuk al-amr (imperatif) dan masdarnya, 409 seperti: ( ،ﻦِﺴﺣﺃ ،ﻦﺴﺣﺃ ﻥﺎﺴﺣِﺇ ).

c. 410

Hamzah yang terdapat pada awal sebuah ism (nomina), seperti: ( ،ﺪﻤﺣﺃ

d. Hamzah pada awal al-hurûf , al-adawât, dan al-damâir (partikel dan

pronomina), 411 seperti: ( ،ﻥﺫﺇ ،ﺫﺇ ،ﻱﺇ ،ﹼﻻﺇ ،ﻭﺃ ،ﱃﺇ ، ﺍﺫﺇ ، ﹼﻥﹶﺃ ، ﺇﹼﻥ ،ﻡﺎﻬﻔﺘﺳﻻﺍ ﺓﺰﳘ ﺖﻧﺃ ،ﺎﻧﺃ ).

406 Mustafâ Ghalâyaynî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, h. 140; M. Rajab al-Najjâr, al- Kitâbah al-‘Arabiyyah: Mahârâtuhâ wa Funûnuhâ , h. 97; ‘Abd al-Latîf A. Al-Syuwayraf, al-

Tadrîbât al-Lughawiyyah: li al-Sanah al-Ûlâ (Mansyûrât Kulliyah al-Da’wah al-Islâmiyyah), h. 8. 407 M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 97-98; ‘Abd al-Latîf A. Al-

Syuwayraf, al-Tadrîbât al-Lughawiyyah: li al-Sanah al-Ûlâ , h. 25-27; ‘Abd al-Salâm M. Hârûn, Qawâ’id al-Imlâ’, , h. 7-9. 408

Triliteral verb adalah kata kerja yang terdiri dari tiga huruf asli dan rata-rata huruf

konsonan, seperti: ﺐﻫﺫ ; Verbal noun (nomina verbal) adalah nomina yang terbentuk kata kerja (verba), yang fungsi dan maknanya berdekatan dengan verba. al-Khûlî, A Dictionary of Theoritical Linguistics, h. 292, 300; Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 146.

409 Quadriliteral verb yaitu kata kerja terdiri dari empat huruf asli. Imperative verb adalah

kata kerja yang berfungsi untuk memberikan perintah kepada objek, seperti: ﺐﺘﻛﺍ . Lihat, al-Khûlî,

A Dictionary of Theoritical Linguistics , h. 234, 126. 410 Nomina yaitu kelas kata yang biasanya dapat berfungsi sebagai subyek atau obyek dari klausa; kelas kata ini sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam alam di luar bahasa. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 145.

e. Hamzah pada al-fi’l al-mudâri’ (verba berkala mendatang) yang

menunjukkan bentuk ( ﺎﻧﺃ ), seperti: ( ﺮﻔﻐﺘﺳﺃ ،ﻲﺸﻣﹶﺃ ،ﻡِﺮﻛﹸﺃ ).

Simbol hamzah al-qat’ tetap ditulis dan tidak berubah meskipun dalam

sebuah kata didahului oleh huruf-huruf, seperti: ( ﻥﺎﺴﻧﻹﺍ - ﻝﺃ ), ( ﻢﻠﻌﺗﺄﺳ - ﲔﺴﻟﺍ ), ( ﻚﻨﻣ ﺎﻧﺃﻭ – ﻭﺍﻮﻟﺍﻭ ،ﲏﻣ ﺖﻧﺄﻓ – ﺀﺎﻔﻟﺍ ), ( ﻪﺋﺎﻨﺑﻷ - ﺓﺭﺎﳉﺍ ﻡﻼﻟﺍ ), ( ﻞﻌﻔﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺔﻠﺧﺍﺪﻟﺍ ﻢﺴﻘﻟ ﺍ ﻡﻻ ﻦﺼﻠﺧﻷ - ), ( ﷲﺍ ﺮﻣﺄﺑ – ﺓﺭﺎﳉﺍ ﺀﺎﺑ ), ( ﻦﻣ ﱃﺇ ﺐﺣﺃ ﺖﻧﻷ – ﱪﳋﺍﻭ ﺃﺪﺘﺒﳌﺍ ﻰﻠﻋ ﺔﻠﺧﺍﺪﻟﺍ ﻡﻼﻟﺍ ﻡﺎﻤﻐﻟﺍ ﻦﻣ ﻡﺮﻛﻷ ﻦﻣﺆﳌﺍ ﻥﺇ ،ﻲﺴﻔﻧ ), ( ﻱﺭﺎﻜﻓﺃ ﺃﺮﻘﺗ ﻚﻧﺄﻛ – ﻑﺎﻜﻟﺍ ), dan ( ﻡﺎﻬﻔﺘﺳﻻﺍ ﺓﺰﳘ

؟ﺝﺮﺧﺃﺃ – ﺎﻫﺪﻌﺑ ﺎﻣ ﺡﻮﺘﻔﳌﺍ ). Kemudian, apabila ada dua hamzah al-qat’ di awal

sebuah kata, maka akan ditulis dengan menggunakan tanda madd (tekanan

panjang), yaitu: ﻝﺎﻣﺁ ﻭ ،ﻕﺎﻓﺁ ، ﻦﻣﺁ .

2. Hamzah al-wasl (the joining hamzah ) adalah hamzah yang diucapkan (terdengar) apabila berada di awal sebuah kata, dan tidak diucapkan apabila didahului oleh bunyi lain (berada di tengah kalâm). Hamzah al-wasl hanya

disimbolkan dengan alif ( 412 ﺍ

) tanpa hamzah, dan terdapat pada beberapa kata, seperti:

a. Hamzah pada artikel tentu ( ﻝﺃ ) dengan dua jenisnya (al-qamariyah dan al-

syamsiyyah), seperti: ( ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ،ﻢﻠﻘﻟﺍ ،ﺲﻤﺸﻟﺍ ،ﻞﺟﺮﻟﺍ ).

b. Hamzah pada fi’l al-amr (verba imperatif) dari al-fi’l al-tsulâtsî , seperti:

( ﺮﺼﻧﺍ - ﺮﺼﻧ ), ( ﻊﺟﺭﺍ - ﻊﺟﺭ ), atau ( ﺐﺘﻛﺍ – ﺐﺘﻛ ).

c. Hamzah pada al-fi’l al-mâd î al-khumâsî , berikut bentuk al-amr dan

masdarnya, seperti: ( ﻝﺎﻤﺘﺣِﺍ - ﹾﻞِﻤﺘﺣِﺍ – ﻞﻤﺘﺣِﺍ ).

d. Hamzah pada al-fi’l al- mâd î al-sudâsî, berikut bentuk al-amr dan

masdarnya, seperti: ( ﺭﺎﻔﻐﺘﺳﺍ - ﺮِﻔﻐﺘﺳﺍ – ﺮﻔﻐﺘﺳﺍ ).

e. Hamzah pada awal beberapa kata (nomina dan partikel), seperti: ( ،ﻢﺳﺍ ،ﻦﺑﺍ

411 Partikel adalah kata yang biasanya tidak dapat diderivasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal. Lihat, al-Khûlî, A

Dictionary of Theoritical Linguistics , h. 203; Pronomina adalah kata yang menggantikan nomina atau frase nominal. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 179.

412 Hamzah al-wasl terkadang dengan alif dengan huruf sâd kecil ( ﻞﺟﺮﻟ ﭐ ), atau hanya tanda vokalnya saja seperti ( ﻖﻠﻄﻧِﺍ - ﻞﺟﺮﻟﹶﺍ ). Lihat, M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 98-99.

Hamzah al-wasl –pada beberapa konteks kalimat- tidak dilafalkan, meskipun simbolnya ada dalam kalimat, seperti: Pertama, apabila didahului

tanwîn misalnya: ( ﻒﻧﺄﺘﺳﺍ ﺪﻴﻌﺳ dibaca ﻒﻧﺄﺘﺳﺍ ِﻥﺪﻴﻌﺳ ). Kedua, apabila terdapat ( ﻝﺃ )

misalnya: ( 413 ﻢﺳِﻻﺍ ﺲﺌﺑ ، ﻦﺑِﻻ ﺍ

Pada beberapa konteks lainnya, hamzah al-wasl juga tidak dilafalkan bahkan simbolnya pun tidak tertulis, 414 seperti:

1) Hamzah pada ( ﻦﺑﺍ ) apabila berada di antara dua ‘alam (nama), dengan beberapa syarat: Pertama, nama yang kedua adalah ayah bagi yang pertama. Kedua, kata ( ﻦﺑﺍ ) adalah sifah (ajektiva) untuk nama pertama. Ketiga, tidak

berada di awal garis. 415 Seperti: ( ﺪﻴﻟﻮﻟﺍ ﻦﺑ ﺪﻟﺎﺧ ﻥﺎﻛ ).

2) Hamzah pada ( ﻝﺃ ) apabila didahului oleh ( ﺓﺭﻮﺴﻜﳌﺍ ﺓﺭﺎﳉﺍ ﻡﻼﻟﺍ ) atau ( ﺀﺍﺪﺘﺑﻻﺍ ﻡﻻ

ﺔﺣﻮﺘﻔﳌﺍ ﺓﺪﻛﺆﳌﺍ ), misalnya: ( ﺩﺎﻬﺠﻠﹶﻟ ،ﺔﻬﻛﺎﻔﻠِﻟ ).

3) Hamzah pada kata ( ﻢﺳﺍ ) khusus pada basmalah ( ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﻦﲪﺮﻟﺍ ﷲﺍ ﻢﺴﺑ ).

Adapun pada kalimat lainnya tetap ditulis.

4) Hamzah al-wasl tidak tertulis apabila didahului oleh hamzah al-istifhâm, 416

contohnya: ( ﺔﻨِﺟ ﻪﺑ ﻡﺃ ﺎﺑﺬﻛ ﷲﺍ ﻰﻠﻋ ﻯﺮﺘﻓﺃ ).

Kedua macam hamzah untuk di awal kata ini tentunya dapat menjadi permasalahan, karena keduanya masing-masing memiliki letak yang berbeda. Selain letak yang berbeda, ada juga aturan penulisan dan pelafalan untuk keduanya. Oleh sebab itu pemahaman kaidah penggunaan keduanya merupakan jalan terbaik, untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam penulisannya.

b) Hamzah yang terdapat pada tengah kata memiliki beberapa bentuk, dapat ditulis di atas alif ( ﺃ ), wâw ( ﺅ ), nabrah atau aksen ( ﺉ ), dan berdiri sendiri

414 al-Syuwayraf, al-Tadrîbât al-Lughawiyyah , h. 22-23. ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Imlâ’, h.34-36; al-Syuwayraf, al-Tadrîbât al-Lughawiyyah ,

h. 23-25; M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 106. 415 Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hamzah harus tetap tertulis. Juga,

tidak menjadi sifat atas mutsannâ atau jama’, seperti: ( ﺪﻴﺷﺮﻟﺍ ﻥﻭﺭﺎﻫ ﺎﻨﺑ ﺍ ﻥﻮﻣﺄﳌﺍﻭ ﲔﻣﻷﺍ ، ﺎﻧﺭﺎﺟ ﻦﺑﺍ ﱀ ﺎﺻ ).

Lihat, al-Syuwayraf, al-Tadrîbât al-Lughawiyyah , h. 23; M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al- ‘Arabiyyah: Mahârâtuhâ wa Funûnuhâ , h. 106. 416

QS. Saba’ 8.

). Penulisan masing-masing bentuk ini, sudah pasti dilengkapi dengan

kaidah penggunaannya, seperti:

1. Hamzah di atas alif ( ﺃ ) memiliki beberapa konteks dan ketentuan, 418 antara lain:

a. Apabila maftûhah (sesudahnya vokal fathah) dan sebelumnya juga vokal

fathah, contohnya: ( ﺮﺧﹶﺄﺘﻳ ،ﺏﹶﺃﺩ ،ﻝﹶﺄﺳ ).

b. Apabila maftûhah (sesudahnya vokal fathah) dan sebelumnya bunyi

konsonan, seperti: ( ﻯﹶﺃﺮﻳ ،ﺓﹶﺃﺮﻣ ، ﺔﻟﹶﺄﺴﻣ ،ﻝﹶﺄﺴﻳ ).

c. Apabila sâkinah dan sebelumnya maftûh (vokal fathah), contohnya: ( ،ﺱﹾﺄﹶﻛ

Hamzah di atas wâw ( ﺅ ) memiliki beberapa konteks dan ketentuan, sebagai berikut:

a. Apabila madmûmah (sesudahnya vokal dammah) dan sebelumnya

didahului oleh vokal fathah, contohnya: ( ﻝﻭﺆﻳ ، ﻡﺆﻳ ).

b. Apabila madmûmah (sesudahnya vokal dammah ) dan sebelumnya adalah

vokal dammah, seperti: ( ﺱﻭﺅﺭ ،ﻥﻭﺆﺷ ).

c. Apabila maftûhah (sesudahnya vokal fathah) dan sebelumnya adalah vokal

dammah, contohnya: ( ﺏﺩﺆﻣ ،ﻱﺩﺆﻳ ).

d. Apabila sâkinah dan didahului oleh vokal dammah, contoh: ( ﺆﻟﺆﹸﻟ ،ﺮﲤﺆﻣ ).

e. Apabila madmûmah (sesudahnya vokal dammah) dan didahului oleh bunyi

konsonan sâkin, seperti: ( ﺱﻭﺅﺮﻣ ،ﺔﻴﻟﻭﺆﺴﻣ ).

f. Apabila madmûmah (sesudahnya vokal dammah) dan sebelumnya vokal

panjang (fathah tawîlah), contoh: ( ﻡﺅﺎﺸﺗ ،ﻝﺅﺎﻔﺗ ).

3. Hamzah di atas nabrah atau aksen ( ﺉ ) juga memiliki konteks dan ketentuan, 420 sebagai berikut:

a. Apabila maksûrah (sesudahnya kasrah) dan didahului oleh vokal dammah,

misalnya: ( ﻲِﺋﺭ ،ﻞِﺌﺳ ).

418 ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Imlâ’, h. 10-17. M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 99-100.

420 Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâss ah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 110. al-Syuwayraf, al-Tadrîbât al-Lughawiyyah , h. 28.

b. Apabila didahului oleh kasrah, contoh: ( ﺔﹶﺋِﺭ ،ﺮﹾﺌِﺑ ).

c. Apabila maksûrah (sesudahnya kasrah) dan sebelumnya konsonan sâkin,

seperti: ( ﺔﻠِﺌﺳﺃ ،ﺓﺪِﺌﹾﻓﺃ ).

d. Apabila maksûrah (sesudahnya kasrah) dan didahului oleh vokal fathah,

misalnya: ( ﻦِﺌﻤﻄﻳ ،ﻦِﺌﻳ ).

e. Apabila maksûrah (sesudahnya kasrah) dan sebelumnya fathah tawîlah,

contoh: ( ﺐِﺋﺎﺗ ،ﻞِﺋﺎﻀﻓ ).

4. Hamzah yang ditulis dengan berdiri sendiri ( ﺀ ) juga memiliki beberapa konteks dan peraturan, 421 sebagai berikut:

a. Apabila maftûhah (sesudahnya vokal fathah) dan sebelumnya fathah

tawîlah, misalnya: ( ﺓَﺀﺍﺮﻗ ،ﺓَﺀﺍﺮﺑ ).

b. Apabila maftûhah (sesudahnya vokal fathah) dan didahului oleh dammah

tawîlah, contohnya: ( ﺓَﺀﻭﺮﻘﻣ ،ﺓَﺀﻭﺮﻣ ).

Keempat macam bentuk hamzah untuk di tengah kata –jika diperhatikan- berubah-ubah secara dinamis, dan selalu mengikuti bunyi baik sebelum dan sesudahnya (bersamanya). Namun tetap saja masih terlalu banyak bentuk jika dibanding dengan aksara lain, padahal yang dilambangkan hanya satu bunyi yaitu hamzah.

c) Hamzah yang terdapat pada akhir sebuah kata juga memiliki beberapa bentuk dan ketentuan, 422 sebagai berikut:

1. Hamzah ditulis di atas alif ( ﺃ ), wâw ( ﺅ ), nabrah atau aksen ( ﺉ ), apabila sebelumnya didahului oleh fathah, dammah, dan kasrah. Misalnya: ( ﺃﺮﻗ ،ﹶﺃﺪﺑ ),

( ﺆﹸﻓﺎﻜﺗ ،ﺆﹸﻟﺆﻟ ), dan ( ﺉ ِﺰﻬﺘﺴﻣ ،ﺉِﺮﻗ ).

2. Hamzah berdiri sendiri ( ﺀ ) apabila sebelumnya konsonan sâkin, contohnya:

422 Mustafâ Ghalâyaynî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, h. 146-154. ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Imlâ’, h.9-10; M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-

‘Arabiyyah, h. 101; dan Fakhr al-Dîn, Turuq al-Tadrîs al-Khâss ah bi al-Lughah al-‘Arabiyyah , h. 109.

Selain dua ketentuan di atas, hamzah yang terdapat di akhir sebuah kata juga memunyai beberapa aturan tulis tambahan, 423 antara lain:

1) Apabila hamzah di atas alif ( ﺃ ) diiringi tanwîn fathah, maka tidak ditulis alif

setelah hamzah, seperti: ( ﹰﺄﺠﻠﻣ ،ﹰﺄﺒﻧ ).

2) Apabila hamzah berdiri sendiri ( ﺀ ) kemudian diiringi oleh tanwîn fathah, maka terjadi perubahan pada hamzah yaitu ditulis di atas nabrah ( ﺉ ) dan

setelahnya alif. Misalnya: ( ﺎﹰﺌﻴﺷ ، ﺎﹰﺌﻄﺑ ). Namun, apabila huruf sebelum

hamzah tidak dapat dihubungkan dengan huruf-huruf sesudahnya, maka

hamzah berdiri sendiri dan setelahnya alif tanwîn. 424 Contohnya: ( ﺍًﺀﺪﺑ ،ﺍًﺀﺰﺟ ).

3) Apabila hamzah berdiri sendiri ( ﺀ ) kemudian diiringi oleh tanwîn fathah akan tetapi sebelumnya fathah tawîlah, maka tetap ditulis di atas nabrah tanpa alif.

Contohnya: ( ً ﺀﺎﻣﺩ ،ًﺀﺎﲰ ).

4) Apabila sesudah hamzah terdapat damîr (pronomina) atau lainnya, maka hamzah ditulis dengan aturan-aturan hamzah di tengah kata. Misalnya:

Huruf hamzah dengan segala bentuk-bentuknya dalam aksara Arab ini, merupakan permasalahan tersendiri dalam tataran praktisnya. 425 Perubahan- perubahan pada bentuknya pada dasarnya sangat dinamis, dan mengiringi bunyi yang bersama dan sebelumnya. Tapi -untuk kesekian kalinya- perubahan ini terlalu banyak, padahal hanya menuliskan bunyi konsonan / ﺀ /. Selain bentuk yang banyak, seseorang juga harus memahami perbedaan-perbedaan kaidah penulisannya. Hal ini tentu menyulitkan, terutama jika dibandingkan dengan aksara lainnya.

b. Huruf dan tanda-tanda diakritikal Ada beberapa huruf dan tanda dalam aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bunyi konsonan bahasa Arab, seperti:

423 M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 101-102; dan al-Syuwayraf, al- Tadrîbât al-Lughawiyyah , h. 32. 424

Mustafâ Ghalâyaynî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, h. 154. 425 al-Syuwayraf, al-Tadrîbât al-Lughawiyyah , h. 8; al-Khûlî, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-

‘Arabiyyah, h. 135-136.

1) Tâ’ marbûtah ( ﺓ ) digunakan untuk menuliskan konsonan / ﺕ /, dan berfungsi sebagai penanda ta’nîts (feminization). Kaidah pelafalannya adalah diucapkan dengan bunyi /

ﻩ 426 / ketika waqf (berhenti), huruf ini biasanya terdapat pada:

a) 427 Tâ’ pada Ism (nomina) sebagai penanda ta’nîts (feminization),

contohnya: ( ﺓﺃﺮﻣﺍ : ﺅ ﺮﻣﺍ ،ﺔﺒﺗﺎﻛ : ﺐﺗﺎﻛ ).

b) Tâ’ yang terdapat pada nama-nama orang, seperti: ( ﺔﻣﺎﺳﺃ ، ﺔﺤﻠﻃ ،ﺓﺰﲪ ).

c) Tâ’ yang digunakan untuk membedakan antara bentuk mufrad (singular)

dan jenisnya, misalnya: ( ﺓﺮﺠﺷ : ﺮﺠﺷ ، ﺔﻠﳔ : ﻞﳔ ).

contohnya: ( ،ﺓﺎﻀﻗ

d)

Tâ’ yang terdapat pada jam’ taksîr (broken plural ),

e) Tâ’ pada bentuk (kata) yang digunakan untuk menunjukkan al-

mubâlaghah (hyperbole), 429 seperti: ( ﺔﺛﺎﲝ ،ﺔﻣﻼﻋ

f) Tâ’ yang terdapat pada beberapa bentuk jam’ (plural), contohnya: ( ،ﺔﻓﺭﺎﻴﺻ ﺔﻗﺩﺎﻧﺯ ).

g) Tâ’ yang berada di akhir masdar (verba nomina), misalnya: ( ﺔﺋﺪ ،ﺔﻳﺮﻌﺗ ).

Penulisan tâ’ marbûtah pada hakikatnya berfungsi untuk membedakan beberapa kata dalam aspek morfologi dan sintaksis, hal ini berkaitan erat dengan struktur dan perubahan pada pola kalimat. Selain tempat-tempat di atas, bunyi / ﺕ / ditulis dengan huruf aslinya ( ﺕ ) dan juga dikenal dengan istilah tâ’ maftûhah. Sementara apabila sesudah tâ’ marbûtah terdapat damîr (pronomina), maka ditulis

dengan ( ﺕ ), contoh: ( ﺎﺮﺠﺷ ،ﻪﺗﺃﺮﻣﺍ ). Dari sini dapat disimpulkan bahwa

penggunaannya hanya terletak pada akhir kata saja, dan berfungsi sebagai tanda pembeda untuk beberapa kata.

427 M. Rajab al-Najjâr, al-Kitâbah al-‘Arabiyyah , h. 108-109. Feminization yaitu pembentukan muannats (feminine) dari mudzakkar (masculine)

dengan perubahan atau penambahan tanda khusus, seperti: ( ﺔﺒﻟﺎﻃ - ﺐﻟﺎﻃ ). al-Khûlî, A Dictionary of

Theoritical Linguistics , h. 94. 428 Broken plural yaitu bentuk plural yang terbentuk dengan perubahan dari dalam bentuk

singularnya, seperti: ( ﻝﺎﺒﺟ - ﻞﺒﺟ ).Lihat, al-Khûlî, A Dictionary of Theoritical Linguistics , h. 36.

429 Hyperbole yaitu melebih-lebihkan sesuatu yang bertujuan memengaruhi pendengar. Lihat, al-Khûlî, A Dictionary of Theoritical Linguistics , h. 122.

2) Syaddah ( ّـ ) adalah tanda diakritik yang digunakan untuk menuliskan dua bunyi konsonan yang sejenis (sama) dan datang beriringan dalam suatu kata tanpa didahului oleh bunyi vokal, contoh: ( -

3) Sukûn ( ْ ـ ) adalah tanda yang ditulis di atas sebuah huruf konsonan sebagai penanda bahwa huruf tersebut tidak diikuti oleh bunyi vokal, seperti: ( - ﺲﻠﳚ ﺏﺮﻀﻳ 431 ).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua bunyi konsonan dalam bahasa Arab dapat dilambangkan oleh aksara Arab, baik melalui huruf- huruf yang diubah fungsinya, atau beberapa tanda diakritik. Penggunaan tanda-tanda ini

juga dilengkapi dengan kaidah-kaidah penulisan, sehingga fungsi tiap-tiap tanda dapat dilaksanakan dengan baik, meskipun dapat pula menimbulkan karakter

khusus dan kelemahan dalam sistem aksara Arab.

3. Penulisan bunyi suprasegmental Unsur suprasegmental –pada hakikatnya- merupakan unsur penting dalam sebuah ujaran bahasa, karena dengan adanya unsur ini terjadi proses komunikasi yang baik antara dua sisi, yaitu: pembicara dan pendengar. Bahasa Arab –sebagai salah satu bahasa di dunia- juga mengakui pentingnya keberadaan unsur ini dalam ujarannya. Unsur ini tidak dapat dilihat baik pada struktur kata atau pun kalimat, oleh sebab itu akan timbul kesulitan jika pendengar (pembaca) tidak mendengarnya dari penutur secara langsung. Unsur ini dapat merubah makna suatu ujaran, hanya dengan merubah variasi-variasi pelafalan kata atau kalimat. 432 Dalam istilah al-Sayûtî, unsur ini dikenal dengan al-zawâhir al-tatrîziyyah atau prosodi yang berperan dalam membentuk makna; yakni ragam suara dalam hubungan antar fon ataupun hubungan antar kata dalam kalimat; terutama tekanan

David Cowan, An Introduction to Modern Literary Arabic , h. 5; Tasydîd yaitu geminasi (pemanjangan atau penguatan fonem) pada aksara Arab. Lihat, Kridalaksana, Kamus linguistik, h. 210. 431

Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties , h. 318; Sukûn adalah penanda hilangnya vokal pada aksara Arab, dan dituliskan dengan bulatan kecil di atas huruf konsonan. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 205. 432

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 497.

dan intonasi. 433 Pertanyaannya kemudian, bagaimana aksara Arab menuliskan bunyi ini, dan tanda apa yang digunakan untuk merekam tekanan, intonasi dan

jeda dalam bahasa Arab?

a. Tekanan (nabr/stress) Tekanan merupakan salah satu unsur suprasegmental yang diakui keberadaannya dalam bahasa Arab, namun tidak dianggap sebagai pembeda makna. Makna umum sebuah kata atau kalimat dalam pandangan bahasa Arab adalah sama dan tidak berubah, penggunaan tekanan hanya untuk makna sekunder. Unsur ini dapat diartikan sebagai kekuatan yang lebih besar dalam artikulasi pada salah satu silabis (maqta’), dari pada silabis-silabis lain dalam

suatu ujaran. 434 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa posisi tekanan, sangat berkaitan dengan silabis-silabis yang membentuk kata. Penggunaan unsur ini

dalam bahasa Arab –menurut Kamâl Bisyr-, hanya untuk menyatakan maksud- maksud tertentu, seperti: al-ta’kîd (emphasis), al-mufâraqah (contrast), al-tarkîz

(intensity), atau makna lainnya. 435 Pendapat ini dapat dijadikan bukti bahwa tekanan juga terdapat pada kalimat ujaran, dan dapat mempengaruhi makna

kalimat tersebut. Posisi unsur tekanan pada suatu kata Arab –menurut Ahmad Mukhtâr ‘Umar-, sudah baku (tetap) dan tidak berubah-ubah, seperti: kata ( ﺐﺘﹶﻛ ) terdiri dari tiga silabis ( ﺏ - ﺕ – ﻙ ) unsur tekanan selalu berada di silabis pertama, ( ﺖﺒﺘﹶﻛ ) dengan silabis ( ﺕ - ﺏ – ﺕ – ﻙ ), posisi tekanan terdapat pada silabis yang kedua, ( ﻪﺘﺒﺘﹶﻛ ) yang terdiri dari ( ﻩ - ﺕ – ﺏ – ﺕ – ﻙ ), tekanan berada pada

silabis ketiga, dan seterusnya. 436 Posisi tekanan pada silabis-silabis ini merupakan satu klasifikasi dari unsur ini yang dalam istilah Arab dikenal dengan al-nabr al-

433 Istilah ini dalam pandangan ahli bahasa modern tidak langsung menerjemahkannya dari istilah Barat prosodies menjadi ﺕﺍﺪﻴﺳﻭﱪﻟﺍ. Lihat, ‘Abd al-Karîm Mujâhid, al-Dilâlah al-

Lughawiyyah ‘ind al-‘Arab (T.tp: Dâr al-Diyâ’, 1985), h. 168. 434 Kamâl Badrî, ‘Ilm al-Lughah al-Mubarmaj , h. 139. 435

436 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h.519-520. Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 319.

sarfî. 437 Perubahan-perubahan posisinya terjadi karena adanya penambahan silabis, sehingga dari sini dapat diketahui jenis kata dari sisi morfologinya.

Sementara pada tataran kalimat bahasa Arab, posisi dan tingkat unsur tekanan terbagi dengan baik. Dalam istilah Arab, klasifikasi ini dikenal dengan al- nabr al-siyâqî. 438 Keadaan ini yang menjadikan bahasa Arab mirip dengan bahasa-bahasa yang menggunakan unsur tekanan sebagai pembeda makna (stress languages). Dalam bahasa Arab terdapat pola-pola kalimat yang sebenarnya dapat menunjukkan keberadaan unsur ini, contoh: kata-kata yang memiliki peran penting (nomina, adjektiva, ism isyârah, dan lainnya) selalu diucapkan dengan

tekanan dari pada kata lain. 439 Dari sini dapat disimpulkan penggunaan unsur ini berkaitan erat dengan keinginan penuturnya, sehingga dapat dipastikan seorang

yang mendengar langsung dari penuturnya tidak akan mengalami kesulitan untuk memahaminya.

Keberadaan unsur ini sangat penting bagi setiap ujaran bahasa, karena mampu menunjukkan makna-makna khusus yang diinginkan penutur. Persoalannya hingga saat ini, bahasa Arab belum dapat mengalihkan unsur ini ke dalam simbol. 440 Tulisan Arab yang ada dan tersebar luas dalam berbagai media, belum memuat tanda sebagai petunjuk posisi tekanan. Oleh karena itu, aksara Arab belum dapat meraih aspek kesempurnaan suatu aksara bahasa. Pada hakikatnya seseorang yang memahami kaidah-kaidah bahasa Arab dengan baik, tentunya tidak mengalami kesulitan untuk mengetahui posisi unsur ini dalam

437 Istilah ini untuk menunjukkan unsur tekanan yang ada pada fonem dan sudah terbentuk dalam pola-pola kata secara morfologis, baik pada tataran infleksi ataupun derivasi. Mukhtâr

‘Umar menegaskan adanya hubungan antara panjang fonem dan posisi tekanan. Lihat, Mukhtâr ‘Umar, Dirâsâh al-Sawt al-Lughawî, h. 319.

438 Istilah ini untuk menunjukkan penekanan suara yang dilakukan pada tataran kalimat

yang juga disebut ﺔﻠﻤﳉﺍ ﺯﺎﻜﺗﺭﺍ , yang dilakukan dengan cara memaksimalkan udara pada waktu

pengucapan bagian kalimat yang menjadi fokus tujuan. Menurut Tamâm Hassân, penguatan dengan cara memaksimalkan udara pada waktu pengucapan lebih efektif untuk pendengar dibandingkan dengan mengulang kalimat tersebut. Lihat, Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al- Lughah al-‘Arabiyyah , h. 172-173. 439

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 519. 440 ‘Alî M. al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah li al-Nât iqîn bi al-Lughât

al-Ukhrâ (Riyâd: Jâmi’ah al-Riyâd, 1979), h. 252.

setiap ujaran bahasanya. Alasannya sangat jelas –seperti telah dibahas- posisi tekanan tetap dan terbentuk dengan kaidah untuk setiap kata-kata bahasa Arab.

Selain itu untuk menunjukkan makna tertentu, biasanya bahasa Arab menggunakan kata-kata atau pola-pola kalimat yang maksudnya dapat dipahami

dengan mudah maksudnya, seperti: ( ﻻ ), ( ﻢﻌﻧ ), ( ﻪﺘﺒﻟﺃ ،ﻂﻗ ،ﻂﻘﻓ ،ﺐﺴﺤﻓ ), ( : ﺔﻓﺎﺿﻹﺍ ﻡﺪﻘﻟﺍ ﺓﺮﻛ ), ( " ﻖﳊﺍ ﺺﺼﻘﻟﺍ ﻮﳍ ﺍﺬﻫ ﻥﺇ ": ﱪﳋﺍﻭ ﺃﺪﺘﺒﳌﺍ ﲔﺑ ﻞﺼﻔﻟﺍ ﲑﻤﺿ ), ( ﻥﺇ ": ﺪﻴﻛﻮﺘﻟﺍ ﺓﺍﺩﺃ

), dan lainnya. Makna tersebut memang mudah dipahami oleh orang yang memiliki kemampuan berbahasa Arab dengan baik, tetapi tidak semua orang menguasai hal itu, sehingga peran tanda masih sangat diperlukan untuk

membantu orang-orang yang belum memahami kaidah bahasa Arab.

b. Intonasi (intonation/tanghîm) Intonasi adalah unsur penting yang menyelimuti suatu kalimat ujaran dalam bahasa Arab, dari permulaan hingga akhirnya. Suatu kalimat dapat berubah-ubah makna seiring dengan perbedaan intonasinya. Hal seperti ini membuktikan betapa pentingnya peran intonasi dalam setiap ujaran bahasa. Intonasi dalam bahasa Arab dibagi menjadi dua bagian, yaitu: rendah dan tinggi. Kedua bagian itu masing-masing memiliki beragam maksud dan tujuan, sesuai

dengan keinginan penuturnya. 442 Intonasi rendah biasanya digunakan jika kalimat telah lengkap baik bentuk atau maknanya, sementara intonasi tinggi untuk

menyatakan bahwa kalimat belum sempurna dan masih berkaitan dengan kalimat selanjutnya. Oleh karena itu cukup sulit untuk memahami maksud penutur, kecuali mendengarnya dengan langsung. Unsur ini pada hakikatnya dapat berada di semua bagian ujaran bahasa, hal itu berkaitan dengan makna yang diinginkan

441 Maksud khusus yaitu untuk penegasan, pentingnya, dan perbedaan yang menjadi tujuan suatu ujaran. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 524; Contoh: QS. Âli ‘Imrân 62, dan QS. al-

Hajj 74. 442 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 534; Intonasi rendah adalah ritme suara dari tinggi ke

rendah pada bagian yang mengandung tekanan; biasanya diaplikasikan pada kalimat berita untuk menunjukkan bahwa kalimat telah sempurna baik dari bentuk atau makna. Sementara intonasi tinggi adalah ritme suara dari rendah ke tinggi pada puncak tekanan; biasanya disampaikan pada kalimat yang mengandung pertanyaan. Lihat, Tamâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ Cet. III (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1998), h. 226.

penutur. Posisinya pun biasanya berhubungan dengan jeda (persendian), baik bersifat penuh (stops/waqfah) atau pun bersifat sementara (pause/saktah). 443 Intonasi rendah selalu ada ketika jeda penuh, sementara pada saktah di situlah letak jeda sementara. Dalam hal ini keduanya dapat dijadikan jalan untuk mengetahui letak dan macam intonasi, karena intonasi selalu terjadi pada keduanya.

Peran intonasi sangat besar dalam ujaran bahasa Arab, meskipun tidak dianggap sebagai pembeda makna, karena makna umum –suatu kalimat- adalah sama dalam pandangan bahasa Arab. Fungsi intonasi digunakan untuk

menyatakan maksud-maksud tertentu (seperti tekanan), aspek gramatikal, dan aspek sosial. 444 Intonasi dapat merubah makna suatu ujaran dengan variasi yang

dimilikinya, seperti: marah, menerima, takjub, do’a, dan lainnya. Makna-makna ini jika diperhatikan masuk dalam kategori makna kontekstual, suatu makna yang berkaitan erat dengan konteks situasi yang membungkus ujaran saat dilafalkan penutur. Sementara makna gramatikal dapat diartikan bahwa intonasi dapat menunjukkan, apakah suatu ujaran sudah sempurna atau belum, dari sisi bentuk

atau makna, contoh: ﺢﺠﻨﺗ ،ﺪﻬﺘﲡ ﺍﺫﺇ . Kalimat ini berbentuk al-syartiyyah yang

terdiri dari dua kalimat independen, akan tetapi makna keduanya belum sempurna jika dipisahkan, dengan adanya intonasi tinggi pada tanda koma dapat diketahui bahwa kalimat belumlah sempurna. Kemudian intonasi juga dapat menunjukkan tingkatan sosial seorang penutur, bukankan ada perbedaan cara bicara seorang pekerja kasar dengan seorang pejabat?

Melihat fungsi intonasi yang demikian besar dalam ujaran bahasa Arab, para ahli menandakan unsur ini melalui penggunaan beberapa tanda baca, seperti: tanda koma (,), titik (.), tanya (?), seru (!), dan lainnya. 445

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 552; Jeda adalah berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar. Disebut jeda karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat perhentian itulah terjadinya persambungan antara segmen yang satu dengan segmen yang lain. Jeda ini dapat bersifat penuh dan dapat juga bersifat sementara. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 122.

445 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 539-540. Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 554-555.

1) Tanda titik (.) biasanya digunakan pada akhir sebuah kalimat yang telah sempurna struktur dan maknanya. 446 Tanda ini biasanya diikuti oleh intonasi rendah menurut kaidah bahasa Arab.

2) Tanda Koma (,) digunakan untuk jeda sementara di tengah-tengah kalimat, dan biasanya diikuti oleh intonasi tinggi. 447 Tanda ini menyatakan bahwa kalimat belum sempurna dan masih berkaitan dengan kalimat sesudahnya.

3) Tanda tanya (?) digunakan untuk dua kemungkinan, sehingga kedua intonasi terjadi pada tanda ini. 448 Pertama, apabila kalimat interogatif tidak menunggu

jawaban “ya” atau “tidak”, berarti kalimat telah sempurna dan diikuti intonasi rendah. Kedua, namun apabila masih menunggu jawaban antara keduanya,

dapat dipastikan kalimat belum sempurna dan diikuti oleh intonasi tinggi. Kalimat baru sempurna setelah adanya jawaban, sehingga dapat ditandai dengan tanda titik dan intonasi rendah. Menurut Riyâd Zakî Qâsim, dalam ujaran lisan tanda ini dilafalkan dengan cara yang beragam. Cara pelafalan ini digunakan untuk menunjukkan makna yang berbeda dari makna aslinya,

seperti: al-nafy, al-inkâr, al-taqrîr, al-ta’ajjub, dan lainnya. 449 Makna-makna ini jika diperhatikan bukan makna sebenarnya, tetapi dalam istilah Arab

dikenal dengan ma’nâ balâghî .

4) Tanda seru (!) biasanya digunakan untuk seruan, perintah, ekspresi dan lainnya. 450

Tanda titik ditulis pada akhir kalimat yang telah sempurna maknanya, kecuali dua pola kalimat yaitu: interogatif dan al-ta’ajjub. Penggunaan tanda ini dapat digunakan oleh pembaca untuk mengetahui makna kalimat, selain dapat dijadikan tempat untuk mengambil napas dalam kegiatan membaca. Lihat, Riyâd Zakî Qâsim, Taqniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabî , h. 164. 447

Penggunaan tanda ini terkait erat dengan kemampuan tentang rasa bahasa (al-dzawq), posisinya dalam bahasa Arab sangat banyak, contohnya: di antara kalimat ataf, kalimat pendek yang maknanya telah sempurna, pada dua kalimat yang saling berkaitan dalam aspek makna dan

gramatika, dll. Lihat, Emîl Ya’qûb, Kayfa Taktubu Bah tsan (Lebanon: Gross Press, tt.), h. 162. 448

Tanda tanya ditulis pada akhir kalimat interogatif, baik yang dimulai dengan partikel tanya ataupun tidak. Lihat, Riyâd Zakî Qâsim, Taqniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabî , h. 169. 449 450 Riyâd Zakî Qâsim, Taqniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabî , h. 169. Tanda seru biasanya digunakan untuk menunjukkan makna al-ta’ajjub (heran), akan tetapi digunaka pula untuk kalimat-kalimat yang bermakna lain, seperti: al-istighâtsah (minta tolong), al-tahdzîr (ancaman), al-ighrâ’ (motivasi), dll. Riyâd Zakî Qâsim, Taqniyyât al-Ta’bîr al- ‘Arabî, h. 171.

Tanda-tanda ini sangat berguna untuk dijadikan pegangan dalam mencari posisi intonasi, sehingga dapat membantu untuk memahami makna suatu ujaran. Penggunaan tanda-tanda baca ini biasanya untuk membedakan bentuk intonasi, baik tinggi atau pun rendah. Intonasi rendah biasanya dalam bahasa Arab terdapat pada akhir kalimat-kalimat, seperti: (1) Kalimat deklaratif yaitu kalimat yang

sudah sempurna maknanya, misalnya: ( . ﺖﻴﺒﻟﺍ ﰲ ﺩﻮﻤﳏ ). (2) Kalimat perintah dengan kata kerja imperatif, seperti: ( ! ﺱﺭﺪﻟﺍ ﺍﺬﻫ ﺐﺘﻛ ﺍ ). Sementara intonasi tinggi

biasanya berada pada akhir kalimat-kalimat, seperti: (1) Kalimat interogatif yang

masih menunggu jawaban baik dengan “ya” atau “tidak”, contohnya: ( ﰲ ﺩﻮﻤﳏ ؟ ﺖﻴﺒﻟﺍ ). Dan (2) Kalimat yang belum sempurna maknanya, seperti: klausa

kondisional 451 (al-jumlah al-Syartiyyah) ( ﻢﻫﺎﻔﺘﻧ ﺖﺌﺟﺍﺫﺇ

Dari contoh-contoh di atas, kemungkinan besar pendengar atau pembaca – pada kasus tertentu (klausa kondisional)- dapat mengetahui letak dan macam intonasi dalam suatu kalimat. Hal itu disebabkan adanya partikel seperti ( ﺍﺫﺇ ), yang menandakan bahwa kalimat tersebut terbagi dua yaitu syarat dan jawab. Seorang pembaca tinggal mencari bagian mana yang merupakan kalimat syarat dan dapat memberikan saktah (jeda sementara), kemudian bagian yang menjadi jawab di situlah letak waqfah (jeda penuh). Klausa kondisional juga memiliki partikel-

partikel khusus lain, seperti: ( ﱁﺇ ،ﻻﻮﻟ ،ﻮﻟ ،ﺎﳌ ،ﺎﻤﻠ ﻛ ،ﺎﻨﻴﺑ ،ﺎﻤﻨﻴﺑ ), ( ﺀﺎﻔﻟﺍ ) pada kalimat jawab klausa kondisional, dan ( 452 ﻡﻼﻟﺍ

) pada kalimat jawab dari ( ﻮﻟﻭ ﻻﻮﻟ ).

Beberapa pola kalimat Arab mungkin dapat membantu pendengar memahami maknanya, karena ada ciri-ciri yang menunjukkan makna-makna tertentu. Tetapi perlu juga ditekankan bahwa tidak semua kalimat memiliki ciri-ciri tersebut, kemudian intonasi dengan dua jenisnya digunakan untuk makna yang beragam, bahkan ditambah dengan mimik wajah dan gerak tubuh, sehingga makna suatu kalimat dapat saja berubah karena berkaitan erat dengan situasi penuturnya,

contoh: ( ﺔﺳﺭﺪﳌﺍ ﻩﺬﻫ ﰲ ﺱﺭﺪﻣ ﻮﻫ ). Satu kalimat ini dapat berubah-ubah maknanya,

Klausa kondisional adalah klausa yang menyatakan syarat atau pengandaian, atau

kalimat yang dimulai dengan ( ﱁﺇ ،ﻮﻟ ،ﻻﻮﻟ ،ﺍﺫﺇ ). Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 111; dan

al-Khûlî, A Dictionary of Theoritical Linguistics , h. 52. 452 Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 558, 565.

dengan perbedaan intonasi saat pelafalannya. 453 Kalimat ini bisa deklaratif apabila dilafalkan dengan intonasi rendah, dapat berarti interogratif apabila dilafalkan

dengan intonasi tinggi, dan juga dapat berarti tidak percaya apabila dilafalkan dengan intonasi lebih tinggi dan disertai gerak tubuh, sehingga maknanya dapat berubah-ubah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tanda baca mampu menunjukkan posisi dan bentuk intonasi, tetapi hal itu belumlah cukup. Makna yang sebenarnya hanya dapat diketahui dengan mendengar langsung dari penuturnya, sehingga dapat dilihat bagaimana intonasi dan gerak tubuhnya. Hal

ini menunjukkan bahwa selain makna umum, masih ada makna kontekstual. Makna inilah yang juga menjadi kajian semantik dan juga pragmatik. 454

Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kaidah bahasa Arab dan juga mendengar langsung dari penuturnya tidak akan mengalami hambatan untuk memahami makna ujaran bahasa.

Begitulah bagaimana aksara Arab menuliskan bunyi-bunyinya, baik yang terdapat dalam struktur (segmental) atau di luar itu (suprasegmental). Bunyi-bunyi bahasa Arab dipilah-pilah dan ditentukan melalui fungsi pembeda, kemudian cara pelafalannya menurut ahli kontemporer. Selanjutnya dilambangkan dengan huruf atau tanda yang ada pada aksara Arab. Bunyi vokal dilambangkan dengan tanda diakritik dan beberapa huruf yang diambil dari huruf primer, sementara konsonannya dilambangkan dengan huruf primer, huruf yang diubah fungsinya, dan beberapa tanda diakritik. Setiap huruf dan tanda dilengkapi dengan kaidah penggunaannya, sehingga lahirlah bentuk perubahan yang menjadi karakter khusus aksara Arab. Unsur suprasegmental bahasa Arab ditandai dengan penggunaan tanda baca untuk unsur intonasi, meskipun makna suatu ujaran belum betul-betul dapat dipahami, karena berkaitan erat dengan konteks kalimat. Hanya

M. Matsna HS., Orientasi Semantik al-Zamakhsyari (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 82. 454 Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteksnya, bisa juga dikatakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Hal ini yang dikutip oleh Habib dari Levinson dan Geofery Leech. Lihat, Habib, “Memahami Al-Qur’an berdasarkan Kaedah-kaedah Pragmatik.” Adabiyyat Vol. 6, No. II (Juli-Desember 2007): h. 298.