Temuan Studi

C. Temuan Studi

Dalam subbab ini, peneliti menganalisis informasi yang berhasil dikumpulkan di lapangan sesuai dengan perumusan masalah dan selanjutnya dikaitkan dengan teori yang ada. Berdasarkan hasil penelitian yang dihubungkan dengan kajian teori maka, peneliti menemukan beberapa hal yang penting yaitu sebagai berikut :

1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan 1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan

unsur dalam menanamkan nilai moral

penelitian di lapangan menyebutkan bahwa, pengetahuan moral sebagian besar narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dikatakan sangat baik. Dari 10 narapidana residivis, hanya ada 1 narapidana residivis yang tidak mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan itu termasuk tindak pidana yaitu pada narapidana residivis kasus penggelapan. Itu berarti pemahaman moral narapidana residivis mencapai 90% dari 10 orang. Pengetahuan moral narapidana residivis dikatakan sangat baik sebab mereka memahami konsep tindak pidana yang dilakukan. Pada kasus pencurian misalnya, hampir semua narapidana residivis mengetahui tentang makna pencurian. Mereka mengatakan bahwa,

oleh narapidana residivis dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan. Mereka mengetahui konsep tindakan yang telah dilakukan. Selain itu, mereka juga mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana residivis mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak mengikuti hati nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan yang dilakukan. Jika dikaitkan dengan teori perkembangan moral menurut Kohlberg dapat diketahui bahwa, tingkat kematangan pemahaman moral narapidana residivis (kasus pencurian, pembunuhan, kekerasan dan penipuan) berada pada tingkat VI (orientasi prinsip etis universal). Secara moral, mereka memahami perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan. Mereka mengetahui konsep tindakan yang telah dilakukan. Selain itu, mereka juga mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana residivis mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak mengikuti hati nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan yang dilakukan. Jika dikaitkan dengan teori perkembangan moral menurut Kohlberg dapat diketahui bahwa, tingkat kematangan pemahaman moral narapidana residivis (kasus pencurian, pembunuhan, kekerasan dan penipuan) berada pada tingkat VI (orientasi prinsip etis universal). Secara moral, mereka memahami perbuatan tindak pidana yang dilakukan

Hal tersebut sesuai dengan pendapat menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) dalam tahap perkembangan moral dijelaskan bahwa: Dalam tahap VI (orientasi prinsip etis universal) orang mengatur tingkah laku

dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsi-prinsip ini menyangkut keadilan, kesedian membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri.

Selain pengetahuan moral di atas, perasaan moral yang dimiliki sebagian besar narapidana residivis dikatakan cukup baik. Dari 10 orang narapidana residivis hanya 5 orang telah memiliki perasaan moral yang sangat baik. Itu berarti perasaan moral narapidana residivis sekitar 50% dari 10 orang. Narapidana residivis tersebut berada dalam skala empati tahapan underlying feelings yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Perasaan moral ditunjukkan dengan mengungkapkan

Mencuri dapat memba Artinya mereka

paham bahwa, perbuatan yang dilakukan telah merugikan orang lain. Perasaan moral diketahui dari kondisi emosional yang dialami oleh narapidana residivis. Ketika peneliti melakukan wawancara, tampak terlihat dari ekspresi wajah yang menunjukkan adanya penyesalan dari narapidana sebagai akibat atas tindak pidana yang dilakukan. Mereka mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan telah merugikan, membahayakan dan menyusahkan orang dalam hal ini (korban). Perasaan moral narapidana residivis diwujudkan dengan mengungkapkan perasaan empati kepada korban seperti perasaan peduli, iba, dan ikut merasakan kesulitan si korban.

diungkapkan melalui kata-kata (ucapan) yang diketahui ketika dilakukan wawancara. Hal tersebut relevan dengan apa yang disampaikan oleh Hoffman (1984) dalam Asri Budiningsih (2008: 53) dari hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa

Tingkat empati paling lanjut muncul ketika seseorang sanggup memahami kesulitan- kesulitan yang ada dalam lingkungannya dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupannya menjadi sumber beban stres dan merasakan kesengsaraan orang l

Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa, hampir seluruh narapidana residivis memiliki pemahaman moral yang sangat baik. Selain itu, perasaan empati (perasaan moral) yang dimiliki sebagian besar narapidana residivis sudah ada. Namun, dari sudut tindakan moral belum dikatakan baik sebab narapidana residivis masih melakukan pengulangan tidak pidana seperti pencurian, penggelapan, penipuan, pembunuhan dan kekerasan yang secara moral bertentangan dengan nilai- nilai moral seperti tidak memiliki perikemanusiaan, tidak jujur, tidak memiliki tanggung jawab, dan ketamakan atau keserakahan. Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar narapidana residivis mengalami masalah moral sehingga melakukan tindak pidana. Masalah moral tersebut yaitu mengapa narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana. Masalah moral yang dialami oleh narapidana residivis disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor intern seperti masalah kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti rendahnya ekonomi keluarga atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh pekerjaan, lingkungan pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras. Dalam teori dari beberapa faktor tersebut, ternyata faktor yang paling banyak mempengaruhi Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa, hampir seluruh narapidana residivis memiliki pemahaman moral yang sangat baik. Selain itu, perasaan empati (perasaan moral) yang dimiliki sebagian besar narapidana residivis sudah ada. Namun, dari sudut tindakan moral belum dikatakan baik sebab narapidana residivis masih melakukan pengulangan tidak pidana seperti pencurian, penggelapan, penipuan, pembunuhan dan kekerasan yang secara moral bertentangan dengan nilai- nilai moral seperti tidak memiliki perikemanusiaan, tidak jujur, tidak memiliki tanggung jawab, dan ketamakan atau keserakahan. Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar narapidana residivis mengalami masalah moral sehingga melakukan tindak pidana. Masalah moral tersebut yaitu mengapa narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana. Masalah moral yang dialami oleh narapidana residivis disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor intern seperti masalah kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti rendahnya ekonomi keluarga atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh pekerjaan, lingkungan pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras. Dalam teori dari beberapa faktor tersebut, ternyata faktor yang paling banyak mempengaruhi

askan bahwa penyebab seseorang melakukan

kejahatan karena kemiskinan, rendahnya penghasilan, dan pengangguran. Dalam kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa, narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan karena keadaan ekonomi keluarga yang rendah dimana mereka tidak mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat mereka melakukan perbuatan tersebut. Tindak pidana yang dilakukan didominasi dengan kasus pencurian.

Sedangkan teori sosial bond menurut Travis Hirchi dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 43) mengatakan bahwa: Seseorang melakukan perbuatan menyimpang disebabkan karena hilangnya

ikatan kontrol sosial dalam diri seseorang. Ikatan kontrol sosial tersebut meliputi:

a. commitment yaitu hilangnya keterikatan seseorang pada sub sistem seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan kelompok sosial, b. beliefs yaitu hilangnya aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial.

Dari teori tersebut berarti bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena hilangnya sistem kontrol dalam diri yaitu tidak memiliki pekerjaan, pendidikan yang rendah, dan hilangnya nilai-nilai moral dalam diri seseorang. Jika dikaitkan dengan penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana khususnya kasus pencurian adalah sebagian besar narapidana residivis terus melakukan perbuatan mencuri karena sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak sebab ketidakpercayaan masyarakat atau instansi

Selain itu, beberapa narapidana residivis masih berpendidikan rendah sehingga tidak memiliki keahlian dan pada akhirnya mencuri. Kemudian dari segi hilangnya nilai- nilai moral yang dianut oleh sebagian besar narapidana residivis adalah meskipun narapidana residivis telah memiliki pemahaman dan perasaan moral yang baik. Bahkan beberapa narapidana residivis telah memperoleh pendidikan moral dari keluarga dan pendidikan formal namun, mereka masih melakukan pengulangan tindak pidana. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis dipandang sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral seperti ketamakan, keegoisan, tidak memiliki perasaan terhadap orang lain, keserakahan, dan ketidakpedulian. Hal tersebut berarti nilai moral tidak lagi dianut oleh mereka.

Selain itu, pandangan dari teori differential organization menurut Sutherland dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 23) yang mengatakan bahwa: Kejahatan dipelajari dalam pergaulan manusia. Kejahatan hanya ada dalam masyarakat diantara pergaulan individu. Orang belajar jahat dalam masyarakat, tanpa ada

Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab

seseorang melakukan kejahatan karena pengaruh lingkungan atau pergaulan yang salah. Dari teori tersebut benar bahwa, salah satu penyebab seseorang melakukan tindak pidana dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Seperti yang dialami oleh Suwandi dimana ia mencuri karena bergaul dengan temannya seorang pencuri.

Teori selanjutnya adalah teori mental disorder menurut James C.Prichard dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 54) yang menyebutkan bahwa:

Seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena terjadi kekacauan mental Berdasarkan hasil penelitian oleh James C. Prichard sebanyak 20 hingga 60 persen penghuni lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (penyakit mental) yang disebut dengan psychopathy atau antisocial personality Seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena terjadi kekacauan mental Berdasarkan hasil penelitian oleh James C. Prichard sebanyak 20 hingga 60 persen penghuni lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (penyakit mental) yang disebut dengan psychopathy atau antisocial personality

Dari teori tersebut berarti bahwa, seseorang dapat melakukan perbuatan jahat karena gangguan mental. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis bernama Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Ia menjadikan tindak pidana sebagai pekerjaannya (mata pencaharian). Hal tersebut dilakukan oleh karena sulitnya mencari dan mendapat pekerjaan sehingga menjadi alasan dia mencuri. Ia mencuri dengan penuh kesadaran bahkan, tidak merasa bersalah setelah mencuri. Menurutnya mencuri adalah perbuatan wajar.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana penilaian terhadap tindakan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan masalah moral (pengulangan tindak pidana). Dalam menilai tindakan atau perilaku narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana, peneliti menggunakan pada pendekatan etika normatif menurut K. Bertens (2007: 15) yang bertumpu pada masalah-masalah moral. Ahli yang bersangkutan melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian perilaku manusia . Jadi, menurut pendekatan etika ini peneliti berusaha menilai perilaku narapidana residivis terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan jika ditinjau dari segi moral.

Berdasarkan teori egois etis menurut Jeremy Bentham dalam Elisa (2011: 2) yang dikutip

dari

http://www.scribd.com/doc 58523585/teorijeremy-bentham

menyebutkan bahwa Tindakan dari setiap orang pada dasarnya adalah untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egois dianggap bermoral karena kebahagiaan dan kepentingan pribadi dalam bentuk hidup, hak dan keamanan. Secara moral di

Menurut teori tersebut,

jika dikaitkan dengan kondisi yang dialami oleh narapidana residivis bernama Ardi

operasi ayahnya. Atas tindakan yang telah dilakukan adalah dianggap baik sebab demi mencapai kebahagiaan yaitu terpenuhinya hak hidup ayahnya. Secara moral, berdasarkan teori ini tindakan yang dilakukan dianggap baik dan pantas untuk diupayakan sebab ia melakukan perbuatan tersebut demi menjaga kelangsungan hidup. Begitu pula pada kasus pencurian yang dilakukan narapidana residivis bernama Dedi Rosadi (pencurian pasal 365 KUHP). Demi menyekolahkan anak seorang narapidana residivis akhirnya mencuri. Demi kelangsungan hidup keluarga, tidak peduli benar atau salah, asal mendapatkan apa yang diinginkannya. Sehingga dapat dikatakan mencuri adalah tindakan baik. Baik karena tujuannya demi untuk menolong keluarga tetapi caranya salah karena bertentangan dengan nilai moral yaitu ketamakan, ketidakpedulian, dan tidak memiliki perasaan terhadap kesulitan orang lain.

Selanjutnya teori utilitarianisme menurut Jeremy Bentham dalam Elisa (2011:

2) yang dikutip dari http://www.scribd.com/doc 58523585/teorijeremy-bentham Tindakan adalah baik dan tepat secara moral jika tindakan

tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan dan sebaliknya tindakan yang dilakukannya tidak mendatangkan manfaat apapun baik bagi diri sendiri maupun orang lain maka tindakan yang dilakukan dikatakan tidak bermoral teori tersebut, dapat dikaitkan dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh Ramlan Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Ia merasa bahwa perbuatan mencuri sebenarnya ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Namun, ia tidak menyadari bahwa akibat dari perbuatannya tersebut merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Seperti halnya yang dialami oleh narapidana residivis lainnya yang melakukan pengulangan tindak pidana seperti pembunuhan, penggelapan, penipuan tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan dan sebaliknya tindakan yang dilakukannya tidak mendatangkan manfaat apapun baik bagi diri sendiri maupun orang lain maka tindakan yang dilakukan dikatakan tidak bermoral teori tersebut, dapat dikaitkan dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh Ramlan Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Ia merasa bahwa perbuatan mencuri sebenarnya ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Namun, ia tidak menyadari bahwa akibat dari perbuatannya tersebut merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Seperti halnya yang dialami oleh narapidana residivis lainnya yang melakukan pengulangan tindak pidana seperti pembunuhan, penggelapan, penipuan

Berikutnya adalah teori moral menurut Sokrates dalam Cheppy Haricahyono (1995: 107) mengatakan bahwa: Dalam tindakan seseorang dilakukan dengan pertimbangan moral. Pertimbangan

moral meliputi meliputi a. tindakan sebagai kewajiban moral (tindakan yang benar kalau diwujudkan dan salah kalau tidak diwujudkan). b. tindakan yang merupakan larangan moral (tindakan yang salah kalau diwujudkan dan benar kalau tidak diwujudkan). c. tindakan non trival (tindakan yang ada dibalik apa yang dituntut meski mengandung resiko atau pengorbanan).

Pada kasus pencurian oleh narapidana residivis yang bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP). Secara moral, tindakan yang dilakukan sebagai kewajiban moral. Narapidana residivis mencuri karena mermbutuhkan uang demi biaya operasi ayahnya. Mencuri merupakan perbuatan yang dibenarkan demi menyelamatkan nyawa ayahnya sebab jika membiarkan maka ayahnya dapat meninggal dunia. Oleh sebab itu, ia terpaksa mencuri. Demi kelangsungan hidup ayahnya, Ardi Eli.L berusaha mengorbankan dirinya dengan cara mencuri walaupun harus mendapat hukuman atau pemidanaan di Rutan. Atas tindakan yang dilakukan oleh Ardi Eli.L tersebut, juga termasuk dalam kategori non trivial yaitu tindakan yang ada dibalik apa yang secara moral memang dituntut, meskipun mengandung resiko dan pengorbanan diri secara total. Berbeda halnya dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh Puji Hariyanto. Ia mencuri karena sulit memperoleh pekerjaan. Bahkan, mencuri sebagai sebuah pekerjaan (mata pencaharian). Secara moral, tindakan yang dilakukan merupakan larangan moral sebab mencuri demi kepentingannya sendiri dan menyalahi aturan hukum serta bertentangan dengan nilai- nilai moral yaitu keegoisan dan keserakahan. Pada kasus penggelapan, penipuan, Pada kasus pencurian oleh narapidana residivis yang bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP). Secara moral, tindakan yang dilakukan sebagai kewajiban moral. Narapidana residivis mencuri karena mermbutuhkan uang demi biaya operasi ayahnya. Mencuri merupakan perbuatan yang dibenarkan demi menyelamatkan nyawa ayahnya sebab jika membiarkan maka ayahnya dapat meninggal dunia. Oleh sebab itu, ia terpaksa mencuri. Demi kelangsungan hidup ayahnya, Ardi Eli.L berusaha mengorbankan dirinya dengan cara mencuri walaupun harus mendapat hukuman atau pemidanaan di Rutan. Atas tindakan yang dilakukan oleh Ardi Eli.L tersebut, juga termasuk dalam kategori non trivial yaitu tindakan yang ada dibalik apa yang secara moral memang dituntut, meskipun mengandung resiko dan pengorbanan diri secara total. Berbeda halnya dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh Puji Hariyanto. Ia mencuri karena sulit memperoleh pekerjaan. Bahkan, mencuri sebagai sebuah pekerjaan (mata pencaharian). Secara moral, tindakan yang dilakukan merupakan larangan moral sebab mencuri demi kepentingannya sendiri dan menyalahi aturan hukum serta bertentangan dengan nilai- nilai moral yaitu keegoisan dan keserakahan. Pada kasus penggelapan, penipuan,

2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta

Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bukanlah lembaga pemasyarakatan, namun dalam pelaksanaan pemidanaan bagi narapidana residivis

menggunakan sistem pemasyarakatan. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melaksanakan pembinaan pun, tidak bisa lepas dari sistem pemenjaraan dimana

melalui sistem tersebut bertujuan agar narapidana jera dan tidak lagi mengulangi perbuatan. Tujuan dari pembinaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah tidak melanggar hukum lagi, dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam pembangunan (manusia mandiri), dan hidup bahagia dunia akherat. Hal tersebut sesuai dengan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G8/506

17 Juni 1964 yang menjelaskan bahwa pidana telah berubah secara mendasar yaitu sistem kepenjaraan menjadi sistem

Dalam teori gabungan menurut Pallegrino Rossi dalam Dwidja Priyatno (2006: 24) tentang tujuan pemidanaan disebutkan bahwa: Sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya tidak boleh

melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana harus mempunyai pengaruh yaitu perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Sehingga tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana.

Dari teori tersebut, narapidana residivis berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam rangka melaksanakan pemidanaan dimana mereka akan dibatasi kemerdekaannya sebagai akibat melakukan tindak pidana. Namun, mereka diberikan hak untuk memperoleh pembinaan sebagai upaya rehabilitasi agar setelah keluar dari Rutan tidak mengulangi kembali tindak pidana dan akhirnya menjadi warga negara yang baik (good citizen) karena tujuan pemidanaan bukanlah sebagai

dilakukan melalui pembinaan. Pelaksanaan pembinaan yang diterapkan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terhadap narapidana residivis merujuk kepada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Dikatakan demikian sebab, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah menerapkan beberapa pembinaan baik berupa pembinaan yang sifatnya kepribadian maupun kemandirian. Pembinaan yang bersifat kepribadian bertujuan membentuk watak narapidana sehingga mampu meningkatkan ketakwaan dan intelektual yang diharapkan nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh pada peraturan, taat hukum memiliki jiwa yang bermoral serta hidup secara produktif. Sedangkan pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada pembentukan pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan. Wujud program yang diberikan meliputi pembinaan kesadaran agama, pembinaan intelektual, pembinaan kesadaran hukum, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan bentuk olah raga, dan pembinaan kemandirian. Hal tersebut berarti pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah sesuai dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan alenia kedua, menegaskan bahwa:

Pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila dan sebagainya) meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun sebagai warganegara yang meyakini dirinya masih memiliki potensi produktif bagi pembangunan bangsa dan oleh karena itu mereka dididik (dilatih) juga untuk menguasai ketrampilan tertentu guna dapat hidup mandiri dan berguna bagi pembangunan. lni berarti, bahwa pembinaan dan bimbingan yang diberikan mencakup bidang mental dan keterampilan. (Ismail Sholeh, 1990: 3).

Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah melaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan dan pola pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah melaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan dan pola pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola

Kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Menurut pemikiran Kant adalah menyimpulkan otonomi kehendak dan heteronom kehendak. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri sedangkan heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor di luar dirinya

Dari teori tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan baik apabila bertindak karena kewajiban. Seseorang akan bertindak sesuai dengan kesadaran diri bukan karena perintah orang lain. Jika dikaitkan dengan teori tersebut dapat diartikan bahwa perilaku narapidana residivis yang belum menunjukkan kesadaran diri selama mengikuti pembinaan seperti malas, tidur, membuat gaduh, pura-pura sakit, mengobrol sendiri, tidak serius, dan bahkan mencoba kabur dari Rutan menunjukkan bahwa mereka belum moral. Berdasarkan fakta tersebut maka, dapat dikatakan bahwa pembinaan moral terhadap narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan narapidana residivis menjadi warga negara yang baik dan bermoral (good citizen) dikatakan belum berhasil sebab, beberapa narapidana residivis yang belum terbentuk sebagai pribadi yang terdidik secara moral. Selain itu, masih terjadi pengulangan tindak pidana bahkan meningkat dari tahun 2010 sampai 2011. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Cheppy H.C (1988: 110: 111) mengatakan bahwa, terdidik secara moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau dimanapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan cita-

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sangat ditentukan oleh kesadaran moral dari narapidana residivis selama mengikuti pembinaan sehingga upaya penyadaran moral terhadap narapidana harus lebih ditekankan. Selama ini, usaha dari pihak Rutan melaksanakan pembinaan kepada narapidana residivis dikatakan sudah cukup maksimal. Terbukti dari dengan dibentuknya lagi wujud pembinaan yaitu pembinaan latihan fisik dan menambahkan kegiatan pada pembinaan kesadaran agama islam melalui kegiatan pesantren.

3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan